Semenjak
pertengahan abad ke-19, banyak negara di dunia memasuki babak baru berupa pergeseran
arah bandul paradigma pembangunan dari ekstrem kanan yang bersifat liberalis
kearah kiri yang lebih bercorak sosialisme. Mekanisme pasar (market mechanism) yang telah berjalan
sekitar satu abad, mulai bergerak kearah mekanisme negara (state mechanism). Konsekuensinya, negara harus lebih aktif berperan
dalam pembangunan nasionalnya masing-masing guna meminimalisir kegagalan pasar (market failure) yang dibawa sistem
liberal. Dengan kata lain, fungsi mewujudkan kesejahteraan dikembalikan sebagai
fungsi dasar negara. Dalam rangka membangun kesejahteraan tersebut, negara
dibenarkan untuk melakukan intervensi apapun demi terwujudnya keadilan dan
kemakmuran rakyatnya. Inilah esensi dari interventionist
state[1]
yang lahir dari konsep welfare state (negara
kesejahteraan).
Namun
apa yang dimaksud dengan welfare state (negara
kesejahteraan) itu? Tulisan ini mencoba menguraikan asal-muasal timbulnya
negara kesejahteraan beserta implikasinya.
Welfare State sendiri
merupakan respon terhadap konsep nacht-wachter
staat (night watchman state, negara
penjaga malam). Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah kebebasan (liberalism), yang berkembang pada abad
pertengahan hingga abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible Hands yang termuat dalam buku
Adam Smith dan David Ricardo berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes (1766). Dalam
sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering dikatakan juga
sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah pandangan yang
meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk menggunakan monopoli memaksakan
atau mengatur hubungan atau transaksi antar warga negara. Dengan kata lain,
pemerintah lebih mengedepankan pendekatan laissez
faire dalam menciptakan kesejahteraan. Sebagai gantinya, mekanisme pasar
mendapat porsi besar dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Adapun negara/pemerintah
hanya mempunyai fungsi/peran perlindungan warga negara dari penyerangan,
pencurian, pelanggaran kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya. Maka tidaklah
aneh jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem liberalism juga hanya
institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan, yakni militer, kepolisian, peradilan,
pemadam kebakaran, termasuk penjara. Diluar institusi yang menangani soal
keamanan tersebut, masih dimungkinkan dibentuk institusi lain yakni yang
berhubungan dengan perpajakan. Dalam prakteknya, sistem liberalisme ini sering membawa
konsekuensi lahirnya ketimpangan sosial dan ketidakadilan ekonomi karena
merebaknya praktek exploitation de l’homme
par l’homm, nation par nation, sehingga
melahirkan kemiskinan dan kesenjangan yang parah antar kelompok masyarakat.
Situasi
seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya sosialisme, atau paham baru yang
menghendaki campur tangan pemerintah secara lebih intensif dalam bidang ekonomi
dan seluruh bidang kehidupan masyarakat yang terwujud dalam bentuk welfare state. Di berbagai negara, pemaknaan
welfare state sendiri berbeda-beda
(lihat misalnya Paul Spicker, An
Introduction to Social Policy), yakni:[2]
- An ideal model. The "welfare state" usually refers to an ideal model of provision, where the state accepts responsibility for the provision of comprehensive and universal welfare for its citizens.
- State welfare. Some commentators use it to mean "welfare provided by the state". This is the main use in the USA.
- Social protection. In many "welfare states", notably those in Western Europe and Scandinavia, social protection are not delivered only by the state, but by a combination of government, independent, voluntary, and autonomous public services. These countries are usually thought of as "welfare states".
Dalam
welfare state, pemerintah/negara memiliki
diskresi (freies ermessen) untuk
melakukan segala sesuatu demi mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hak yang “bebas” inilah yang kemudian melahirkan ekses pengaturan yang
berlebihan (excessive regulatory),
sehingga melahirkan praktek maximum state
atau etatism. Itulah sebabnya, welfare state yang tidak terkontrol akan
bertransformasi kedalam bentuk yang paling ekstrem dari welfare state yakni marxism
dan communism. Situasi seperti ini berkembang
luas pada abad 19. Maka, tidaklah aneh jika negara dengan paham welfare state ini memperluas hak
intervensinya hingga ranah privat, sehingga muncul sindiran bahwa seorang warga
negara di welfare state sejak lahir
hingga mati selalu berurusan dengan
pranata negara yang termanifestasikan dalam bentuk instrumen kebijakan atau
peraturannya.
Bentuk
sosialisme yang ekstrem ini hanya bertahan 1 (satu) abad, dan mulai hancur sejak
pertengahan abad 20 yang ditandai oleh pecahnya Uni Soviet (balkanisasi). Pada saat itu, muncul
gugatan terhadap paham negara kesejahteraan (welfare state), yang ternyata juga dipandang gagal dalam mewujudkan
kesejahteraan rakyat. Inilah yang disebut dengan krisis negara kesejahteraan. Bahkan
dalam bukunya berjudul After Welfare
State (2012), Tom C. Palmer (ed) mengugat welfare state sebagai pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya dua
krisis yang melanda dunia saat ini, yakni krisis keuangan dan krisis hutang. Selanjutnya,
Palmer juga menulis: Young people today are being robbed. Of their rights. Of
their freedom. Of their dignity. Of their futures. The previous generation and
its predecessors, who either created or failed to stop the world-straddling
engine of theft, degradation, manipulation, and social control we call the
welfare state.[3] Krisis negara kesejahteraan ini pada gilirannya
melahirkan paham baru tentang neo-liberalism.
Artinya, neo-liberalisme adalah sebuah paham yang lahir sebagai respon ekstrem
namun logis terhadap kegagalan negara dalam membangun kesejahteraan, serta
bertujuan mengurangi kembali peran/fungsi dan institusi negara yang dianggap
terlalu besar. Pada tahap inilah muncul berbagai pemikiran tentang privatization (ES. Savas, 1997), banishing bureaucracy (David Osborne and
Peter Plastrik, 1998), government is best when governs least
(quotation
by Thomas Jefferson), governance without
government (James N. Rosenau and Ernst-Otto-Czempiel), dan sebagainya. Intinya
sama, yakni bagaimana pemerintah mengembalikan urusan publik kepada publik,
serta menyediakan ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam
menjalankan urusan publik.
Dalam
konteks mengurangi peran/fungsi pemerintah dan membuka keran partisipasi luas
kepada masyarakat tadi, maka terdapat implikasi kelembagaan berupa munculnya
NGOs dan Quasi NGOs (QUANGOS). Inilah yang oleh Prof. Jimly Ashshidiqie sering disebut
dengan The
New Trias Politica dimana peran dan interaksi
antara Government, Market, dan Civil Society harus semakin berimbang. Dan
dalam konstelasi The New Trias Politica tadi, secara otomatis
model dan desain kelembagaan pemerintah harus semakin ramping serta efektif dan
efisien.
Jakarta,
15 Juli 2013
[1] Tentang
teori Interventionist State ini, baca
misalnya Ajit Karnik, Theories of State
Intervention, Working Paper No. 96/11, University of Bombay, Department of
Economic. Karnik mengulas empat pendekatan intervensi negara yakni neo-classical, public choice,
transactions costs dan information theoretic. Available and downloadable at http://www.mu.ac.in/arts/social_science/eco/pdfs/depart/dwp38.pdf
[2] http://www2.rgu.ac.uk/publicpolicy/introduction/wstate.htm
Selanjutnya Spicker juga memberi perbandingan penerapan welfare state di Inggris, Jerman, Perancis, Swedia, AS, China, Uni
Eropa, serta negara berkembang secara umum.
[3] Buku-buku
serupa yang “menggugat” eksistensi negara ksejahteraan antara lain The Welfare State in Crisis (Ramesh
Mishra, 1983), The Welfare State’Crisis
and The Transformation of Social Service Works (Michael B. Fabricant and
Steve Burghardt, 1992), Southern European
Welfare States: Between Crisis and Reform (Martin Rhodes, 1997), The Welfare State’s Other Crisis: Explaining
the New Partnership Between Nonprofits Organization and the State (Claire
Frances Ullman, 1999), Development and
the Crisis of Welfare State: Parties and Policies in Global Markets (Evelyne
Huber and John D. Stephens, 2001), The Future
of the Welfare State: Crisis Myths and Crisis Realities (Francis G. Castles,
2004), France in Crisis: Welfare, Inequality, and
Globalization Since 1980 (Timothy B. Smith, 2004), The Double Crisis of the Welfare State and What We Can Do About It (Peter
Taylor-Gooby, 2013), dan sebagainya.
Terima kasih, sangat membantu untuk memahami tentang welfare state dan negara penjaga malam.
BalasHapusMembuka wawasan...
BalasHapus