Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Ketika Satu Inovasi Saja Belum Cukup ...


Hari Jum’at, 24 Januari 2014 lalu saya mengalami persitiwa yang sangat melelahkan. Perjalanan Jakarta-Bandung yang normalnya hanya perlu tiga jam, harus saya tempuh hingga 10 jam lebih gara-gara ruas tol Cipularang Km. 72 ambles. Berangkat dari kantor menjelang jam 15 sore, baru masuk Bandung jam 01 lebih dini hari. Arus lalu lintas terpaksa dialihkan kearah Cikampek, yang dulu menjadi jalur utama sebelum adanya tol Cipularang.
 
Disinilah terbersit pemikiran dalam benak saya bahwa ternyata pembangunan tol Cipularang itu adalah sebuah inovasi besar karya anak bangsa. Bayangkan saja, waktu tempuh Jakarta-Bandung selama 3 jam yang selama ini kita anggap normal itu, sesungguhnya adalah waktu yang sangat cepat. Buktinya, ketika ada masalah dengan jalan tol ini dan arus lalu lintas dikembalikan ke jalur sebelumnya, waktu yang dibutuhkan menjadi 10 jam lebih. Artinya, jalan tol ini mampu memperpendek waktu tempuh sebanyak 7 jam untuk setiap kendaraan. Jika waktu tempuh 7 jam itu membutuhkan bahan bakar 10 liter saja, dan harga per liter Premium Rp. 6.500, maka setiap kendaraan harus mengeluarkan biaya ekstra sebesar Rp. 65.000. Dan jika dalam 1 hari ada 1 juta mobil melintas jalur Cipularang-Cikampek kearah Bandung, berarti ada butuh dana total Rp. 65 milyar. Inilah sebuah kerugian besar bangsa Indoensia yang dapat dicegah dengan adanya inovasi bernama Tol Cipularang.
 
Selain itu, Tol Cipularang juga dapat dikatakan sebagai sebuah inovasi karena mampu berpikir jitu tentang potensi masalah yang muncul di masa depan, kemudian memberi solusi yang jitu pula. Pada saat diresmikan tahun 2005, Tol Cipularang sebenarnya belum terlalu dibutuhkan oleh pengguna jalan. Dengan alternatif melalui Puncak atau Purwakarta, perjalanan Bandung-Jakarta dan sebaliknya masih dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 4 jam. Namun dalam waktu tidak sampai 10 tahun (awal 2014 sekarang ini), tidak dapat terbayangkan bagaimana kapasitas atau daya dukung (carrying capacity) kedua jalur ini. Tanpa adanya Cipularang, sangat boleh jadi akan terjadi kelumpuhan di kedua arus utama ini, yang pada gilirannya mengakibatkan hubungan bisnis, sosial, maupun urusan pemerintahan pada koridor Bandung-Jakarta terhambat. Ini berarti pula bahwa Cipularang mampu menciptakan efisiensi di berbagai bidang secara nasional. Tanpa adanya Cipularang, boleh jadi pula produsen dan distributor kendaraan roda empat atau lebih tidak dapat meraup profit sebesar saat ini. Dan yang lebih serius lagi, tanpa Cipularang boleh jadi Jakarta sudah menjadi kota yang sangat tidak layak untuk aktivitas kemanusiaan, mengingat Bandung dan Bodetabek adalah daerah penyangga (hinterland) ibukota. Ketidakmampuan daerah penyangga untuk turut mengurangi beban ibukota akan menyebabkan ibukota tadi lumpuh dan kehilangan segenap energinya.
 
Meskipun demikian, inovasi bernama jalan tol ternyata juga tidak lepas dari kelemahan mendasar. Saat terjadi ambles di Km 72 ruas Cipularang tadi, tidak ada tindakan kontingensi yang dapat meminimalisir dampak buruknya. Pengelola jalan tol seperti gagap dan kehilangan akal dalam mengatasi situasi. Satu-satunya pilihan hanyalah memindahkan arus ke Cikampek. Saking gagapnya, tidak ada satupun petugas Kepolisian maupun PR. Jasa Marga yang turut mengatur jalur yang sedemikian parah kemacetannya. Kesan pembiaranpun tidak dapat terelakkan. Saya lantas berandai-andai: jika saya adalah Direktur Utama PT. Jasa Marga, dalam situasi seperti itu saya akan gratiskan pembayaran tol, sekaligus perintahkan seluruh staf untuk turut mengatur lalu lintas agar tidak semakin semerawut. Saya akan kerahkan petugas untuk menghimbau para pengguna jalan untuk sabar, untuk tidak membuang sampah di jalan tol, serta memberi berbagai informasi yang dibutuhkan para pengendara.
 
Anehnya, penerapan contra-flow sebagai model pengurangan kemacetan yang sudah lazim di ruas tol dalam kota Jakarta, ternyata baru bisa dilakukan sehari sebelumnya, seolah cara yang amat mudah ini harus dibahas dan diputuskan dalam sebuah rapat panjang. Keberadaan jalan tol juga terkesan meninabobokan otoritas yang menangani infrastruktur darat, sehingga tidak ada lagi upaya memperbaiki infrastruktur non-tol (arteri). Pandangan visioner yang dulu melatarbelakangi pembangunan Cipularang, seperti hilang begitu saja, sehingga tidak nampak ada kebijakan antisipatif tentang berbagai kemungkinan terburuk dimasa depan. Kasus amblesnya ruas di Km 72 kemaren adalah bukti paling valid ketiadaan antisipasi yang memadai dari pihak terkait, baik PT, Jasa Marga, Kementerian PU, maupun Kementerian Perhubungan.
 
Kasus diatas memberi ilustrasi bahwa inovasi saja tidaklah cukup. Inovasi perlu dipelihara dan dikembangkan terus-menerus; sebuah inovasi tidak boleh menghentikan inovasi lainnya. Satu inovasi tidak mungkin mungkin mampu menyelesaikan masalah pada waktu-waktu yang berbeda. Sebagai contoh, meski pembangunan jalan tol adalah sebuah inovasi, namun untuk kasus Jakarta saat ini, pembangunan tol dalam kota justru akan semakin memacu kemacetan, bukannya mengurai kemacetan. Jakarta membutuhkan inovasi yang lain. Permasalahan yang berbeda dalam konteks yang berbeda, tentu saja memerlukan inovasi yang berbeda pula. Dalam konteks Jakarta saat ini, pembangunan sub-way sebagai bagian dari MRT adalah sebuah inovasi. Namun 50 tahun mendatang, boleh jadi pembangunan sub-way harus ditinggalkan dan dicari inovasi-inovasi lain yang lebih baik dan lebih tepat.
 
Itulah karakter inovasi. Karena inti inovasi adalah perubahan yang lebih baik dan memberi solusi kreatif yang bermanfaat, maka ia tidak mau diberi sifat konstan dan stagnan. Inovasi ingin terus berubah, berkembang, dan berinovasi tiada henti. Itulah DNA inovasi, dalam bidang apapun!
 
Ditengah kemacetan tol Tangerang-Jakarta Km 07
Jakarta, 29 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar