Selasa, 15 Oktober 2013

Inovasi dan Isu Mobil Murah




Belum lama ini, masyarakat diramaikan dengan berita tentang mobil murah. Mobil murah ini diyakini sebagai sebuah inovasi yang memungkinkan kelompok ekonomi menengah kebawah memiliki mobil, ditengah merosotnya nilai tukar rupiah, naiknya inflasi, dan mahalnya harga-harga barang apalagi yang mengandung muatan impor. Hak orang untuk memiliki mobil dan menggunakan jalan raya yang dibangun dengan pajak rakyat, memang tidak bisa ditahan. Dan dengan alasan ini, tidak mungkin kita menahan arus produksi massal mobil murah.

Namun, apakah benar ada mobil murah itu? Dan apakah benar mobil murah itu adalah sebuah inovasi? Bagi saya, inovasi itu adalah menghasilkan barang yang sama secara kualitas dan kuantitas dengan biaya yang lebih sedikit; atau memanfaatkan input yang sama namun menghasilkan output/outcomes yang lebih banyak atau lebih baik; atau menghasilkan barang yang sama secara kualitas dan kuantitas, sama pula biayanya, namun dengan tampilan yang berbeda (lebih baik tentunya), atau dengan nilai tambah yang berbeda (lebih mudah diperoleh, lebih banyak outlet pelayanan, masa garansi lebih lama, dan sebagainya).

Nah, dengan menggunakan kriteris inovasi yang sederhana seperti itu, mobil murah seperti Agya dan Ayla itu agak sulit dikatakan sebagai sebuah inovasi. Harga yang murah ternyata harus dibayar dengan teknologi yang lebih rendah, fitur yang lebih sedikit, dan kualitas yang lebih buruk. Seorang tetangga saya bercerita bahwa dia baru saja melihat mobil murah di dealer Toyota. Kesan pertama dia, mobil murah tadi jauh sekali dibandingkan mobil yang sebenarnya masuk kelas yang sama seperti Avanza. Dia mengilustrasikan jok Avanza ibarat spring bed, sedangkan jok mobil murah seperti kasur busa. Begitu pula komponen dashboard, kaca spion, dan lain-lain, tidak menimbulkan ketertarikan karena rendahnya kadar inovasi yang dibawa oleh mobil murah ini.

Jika demikian adanya, maka mobil murah ini justru merupakan produksi yang jauh dari semangat inovasi. Maka, tidak aneh jika banyak pihak yang sinis dengan kehadiran mobil murah, yang dinilai semata-mata adalah strategi dagang yang berorientasi profit maximization belaka. Jika memang pemerintah beserta produsen mobil murah benar-benar ingin menciptakan inovasi dalam sistem transportasi publik, maka semestinya lebih fokus membangun MRT yang murah (terjangkau), berkualitas, mampu mengangkut penumpang dalam jumlah fantastis, serta menjadi solusi nyata bagi kemacetan lalu lintas. Dan memang, logikanya mobil murah akan semakin membuat problem kemacetan tambah parah, perilaku konsumtif makin menjadi-jadi, dan daftar korban akibat kecelakaan semakin panjang.

Masih mending kalau mobil murah tadi adalah 100 persen komponen lokal dan 100 persen produksi anak negeri, sehingga menjadi simbol kebangkitan nasional. Dalam hal ini, ada national dignity karena kemandirian bangsa menciptakan brand nasional. Dan jika setiap warga negara memiliki kesadaran yang sama dan kebanggaan yang besar terhadap brand nasional tadi, dengan hanya membeli produk dalam negeri, bukan tidak mungkin produk-produk impor akan mati di negeri ini, atau minimal dapat menurunkan standar harga mereka. Brand nasional ini sekaligus akan menjadi pendorong menguatnya daya saing bangsa yang selama ini terengah-engah dalam percaturan negara-negara ASEAN sekalipun. Namun jika ternyata mobil murah inipun tidak menguatkan semangat kebangsaan, apa lagi yang diharapkan dari produk seperti ini?

Kesimpulannya, jika murahnya harga mobil dianggap sebagai nilai tambah, maka nilai tambah ini tidak dapat dinilai sebagai inovasi jika tidak dibarengi dengan nilai tambah yang lain, bahkan mengurangi nilai tambah pada aspek yang lainnya. Istilah orang Jawa, ana rega ana rupa, yang kurang lebih artinya ada harga ada ada wujud (yang berkualitas). Pernyataan ini sesungguhnya adalah sindiran bahwa inovasi itu tidak pernah ada, nilai tambah baru akan selalu diikuti dengan penyesuaian tarif atau harga.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah inovasi selalu mahal? Secara logika iya, karena proses menghasilkan nilai tambah dalam sebuah produk atau jasa harus melalui sebuah intellectual exercise berupa R & D yang sering membutuhkan dana tidak sedikit. Namun ketika inovasi sudah menjadi proses yang melekat sekaligus kebutuhan dalam aktivitas sebuah organisasi/perusahaan, maka ongkos tadi tentu dapat diminimalisir. Artinya, inovasi tidak lagi menjadi sebuah agenda sesaat untuk menghasilkan sesuatu yang besar, namun lebih agenda harian untuk menyempurnakan sesuatu secara berkelanjutan meski bukan sebuah lompatan besar.

Hal terakhir yang ingin saya garisbawahi, inovasi mestilah membawa perbaikan baik berhubungan dengan bidang inovasi itu sendiri atau bidang terkait lainnya. Inovasi yang saya maksudkan disini adalah inovasi yang tidak menimbulkan keburukan bagi bidang atau pihak lain. Sebagai contoh, jika keberadaan mobil murah justru kontra produktif dengan kebijakan MRT atau kebijakan lain terkait upaya mengatasi kemacetan, maka ini adalah inovasi yang tidak membawa kebaikan. Sebagaimana ditulis oleh Hartly (2008), “The Innovation Lanscape for Public Service Organizations“, dalam Jean Hartly, C. Donaldson, and C. Wallace (ed.), Managing to Improve Public Services, UK: Cambridge University Press, ada empat bentuk relasi inovasi dengan perbaikan, yakni: 1) tanpa perbaikan tanpa inovasi; 2) perbaikan tanpa inovasi; 3) inovasi tanpa perbaikan; dan 4) inovasi dengan perbaikan.

Berdasarkan framework yang dikembangkan Heart tersebut, bisa jadi kasus mobil murah masuk kategori ke-3 yakni inovasi tanpa perbaikan, sementara yang dituju oleh semangat menemukan inovasi adalah terjadinya perbaikan (kategori ke-4).

Jakarta, 16 Oktober 2013

Tidak ada komentar: