Laman

Selasa, 29 April 2014

Pembagian Urusan Sebagai Akar Masalah Desentralisasi


Masalah terbesar dalam kebijakan desentralisasi dan format hubungan pusat-daerah di Indonesia mungkin sekali adalah tidak jelasnya batas-batas urusan dan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Boleh jadi mencari dan menetapkan batas-batas urusan yang jelas dan tegas adalah sesuatu hal yang mustahil, namun boleh jadi pula para pengambil kebijakan di negeri ini belum mampu menemukan dan merumuskan batas-batas tersebut.  

Padahal, esensi desentralisasi adalah penyerahan sebagian urusan kepada daerah otonom, lengkap dengan infrastruktur pendukungnya, baik sarana, personalia, maupun pembiayaan. Oleh karena itu, belum jelasnya pembagian urusan akan berpotensi menimbulkan permasalahan lanjutan seperti duplikasi program, miss-koordinasi pelaksanaan program, kelemahan dalam penetapan indikator kinerja, kekeliruan dalam alokasi anggaran, atau inefisiensi penggunaan sumber daya.  

Kalaupun saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan, namun masih lebih merupakan pedoman umum dan belum benar-benar membagi secara konkrit urusan antar level pemerintahan. Justru permasalahan yang sering timbul sebagaimana disebutkan diatas adalah permasalahan yang terkait dengan urusan konkuren yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh setiap tingkatan pemerintahan ini. Artinya, untuk urusan absolut pemerintah pusat yang tidak terbagi dengan pemerintah daerah, relatif tidak ada masalah yang berarti. Inilah permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan desentralisasi. 

Selain permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan asas atau urusan desentralisasi, masih ada lagi permasalahan yang terkait dengan pelaksanaan asas atau urusan dekonsentrasi. Permasalahan hubungan pusat – daerah terkait implementasi asas dekonsentrasi adalah konsekuensi logis dari belum jelasnya batas-batas pembagian urusan pusat dan urusan yang didesentralisasi kepada daerah. Jika urusan (konkuren) pusat belum teridentifikasi dengan konkrit, bagaimana bisa menentukan urusan pusat yang akan dilaksanakan oleh perangkat dekonsentrasinya secara konkrit pula? Maka, menjadi jelaslah mengapa program dekonsentrasi hingga saat ini diindikasikan masih banyak duplikasi dan tumpang tindih dengan urusan daerah. Situasi ini tentu sangat berlawanan dengan semangat penyelenggaraan dekonsentrasi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan, menjaga kedekatan aparat pusat kepada rakyat di daerah, serta menjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. 

Sedikit uraian diatas memberi ilustrasi bahwa pembagian urusan merupakan akar masalah dalam sistem desentralisasi di Indonesia. Jika masalah ini bisa dikurangi, maka cukup banyak masalah-masalah turunan yang juga bisa diselesaikan. Untuk itu, dalam perspektif revisi UU No. 32/2004 perlu diberi perhatian serius untuk memperbaiki aspek pembagian urusan ini. Untunglah, draft UU Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32/2004 khususnya pada pasal 25 telah mengantisipasi hal ini, misalnya dengan mengatur klasifikasi urusan menjadi urusan absolut pemerintah pusat, urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar, urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar, serta urusan yang bersifat pilihan. Selain itu, pada pasal 26 dan 27 telah ditetapkan batas-batas kewenangan pusat dan daerah. Pasal 26 memberi 4 kewenangan kepada pemerintah pusat dalam hal urusan konkuren, yakni: 1) menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan yang menjadi kewenangan daerah, 2) melaksanakan fasilitasi dalam penyelenggaraan urusan yang menjadi kewenangan daerah, 3) melaksanakan supervise, monitoring dan evaluasi terhadap urusan yang menjadi kewenangan daerah, serta 4) melaksanakan urusan pemerintahan yang bersifat strategis nasional dan internasional. Sedangkan pada pasal 27 diatur tentang kewenangan provinsi dalam hal urusan konkuren yakni mengatur dan mengurus urusan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota. 

Meskipun sudah lebih maju dibanding UU sebelumnya, namun pengaturan seperti itu masih terkesan normatif dan formalitas belaka. Belum ada batas-batas yang lebih terinci dan terukur, sehingga membuka terjadinya problem yang sama di kemudian hari. Untuk itu, pengalaman Perancis dapat dijadikan sebagai benchmark, dimana untuk meningkatkan kejelasan batas-batas fungsi/wewenang dalam urusan dekonsentrasi, Perancis menetapkan adanya 3 (tiga) perangkat dekonsentrasi yang bertugas menjalankan kewenangan kementerian di tingkat provinsi, yakni pejabat administrasi (administrative corps), struktur lokal untuk pelaksanaan fungsi pemerintah pusat (local structures for implementation), serta aparat pengawasan umum (general inspection) (Bizet, 2002: 479). Dengan kata lain, Perancis lebih menggunakan pendekatan perangkat dekonsentrasi yang limitatif, dan tidak memulai dari pembagian urusan dekonsentrasinya. Setelah ditetapkan perangkat tadi, barulah diberikan program-program dekonsentrasinya. Dalam hal ini, Bizet (2002: 478) menyebutkan ada delapan program atau urusan dekonsentrasi yang diimplementasikan sejak tahun 1983-1986, yakni planning, training and education, urban planning, health and social action, ports and rivers, school transport, public teaching, dan culture  

Tentu masih banyak sumber-sumber referensi untuk dijadikan sebagai lesson learned untuk menata kembali soal pembagian urusan ini. Issu ini hanyalah satu masalah kecil dalam samudera masalah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan khususnya dalam hubungan pusat-daerah. Paling tidak, dengan menyelesaikan satu issu ini diharapkan akan menjadi north star yang memberi arah dan panduan untuk menyelesaikan masalah lain sekaligus mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi.  

Jakarta, 29 April 2014

Sabtu, 19 April 2014

Golput dan Urgensi Pemilu Presiden-Legislatif Serentak



Beberapa saat setelah Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tanggal 9 April 2014 selesai, cuaca politik Indonesia berubah seketika. Karena tidak satupun parpol yang mencapai ambang batas minimal untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20%, maka terjadilah komunikasi dan negosiasi antar parpol yang mengarah pada terbentuknya koalisi. Setiap partai tidak dapat mempertahankan egonya masing-amsing dengan mengklaim memiliki segmen konstituen fanatic tertentu. Seandainyapun mereka mencapai raihan suara 19,9%, tetap saja mereka tidak bisa mengajukan kandidat presiden dan wakilnya secara mandiri, dan membutuhkan bantuan berupa “sumbangan suara” dari partai lain.

Singkatnya, hasil Pileg menjadi basis tawar menawar antar parpol. Disinilah, partai-partai gurem yakni partai yang memperoleh suara minimal untuk masuk parlemen, menjadi sangat penting dalam menetapkan strategi politik sebuah partai. Partai-partai kecil inipun bisa menjadi kuda hitam yang akan menentukan peta politik yang akan terbangun. Tidak aneh jika partai-partai gurem ini bisa berlaku “jual mahal”, khususnya jika ada tawaran koalisi dari beberapa partai yang lain. Nah, dalam dinamika tawar-menawar tasi, segala kemungkinan bisa terjadi. Kepentingan politik untuk meraih kekuasaan nampaknya menjadi satu-satunya pertimbangan bagi seluruh partai yang ada. Dan salah satu kemungkinan dari praktek bargaining tadi adalah terbukanya peluang jual beli kekuasaan, atau sering dikenal dengan istilah “politik dagang sapi”. Konkritnya, partai kecil bersedia menjalin koalisi dengan imbalan tertentu, misalnya mendapat “jatah” satu menteri dalam susunan kabinet jika koalisi ini nantinya memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres).

Dalam konstelasi membangun koalisi itulah, jumlah raihan suara pemilih pada Pileg akan sangat menentukan “harga” sebuah partai. Semakin banyak suara yang diraih oleh sebuah partai, semakin besar pula kekuatan tawar-menawarnya. Dan semakin dalam pembicaraan tentang koalisi tadi, semakin jauhlah mereka dari konstituen yang memilihnya saat Pileg. Topik pembicaraan tidak lagi tentang bagaimana mensejahterakan rakyat, membangun daya saing bangsa, memperkuat partisipasi publik, dan seterusnya, melainkan bagaimana memenangkan Pilpres. Suara pemilih benar-benar telah berubah bentuk dari amanah suci yang harus ditunaikan menjadi komoditas untuk menentukan nasib parpol dan para elitenya di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Situasi seperti inilah yang sedikit menghibur golongan putih, karena suaranya tidak dipelintir atau dimanipulasi menjadi kepentingan pragmatis. Sebagai seorang golput, saya merasakan hal itu dan merasa bersyukur bahwa jika ada kerusakan dalam sistem politik di negeri ini, saya merasa tidak turut bertanggungjawab. Sebab, golput pada hakekatnya adalah sebuah pilihan yang harus dihargai dan kemudian dicarikan strategi kebijakan agar pilihan ini menjadi lebih positif dalam koridor konstitusionalisme. Jika tidak disebut sebagai protes senyap (silent protest), maka golput harus dipersepsikan sebagai pilihan dan aspirasi untuk memperbaiki negeri dengan mekanisme yang berbeda. Saya sendiri memilih menjadi golput karena merasa tidak ada satupun visi dan program partai maupun para calegnya yang sesuai dengan aspirasi saya. Ibarat hukum ekonomi, mereka menawarkan barang dagangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan saya, sehingga tidak terjadi transaksi antara saya dengan mereka.

Dengan berbagai pertimbangan situasional seperti diatas, saya sangat mendukung penyelenggaraan Pileg dan Pilpres secara serentak. Dengan sistem baru yang akan dimulai 2019 ini, paling tidak akan dapat dilakukan penghematan waktu, tenaga, sarana, dan biaya yang luar biasa. Namun manfaat terbesar yang dapat diraih menurut saya adalah kemungkinan hilang atau berkurangnya politik tawar menawar secara signifikan. Artinya, pengajuan calon presiden sudah dapat dilakukan bersama-sama dengan calon legislatif, sehingga setiap partai tidak perlu repot-repot melakukan blusukan, kasak-kusuk, atau berbagai maneuver untuk menetapkan siapa yang akan diusung sebagai calon presiden dan wakilnya. Calon pemilih pun jadi lebih tenang karena suaranya hanya akan berdampak berapa kandidat dari sebuah parpol yang akan duduk di lembaga legislatif, tanpa khawatir akan dijadikan sebagai barang dagangan untuk mengatur strategi politik partai tertentu.

Meskipun demikian, ada juga resiko yang bisa muncul dari kebijakan ini, yakni menyangkut pertanyaan apa alas hak dari sebuah partai untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden. Jika saat ini berlaku sistem presidential threshold para periode pemilu yang sama, apakah raihan parpol pada Pileg 2014 akan ditetapkan sebagai presidential threshold untuk Pilpres 2019, ataukah akan muncul kebijakan yang berbeda sama sekali? Ini yang perlu kita tunggu dan pikirkan bersama-sama. Yang terpenting adalah ide dasarnya bahwa suara rakyat harus dijaga kemurniannya sebagai sebuah mandat terttinggi untuk diperjuangkan menjadi kebijakan, dan bukan sebagai batu loncatan meraih kuasa. Selain itu, suara golput harus direspon dengan kebijakan yang positif akan mereka mau memberikan suaranya pada pemilu berikutnya bukan karena tekanan atau keterpaksaan, namun karena kesadaran bahwa sistem yang ada sudah semakin baik dan suaranya akan semakin memperbaiki sistem yang ada. Mudah-mudahan opsi pemilu serentak adalah pilihan terbaik bangsa ini dalam membangun budaya politik yang sehat dan santun, sekaligus efisien dan mampu mempererat kesatuan dan kesatuan bangsa.

Minggu yang sepi, 20 April 2014.

Kamis, 17 April 2014

Promosi Inovasi



Kita semua tentu pernah mendengar istilah promotor tinju. Seorang promotor seperti Don King atau Bob Arum tugas utamanya adalah menggelar pertandingan tinju lengkap dengan seluruh tetek bengek-nya, dari tempat pertandingan, urusan iklan dan keamanan, sponsor dan pendanaan, dan sebagainya. Sang petinju dan calon lawannya hanya mengikuti skenario yang sudah diatur oleh si promotor. Selain di dunia tinju, tentu kita juga sering mendengar istilah promotor dalam dunia pendidikan. Tugasnya adalah memberikan bimbingan, bahan-bahan bacaan, hingga fasilitas tertentu jika diperlukan, demi keberhasilan anak bimbingannya meraih gelar akademik terhormat, yakni Doktor.

Nah, inovasi-pun sangat membutuhkan promotor dan program-program promosi. Mengapa demikian? Menurut Jean-Eric Aubert dalam tulisannya berjudul Promoting Innovation in Developing Countries: A Conceptual Framework (Policy Research Working Paper 3554, World Bank, 2005), iklim inovasi di negara berkembang terhambat oleh kelemahan dalam hal pencapaian tingkat pendidikan (levels of educational attainment), lingkungan bisin (business environment), serta kurangnya infrastruktur informasi (lack of information infrastructure). Karena kelemahan dalam ketiga hal tersebut, maka disimpulkan bahwa innovation systems in developing countries are poorly constructed and very fragmented. Inilah kira-kira alasan paling mendasar mengapa promosi sangat dibutuhkan oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Masalahnya, masih menurut World Bank, institusi publik di negara berkembang berjumlah sangat banyak dan cenderung over-crowded, sehingga menyulitkan upaya promosi inovasi. Kalaupun ada lembaga yang bertugas melakukan promosi, biasanya kurang memadai dan kurang fleksibel dalam mendorong entrepreneurship di kalangan sektor publik.

Keseluruhan situasi seperti inilah yang menjadikan sistem inovasi terperangkap dalam keseimbangan rendah (low equilibrium trap). Cirinya, rendahnya kualitas dan kuantitas riset, serta keraguan tentang relevansi riset terhadap perbaikan kebijakan dan iklim ekonomi secara nasional. Pada gilirannya, situasi ini akan kembali menjadi faktor yang menyulitkan upaya untuk mempromosikan inovasi. Inilah barangkali lingkaran setan (vicious circle) dalam promosi inovasi.

Untuk konteks Indonesia, selain telah terbentuk Komite Inovasi Nasional, sejak akhir 2013 telah terbentuk Kedeputian di LAN yang bertugas mengembangkan inovasi bidang administrasi negara. Namun sebagaimana sinyalemen World Bank diatas, lembaga promotor inovasi di negara berkembang cenderung kurang memadai dari segi kapasitas maupun sarana prasarana yang dimiliki untuk mempromosikan inovasi. Akibatnya, tugas promosi bisa saja gagal jika tidak dilakukan upaya yang seimbang untuk mengembangkan kapasitas dari lembaga promotor ini. Itulah sebabnya, kebutuhan capacity building menjadi sangat urgen baik dalam konteks petugas pelaksananya, penguasaan dan aplikasi metodologinya, maupun kapasitas organisasinya.

Sementara lupakan kebutuhan akan pengembangan kapasitas tadi, dan mari kembali kepada topik utama kita tentang promosi inovasi. Pertanyaan pokok yang harus dijawab adalah, bagaimana melakukan promosi itu, dan apa indikator bahwa program promosi inovasi sudah dapat mencapai tujuannya?

Saya yakin tidak ada cara, teknik, atau metode baku dalam promosi inovasi. Penyebaran informasi tentang inovasi di suatu tempat agar diketahui oleh banyak orang, boleh dikatakan sebagai upaya promosi yang paling sederhana. Harapannya, dengan penyebaran informasi tadi akan menimbulkan inspirasi bagi pihak lain untuk dapat mengadopsi inovasi yang telah terjadi di daerah/tempat lain. Maka, bertambahnya pengetahuan tentang inovasi dan jangkauan penyebaran informasi tentang inovasi adalah indikator pertama tentang keberhasilan promosi. Pada skala yang lebih tinggi, munculnya kesadaran dan keinginan untuk mengadopsi atau melakukan inovasi adalah juga indikator yang menunjukkan bekerjanya fungsi promosi dengan baik.

Promosi inovasi yang lebih strategis tentu saja seperti yang dilakukan oleh promotor tinju atau promotor disertasi, yakni mengantarkan petimjunya atau mahasiswa bimbingannya memenangkan pertandingan atau menyelesaikan tugas akhirnya dengan baik. Dalam kaitan ini, promosi inovasi dikatakan berhasil jika benih/inisiatif inovasi dapat diadvokasi hingga menjadi inovasi yang terimplementasikan, atau jika suatu daerah/lembaga yang belum mampu berinovasi menjadi mampu untuk menghasilkan dan mengelola inovasi, atau jika sebuah inovasi bisa diadopsi atau direplikasi di tempat lain. Singkatnya, promosi inovasi bertujuan membangun kapasitas untuk berinovasi. Indikatornya adalah jumlah inovasi yang diadvokasi, jumlah inovasi baru yang diaplikasikan, jumlah instansi/daerah yang melakukan dan/atau memiliki inovasi baru, dan jumlah inovasi yang berhasil direplikasikan di tempat lain. Program yang bisa dilakukan untuk mencapai indikator itu antara lain adalah inkubasi dan replikasi, Dengan kata lain, inkubasi dan replikasi adalah strategi untuk melakukan promosi inovasi.

Program-program promosi sebagaimana saya sebutkan diatas pada dasarnya sejalan dengan apa yang dilakukan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) dalam mempromosikan inovasi. Beberapa upaya mereka mencakup hal-hal sebagai berikut:


  • creating and upgrading innovation support structures and networks and related services;
  • providing assistance and long-term training for officials working in the fields of innovation promotion, technology and innovation management and related activities;
  • organizing workshops and training programs on innovation promotion services;
  • promoting information sharing among inventors, innovators and inventors' associations through organizing international symposiums on topics related to inventors' activities;
  • assisting national and international organizers of invention exhibitions in rewarding creative talent through the ongoing development and promotion of WIPO Awards;;
  • enhancing the importance, advantages and use of the intellectual property system for small and medium enterprises;
  • providing training and assistance for on-line and state-of-the-art searches carried out in patent document collections and on-line databases.


Tugas-tugas promosi inovasi diatas, terutama yang berkaitan dengan inkubasi dan replikasi sangatlah berat. Beragam karakteristik dan substansi inovasi, mungkin saja membutuhkan pola inkubasi dan replikasi yang berbeda pula. Disinilah kapasitas instansi atau seorang promotor sangat dituntut. Atas dasar ini, saya mengidankan adanya desain training inovasi secara umum untuk membekali dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan inovasi, kemudian ada lagi training substansi inovasi seperti teknik inkubasi inovasi atau teknik replikasi inovasi. Selain beberapa training itu, saya mencitakan juga adanya training of trainers’ khusus untuk calon promotor inovasi. Jika memungkinkan adanya short course di luar negeri untuk mempelajari hal-hal tersebut, tentu akan sangat membantu upaya mengembangkan desain pelatihan dan kurikulumnya, disamping meningatkan kapasitas dari peserta short course itu sendiri.

Jika tugas promosi yang berat tadi bisa dilaksanakan secara optimal, maka akan banyak sekali banfaat (benefit) yang diperoleh, dari percepatan pelayanan publik, perbaikan kualitas kinerja sektor publik, hingga peningkatan pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Itulah indikator makro keberhasilan promosi inovasi. dan mengingat begitu pentingnya promosi inovasi, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa urgensi dan nilai strategis dari promosi inovasi itu sama dengan inovasi itu sendiri.

Serpong, 19 April 2014