Laman

Senin, 20 Januari 2014

Sulitnya Menegakkan Integritas


Ini kisah tentang Kerajaan Lembah Makmur. Sang Raja, Kanjeng Sunan Agung Dewantara, terkenal sebagai seorang cerdik cendikia dan sosok seorang pemimpin yang lebih memikirkan rakyatnya dibanding diri dan keluarganya. Tidak layaknya raja-raja yang gila sembah dan gila hormat, dia adalah raja yang memperjuangkan kesejajaran status sosial. Kehormatan dan penghormatan bagi seseorang, bagi Sang Raja, tidaklah ditentukan oleh pangkat, jabatan, kekayaan, atau tingginya pendidikan, melainkan seberapa besar orang tersebut telah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain dan organisasinya. Kangjeng Sunan adalah juga seorang yang berpandangan visioner serta memiliki semangat pembaharuan yang luar biasa. Apapun yang terjadi pada masa kepemimpinan Sri Baginda Astana Rajasa dan para pendahulu lainnya, dirombak oleh Kanjeng Sunan Agung Dewantara. Jumlah menteri dan adipati dikurangi untuk membuat span of control menjadi lebih efektif. Para menteri yang sering menerima upeti dan gratifikasi, atau para adipati yang dinilai tidak memiliki kompetensi dan prestasi, juga dilengserkan, diganti oleh para ksatria muda yang lebih menjanjikan dan lebih bertenaga. 

Sang Raja menginginkan agar kerajaan Lembah Makmur disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga, sekaligus mampu mensejahterakan rakyatnya melalui program-program yang lebih terfokus dan efisien. Untuk itu, Sang Raja menyadari betul bahwa diantara para pembantunya harus memiliki sinergitas bukan hanya dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, namun juga dalam hal visi, orientasi, serta sistem nilai yang mendasari tugas-tugas tersebut. 

Untuk membangun soliditas tim tadi, Sang Raja mengajak para petinggi kerajaan untuk berkumpul di tempat yang cukup terasing di batas luar wilayah kerajaan. Aktivitas kerajaan untuk sementara waktu dijalankan para punggawa di level menengah dan bawah. Raja sadar betul bahwa kesempatan berkumpul antar pejabat tinggi ini sangat penting, bukan hanya untuk mempererat relasi inter-personal antar pejabat, namun lebih dari itu untuk menjamin bahwa apapun yang dilakukan para menteri di kerajaan tadi, benar-benar mengarah pada pemikiran besar Sang Raja. Raja juga ingin menggali intangible assets dari para pembantunya sebagai energi potensial untuk mempercepat transformasi kerajaan dari yang bersifat paternalistik menjadi berbasis kompetensi, dari karakter klasik menjadi institusi yang jauh lebih modern. 

Maka, Raja-pun rela meninggalkan istananya demi dapat memimpin langsung pertemuan tersebut. Raja sadar betul bahwa dia tidak akan selamanya menduduki tahtanya. Boleh jadi dia akan memimpin kerajaan hingga tua renta, namun siapa yang dapat memastikan usia seseorang? Itulah sebabnya, Sang Raja berprinsip bahwa selagi masih ada kesempatan untuk berbuat baik bagi selain dirinya sendiri, kesempatan itu harus digunakan sebaik-baiknya. Sang Rajapun berprinsip bahwa dia harus memberi peninggalan yang bermakna bagi penerusnya kelak, bagi rakyatnya, serta bagi anak-cucu-cicitnya. Bagi beliau, hidup tidak lain adalah sebuah pengabdian untuk sesama melalui upaya memberi nilai tambah dalam segala segi kehidupan. 

Dengan dilandasi filosofi seperti ini, agenda pertemuan disusun secara rinci dan ketat. Dari pagi hingga tengah malam, seluruh menteri dan adipati haruslah mengikutinya secara penuh dan aktif. Bahkan, Raja menambahkan agenda baru diantara agenda yang sudah demikian padat, dengan harapan dapat dilaksanakan disela-sela waktu yang ada. Ini menunjukkan betapa beliau sangat menghargai waktu dan ingin memanfaatkan untuk menghasilkan sebanyak mungkin hal positif bagi kerajaannya.  

Untunglah, para menteri dan adipatinya menunjukkan loyalitas dan semangat yang tinggi untuk mendukung apapun pilihan kebijakan Sang Raja. Mereka seperti berlomba menjadi yang terbaik di mata Sang Raja. Mereka aktif dalam setiap aktivitas, bahkan cenderung terlalu aktif. Mereka menunjukkan optimisme yang begitu kuat melalui pernyataan-pernyataan positif dari mulut mereka. Singkatnya, pertemuan tadi berhasil merumuskan nilai-nilai dan visi baru bagi kerajaan. Tujuan Raja berhasil dengan gemilang untuk mengikat komitmen para pembantunya dalam jalinan konsensus mengenai visi dan perangkat nilai-nilai tadi. Mereka semua sepakat bulat untuk menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme dalam menjalankan amanah. Bahkan di akhir acara, Sang Raja menegaskan kembali komitmen para pembantunya dengan menanyakan, apakah mereka semua siap untuk melaksanakan kesepakatan bersama ini? Tak diragukan lagi, suara gemuruh menjawab: “siappppp” … 

Sayangnya, hasil yang sesuai target serta proses yang ketat dan panjang tadi menjadikan agenda tambahan tidak dapat disisipkan diantara jadual pokok. Maka, Sang Raja yang memang memiliki totalitas terhadap tugasnya itu, menyediakan diri untuk membahas agenda tambahan setelah penutupan acara pokok. Nah, disinilah ujian terhadap integritas, komitmen, dan kesediaan berkorban terhadap organisasi dipertaruhkan. Kebetulan sekali, pada hari penutupan acara itu ada kabar bahwa sebagian wilayah Kotaraja terendam air akibat anomali cuaca yang mengakibatkan hujan turun selama beberapa hari terakhir. Rumah beberapa menteri dan adipatipun tak lepas dari banjir, dari ketinggian semata kaki hingga selutut orang dewasa. Atas dasar rumahnya kemasukan air inilah, para menteri tadi menginginkan agenda tambahan dibatalkan. 

Ketika mengetahui kepastian bahwa agenda dibatalkan itulah, seketika muncul renungan dan pertanyaan dalam hati: “apa sesungguhnya makna integritas itu?”. Setelah berhari-hari berjuang merumuskan nilai-nilai organisasi, begitu mudahkah melupakannya hanya dengan alasan rumah sebagian orang kemasukan air? Bukankah agenda tambahan itu hanya akan dilakukan selama 1 jam saja, mengapa harus menunda pekerjaan dan melupakan prioritas organisasi? Bukankah kondisi rumah yang kebanjiran itu tidak dapat diatasi dengan waktu 1 jam saja? Bukankah 1 jam penyelesaian pekerjaan lebih berharga dibanding 1 jam menunggui banjir? Kalaupun akan ada dispensasi bagi beberapa orang yang kebanjiran, bukankah agenda organisasi tetap harus berjalan tanpa tergantung segelintir orang? 

Terus terang, pada akhirnya hanya keraguanlah yang merebak bahwa aktivitas seminggu diluar Kotaraja tadi akan menjadi titik awal kebangkitan kerajaan. Sebaliknya, justru muncul benih-benih persepsi bahwa hal itu hanyalah kesia-siaan belaka. Sangat boleh jadi semangat status quo dan business as usual belum terkikis habis dari mindset para petinggi kerajaan. Kejadian di ujung acara tadi seolah menjadi barometer bahwa konsistensi dan sikap istiqamah masihlah menjadi barang termahal di Kerajaan Lembah Makmur, bahkan juga di kerajaan-kerajaan lainnya. Integritas sungguh sebuah kata yang indah dan mudah untuk diucapkan, namun teramat sulit untuk dijalankan. Faktanya, hipokrisi masih bergentayangan di ruang-ruang publik maupun privat, mengalahkan dedikasi, integritas, dan totalitas atas tanggungjawab jabatan.  

Meskipun demikian, semoga saja insiatif Kanjeng Sunan Agung Dewantara tidak terlalu sia-sia. Diantara kuatnya inkonsistensi, pastilah masih tersisa integritas, komitmen, dan pengabdian murni dari sebagian para menteri dan adipatinya … 

Diatas Tol Tangerang-Jakarta, 20 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar