Sabtu, 22 Februari 2014

Simplifikasi Sebagai Sebuah Inovasi



Sejak lama saya punya keyakinan bahwa inovasi tidak selamanya harus sesuatu yang rumit, sulit, kompleks, njelimet, atau banyak rahasia yang hanya diketahui oleh Doktor lulusan luar negeri. Bagi saya, inovasi justru sebuah upaya mempermudah sesuatu yang susah, memperpendek ssesuatu yang panjang, atau mempercepat sesuatu yang lambat. Saya juga menyampaikan sesuatu yang ilmiah dengan bahasa populer yang gampang dipahami banyak orang adalah sebuah keterampilan yang tidak banyak dikuasai para pakar dan ilmuwan. Bagi saya, sistem yang rigid atau teknologi yang tidak aplikatif sehingga tidak banyak orang bisa mengakses dan memanfaatkannya, hanya membuktikan bahwa sistem atau teknologi tadi memiliki daya inovasi yang rendah.

Itulah sebabnya, secara pribadi saya katakan bahwa tidak semua perubahan atau kebaruan adalah inovasi. Suatu perubahan atau kebaruan membutuhkan kriteria khusus untuk disebut sebagai inovasi, beberapa diantaranya yang saya ajukan meliputi: 1) ada tidaknya dampak positif atau kemanfaatan dari suatu inisiatif perubahan/pembaruan; 2) mampu tidaknya inisiasi perubahan memberi solusi terhadap masalah yang ada; 3) adanya kesinambungan, dalam arti tidak tergantung pada inisiator/konseptornya; dan 4) memiliki kompatibilitas dengan sistem diluar dirinya, atau tidak membentur/melanggar sistem yang telah ada.

Terkait dengan kriteria diatas terutama yang pertama dan kedua, maka simplifikasi sebuah sistem atau penyederhanaan teknologi sangat mungkin menjadi inovasi besar. Sebagai contoh, dalam pelayanan publik terdapat banyak sekali dokumen administratif seperti KTP. Kartu Kuning (untuk pencari kerja), SKCK (surat keterangan catatan kepolisian), Kartu Askes, dan lain-lain. Seandainya keempat layanan administratif tadi bisa disimplifikasi menjadi satu layanan saja, tentu akan menjadi lompatan besar dalam sistem administrasi negara kita. Selain menghemat waktu dan biaya bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan seperti itu, juga akan mengurangi fungsi pemerintahan yang pada gilirannya dapat merampingkan struktur birokrasi yang gemuk dan lamban. Perilaku koruptif dalam bentuk rent-seeking pungutan (resmi maupun tidak resmi) dari setiap jenis layanan juga akan bisa dihilangkan. Lebih dari itu semua, integrasi sub-sub sistem kependudukan, ketenagakerjaan, layanan asuransi kesehatan, dan layanan kepolisian dapat terwujud yang didukung oleh data yang lebih akurat.

Simplifikasi dan integrasi sistem juga bisa diterapkan pada kasus banyaknya laporan yang harus dibuat oleh Pemerintah Daerah, dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertaungg Jawaban (LKPJ), Informasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPPD), Laporan Keuangan Pemerintah Dareah (LKPD), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), hingga Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD). Itupun masih ada kemungkinan permintaan laporan dari kementerian teknis tertentu atau laporan terkait peristiwa tertentu atau kebutuhan khusus. Berbagai laporan tadi, tak pelak lagi menyita energi yang teramat besar dari jajaran perangkat daerah beserta para pejabatnya, sehingga banyak waktu dan sumber daya yang tersita hanya untuk urusan teknis administratif. Ini jelas sebuah kerugian besar bagi upaya pelayanan publik yang lebih baik. Oleh karena itu, berbagai peraturan yang sifatnya rutin (bulanan, semesteran, tahunan) dan banyak kesamaan substansi yang dilaporkan, lebih baik dilebur menjadi satu. Satu laporan yang bisa berfungsi untuk memenuhi banyak tujuan (multi purposes reporting system) atau memenuhi kebutuhan banyak instansi (multi users reporting system) ini, adalah kebutuhan inovasi terbesar dalam sistem pelaporan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia saat ini.

Tentu masih banyak contoh yang bisa disimplifikasi untuk tujuan meningkatkan efisiensi proses dan sumber daya, sekaligus meningkatkan efektivitas hasil pelaksanaan fungsi pemerintahan tertentu. Struktur kelembagaan yang berhirarkhi piramidal dan jumlah institusi yang banyak sehingga menimbulkan overlap dan duplikasi uraian tugas, adalah salah satu peluang besar untuk dilakukannya simplifikasi kelembagaan. Banyaknya SOP (standard operating procedure) di sebuah instansi adalah juga ruang ideal untuk terjadinya simplifikasi business process. Banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh banyak lembaga, adalah contoh lain untuk ditempuhnya simplifikasi regulasi. Bahkan proyek galian yang bertubi-tubi dilakukan oleh PLN, PDAM, Telkom, dan PU pada lokasi yang sama dan berulang setiap tahun, juga memerlukan simplifikasi dalam sistem perencanaan dan koordinasi kegiatan.

Singkatnya, simplifikasi harus menjadi mental model baru bagi seluruh pejabat publik dari tingkat tertinggi hingga terendah di seluruh wilayah Indonesia. Sindiran masyarakat bahwa pemerintah selalu berprinsip “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah”, harus dipatahkan secara nyata dan segera. Setelah puluhan tahun kita terkungkung dalam budaya birokrasi paternalistik yang banyak dilayani, masihkah kita tidak tergerak untuk bertransformasi menjadi birokrasi yang lebih egaliter dan melayani?

Baiti Jannati di Villa Melati Mas memanfaatkan hujan seharian.
Serpong, 22 Februari 2014

Tidak ada komentar: