Laman

Minggu, 08 Juni 2014

Government Shutdown dan Urgensi Reformasi Sektor Keuangan



Catatan saya kali ini masih terkait dengan Inpres No. 4/2014 tentang Penghematan dan Pemotongan Belanja K/L Dalam Rangka Pelaksanaan APBN 2014. Keinginan Presiden untuk melakukan efisiensi sebesar Rp 100 trilyun dengan memangkas anggaran K/L, dirasakan selaksa killing punch-nya Mike Tyson yang membuat K/L pingsan atau mati suri. Pemotongan anggaran itu secara langsung menghentikan pembicaraan tentang program-program prioritas nasional atau prioritas bidang. Jangankan untuk membiayai kegiatan strategis, pemeliharaan gedung dan kebersihan-pun terancam berhenti. Aparat pemerintah terancam “menganggur” karena tidak dapat menjalankan aktivitas yang telah direncanakan.

Jika mau jujur, maka hakekatnya pemerintah sedang mengalami hibernasi atau government shutdown. Kebijakan penghematan yang super ketat ini harus dibayar mahal dengan merosotnya produktivitas lembaga secara drastis, bahkan banyak program yang berhenti sama sekali. Negara nampak sekali sudah berada pada kondisi gawat darurat, yang secara de facto bisa dikatakan sudah bangkrut. Jika dianalisis dengan teknik SWOT, situasi seperti ini nampaknya masuk dalam kuadran ke-4 dimana organisasi menghadapi ancaman dari luar dan pada saat yang bersamaan memiliki kelemahan internal yang sangat besat, sehingga strategi yang bisa diambil hanyalah bertahan agar masalah yang dihadapi tidak semakin parah. Dan memang, Inpres No. 4/2014 tidak memiliki spirit untuk mengembangkan strategi ofensif yang berorientasi pertumbuhan atau bahkan juga strategi diversifikasi. Fakta seperti ini tentu saja menjadi legacy yang tidak diharapkan dari Kabinet Indoensia Bersatu II di ujung masa baktinya, karena tidak mengakhiri tugas dalam kondisi yang baik (husnul khatimah).

Meskipun “krisis” keuangan dapat dirasakan secara nyata (tanpa harus dinyatakan), sungguh disayangkan bahwa pemerintah seperti tidak memiliki contingency plan selain memangkas anggaran K/L secara besar-besaran. Jika faktor yang menyebabkan beban APBN meledak adalah subsidi BBM yang membengkak, pemerintah tidak berani mengambil resiko dengan menaikkan harga BBM, padahal itu adalah kebijakan yang paling rasional, meskipun memang tidak populis. Pemerintah juga seperti gagal mendongkrak kinerja sektor riil dan UMKM maupun sektor non-migas lainnya sebagai andalan sumber penerimaan negara. Neraca perdagangan Indonesia dengan berbagai negara semakin timpang dengan defisit di pihak Indonesia dan surplus di negara lain. Bahkan dengan Vietnam-pun neraca perdagangan kita semakin tidak seimbang. Pemerintah ternyata lebih memilih memangkas anggaran sendiri ketimbang mencari opsi kebijakan yang lebih tepat. Dengan memotong anggaran sendiri, maka sindrom “penyakit perut diobati dengan obat sakit kepala” menjadi tidak terelakkan.

Disayangkan pula bahwa dalam menghadapi krisis besar saat ini pemerintah tidak belajar dari pemerintah AS yang belum lama ini mengalami government shutdown. Pada waktu itu, pemerintah AS mengambil kebijakan yang sangat tidak populis dengan merumahkan ribuan PNS dan menutup instansi-instansi tertentu yang memang tidak produktif. Sementara di Indonesia, sangat tidak jelas apa skenario jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk memastikan krisis seperti ini tidak lagi terjadi di kemudian hari.

Itulah sebabnya, saya mencoba melempar ide tentang reformasi sektor keuangan yang harus dilaksanakan dengan sangat segera. Bagi saya, pengalaman pahit dalam penyelenggaraan pemerintahan kali ini – untuk tidak menyebut kegagalan pemerintah – adalah momentum yang sangat baik untuk melakukan reformasi total sistem keuangan/penganggaran kita selama ini. Sebagai orang yang tidak berasal dari disiplin ekonomi dan keuangan, sangat mungkin ide saya dinilai tidak layak oleh mereka yang berlatar pendidikan ekonomi atau bekerja di sektor keuangan. Tidak ada masalah bagi saya. Namun sebagai praktisi yang turut menggunakan dan sedikit mengetahui seluk beluk perencanaan hingga pemanfaatan anggaran publik, saya memiliki pengalaman yang mengantarkan pada kesimpulan bahwa sistem keuangan dan/atau penganggaran kita saat ini memang amat sangat buruk yang terbukti telah melahirkan krisis besar saat ini. Pendapat saya ini tidak berbasis pada teori ekonomi apapun, namun lebih pada refleksi berbasis hal-hal yang saya temui dalam tugas-tugas saya selaku PNS yang menduduki jabatan struktural.

Pertama, saya sangat tidak setuju sejak awal tentang sistem at cost, dimana PNS dalam perjalanan dinas dibiayai sesuai biaya riil yang dibayarkan, sepanjang tidak melampaui batas yang ditetapkan. Sebagai contoh, seseorang boleh membeli tiket Garuda atau Lion yang promo, atau bahkan boleh pula bepergian dengan kereta api atau bis kota. Pemerintah hanya mengganti sesuai bukti tiket. Tentu saja, tidak ada pegawai yang ingin melakukan penghematan dengan memberi tiket Lion yang promo, apalagi kereta api. Contoh lain, untuk pejabat setingkat Eselon II dapat menginap di hotel berbintang dengan tarif berkisar Rp 1 juta. Jika dia memilih tidur di losmen yang tarifnya hanya Rp. 200 ribu, maka hanya itulah yang dibiayai oleh negara. Tentu saja, semua pejabat cenderung mengambil kelas kamar yang maksimal sesuai standar, dan tidak ada kesadaran untuk menghemat. Singkatnya, kebijakan at cost itu adalah model pemborosan yang dibalut oleh dalih efisiensi. Oleh karena itu, sistem ini harus dibuang jauh-jauh dan diciptakan model incentive dan disincentive dalam penggunaan dana perjalanan dinas. Instansi dan pejabat yang bisa melakukan penghematan anggaran perjalanan dinas mereka, mestinya mendapat penghargaan. Penghargaan ini tidak perlu berupa uang, namun bisa berupa plakat seagai pegawai berintegritas, atau pengumuman secara resmi dalam website instansi pemerintah, atau diundang dalam forum tertentu di kantor kepresidenan, dan seterusnya.

Terkait dengan upaya penghematan sebagaimana dikemukakan diatas, maka reformasi kedua yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah sistem zero budget yang diterapkan selama ini. Dengan sistem zero budget ini, pemerintah selalu “harus” menghabiskan anggaran setiap akhir tahun. Ketidakmampuan menyerap anggaran dianggap sebagai kinerja yang rendah dan diancam dengan pengurangan anggaran pada tahun berikutnya. Sebenarnya ini tidak terlalu salah, mengingat kebutuhan program dan anggaran sudah harus direncanakan secara matang, sehingga logikanya tidak akan terjadi sisa anggaran. Namun faktanya, dalam pelaksanaan anggaran dan kegiatan ada beberapa hal yang bisa diefisienkan, misalnya mengurangi jumlah pegawai dalam perjalanan dinas, atau mengurangi hari dan lokus kunjungan, mengganti pesawat dengan maskapai yang menyediakan tiket murah, menginap di hotel standar atau di rumah saudara/teman, mengurangi jumlah nara sumber, menjalankan kegiatan sepenuhnya di kantor dan menghundari rapat-rapat di hotel, dan masih banyak lagi cara untuk menempuh efisiensi tanpa harus mengganggu output dari kegiatan.

Maka, mindset efisiensi itu harus melekat pada setiap pegawai/pejabat, baik yang menggunakan uang maupun yang merencanakan (Bappenas), mengalokasikan (Kementerian Keuangan), membahas (Komisi dan Badan Anggaran DPR), maupun yang memeriksa (BPK). Dengan mindset efisiensi tadi, maka besaran sisa anggaran (SILPA) di sebuah instansi justru akan menjadi indikator kemampuannya melakukan efisiensi anggaran. Dalam kaitan ini, maka akan lebih baik jika SILPA tadi dikembalikan kepada instansi yang bersangkutan untuk dapat dimanfaatkan dalam perencanaan anggaran tahun berikutnya. Ini akan menimbulkan motivasi besar untuk self-assessment bahkan self-blocking terhadap mata-mata anggaran yang tidak prioritas, untuk dialihkan dalam program yang lebih mendesak, atau untuk membiayai investasi fisik maupun personil. Sistem ini sudah lama berlaku untuk kalangan pemerintah daerah, sehingga tidak ada salahnya untuk diadopsi dalam sistem anggaran K/L.

Alternatif ketiga untuk mereformasi sektor keuangan adalah dengan mengubah pola perencanaan yang selalu berbasis baseline anggaran tahun sebelumnya untuk menetapkan pagu anggaran tahun berjalan atau tahun yang akan datang. Dengan sistem ini, setiap instansi mendapat tambahan anggaran dengan persentase yang relatif sama, misalnya antara 10-15 persen setiap tahunnya. Celakanya, penambahan anggaran itu tidak didasarkan pada analisis kebutuhan pembiayaan program, tidak didukung oleh skala prioritas yang bisa dibandingkan antar instansi, dan tidak ada sistem kompetisi yang sehat untuk mendapatkan anggaran. Akibatnya, instansi yang telah terlanjur memiliki anggaran sangat besar, akan mendapat tambahan yang besar pula, sementara instansi yang anggarannya kecil, penambahannyapun kecil. Sebagai contoh, sehebat apapun LAN berkontribusi dalam membangun kompetensi pegawai, dan sestrategis apapun program diklat kepemimpinan perubahan, tetap saja tidak memungkinkan mendapat tambahan anggaran yang signifikan. Fenomena ini menagaskan bahwa sistem anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sesungguhnya belum berjalan di negeri ini. Padahal, secara teori telah lama kita kenal konsep competitive government, dimana sebuah instansi untuk bisa memperoleh anggaran harus berlomba untuk meyakinkan bahwa proposalnya memiliki nilai dan urgensi sangat tinggi untuk pembangunan dan perbaikan bangsa. Dari mekanisme kompetisi itulah kemudian ditetapkan mana program yang menjadi prioritas dan mana yang hanya sekedar rutinitas belaka.

Reformasi keempat yang saya pikirkan adalah perlunya keseimbangan antara cost-center dengan revenue center. Selama ini instansi pemerintah adalah cost center yang hanya bisa menghabiskan anggaran tanpa kemampuan entreprenership dan berpikir kreatif untuk mengurangi ketergantungannya terhadap anggaran negara. Akibatnya, begitu kebijakan seperti Inpres No. 4/2014 keluar, instansi banyak yang bingung dan kehilangan orientasi dalam pelayanan publik yang harus mereka jalankan. Padahal, sejak lama sudah banyak gagasan tentang perlunya pemerintah untuk berpikir seperti swasta. Sebagai contoh, awal 1990-an lahir buku karangan David Osborne dan Peter Plastrik berjudul Reinventing Government, yang sempat menjadi perbincangan banyak orang di Indonesia. Buku yang ditulis karena hasil poling yang menunjukkan bahwa “pemerintahan AS sudah mati” ini menawarkan nilai baru yang harus diadopsi oleh pemerintah, salah satunya adalah prinsip wirausaha yang harus lebih menghasilkan sesuatu dari apda membelanjakan (earning rather than spending). Prinsip ini dapat dilakukan, misalnya dengan menetapkan biaya yang harus dibayarkan pengguna atas dampak positif yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi pemerintah tertentu (impact fees); atau pendapatan atas investasi yang dilakukan sehingga dapat digunakan sebagai insentif seperti dana usaha (swadana). Sayangnya, ketika kita telah memiliki sistem pembiayaan organisasi melalui Inpres No. 38/1991 tentang Unit Swadana dan Tata Cara Pengelolaan Keuangan, justru aturan ini hilang setelah semangat pemerintahan wirausaha diperkenalkan.

Secara alamiah memang karakter pemerintah sangat berbeda dengan swasta, namun seiring dengan perkembangan jaman, batas-batas antara keduanya semakin menipis, sementara ruang irisan (interseksi) semakin membesar. Artinya, banyak fungsi pemerintah yang bisa diserahkan kepada swasta, sementara beberapa sistem dan budaya kerja swastapun perlu diadopsi oleh kalangan sektor publik. Dalam hubungan ini, dibutuhkan pemerintah dengan DNA baru, kecerdasan baru yang tidak sekedar mengedepankan prinsip rule driven namun mengabaikan mission driven, serta mindset baru yang menempatkan anggaran pemerintah bukan sebagai sumber daya yang harus dihabiskan melainkan untuk dikembangkan menjadi benefit yang semakin besar untuk seluruh rakyat Indonesia. Inilah lesson learned yang perlu dipikirkan agar bangsa ini tidak terjerumus di lubang yang sama di masa mendatang.

Makasar, 9 Juni 2014
*kamar 1017 hotel clarion, melanjutkan ide semalam yang tertunda karena laptop low-bat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar