Laman

Minggu, 15 September 2013

Jepang: Lebih Dari Sekedar Tempat Menimba Ilmu

Mendapat kesempatan menempuh pendidikan master (S2) di negara maju seperti Jepang, adalah sebuah keberuntungan yang luar biasa bagi seorang PNS yang kebetulan berprofesi sebagai peneliti seperti saya. Sejak menempuh Restorasi Meiji, Jepang menerapkan kewajiban belajar bagi seluruh warganya, yang pada gilirannya menjadikan Jepang sebagai bangsa yang sangat dihormati, terutama dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi modern.

Itulah sebabnya, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit tanggal 27 Februari 2002, saya menatap masa depan dengan sangat optimis. Tekad terbesar dalam benak saya adalah belajar keras demi menguasai ilmu sebanyak mungkin. Adalah sebuah kesia-siaan jika dunia akademik di Jepang tidak kita manfaatkan sebagai “kawah candradimuka” dalam membangun kapasitas intelektual dan daya saing individual yang mumpuni.

Namun, tekad seperti itu tidaklah mudah untuk diwujudkan. Perbedaan budaya dan penguasaan bahasa Jepang yang minim, menjadi kendala terberat pada masa-masa awal. Meski saya menempuh studi di kelas internasional yang menggunakan bahasa Inggris, namun kebutuhan terhadap bahasa Jepang tetap tidak terelakkan. Disamping banyak sekali publikasi berbahasa Jepang, komunikasi diluar kampus seperti mencari apartemen, berbelanja dan negosiasi harga, memilih menu makanan halal di restoran, menanyakan arah jalan, atau hanya sekedar bertegur sapa dengan tetangga, mutlak harus dilakukan dalam bahasa Jepang. Selain itu, rambu-rambu di jalanan, pertokoan atau gedung-gedung pemerintah lebih dominan menggunakan huruf Hiragana, Katakana, atau bahkan Kanji. Pola-pola interaksi sosial antar individu dan nilai-nilai yang melingkupinya, juga relatif berbeda dibanding pola perkawanan, kekerabatan, atau hubungan kedinasan di Indonesia. Jika kita tidak siap menghadapi berbagai perbedaan kultur tadi, akan terbuka peluang terjadinya kegamangan psikologis, bahkan goncangan budaya (cultural shock).

Meskipun ancaman cultural shock cukup besar, namun hampir tidak ada mahasiswa Indonesia yang gagal studi karena alasan ini. Mayoritas mahasiswa Indonesia di Jepang justru sangat menikmati kehidupan di lingkungan barunya. Beberapa faktor dapat menjelaskan hal ini. Pertama, lingkungan kampus menyodorkan iklim kompetisi yang sehat dan menantang. Berkawan dan berdiskusi dengan mahasiswa dari berbagai negara, sering merangsang adrenalin kita untuk membuktikan bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang pantas dilihat dengan mata sebelah. Dan nyatanya, prestasi anak-anak “tempe” justru sering melampaui generasi “chip” Eropa, Amerika, dan Jepang sendiri. Kedua, sikap dan dukungan para Sensei (guru, professor, pembimbing) sangat positif dan egaliter. Meskipun mereka diposisikan pada tempat yang terhormat oleh mahasiswanya, namun “birokrasi kampus” yang menjadi salah satu momok bagi mahasiswa pascasarjana di Indonesia, tidak nampak di kehidupan para pendekar ilmu di Jepang. Pembimbing akademik saya, Prof. Dr. Kimura Hirotsune, salah seorang Indonesianist terkemuka, adalah seorang yang memperlakukan mahasiswanya sebagai partner dan sahabat. Di waktu-waktu libur, saya dan mahasiswa dibawah supervisi beliau, sering diajak untuk jalan-jalan menelusuri sisi-sisi lain Jepang. Bahkan setelah tidak lagi menjadi mahasiswanya, beliau masih terus memberikan info-info penting tentang perkembangan teori-teori kontemporer. Ketiga, fasilitas perpustakaan yang sedemikian lengkap dan canggih, membuat kita betah duduk hingga larut malam menelusuri dunia filsafat keilmuan.

Diluar kampus, kami juga mendapati suasana kehidupan yang sangat natural dan nyaman. Hubungan dengan international colleague adalah salah satu yang terpenting. Baik di lingkungan kampus maupun asrama, interaksi dan komunikasi lintas budaya adalah keniscayaan harian. Hal ini menjadi jalur informal bagi mahasiswa untuk berbagi pengalaman, bertukar pikiran, dan menjalin persahabatan. Sementara hubungan antar mahasiswa Indonesia di Jepang juga terjalin intensif. Forum pertemuan rutin seperti pengajian, arisan, atau rapat-rapat membahas kepetingan bersama, terlaksana melalui wadah organisasi KMI (Keluarga Muslim Indonesia), PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia), kelompok olahraga, atau wadah organisasi lainnya. Saking intensifnya pertemuan dengan sesama perantauan, sering tidak terasa bahwa kami sedang berada di belahan bumi lainnya. Satu hal yang patut diacungi dua jempol untuk mahasiswa Indonesia di Jepang, mereka tidak hanya berpikir bagaimana menyelesaikan studi, namun juga turut melakukan promosi terhadap kekayaan budaya Indonesia melalui ajang Festival Indonesia setiap tahun, serta promosi hasil riset melalui Scientific Meeting baik pada level komisariat (wilayah kerja PPI) maupun level nasional (seluruh komisariat). Keluarga Indonesia juga sering menyelenggarakan bazaar makanan dan souvenir khas Indonesia, mengikuti program home-stay (tinggal beberapa hari di rumah keluarga Jepang), memberikan ceramah tentang Indonesia kepada murud-murid SD, SMP dan SMA di Jepang, dan sebagainya.

Dinamika kehidupan dalam dan luar kampus seperti diatas telah menjadi prasyarat terpenting bagi keberhasilan dan kenyamanan duta-duta bangsa dalam prosesi ngangsu kawruh di sumur ilmu bernama Jepang. Ilmu yang diperoleh, tentu saja diharapkan dapat dikontribusikan bagi pembangunan bangsa guna memperkecil gap / ketertinggalan dari negara maju. Artinya, setelah “turun gunung” dari padepokan modern di Jepang, para cantrik atau alumni justru memikul tanggungjawab yang lebih besar untuk mendarmabaktikan ilmunya.

Bekal ilmu dari Negeri Sakura sendiri sebenarnya tidak cukup. Selain masa studi yang terbatas, perkembangan ilmu juga sangat cepat dan progresif, sementara persoalan di tengah masyarakat selalu bergerak dinamis. Oleh karena itu, hal-hal yang bersifat non-akademik juga harus dioptimalkan sebagai leverage factor transformasi perubahan dan pembangunan nasional. Salah satu hal yang dapat dijadikan sebagai leverage factor adalah semangat kebatinan bangsa Jepang terhadap nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras, loyalitas bulat, totalitas pengabdian, pantang menyerah dan rela berkorban. Sayangnya, nilai filosofis yang tertuang dalam istilah nihon kokoro ini sudah relatif berkurang di kalangan generasi muda. Gejala hedonisme mulai merebak seiring dengan lunturnya semangat kebangsaan sebagai sebuah nation-state. Westernisasi dewasa ini merupakan fenomena yang amat kental dan mudah diamati di Jepang.

Ditengah redupnya semangat nihon kokoro, Jepang tetaplah sebuah bangsa yang memiliki obsesi amat kuat untuk menjadi yang terbaik. Hal ini antara lain dapat dilihat dari pencanangan proyek-proyek ambisius seperti kereta api magnetik tercepat di dunia (Shinkansen), program ruang angkasa, dan sebagainya. Bahkan tanpa ragu-ragu, di beberapa gerbong Shinkansen terpampang dengan jelas kalimat “Ambitious Japan”. Tentu hal ini tidak dimaksudkan untuk menyombong, namun lebih sebagai upaya memotivasi seluruh lapisan masyarakat Jepang agar selalu menjadi bangsa Ichiban (nomor 1).

Satu hal lagi yang patut kita kembangkan dari budaya Jepang adalah tradisi inovasi dalam lingkungan pekerjaan. Tradisi inovasi sudah lama diterapkan di berbagai perusahaan multi nasional (MNCs) seperti Toyota dan NipponExpress. Disini, inovasi ditempuh melalui upaya pemberdayaan karyawan yang disebut Teian Seido. NipponExpress sendiri sudah menerapkan Teian Seido sejak tahun 1963, dan diperbaharui pada tahun 1990. Sementara di Toyota, setiap tahun ada sekitar 60.000-an “teian” (ide/gagasan) dari pegawai untuk perbaikan dari setiap unit kerja seperti produksi dan sebagainya. Setiap “teian” yang diterima akan dihargai dengan reward antara ¥ 500 hingga ¥ 200.000, tergantung dari nilai gagasan tersebut.

Paparan diatas menggambarkan betapa banyak pelajaran yang dapat diperoleh selama era menempuh studi di Jepang. Bukan hanya ilmu-ilmu formal dan teori-teori terbaru saja yang dapat kita rengkuh, namun juga basis filosofis yang telah mengantarkan Jepang sebagai negara Asia paling modern dan disegani. Dalam konteks hubungan diplomasi RI – Jepang yang ke-50 tahun, sudah sepantasnya jika kita semua berusaha untuk terus-menerus meningkatkan kualitas hubungan kedua bangsa demi kemajuan bersama.


(Catatan: Tulisan ini pernah disampaikan dan dimuat di Media Indonesia dalam rangka memperingati 50 Tahun hubungan Indonesia-Jepang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar