Laman

Jumat, 02 Mei 2014

Imajinasi dan Inovasi yang “Gagal”


Jika teknologi bisa mengantarkan umat manusia ke bulan, maka imajinasi bisa membawa ke tempat yang lebih jauh lagi hingga ke planet terluar di gugusan galaksi terjauh sekalipun. Einstein sampai berucap bahwa imajinasi jauh lebih penting dari pengetahuan (imagination is more important than knowledge). Ia menambahkan bahwa knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution. Saat ditanya bagaimana dia mampu menghasilkan begitu banyak teori besar, ia menjawab imajinasinyalah yang menjadi salah satu bahan bakar dari idenya itu. Inilah maksud dari pernyataannya bahwa energi akan mengikuti imajinasi. Dimana ada imajinasi, maka disitu akan muncul energi untuk mewujudkannya. Maka berimajinasilah jika ingin memperoleh energi. Semakin besar imajinasi yang dihasilkan, akan semakin besar pula energi yang dapat direngkuh. 

Untunglah bahwa dunia ini banyak dipenuhi dengan cerita-cerita tentang imajinasi. Ketika ratusan tahun yang lalu ada cerita Mahabharata yang mengisahkan tentang Gatotkaca yang bisa terbang dan Antareja yang bisa amblas dan hidup dibawah tanah, itu adalah imajinasi tentang manusia yang bisa terbang dengan pesawat serta bisa berlari dibawah tanah dengan kereta bawah tanah (subway). Demikian pula ketika Jayabaya meramalkan bahwa pulau Jawa akan dilingkari oleh ikat pinggang besi, itu adalah imajinasinya tentang ujung barat dan timur pulau Jawa yang terhubung oleh rel kereta api. Ketika kisah Mahabharata dan Jayabaya tadi tidak diterima sebagai sebuah dongeng belaka, maka yang terjadi kemudian adalah terwujudnya imajinasi tadi menjadi sebuah kenyataan. Ini persis pepatah Latin yang berbunyi fortis imaginatio generat casum yang artinya imajinasi yang jelas akan menghasilkan kenyataan. Dalam bahasa Stephen R. Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, kreasi fisik selalu didahului oleh kreasi mental (Anthony Dio Martin, Sukses Berkat Kekuatan Imajinasi). Nah, imajinasi itulah kreasi mental yang menjadi cikal bakal temuan-temuan besar di jagad raya ini. Coba bayangkan, gedung pencakar langit seperti Burj Khalifa setinggi 828 meter di Dubai atau Menara Taipei 101 setinggi 509 meter itu pastilah didahului oleh ide besar, atau mimpi yang mungkin tidak masuk akal saat digagas.  

Untungnya lagi, tidak ada aturan di belahan dunia manapun yang melarang atau membatasi imajinasi. Imajinasi adalah hak universal umat manusia, tidak dibeda-bedakan atas dasar status sosial ekonomi, tingkat intelektualitas, jenis profesi, atau klasifikasi apapun. Tidak aneh jika John Lennon sampai membawa mimpinya kedalam sebuah lagu berjudul Imagine. Dalam lagu tersebut Lennon memimpikan tiadanya surga diatas kita atau neraka dibawah kita, yang ada hanyalah langit saja. Ia juga berkhayal tentang dunia tanpa negara dan agama namun penduduknya hidup berdampingan secara damai. Ia-pun membayangkan tidak ada hak milik dan setiap orang bisa saling berbagi secara adil sehingga tidak ada keserakahan di muka bumi ini. Akhirnya, imajinasi Lennon menuntun pada idealita dunia dan manusia yang mendiaminya hidup sebagai sebuah kesatuan. Terlepas dari logis tidaknya imajinasi tersebut dan terlepas pula dengan kaidah keagamaan tentang sesuatu, misalnya tentang keberadaan surga dan neraka, namun keberanian Lennon untuk berimajinasi sangat patut diacungi jempol. 

Oleh karena imajinasi akan menuntut pada terwujudnya sebuah evolusi atau temuan-temuan baru, maka boleh dikatakan bahwa imajinasi adalah salah satu teknik untuk berinovasi. Dengan demikian, hasil imajinasi pada umumnya dapat dikatakan juga sebagai inovasi. 

Pertanyaan yang penting untuk dikemukakan adalah, apakah setiap imajinasi harus selalu terwujud dalam kenyataan, atau apakah setiap kreasi mental akan selalu menjelma menjadi kreasi fisik? Apakah setiap imajinasi akan selalu melahirkan evolusi seperti teorinya Einstein? Dan seandainya imajinasi benar-benar tidak berevolusi menjadi sesuatu yang nyata, apakah imajinasi tadi menjadi sia-sia? Atau, bolehkan kita menganggap hal itu sebagai sebuah inovasi yang gagal? 

Jika kita mencoba mencermati sejarah filsafat dunia dan sejarah penemuan-penemuan besar, maka akan dapat dapatkan fakta bahwa ide-ide besar tidak selamanya bertransformasi menjadi realita. Kita bisa merujuk pada pengalaman Thales dari Miletus yang hidup pada tahun 620-540 SM. Thales adalah filsuf pertama dalam tradisi filsafat Barat. Ia juga dikenal sebagai salah satu dari tujuh orang bijak dari Yunani (seven sages of Greek). Filsafat metafisikanya mengatakan bahwa unsur penyusun alam semesta adalah air, dan bumi berbentuk datar seperti papan yang mengapung diatas air. Sementara gempa bumi dijelaskan sebagai gelombang air bawah tanah, seperti goncangan perahu oleh gelombang laut. 

Meskipun teorinya terbukti salah berdasarkan ilmu pengetahuan saat ini, namun kemampuannya berimajinasi pada saat itu menggambarkan kemampuan berpikir out of the box yang luar biasa. Dan meskipun imajinasinya ternyata “keliru”, bukan berarti pandangannya lantas hilang dari sejarah filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan. Thales tetap dianggap sebagai peletak batu pertama dalam sejarah pemikiran filsafat Barat di bidang agama dan etika, astronomi, dan geometri (Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers: 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: Andi, 2010). 

Saya sendiri berpendapat bahwa tidak ada imajinasi yang salah sebagaimana tidak ada inovasi yang gagal. Imajinasi mungkin tidak menuntun pada dihasilkannya sesuatu yang diimajinasikan, namun bisa saja imajinasi menghasilkan sesuatu diluar imajinasi tersebut, seperti dalam kisah Thales diatas. Bayangkan, jika Thales pada waktu itu tidak berpikir dan berimajinasi tentang bentuk dan posisi bumi, mungkin sampai saat inipun belum akan ditemukan teorinya bahwa bumi itu bulat dan mengelilingi matahari. Artinya, imajinasi dan teori Thales sedikit banyak pasti memberikan pengaruh terhadap para pemikir besar era berikutnya seperti Copernicus dan Galileo Galilei. Maka, tidak ada imajinasi sia-sia dan inovasi yang gagal. Bahkan ketika Thomas Alva Edison mengalami 1000 kali “kegagalan” dalam menemukan bola lampu, beliau tidak mengatakan itu sebagai kegagalan, namun disebutnya sebagai keberhasilan menemukan 1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu. Memang tidak ada rumus bahwa inovasi harus berhasil pada upayanya yang pertama. Adanya proses inkubasi dalam inovasi menjelaskan bahwa inovasi bukanlah barang karbitan yang bisa matang seketika, namun membutuhkan upaya sistematis untuk menjadikannya sesuatu yang baru, berbeda, dan bermanfaat. 

Nah, karena pada hakekatnya tidak ada imajinasi yang sia-sia dan inovasi yang gagal, maka siapapun diri kita, apakah mahasiswa, politisi, pejabat pemerintah, pegiat sosial, peneliti dan dosen, pengusaha, bahkan seorang tukang becak dan tani sekalipun, jangan sungkan-sungkan untuk berimajinasi. Seorang buruh kecil yang bodoh lagi miskin, jangan ragu berimajinasi memiliki anak yang kelak menjadi penguasa negeri. Apalagi jika kita adalah kalangan terpelajar dan memiliki tanggungjawab untuk turut memajukan perusahaan atau organisasi masing-masing, banyak-banyaklah berimajinasi untuk kebaikan perusahaan atau organisasi kita. 

Kebetulan sekali, artikel ini saya tulis dan saya selesaikan pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, saya berharap imajinasi akan masuk kedalam kurikulum pendidikan semenjak dini. Sebab, usia balita dan anak-anak adalah usia paling produktif untuk melakukan imajinasi karena belum terkungkung oleh dangkalnya rasionalitas maupun regulasi yang kaku dan sering menghambat imajinasi, kreativitas dan inovasi seseorang. Siapa tahu, dengan membangun budaya imajinasi, akan lahir Einstein-Einstein baru dari rahim Ibu Pertiwi. Semoga! 

Jakarta, 2 Mei 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar