Laman

Rabu, 25 September 2013

Bus Trans BSD



Nah, kali ini saya ingin menulis tentang Bus Trans BSD. Inipun adalah benda mati, yang bisa berjalan karena dijalankan oleh mesin dan dikemudikan oleh seorang sopir. Namun saya memandang dengan mata batin saya bahwa bus ini hidup dan menjadi bagian dari hidup dan karir saya. Maka, tidak fair rasanya jika saya mengabadikan memori bersama Kamar B-315 melalui tulisan, sementara saya tidak memberi perhatian yang sama dengan feeder bus-way ini.

Meski terkesan agak lebay, namun harus saya katakan bahwa bus yang setia menunggu dan mengantarkan saya dari rumah ke kantor dan sebaliknya setiap hari ini telah menolong saya dalam banyak hal. Pertama, bus ini telah menghindarkan saya dari gencetan ribuan orang yang berdesak-desakan secara paksa dan kurang manusiawi di KRL Jabodetabek jurusan Serpong – Tanah Abang. Ya, sebelum mengenal Bus Trans BSD, saya adalah pengguna jasa kereta eks densya (bahasa Jepang yang artinya kereta api) ini. Meskipun keretanya bagus dan bersih, namun kapasitas yang terlalu kecil dibanding jumlah penumpang yang selalu membeludak, membuat saya tidak nyaman bahkan kadang seperti tersiksa. “Siksaan” kereta itu kini telah hilang seiring hadirnya Bus Trans BSD, karena saya selalu dapat tempat duduk di bus ini. Saya tidak pernah lagi mengeluh seperti dulu bahwa badan saya remuk dan gepeng seperti dendeng karena gencetan kaum komuter yang tak terhingga jumlahnya.

Kedua, naik Bus Trans BSD ini memberi saya waktu-waktu produktif yang bagi saya tidak dapat diukur atau diganti dengan nilai nominal. Di awal-awal kenalan dengan bus ini saya berpikir akan memanfaatkan waktu untuk tidur sebagai ganti jam tidur saya yang sangat kurang. Namun ternyata, saya hampir tidak pernah ngantuk selama berada di dalam bus ini. Ini saja sudah sebuah keanehan bagi saya karena biasanya saya selalu ngantuk dan tidur ketika naik mobil. Menyetir bagi saya adalah satu-satunya cara atau obat untuk tidak tertidur ketika berkendara. Nah, karena saya sangat jarang mengantuk di bus, saya mencoba menyalakan laptop saya, dan akhirnya keluarlah tulisan-tulisan ringan saya, termasuk tulisan tentang Bus Trans BSD ini. Paling tidak, satu tulisan pendek dan santai bisa saya hasilkan dalam satu kali perjalanan bersama Bus Trans BSD ini. Situasi seperti inilah yang saya sebut sebagai waktu-waktu produktif tadi.

Terus terang, sudah sejak lama saya punya obsesi untuk menuliskan apapun yang terlintas di benak saya, apapun isinya. Namun sejak lama pula saya tidak bisa merealisasikan mimpi tersebut gara-gara ke kantor naik mobil pribadi atau menggunakan KRL. Saya sadar bahwa selama ini saya kehilangan waktu produktif antara 2 hingga 4 jam sehari, yang terbuang sia-sia di belantara macetnya lalu linats Jakarta. Maka, Bus Trans BSD seolah menjadi dewa penolong atau “juru selamat” bagi saya. Kemacetan sekarang bukan lagi momok yang menyebalkan, namun justru situasi yang bersahabat bahkan saya pernah berharap lalu lintas lebih macet agar saya bisa menulis lebih banyak.

Bagi saya, produktivitas tidak harus terkait dengan tugas pokok di kantor. Menulis lintasan ide, merekam pengalaman, memotret peristiwa kecil di sekitar kita, mencatat banyak fenomena-fenomena tak terduga, kadang menjadi sebuah “keajaiban”. Mengapa? Yang paling nyata, tanpa terasa tiba-tiba tulisan kita sudah terkumpul cukup banyak, dan jika dikompilasi bisa mencapai ratusan halaman. Jelas bukan hal sepele membuat tulisan ratusan halaman secara santai dan “sambilan”. Tak terasa pula, ternyata ratusan ide pula yang pernah singgah di kepala kita. Jelas ini sebuah rahmat teramat besar yang wajib disyukuri, dan tidak mungkin kita ketahui jika tidak terpahat dalam tinta emas tulisan kita.

Ketiga, naik Bus Trans BSD juga sangat menghemat biaya transportasi dan sangat convenience (nyaman). Hemat, karena tarifnya hanya Rp. 14 ribu sekali jalan, atau Rp. 28 ribu pulang pergi. Ditambah ojek dari/ke rumah Rp. 16 ribu, maka total ongkos yang saya keluarkan dalam 1 hari hanya Rp. 44 ribu. Dibanding dengan moda KRL, total ongkos yang saya butuhkan dalam 1 hari adalah Rp. 69 ribu, dengan perincian ojeg dari/ke rumah Rp. 16 ribu, angkot menuju/pulang dari stasiun Serpong Rp. 8 ribu, tiket kereta pp Rp. 5 ribu, dan ojeg dari stasiun Tanah Abang ke kantor pp Rp. 40 ribu. Artinya, saya berhemat Rp. 25 ribu setiap harinya dengan naik bus dibanding jika saya naik KRL. Apalagi kalau harus pakai jasa taxi argo setiap hari, wow … bisa kacau urusan dapur. Selain hemat, saya juga merasa nyaman karena saya cukup menunggu Bus Trans BSD di halte terdekat dari rumah saat berangkat, dan turun di depan komplek perumahan saat pulang. Lebih nyaman lagi, bus ini melewati persis depan kantor saya, LAN Jl. Veteran, Jakarta.

Satu hal lagi yang terakhir, pergi dan pulang kerja dengan kendaraan umum (Bus Trans BSD) membuat saya merasa lebih merakyat dan mengikis arogansi. Pada awalnya saya merasa malu harus berdiri berlama-lama menunggu bus, sementara teman-teman yang lain terkesan lebih bergengsi dan “terhormat” dengan mengendarai mobilnya (pribadi maupun mobil dinas). Pada saat mereka lewat di depan saya, seolah-olah saya berada satu atau dua level dibawah kelas sosial mereka, apalagi jika mereka lewat begitu saja seperti berjalan di ruang hampa. Saya kemudian berintrospeksi, ketika saya mengendarai mobil dan ada kawan yang berdiri di pinggir jalan, mungkin mereka akan punya pikiran yang sama seperti yang saya pikirkan. Maka saya berjanji jika hal itu terjadi, saya akan datangi kawan tadi, saya tawarkan untuk menumpang jika searah, dan saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya akan pulang mendahului dia. Namun sekarang saya sudah terbiasa dengan situasi dan perasaan seperti itu. Saya justru lebih bahagia hidup membaur dengan banyak orang yang kadang harus berlarian mengejar pintu bus dibuka, dan berebut masuk kedalamnya. Saya juga gembira bahwa ditengah “ketidaknyamanan” tadi saya tidak mengeluh dan bahkan menemukan kenyamanan baru.

Ternyata, banyak sekali yang bisa disyukuri dari situasi yang sekilas tidak menyenangkan. Kemacetan, menunggu bus terlalu lama, berlari-lari dan berebut dengan penumpang lain, kadang harus berdiri bahkan terjepit dibawah aroma keringat yang kurang bersahabat, dan seterusnya. Itulah seni hidup yang sesungguhnya, yang tidak pernah didapatkan oleh orang-orang yang telah memiliki kenyamanan dan kenikmatan tersendiri: mobil ber-AC, diantar sopir, bensin-pun dari kantor pula, hehe … Dalam seni hidup tadi, kita dipaksa untuk mengubah cara pandang terhadap dinamika dan realita kehidupan. Jika selama ini kita melihat kekurangan dalam satu sisi kehidupan lebih sebagai manifestasi gelas setengah kosong, maka sekarang kita melihat kesulitan, keterbatasan, dan ketidaknyamanan dalam berbagai segi kehidupan justru dari perspektif yang positif atau gelas setengah isi.

Maka, tidak ada yang pantas saya katakan kecuali berterima kasih secara tulus kepada Bus Trans BSD, beserta seluruh crew-nya. Jika suatu ketika saya menjadi orang penting di institusi saya, atau jika saya mampu menciptakan prestasi penting dan fenomenal, atau jika saya mendapat kesempatan besar berkontribusi kepada Republik, maka tidak mungkin saya lupa jasa Bus Trans BSD, sebagaimana saya juga tidak akan pernah lupa jasa Kamar B-315. Mengambil analogi pewayangan, Bus Trans BSD dan Kamar B-315 barangkali adalah Kawah Candradimuka bagi saya. Meskipnn “kawah”nya kecil dan tidak membakar, tetap saja adalah kawah yang memaksa saya menjadi lebih kuat dari kondisi saat sebelumnya. Sekali lagi, terima kasih Bus Trans BSD …

Jakarta, 25 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar