Laman

Kamis, 25 Juli 2013

Anomali Dalam Reformasi Birokrasi (Tabukah PNS Mengkritik Birokrasi?)


Ketika berniat untuk menulis tentang kelemahan/kekurangan reformasi birokrasi (RB), sesungguhnya saya sempat merenung agak lama: etiskah saya mengkritik konsep dan implementasi reformasi, sementara saya adalah seorang PNS (bahkan lebih spesifik lagi seorang pejabat) yang semestinya bertanggungjawab terhadap keberhasilan reformasi tersebut? Persoalan etika daalm otokritik seperti ini juga pernah mengemuka ketika Adnan Buyung Nasution mempublikasi rekomendasinya selaku anggota Dewan Pertimbangan Presiden, yang menurut banyak kalangan bersifat rahasia. Nah, dengan berbagai pertimbangan pula, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengkritisi habitat saya sendiri.
 
Selain dengan niat dan semangat untuk memperbaiki diri, saya juga berharap catatan saya ini dapat dibaca dan didengar oleh pejabat-pejabat yang memang memiliki otoritas dalam hal reformasi, untuk kemudian menjadi perenungan terhadap perjalanan reformasi yang telah ditempuh bangsa ini. Harapan lebih jauh, tentu saja ide saya ini akan dapat memberi sumbangsih terhadap mimpi mewujudkan sosok birokrasi yang hebat dan berkelas dunia.
 
Secara umum, saya melihat banyak distorsi, deviasi, atau anomali praktek RB dari filosofi dasarnya. Tentu saja pandangan saya mungkin sekali keliru dan sulit diterima banyak pihak. Jika memang demikian, semoga tulisan ini bisa memancing diskusi dan dialog kreatif untuk menemukan akan permasalahan yang terbesar dari program RB sekaligus menawarkan alternatif yang cerdas untuk evaluasi dan solusi RB kedepan.
 
Anomali pertama, saya melihat RB justru menimbulkan situasi bertitel high-cost bureaucracy. Ini bertolak belakang dengan spirit dasar RB untuk menekan pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya organisasi, khususnya keuangan. Dengan adanya kewajiban untuk menyediakan dokumen usulan RB bagi setiap Kementerian maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian (K/L), banyak sekali K/L yang meng­-hire konsultan dengan budget yang diluar jangkauan akal sehat. Saya pernah mendengar sebuah Lembaga yang menganggarkan penyusunan SOP sebesar kurang lebih Rp 2 milyar. Seorang Kabag Perencanaan bergelar Doktor di sebuah Kementerian yang berkarakter holding company bahkan menyebutkan bahwa hanya untuk merumuskan nilai-nilai organisasi (organizational values), kementeriannya membayar puluhan milyar kepada konsultan asing. Selain menjadi sumber pemborosan baru, pemanfaatan konsultan untuk menyiapkan insfrastruktur RB ini menurut saya tidak akan menumbuhkan sense of belonging di kalangan pegawai. Usulan, penyiapan dokumen, serta pelaksanaan kegiatan dalam rangka RB, sekecil apapun itu, semestinya dilakukan secara mandiri oleh SDM di institusi tersebut. Keberadaan konsultan tentu bukan barang haram, namun semestinya tidak diposisikan sebagai pemain utama dalam organisasi, sementara pegawai lainnya justru menjadi penontonnya.
 
Pemborosan akibat RB juga semakin besar karena berimplikasi pada pemberian tunjangan kinerja bagi PNS yang berjumlah sekitar 4 juta orang. Meskipun penghasilan seorang PNS selama ini diakui relatif rendah, namun kebijakan pemberian remunerasi (istilah yang lebih populer dipakai untuk menggantikan istilah tunjangan kinerja), tetap saja membebani anggaran negara secara signifikan. Buktinya, atas inisiatif Kementerian Keuangan, lahirlah Peraturan Bersama 3 Menteri (PAN dan RB, Dalam Negeri, dan Keuangan) tahun 2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan CPNS, atau yang lebih dikenal dengan Moratorium CPNS. Kebijakan inipun sebuah kesalahan besar dalam RB, yang akan saya ulas pada bagian bawah nanti.
 
Ironisnya, pembayaran tunjangan kinerja di banyak instansi dibebankan pada DIPA instansi yang bersangkutan, tepatnya diambilkan dari pos yang selama ini masuk dalam alokasi program dan kegiatan. Akibatnya cukup fatal, proporsi biaya program (belanja langsung) dengan belanja tidak langsung seperti gaji, tunjangan, honorarium, pemeliharaan, dan lain-lain menjadi semakin timpang. Organisasi berubah menjadi “pemangsa” sumber daya yang dimiliki, karena sebagian besar dana yang dimiliki hanya diperuntukkan membayar pegawainya dan pemeliharaan gedungnya. Inilah yang saya sebut sebagai fenomena predatory bureaucracy. Jika selama ini fenomena seperti ini lebih banyak melanda daerah, terutama daerah otonom baru (DOB), maka dengan RB fenomena tersebut menjadi lebih meluas. Bagi saya, ini sudah bukan lagi lampu kuning, namun sudah lampu merah RB.
 
Anomali kedua, saya juga melihat bahwa RB bukannya menghasilkan PNS yang brilian, kompeten, dan berkualifikasi unggulan, malah mendegradasi kompetensi organisasi. Dan ini jelas sekali bertentangan dengan maksud dilakukannya RB untuk menghasilkan birokrasi kelas dunia (world class bureaucracy). Didahului dengan PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, dan dilanjutkan dengan Pp Nomor 45/2007 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi PNS, kebijakan RB malah menambah runyam persoalan birokrasi dengan memberlakukan moratorium CPNS. Sebagaimana disadari secara luas, tenaga honorer dan Sekretaris Desa pada umumnya adalah mereka yang berpendidikan rendah, tidak memiliki keahlian khusus kecuali hanya mengerjakan tugas-tugas administratif, dan belum teruji keunggulan kepribadian maupun potensinya. Dengan fakta seperti itu, tetap saja mereka “dipaksa” menjadi PNS tanpa melalui sebuah sistem rekrutmen yang ketat dan kompetitif. Bagaimana mungkin kita akan menuju birokrasi kelas dunia kalau yang diangkat adalah SDM kelas kampong? Bagaimana kita akan menjadi birokrasi bintang lima kalau para pelakunya masih sekelas kaki lima?
 
Celakanya lagi, kesalahan sejarah seperti ini diulang melalui moratorium CPNS. Kandidat yang masih segar, pintar, dan kreatif ditutup peluangnya masuk birokrasi kecuali untuk tenaga kesehatan dan pendidikan. Sementara disisi lain, para pegawai yang tua-tua, atau yang tidak berkinerja, atau yang hanya menjadi trouble maker, atau yang tidak bisa dikembangkan lagi potensinya, justru dipertahankan dalam wilayah kenyamanan (comfort zone) bernama birokrasi. Saya sering mengibaratkan birokrasi sebagai kolam ikan. Jika kolam itu ditutup aliran pembuangannya yang berfungsi untuk mengurangi kekotoran dan polusinya, serta tidak dibuka saluran baru untuk mengalirkan air besih, maka dapat dipastikan kolam itu semakin lama semakin kotor, berbau busuk, bahkan beracun. Maka, tidaklah aneh jika birokrasi kita selalu diidentikkan dengan keranjang sampah.
 
Semestinya, kebijakan RB berani menempuh langkah tegas, misalnya dengan pemberhentian secara hormat maupun tidak hormat pegawai yang layak untuk diberhentikan, atau “memaksakan” pensiun dini degan tunjangan khusus (golden shake hand) kepada pegawai yang biasa-biasa saja. Dengan demikian, birokrasi hanya akan dihuni oleh manusia-manusia yang berpikrian, berperilaku, dan berkarya positif. Birokrasi sebaiknya juga tidak diisi oleh berbagai situasi nyaman (rendah tuntutan, gaji dan tunjangan tetap, jaminan pensiun, penegakan disiplin rendah, kenaikan gaji dan pangkat berkala, banyaknya peluang perjalanan dinas, dsb). Secara ideal, birokrasi justru harus melengkapi dirinya dengan berbagai ketidaknyamanan (tuntutan kebaruan / inovasi bagi setiap pejabat, penegakan disiplin yang ketat, pembudayaan demosi bagi yang berkinerja rendah, dan seterusnya).
 
Anomali ketiga, teramat sering kita dengarkan keluhan adanya diskriminasi dan ketiadaan standar kesejahteraan sesama PNS. Kementerian Keuangan, BPK, dan Mahkamah Agusng, sudah sejak 2007/2008 menerima remunerasi sebesar 100 persen, sementara banyak K/L yang baru menerima pada tahun 2012, itupun hanya sebesar 40 persen. Namun ada pula yang sama sekali belum menerima hingga tahun 2013 ini. Maka tidak aneh jika sering muncul jokes bahwa birokrasi saat ini sudah berkasta. Ada yang masuk kasta brahmana (yang sudah menerima tunjangan kinerja 100 persen), kasta ksatria (yang sudah menerima tunjangan kinerja 70 persen), kasta waisya (yang sudah menerima tunjangan kinerja 40 persen), dan kasta sudra (belum menerima tunjangan kinerja sama sekali). Ironisnya, diskriminasi seperti ini berjalan hingga bertahun-tahun tanpa ada langkah yang pasti untuk mensejajarkan sistem kompensasi bagi PNS Republik Indonesia. Ironis juga bahwa ternyata institusi yang telah menerima remunerasi sangat besar masih saja terjadi kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar. Maka, sudah saatnya agar kebijakan pembayaran remunerasi ini ditinjau kembali, meski secara pribadi saya lebih setuju untuk dihentikan sama sekali. Lebih ekstrem lagi, saya sering berpikir bahwa semestinya penghentian kebijakan remunerasi ini disertai dengan kewajiban untuk mengembalikan ke negara bagi yang sudah mendapatkannya. Sebagai gantinya, pemerintah harus segera merevisi peraturan gaji PNS dengan memberlakukan sistem tunggal (one single payment system). Dengan sistem ini, gaji PNS akan cukup signifikan namun tidak ada lagi sumber-sumber pendapatan lainnya seperti tunjangan, honorarium, upah pungut, persentase atau apapun namanya.
 
Anomali keempat, saya mencermati bahwa di era RB dewasa ini tumbuh kecenderungan lahirnya banyak sekali aturan-aturan baru, namun lupa mengevaluasi efektivitas aturan yang telah ada. Akibatnya, saya menyebut adanya fenomena “surplus regulasi defisit ketaatan”. Padahal kalau kita simak pengalaman berbagai negara seperti Korea, RB justru diterjemahkan sebagai upaya deregulasi atau pemangkasan aturan secara drastis hingga mencapai 50 persen dari regulasi yang ada sebelumnya. Meski Indonesia juga memiliki semangat awal deregulasi di awal bergulirnya RB, namun di lapangan ternyata diterjemahkan secara berbeda. Dampaknya, negara yang mestinya lebih banyak melayani menjadi lebih banyak mengatur. Negara yang seharusnya lebih fokus mencapai tujuan nasionalnya (mission and vision driven) justru lebih fokus pada pembuatan dan pelaksanaan aturan secara kaku (rule driven).
 
Sayangnya, banyaknya aturan tadi tidak berkorelasi dengan meningkatnya ketertiban sosial dan stabilitas politik sebagai tujuan dari pembentukan sebuah aturan. Fenomena empirik sering menyajikan fakta sebaliknya, berupa banyaknya keributan sejak tahap perumusan hingga implementasi sebuah peraturan. Proses pembuatan aturan dan kebijakan publik malah sering menghasilkan kebijakan yang divergen, simbolik, dan involutif.
 
Anomali kelima, RB nampaknya juga menyuburkan budaya formalistik dan mengaburkan esensi sebuah kebijakan. Sebagai contoh, tunjangan kinerja atau tunjangan berbasis kinerja sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai tunjangan kehadiran belaka, dan tidak memperhitungkan penilaian kinerja individu sama sekali. Sehebat apapun kinerja seorang pegawai, dia tetap terancam tidak menerima tunjangan kinerja sama sekali jika sering terlambat datang kantor. Sebaliknya, meski seseorang tidak menunjukkan kontribusi berarti bagi organisasi, tetap saja dapat memperoleh tunjangan penuh jika selalu datang dan pulang tepat waktu. Inisiatif individual seorang pegawai untuk menambah jam kerja diluar waktu standar karena beban kerja yang besar, tidak pernah dihargai dengan tunjangan kinerja, atau sekedar untuk mengganti keterlambatan masuk kantor. “Waktu kerja” (07.30 – 16.00 wib) adalah waktu yang secara formal dihitung untuk menentukan tunjangan kinerja, bukan “jumlah jam kerja” yang secara riil dilakukan, bukan pula “kinerja nyata” yang terukur.
 
Di tengah kemajuan teknologi informasi dan siatuasi lalu lintas Jakarta yang semakin parah tingkat kemacetannya, ternyata RB masih menuntut kehadiran dibanding kinerja riil. Ini menjadi ironi yang sangat besar, karena sesungguhnya pertemuan tatap muka dapat diganti dengan tele conference (bahkan juga dengan Skype yang gratis), dokumen dapat dikirim melalui email, komunikasi dapat diganti dengan telepon/sosial media/blackberry, tata persuratan internalpun dapat dilakukan dengan electronic office. Maka, RB yang menegasikan dukungan teknologi ICT ini adalah sebuah fakta yang anakronik.
 
Formalisme birokrasi juga nampak dari sistem monitoring dan evaluasi RB yang dikenal dengan PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan RB). Pengisian lembar kerja yang harus disertai dengan bukti-bukti fisik seperti daftar hadir, foto-foto kegiatan, atau dokumen-dokumen lain yang tangible, mengilustrasikan betapa para penilai RB lebih memperhatikan dan mempercayai dokumen yang amat mudah dimanupulasi dibanding pernyataan komitmen dan jaminan integritas seorang pegawai/pejabat. Maka, tidak aneh pula jika banyak yang menyebut kualitas RB saat ini hanyalah “reformasi dokumen”, bukan reformasi pola pikir, budaya kerja, dan orientasi kinerja.
 
Masih terlalu banyak yang bisa dikritisi dari desain dan praktek RB selama ini. Namun saya ingin menyudahi sampai disini untuk memberi kesempatan rekan lain menggarap bidang kosong lain dari RB. Semoga momentum suksesi kepemimpinan nasional 2014 akan melahirkan sosok pimpinan nasional yang kuat, tegas, cerdas, merakyat, dan “telah selesai dengan dirinya” sehingga sepenuhnya dapat mengabdi untuk kebaikan negeri dan segenap penghuninya, yaitu kita semua …

Minggu, 14 Juli 2013

“Semua Bermula dari Kebijakan, dan Semua Berpusat pada Kebijakan” dan Kritik Terhadap Kebijakan Publik


Semenjak agak intensif mempelajari kebijakan publik, saya mempunyai satu premis yang masih saya yakini hingga saat ini, yakni bahwa “segala bermula dari kebijakan, dan semua berpusat pada kebijakan”. Definisi Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa public policy is whatever government chooses to do or not to do, merupakan salah satu dasar argument munculnya premis saya tersebut. Juga pendapat dari James E. Anderson yang menyebut kebijakan sebagai perilaku actor dalam aktivitas tertentu (the behavior of some actor or set of actors, such as an official, a governmental agency, or a legislature, in an area of activity such as public transportation or consumer protection). 

Dari dua definisi ini saja sudah terlihat betapa lausnya cakupan kebijakan publik. Kebijakan bukan hanya hukum tertulis (peraturan perundang-undangan), namun juga perilaku (kebiasaan, sikap dalam komunikasi, atau apapun yang dapat menjadi contoh baik maupun buruk) dari aktor pemerintah tertentu. Kebijakan juga bukan hanya tindakan/perbuatan yang nyata-nyata dilakukan, namun juga sesuatu yang tidak dilakukan. Artinya, tidak melakukan sesuatu-pun adalah kebijakan. Inilah yang dimaksud dengan prokrastinasi atau the policy of doing nothing. 

Dengan pengertian seperti itu, maka peristiwa apapun yang terjadi di tengah masyarakat, atau apapun yang ada di sekitar kita, dapat dikatakan berhubungan dengan kebijakan. Ketika kita melihat jalan berlubang, maka itu adalah kebijakan pemerintah yang tidak melakukan sesuatu (misalnya menambal jalan). Kasus seorang warga negara yang meninggal karena kekurangan makanan, atau merebaknya wabah busung lapar dan lumpuh layu, adalah juga wujud kebijakan publik yang gagal mencapai tujuannya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kasus lain seperti mobil yang parkir di lokasi resmi dan tertimpa pohon tumbang saat hujan angin, adalah juga akibat dari kebijakan yang kurang antisipatif mengukur kekuatan pohon terhadap kecepatan angin, atau kesalahan dalam menentukan lokasi parkir. Bahkan seorang pendaki yang tewas karena terperosok jurang juga bisa dikatakan sebagai konsekuensi kebijakan yang tidak menjangkau wilayah pendakian, sehingga pemerintah tidak dapat mengeluarkan early warning system tentang ancaman bahaya di jalur pendakian tersebut sekaligus membangun infrastruktur keamanannya. 

Maka, pada hakekatnya pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam pembuatan dan implementasi kebijakan, harus siap mempertanggungjawabkan segala sesuatu di tengah masyarakat. Inilah esensi dari asas omni presence atau serba hadirnya pemerintah kapanpun dan dimanapun warga negara membutuhkan. Kebijakan yang terbangun sempurna tidak akan menimbulkan kesan di tengah masyarakat bahwa pemerintah mendiamkan suatu masalah, atau meninggalkan gelanggang saat dibutuhkan (misalnya dalam keadaan lalu lintas macet total namun tidak ada aparat yang mengaturnya). 

Dari ilustrasi diatas dapat ditarik sebuah pelajaran bahwa kebijakan publik sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat vital bagi sebuah negara maupun bagi masyarakat. Dan oleh karena “segala sesuatu bermula dari kebijakan, dan semua berusat pada kebijakan”, maka kebijakan yang baik, berkualitas, dan unggul, benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bagi sebuah negara dan masyarakatnya. Kebijakan publik adalah instrumen utama untuk mewujudkan tujuan negara. Kualitas dan keunggulan suatu negara akan sangat ditentukan oleh kualitas dan keunggulan kebijakan publik negara tersebut. 

Sayangnya, ada indikasi lemahnya (untuk tidak mengatakan kegagalan) kebijakan. Jangankan di tingkat implementasi, pada tahap perumusan-pun teramat banyak kebijakan rencana yang telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat, dan membuang energi bangsa secara sia-sia. Contoh terkini adalah RUU Ormas yang telah dibahas bertahun-tahun dengan biaya milyaran rupiah namun tetap saja ditolak banyak kalangan civil society karena dinilai tidak menawarkan kemanfaatan sama sekali. Kebijakan juga seringkali memicu demonstrasi bahkan konflik terbuka di tingkat akar rumput, seperti kasus-kasus diberikannya perijinan pertambangan. Bahkan banyak kebijakan yang disinyalir merupakan entry point terjadinya tindak pidana korupsi seperti kebijakan di lapangan pengadaan barang dan jasa, perijinan pemanfaatan kayu, dan lain-lain. Belum lagi perlawanan secara konstitusional melalui judicial review, berapa banyak UU digugat dan akhirnya dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Berbagai contoh kasus diatas menyiratkan adanya masalah besar dalam sistem kebijakan publik di Indonesia yang belum mampu menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. 

Dalam kaitan itu, penulis ingin sedikit mengulas tentang bentuk-bentuk kebijakan yang kurang baik sehingga tidak mampu mencapai tujuan dari dibuatnya kebijakan tersebut. Dalam hal ini, kebijakan disebut tidak cukup baik jika memenuhi kriteria Involusi Kebijakan, Symbolic Policy, dan Divergensi Kebijakan. Penjelasan terhadap masing-masing situasi dapat diberikan sebagai berikut. 

1.      Involusi Kebijakan. Involusi kebijakan adalah suatu kebijakan yang baik secara proses dan rumusannya namun tidak memberikan kebaikan bagi publik. Hal ini terjadi karena politisi atau birokrat pembuatnya terjebak dalam ilusi untuk membangun citra tentang kebaikan suatu rezim atau kekuasaan politik (Riant Nugroho, Public Policy, Elex Media Komputindo, 2012). 

2.      Symbolic Policy. Symbolic policy sering dilawankan dengan evidence-based policy. Dalam hal ini, ada 4 (empat) kriteria symbolic policy yang membedakannya dari evidence-based policy, yakni: 1) Being simplistic in its presentation (sederhana dalam penyajian); 2) Ignoring contextual features (mengabaikan fitur kontekstual); 3) Disregarding empirical analysis (mengabaikan analisis empirik); and 4) Resulting in policies benefiting the already advantaged group (menghasilkan kebijakan yang menguntungkan kelompok yang sudah mendapat banyak keuntungan) (Michiel S. de Vries, “Distinguishing symbolic and evidence-based policies: the Brazilian efforts to increase the quality of basic education”, International Review of Administrative Sciences, 77(3), Sage Publication, 2011). 

3.      Divergensi Kebijakan à kebijakan yang dibuat oleh lebih dari satu aktor/instansi, yang semestinya menghasilkan efek saling memperkuat dalam mencapai tujuan yang sama, namun ternyata tidak saling terkomunikasikan, tidak saling mengisi dalam mencapai tujuan, bahkan seringkali menghasilkan efek konplikasi bagi kebijakan yang lain (Tri Widodo W. Utomo). 

Sekedar contoh, kebijakan subsidi BBM yang selama ini dilakukan adalah symbolic policy karena lebih menguntungkan dan lebih banyak dimanfaatkan orang kaya dibanding orang miskin. Menurut iklan layanan dari pemerintah yang hampir setiap hari ditayanglan di televise menjelang kenaikan harga BBM bulan Juni 2013 lalu, 80 persen subsidi BBM ternyata salah sasaran karena dinikmati bukan masyarakat miskin. Terkait dengan kenaikan BBM tersebut, pemerintah mengambil kebijakan kompensasi berupa pemberian BLT (Bantuan Langsun Tunai) atau BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Kebijakan inipun bisa terjebak sebagai symbolic policy jika tidak cermat dalam pendataan calon penerimanya. Kebijakan ini juga bisa divergen dengan kebijakan yang bertujuan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat karena BLT/BLSM hanya memberi “ikan” kepada masyarakat, bukan “kail” apalagi “keterampilan memancing”. 

Sementara itu, RUU Ormas atau rancangan kebijakan lain yang sejak “pagi-pagi” telah ditolak dan cenderung “dipaksakan” sebagai indikator kinerja DPR/DPRD atau institusi pengusul, maka dapat diklasifikasikan sebagai situasi involusi kebijakan, karena tidak membawa manfaat luas, yang direpresentasikan oleh kalangan penolaknya. Meskipun isinya baik dan prosesnya benar, namun masyarakat tidak membutuhkan pengaturan semacam itu. Untuk itu, perancangan kebijakan seyogyanya benar-benar didasarkan pada kebutuhan, bukan keinginan dari para policy makers. 

Contoh lain, kebijakan Dinas Perhubungan yang memberikan ijin kepada kendaraan yang melampaui batas maksimal tonase adalah kebijakan yang divergen dengan kebijakan Dinas Pekerjaan Umum yang membangu jalan tersebut. Kebijakan yang membuka keran impor produk pertanian (misalnya beras) pada saat musim panen adalah juga sebuah divergensi kebijakan karena menghancurkan harga komoditas tertentu (beras) dan merugikan kepentingan petani secara langsung.

Tentu saja masih banyak sekali contoh-contoh yang bisa diungkapkan disini. Sekali lagi, ini bukan ingin mencari kekurangan dalam sistem kebijakan saat ini, namun lebih untuk menyediakan sebuah kerangka sederhana untuk mengevaluasi sebuah kebijakan. Jika sebuah kebijakan tidak memenuhi kriteria sebagai symbolic policy, involusi, atau divergensi, maka ada harapan kebijakan tersebut sudah masuk kategori kebijakan yang baik dan unggul, meskipun tidak ada jaminan untuk itu. Sebab, kebijakan yang baik dan unggul boleh jadi membutuhkan kriteria lain yang tidak dibahas disini.

Sabtu, 13 Juli 2013

Memahami Konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State)


Semenjak pertengahan abad ke-19, banyak negara di dunia memasuki babak baru berupa pergeseran arah bandul paradigma pembangunan dari ekstrem kanan yang bersifat liberalis kearah kiri yang lebih bercorak sosialisme. Mekanisme pasar (market mechanism) yang telah berjalan sekitar satu abad, mulai bergerak kearah mekanisme negara (state mechanism). Konsekuensinya, negara harus lebih aktif berperan dalam pembangunan nasionalnya masing-masing guna meminimalisir kegagalan pasar (market failure) yang dibawa sistem liberal. Dengan kata lain, fungsi mewujudkan kesejahteraan dikembalikan sebagai fungsi dasar negara. Dalam rangka membangun kesejahteraan tersebut, negara dibenarkan untuk melakukan intervensi apapun demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran rakyatnya. Inilah esensi dari interventionist state[1] yang lahir dari konsep welfare state (negara kesejahteraan). 

Namun apa yang dimaksud dengan welfare state (negara kesejahteraan) itu? Tulisan ini mencoba menguraikan asal-muasal timbulnya negara kesejahteraan beserta implikasinya. 

Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep nacht-wachter staat (night watchman state, negara penjaga malam). Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah kebebasan (liberalism), yang berkembang pada abad pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible Hands yang termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes (1766). Dalam sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering dikatakan juga sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah pandangan yang meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau transaksi antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih mengedepankan pendekatan laissez faire dalam menciptakan kesejahteraan. Sebagai gantinya, mekanisme pasar mendapat porsi besar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Adapun negara/pemerintah hanya mempunyai fungsi/peran perlindungan warga negara dari penyerangan, pencurian, pelanggaran kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya. Maka tidaklah aneh jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem liberalism juga hanya institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan, yakni militer, kepolisian, peradilan, pemadam kebakaran, termasuk penjara. Diluar institusi yang menangani soal keamanan tersebut, masih dimungkinkan dibentuk institusi lain yakni yang berhubungan dengan perpajakan. Dalam prakteknya, sistem liberalisme ini sering membawa konsekuensi lahirnya ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi karena merebaknya praktek exploitation de l’homme par l’homm, nation par nation, sehingga melahirkan kemiskinan dan kesenjangan yang parah antar kelompok masyarakat.  

Situasi seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya sosialisme, atau paham baru yang menghendaki campur tangan pemerintah secara lebih intensif dalam bidang ekonomi dan seluruh bidang kehidupan masyarakat yang terwujud dalam bentuk welfare state. Di berbagai negara, pemaknaan welfare state sendiri berbeda-beda (lihat misalnya Paul Spicker, An Introduction to Social Policy), yakni:[2]
  • An ideal model. The "welfare state" usually refers to an ideal model of provision, where the state accepts responsibility for the provision of comprehensive and universal welfare for its citizens.
  • State welfare. Some commentators use it to mean "welfare provided by the state". This is the main use in the USA.
  • Social protection. In many "welfare states", notably those in Western Europe and Scandinavia, social protection are not delivered only by the state, but by a combination of government, independent, voluntary, and autonomous public services. These countries are usually thought of as "welfare states". 
Dalam welfare state, pemerintah/negara memiliki diskresi (freies ermessen) untuk melakukan segala sesuatu demi mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hak yang “bebas” inilah yang kemudian melahirkan ekses pengaturan yang berlebihan (excessive regulatory), sehingga melahirkan praktek maximum state atau etatism. Itulah sebabnya, welfare state yang tidak terkontrol akan bertransformasi kedalam bentuk yang paling ekstrem dari welfare state yakni marxism dan communism. Situasi seperti ini berkembang luas pada abad 19. Maka, tidaklah aneh jika negara dengan paham welfare state ini memperluas hak intervensinya hingga ranah privat, sehingga muncul sindiran bahwa seorang warga negara di welfare state sejak lahir hingga mati selalu berurusan dengan pranata negara yang termanifestasikan dalam bentuk instrumen kebijakan atau peraturannya.  

Bentuk sosialisme yang ekstrem ini hanya bertahan 1 (satu) abad, dan mulai hancur sejak pertengahan abad 20 yang ditandai oleh pecahnya Uni Soviet (balkanisasi). Pada saat itu, muncul gugatan terhadap paham negara kesejahteraan (welfare state), yang ternyata juga dipandang gagal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Inilah yang disebut dengan krisis negara kesejahteraan. Bahkan dalam bukunya berjudul After Welfare State (2012), Tom C. Palmer (ed) mengugat welfare state sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya dua krisis yang melanda dunia saat ini, yakni krisis keuangan dan krisis hutang. Selanjutnya, Palmer juga menulis: Young people today are being robbed. Of their rights. Of their freedom. Of their dignity. Of their futures. The previous generation and its predecessors, who either created or failed to stop the world-straddling engine of theft, degradation, manipulation, and social control we call the welfare state.[3] Krisis negara kesejahteraan ini pada gilirannya melahirkan paham baru tentang neo-liberalism. Artinya, neo-liberalisme adalah sebuah paham yang lahir sebagai respon ekstrem namun logis terhadap kegagalan negara dalam membangun kesejahteraan, serta bertujuan mengurangi kembali peran/fungsi dan institusi negara yang dianggap terlalu besar. Pada tahap inilah muncul berbagai pemikiran tentang privatization (ES. Savas, 1997), banishing bureaucracy (David Osborne and Peter Plastrik, 1998), government is best when governs least (quotation by Thomas Jefferson), governance without government (James N. Rosenau and Ernst-Otto-Czempiel), dan sebagainya. Intinya sama, yakni bagaimana pemerintah mengembalikan urusan publik kepada publik, serta menyediakan ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam menjalankan urusan publik. 

Dalam konteks mengurangi peran/fungsi pemerintah dan membuka keran partisipasi luas kepada masyarakat tadi, maka terdapat implikasi kelembagaan berupa munculnya NGOs dan Quasi NGOs (QUANGOS). Inilah yang oleh Prof. Jimly Ashshidiqie sering disebut dengan The New Trias Politica dimana peran dan interaksi antara Government, Market, dan Civil Society harus semakin berimbang. Dan dalam konstelasi The New Trias Politica tadi, secara otomatis model dan desain kelembagaan pemerintah harus semakin ramping serta efektif dan efisien. 

Jakarta, 15 Juli 2013

 

[1]   Tentang teori Interventionist State ini, baca misalnya Ajit Karnik, Theories of State Intervention, Working Paper No. 96/11, University of Bombay, Department of Economic. Karnik mengulas empat pendekatan intervensi negara yakni neo-classical, public choice, transactions costs dan information theoretic. Available and downloadable at http://www.mu.ac.in/arts/social_science/eco/pdfs/depart/dwp38.pdf
[2]  http://www2.rgu.ac.uk/publicpolicy/introduction/wstate.htm Selanjutnya Spicker juga memberi perbandingan penerapan welfare state di Inggris, Jerman, Perancis, Swedia, AS, China, Uni Eropa, serta negara berkembang secara umum.
[3]   Buku-buku serupa yang “menggugat” eksistensi negara ksejahteraan antara lain The Welfare State in Crisis (Ramesh Mishra, 1983), The Welfare State’Crisis and The Transformation of Social Service Works (Michael B. Fabricant and Steve Burghardt, 1992), Southern European Welfare States: Between Crisis and Reform (Martin Rhodes, 1997), The Welfare State’s Other Crisis: Explaining the New Partnership Between Nonprofits Organization and the State (Claire Frances Ullman, 1999), Development and the Crisis of Welfare State: Parties and Policies in Global Markets (Evelyne Huber and John D. Stephens, 2001), The Future of the Welfare State: Crisis Myths and Crisis Realities (Francis G. Castles, 2004),  France in Crisis: Welfare, Inequality, and Globalization Since 1980 (Timothy B. Smith, 2004), The Double Crisis of the Welfare State and What We Can Do About It (Peter Taylor-Gooby, 2013), dan sebagainya.