Minggu, 06 April 2014

Apa yang Mereka Jual?



Menjelang hari H Pemilu Legislatif 9 April 2014, mestinya bisa menjadi momentum perubahan mendasar bangsa ini menuju ke masa kejayaannya. Namun dari beberapa issu/visi/program yang disampaikan selama masa kampanye, terlebih dari pajangan poster, spanduk, umbul-umbul, ataupun baliho yang bertebaran dimana-mana, nampaknya belum ada yang bisa meyakinkan rakyat bahwa perubahan besar akan terjadi pada masa 5 tahun mendatang. Saya sebagai konstituen merasa bingung tentang apa yang akan mereka lakukan ketika nantinya terpilih menjadi wakil rakyat. Saya sungguh kecewa bahwa banyaknya problematika berbangsa tidak mampu diramu menjadi resep-resep alternatif dan disajikan sebagai hidangan lezat bagi para pemegang DPT (Daftar Pemilih Tetap).

Kekecewaan saya semakin membesar karena gambaran saya tentang agenda-agenda mendesak untuk diselesaikan dalam waktu lima tahun kedepan ternyata tidak terpikirkan oleh para kandidat. Oleh karena itu, sulit sekali bagi saya untuk mencari figur yang memiliki kedekatan chemistry dengan diri saya. Dan ini menyebabkan hingga saat ini saya tidak memiliki pilihan kepada siapa saya akan menitipkan satu suara untuk mereka perjuangkan. Sungguh saya merasa sayang, meski hanya memiliki satu suara namun suara saya ini harus menguap tak berarti. Dalam kasus saya seperti ini, golput (golongan putih) bukanlah fenomena rendahnya kepedulian dan partisipasi politik, namun lebih menjelaskan gejala tidak terjadinya transaksi politik antara kandidat dengan konstituennya.

Dalam hukum ekonomi, ketika seorang penjual menawarkan barang dagangan yang tidak disukai atau tidak dibutuhkan oleh konsumen, maka tidak akan terjadi transaksi dagang atau jual beli. Dengan analogi seperti ini, saya sebagai konsumen politik sama sekali tidak paham tentang komoditi yang dijual pada kandidat. Dalam pengamatan saya, hal terbesar yang dijual para kandidat hanyalah nama dan wajah belaka. Bagi saya selaku “pembeli” ini adalah barang dagangan paling saya benci. Saya tidak butuh nama apalagi wajah. Sebagus apapun mereka berdandan di salon, bagi saya wajah bukanlah sesuatu yang “menjual”. Hal selanjutnya yang dijual adalah asal parpol dan tokoh-tokoh besar yang dimiliki atau pernah dimiliki parpol tersebut. Kader yang berasal dari PDI-P lazimnya akan menyertakan foto Bung Karno, Megawati, atau Jokowi bersama-sama foto mereka sendiri. Demikian pula, kader dari parpol lain pada umumnya akan menampilkan foto dari ketua umum masing-masing. Bagi saya, kader-kader yang memajang gambar-gambar tokoh itu hanya menunjukkan bahwa mereka tidak cukup percaya diri terjun ke dunia politik. Mereka selalu menjual orang lain, dan bukan menjual kemampuan diri sendiri. Sekali lagi, saya tidak mau membeli barang dagangan seperti ini. Nah, diantara ratusan poster yang hanya menjual wajah diri sendiri maupun wajah tokoh tertentu, ada juga yang sudah menyisipkan prinsip-prinsip ideologis yang saya asumsikan akan melandasi perjuangan mereka ketika terpilih menjadi wakil rakyat. Beberapa diantaranya berbunyi: “berjuang untuk rakyat”, “mengabdi sepenuh hati”, dan sejenisnya. Meskipun terkesan sangat formalistik dan cenderung gombal, paling tidak mereka tidak terlalu konvensional dalam teknik marketingnya.

Saya sendiri membayangkan teknik marketing politik yang sama sekali baru, misalnya dengan menjual statement berisi komitmen dan “kontrak politik” yang harus dituntaskan dalam masa pengabdian seorang anggota legislatif. Dengan teknik ini, maka poster, spanduk, atau baliho tadi tidak diisi dengan foto kandidat, foto tokoh, nama kandidat dengan gelar berderet, ataupun lambang parpol, melainkan cukup berupa kalimat singkat yang mampu menarik pembacanya untuk membenarkan kalimat tersebut. Bagi saya, teknik seperti ini akan lebih menimbulkan rasa penasaran dari pembaca dengan mengajukan pertanyaan, misalnya: siapa sih kandidat yang punya model unik berkampanye itu? Atau, siapa sih yang memiliki ide tidak seperti kandidat lainnya? Rasa penasaran ini akan mendorong seseorang untuk mencari jawaban, dan sangat mungkin akan memberikan dukungan kepada kandidat tersebut.

Singkatnya, saya berani menyimpulkan bahwa teknik kampanye kita masih ortodoks seperti model kampanye pada Pemilu 1971 dan sesudahnya. Tidak ada inovasi dan terobosan-terobosan baru dalam dunia politik kita, sehingga terasa sangat hambar dan membosankan. Ribuan poster dan spanduk hanyalah merusak keindahan kota dan menghasilkan ratusan ton sampah perkotaan. Model kampanye seperti ini juga tidak memberikan efek pencerdasan dan pendidikan politik bagi masyarakat, sementara indeks pembangunan manusia terus merangkak naik. Jelas ini menjadi sesuatu yang kontradiktif. Situasi inipun tidak memberikan insentif atau rangsangan bagi tumbuhnya partisipasi pemilih yang lebih murni, yakni kesadaran bahwa mencoblos adalah sebuah kebutuhan, bukan keterpaksaan.

Mengingat situasi sebagaimana saya uraikan diatas, maka sekedar urun rembug bagi para anggota legislatif yang akan terpilih nantinya, saya menitipkan 5 (lima) program strategis berdasarkan pemikiran saya untuk mewujudkan Indonesia yang jauh lebih baik. Seandanya saya adalah kandidat calon anggota legislatif atau calon Presiden, lima hal inilah yang akan saya usung sebagai platform dan kontrak politik saya kepada rakyat. Adapun kelima hal itu adalah sebagai berikut:

1.      Percepatan pembangunan kedisiplinan nasional yang semakin kokoh. Salah satu wujud dari sistem kedisiplinan nasional ini adalah adanya komitmen yang kuat dari setiap institusi publik dalam menjalankan misinya, serta ketaatan terhadap sistem yang telah menjadi konsensus bersama. Dengan kedisplinan nasional yang solid ini, energi setiap institusi publik tidak menguap atau menghilang tanpa bekas (efek evaporasi), sebaliknya justru menghasilkan efek kondensasi, yakni mengubah faktor input berupa energi (sumber daya) organisasi menjadi kemanfaatan yang dibutuhkan masyarakat.
2.      Program peningkatan efisiensi nasional. Konkritnya, pemerintah harus segera menyusun roadmap pengembangan sistem SDM aparatur sehingga dalam 20 tahun yang akan datang, komposisi PNS permanen dengan tenaga kontrak dari kalangan profesional menjadi 30 : 70. Selain itu, perlu adanya pengintegrasian kelembagaan pemerintahan dari berbasis sektor menjadi berbasis rumpun (1 rumpun terdiri dari beberapa sektor). Pada saat yang sama, wajib dilakukan pengintegrasian program dan anggaran setiap institusi tidak berdasarkan kuota/pagu/baseline namun berdasar prioritas nasional.
3.      Pembudayaan sistem keteladanan nasional. Pembangunan keteladanan nasional harus menjadi agenda utama dalam sistem kenegaraan dan kemasyarakatan, dan wajib menjadi spirit utama dalam RPJMN yang menjadi acuan dalam merumuskan RPJM Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Renstra KL dan SKPD. Untuk memperkuat sistem keteladanan nasional itu, maka pengendalian dan integritas diri akan menjadi indikator utama dalam sistem seleksi pejabat publik. Etika organisasi-pun harus dibangun dengan kokoh, dan niat baik harus menjadi landasan dalam perumusan kebijakan di semua lini/jenjang pemerintahan. Hal yang tidak bisa dilupakan terkait hal ini adalah perlunya menghidupkan kembali semangat cinta tanah air dan rela berkorban dengan mempopulerkan kisah-kisah heroik para pendahulu sebagai suri teladan untuk generasi masa kini dan seterusnya.
4.      Penguatan integrasi nasional. Dengan visi ini, maka desentralisasi fiskal harus dikoreksi agar lebih berpihak kepada kemandirian dan pemberdayaan daerah. Kekuatan TNI wajib terus ditingkatkan dengan melibatkan basis masyarakat sipil yg lebih luas. Harmoni dan kerukunan antar lembaga negara, antar tingkatan pemerintahan, antar parpol, antar kelompok masyarakat, antar umat beragama, antar generasi, antar suku/etnis, dan antar pemangku kepentingan harus menjadi mainstream dalam program pembangunan. Demikian pula, kebanggaan menjadi bangsa Indonesia wajib terus diperkuat. Nilai-nilai Pancasila wajib untuk terus diinternalisasikan menjadi perilaku kolektif kebangsaan. Public trust kepada penyelenggara negara-pun menjadi keniscayaan!
5.      Pengembangan sistem ketahanan nasional sebagai platform perjuangan lembaga pemerintahan dan lembaga politik. Ketahanan nasional adalah situasi dimana terdapat daya tahan, daya juang, dan daya saing yang tangguh dari seluruh elemen bangsa. Maka, perlu disusun framework penguatan ketahanan nasional dari segala dimensi. Ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan ekonomi menjadi fundamen paling mendasar, yang harus diikuti dengan ketahanan diri untuk tidak mudah terjerumus dalam godaan penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan (untuk aparat negara), suap dan gratifikasi (untuk pelaku usaha), narkoba dan pergaulan bebas (untuk generasi muda), indisipliner dan loyalitas semu (untuk pegawai), maupun niat-niat hanya untuk mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan (untuk seluruh warga masyarakat). Selain itu, pranata sosial budaya harus ditingkatkan fungsinya sebagai buffer terhadap pengaruh global yang menggerus jati diri kebangsaan.

Kelima hal tersebut jika dilakukan akan meningkatkan kewibawaan nasional baik dimata masyarakat maupun dunia internasional, sehingga saya menyebutnya sebagai Panca Wibawa Nasional. Ini saya pandang sebagai kontribusi konseptual saya kepada ribuan caleg yang sedang berjuang meraih hati rakyat.

Selamat memilih Caleg cerdas dan amanah, Indonesia-ku.

Jakarta, 7 April 2014.
(sepanjang jalan dari rumah menuju kantor)

Tidak ada komentar: