Laman

Sabtu, 19 April 2014

Golput dan Urgensi Pemilu Presiden-Legislatif Serentak



Beberapa saat setelah Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tanggal 9 April 2014 selesai, cuaca politik Indonesia berubah seketika. Karena tidak satupun parpol yang mencapai ambang batas minimal untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebesar 20%, maka terjadilah komunikasi dan negosiasi antar parpol yang mengarah pada terbentuknya koalisi. Setiap partai tidak dapat mempertahankan egonya masing-amsing dengan mengklaim memiliki segmen konstituen fanatic tertentu. Seandainyapun mereka mencapai raihan suara 19,9%, tetap saja mereka tidak bisa mengajukan kandidat presiden dan wakilnya secara mandiri, dan membutuhkan bantuan berupa “sumbangan suara” dari partai lain.

Singkatnya, hasil Pileg menjadi basis tawar menawar antar parpol. Disinilah, partai-partai gurem yakni partai yang memperoleh suara minimal untuk masuk parlemen, menjadi sangat penting dalam menetapkan strategi politik sebuah partai. Partai-partai kecil inipun bisa menjadi kuda hitam yang akan menentukan peta politik yang akan terbangun. Tidak aneh jika partai-partai gurem ini bisa berlaku “jual mahal”, khususnya jika ada tawaran koalisi dari beberapa partai yang lain. Nah, dalam dinamika tawar-menawar tasi, segala kemungkinan bisa terjadi. Kepentingan politik untuk meraih kekuasaan nampaknya menjadi satu-satunya pertimbangan bagi seluruh partai yang ada. Dan salah satu kemungkinan dari praktek bargaining tadi adalah terbukanya peluang jual beli kekuasaan, atau sering dikenal dengan istilah “politik dagang sapi”. Konkritnya, partai kecil bersedia menjalin koalisi dengan imbalan tertentu, misalnya mendapat “jatah” satu menteri dalam susunan kabinet jika koalisi ini nantinya memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres).

Dalam konstelasi membangun koalisi itulah, jumlah raihan suara pemilih pada Pileg akan sangat menentukan “harga” sebuah partai. Semakin banyak suara yang diraih oleh sebuah partai, semakin besar pula kekuatan tawar-menawarnya. Dan semakin dalam pembicaraan tentang koalisi tadi, semakin jauhlah mereka dari konstituen yang memilihnya saat Pileg. Topik pembicaraan tidak lagi tentang bagaimana mensejahterakan rakyat, membangun daya saing bangsa, memperkuat partisipasi publik, dan seterusnya, melainkan bagaimana memenangkan Pilpres. Suara pemilih benar-benar telah berubah bentuk dari amanah suci yang harus ditunaikan menjadi komoditas untuk menentukan nasib parpol dan para elitenya di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Situasi seperti inilah yang sedikit menghibur golongan putih, karena suaranya tidak dipelintir atau dimanipulasi menjadi kepentingan pragmatis. Sebagai seorang golput, saya merasakan hal itu dan merasa bersyukur bahwa jika ada kerusakan dalam sistem politik di negeri ini, saya merasa tidak turut bertanggungjawab. Sebab, golput pada hakekatnya adalah sebuah pilihan yang harus dihargai dan kemudian dicarikan strategi kebijakan agar pilihan ini menjadi lebih positif dalam koridor konstitusionalisme. Jika tidak disebut sebagai protes senyap (silent protest), maka golput harus dipersepsikan sebagai pilihan dan aspirasi untuk memperbaiki negeri dengan mekanisme yang berbeda. Saya sendiri memilih menjadi golput karena merasa tidak ada satupun visi dan program partai maupun para calegnya yang sesuai dengan aspirasi saya. Ibarat hukum ekonomi, mereka menawarkan barang dagangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan saya, sehingga tidak terjadi transaksi antara saya dengan mereka.

Dengan berbagai pertimbangan situasional seperti diatas, saya sangat mendukung penyelenggaraan Pileg dan Pilpres secara serentak. Dengan sistem baru yang akan dimulai 2019 ini, paling tidak akan dapat dilakukan penghematan waktu, tenaga, sarana, dan biaya yang luar biasa. Namun manfaat terbesar yang dapat diraih menurut saya adalah kemungkinan hilang atau berkurangnya politik tawar menawar secara signifikan. Artinya, pengajuan calon presiden sudah dapat dilakukan bersama-sama dengan calon legislatif, sehingga setiap partai tidak perlu repot-repot melakukan blusukan, kasak-kusuk, atau berbagai maneuver untuk menetapkan siapa yang akan diusung sebagai calon presiden dan wakilnya. Calon pemilih pun jadi lebih tenang karena suaranya hanya akan berdampak berapa kandidat dari sebuah parpol yang akan duduk di lembaga legislatif, tanpa khawatir akan dijadikan sebagai barang dagangan untuk mengatur strategi politik partai tertentu.

Meskipun demikian, ada juga resiko yang bisa muncul dari kebijakan ini, yakni menyangkut pertanyaan apa alas hak dari sebuah partai untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden. Jika saat ini berlaku sistem presidential threshold para periode pemilu yang sama, apakah raihan parpol pada Pileg 2014 akan ditetapkan sebagai presidential threshold untuk Pilpres 2019, ataukah akan muncul kebijakan yang berbeda sama sekali? Ini yang perlu kita tunggu dan pikirkan bersama-sama. Yang terpenting adalah ide dasarnya bahwa suara rakyat harus dijaga kemurniannya sebagai sebuah mandat terttinggi untuk diperjuangkan menjadi kebijakan, dan bukan sebagai batu loncatan meraih kuasa. Selain itu, suara golput harus direspon dengan kebijakan yang positif akan mereka mau memberikan suaranya pada pemilu berikutnya bukan karena tekanan atau keterpaksaan, namun karena kesadaran bahwa sistem yang ada sudah semakin baik dan suaranya akan semakin memperbaiki sistem yang ada. Mudah-mudahan opsi pemilu serentak adalah pilihan terbaik bangsa ini dalam membangun budaya politik yang sehat dan santun, sekaligus efisien dan mampu mempererat kesatuan dan kesatuan bangsa.

Minggu yang sepi, 20 April 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar