Laman

Minggu, 18 Mei 2014

Menggagas Konsep “Creative Administration”



Belum begitu lama kita mengenal istilah atau konsep ekonomi kreatif. Secara formal istilah ini baru kita kenal pada saat terjadi perubahan kabinet pada bulan Oktober 2012, dimana Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Dalam dunia akademis sendiri istilah ini juga relatif belum lama. Menurut Listianing Widiastuti dalam artikelnya berjudul “Kota Kreatif: Katalis Pertumbuhan Ekonomi atau Sekedar Branding Sebuah Kota?” (2014), saat ini manusia telah mengalami evolusi pemikiran dan perilaku sehingga nilai-nilai yang terkandung dari sebuah teori dasar dapat dikembangkan untuk menghasilkan nilai-nilai baru yang lebih inovatif dan dapat mendukung optimasi produktivitas. Kolaborasi dengan perkembangan teknologi juga berperan sebagai katalis dalam proses penciptaan nilai-nilai tersebut. Hal inilah yang kemudian menarik perhatian Tony Blair, Richard Florida dan berbagai peneliti lainnya untuk mengembangkan teori dan konsep mengenai creative economy. Lebih jauh Listianing menjelaskan bahwa creative economy merupakan paradigma baru dalam pembangunan perekonomian regional untuk memanfaatkan potensi kekayaan intelektual dalam menciptakan nilai tambah ekonomis untuk barang dan jasa, penciptaan lapangan kerja, dan konservasi nilai budaya serta ekologis di suatu daerah. Teori ini menimbulkan impresi sebagai sebuah tanggapan terhadap kelangkaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ekonomi kreatif adalah aktivitas perekonomian yang memanfaatkan utilisasi pengetahuan (bukan sekedar teknologi) untuk memberi nilai tambah dalam aktivitas perekonomian tersebut. Nilai tambah itu bisa berupa peningkatan produktivitas kerja, perbaikan terhadap proses dan mutu produk, peningkatan kepuasan pelanggan, aplikasi teknologi yang lebih ramah lingkungan (eco-friendly) dan ramah pengguna (user-friendly), dan sebagainya.

Nah, dari konsep tentang ekonomi kreatif itulah, teori dan konsep tentang administrasi kreatif atau creative (public) administration mestinya bisa dikembangkan. Maknanya kurang lebih sama, yakni penggunaan pengetahuan (knowledge) yang lebih baik dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi pemerintahan, sehingga menghasilkan nilai tambah baik bagi masyarakat yang dilayani maupun bagi organisasi itu sendiri.

Dengan pemaknaan seperti itu, maka sesungguhnya creative administration itu sudah menjadi praktek di beberapa instansi pemerintah dan bukan sebuah wacana belaka. Sebagai contoh, jika sebelumnya pelayanan perijinan diberikan secara tersebar di berbagai instansi yang saling berjauhan dan tidak saling terkoordinasi, menjadi pelayanan terpadu dalam satu atap atau satu pintu, maka itu adalah bentuk konkrit dari sistem administrasi yang kreatif. Jika pendaftaran dalam pelayanan tertentu selama ini dibatasi jam kerja hanya sampai pukul 16.00 sore, kemudian dapat diubah menjadi pelayanan berkesinambungan (non-stop service) melalui penerapan sistem registrasi online, maka itupun adalah wujud nyata administrasi yang sangat kreatif.

Banyak lagi creative administration yang sudah dilakukan atau bisa dikembangkan, misalnya pembuatan kartu pegawai yang berfungsi ganda (multi-function), pembuatan sistem pelaporan yang tidak lagi mengharuskan data-entry secara berulang-ulang namun dapat digunakan untuk keperluan yang berbeda (multi-purpose), sistem arsip digital yang memudahkan penyimpanan dan pencarian berkas, perbaikan sarana kerja (meja kursi, filing-cabinet, rak buku, dan lain-lain) yang lebih ergonomis dan memudahkan dalam pemindahan dokumen atau mutasi pegawai, SOP yang mudah dipahami dan memudahkan urusan pelanggan, akses informasi yang terbuka melalui berbagai media, dan seterusnya. Bahkan tampilan atau kemasan tertentu yang unik dan beda dari biasanya, seperti desain ruang tunggu yang minimalis namun dilengkapi dengan banyak fasilitas, atau poster-poster lucu berisi prosedur kerja instansi tertentu, adalah juga contoh sederhana tentang creative administration.

Meskipun sudah banyak praktek creative administration yang “tidak disadari”, namun tetap diperlukan adanya kesadaran untuk terus memperkenalkan dan mengkampanyekan konsep ini agar menjadi sebuah gerakan yang sistematis dengan melibatkan sebanyak mungkin pelaku. Dengan demikian, maka creative administration diharapkan akan menjadi kebiasaan dalam pelaksanaan tugas-tugas rutin setiap instansi atau unit kerja.

Satu hal lagi yang perlu dipahami adalah bahwa baik creative economy maupun creative administration selalu mensyaratkan adanya creative person dan creative milieu. Dengan kata lain, pribadi-pribadi yang kreatif dan budaya kreatif dalam organisasi merupakan prakondisi untuk tumbuhnya ekonomi dan administrasi yang kreatif. Untuk itu, setiap organisasi perlu memberi perhatian yang memadai guna memgoptimalkan potensi kreatif para pegawainya agar terbentuk kelompok kreatif (creative class) dalam organisasi tersebut. Ketika creative class dalam sebuah institusi telah terbentuk, biasanya akan diikuti oleh tumbuhnya budaya kompetisi, yang pada gilirannya akan muncul lingkungan kerja kreatif atau budaya inovasi. Jika ini sudah terbentuk, maka harapan untuk menyaksikan merebaknya creative administration dalam birokrasi di Indonesia dapat segera terwujud.

Jakarta, 19 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar