Senin, 02 Juni 2014

Sulitnya Membangun Triple Helix Untuk Mendorong Inovasi


Triple Helix adalah sebuah konstruksi sinergis antara pemerintah, industri, dan lembaga penelitian/ pendidikan (terutama perguruan tinggi) yang diyakini menjadi faktor kunci untuk berkembangnya inovasi. Dalam sistem konfigurasi ini, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan perangkat kebijakan yang kondusif untuk tumbuhnya iklim usaha yang sehat dan budaya penelitian di kalangan masyarakat terpelajar, termasuk penyediaan anggaran dan berbagai skema insentif untuk mendorong knowledge production dan knowledge transfer di berbagai bidang. Sementara itu, lembaga riset dan perguruan tinggi selain bertugas mendidik tenaga terampil, juga wajib melakukan penelitian untuk melahirkan ide-ide, teori-teori. dan model-model ilmu dan pengetahuan baru untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan di berbagai sektor. Adapun industri berperan untuk menyerap produk-produk kreatif perguruan tinggi, menyerap tenaga kerja, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Bukankah itu adalah hubungan yang sangat indah? 

Sayangnya, jangankan integrasi dan kohesi antar tiga pilar tadi, interaksi dan komunikasi antar sesana lembaga pemerintah, antar sesama perguruan tinggi, dan antar sesana pelaku industri pun masih sangat lemah. Alokasi anggaran untuk riset dan inovasi masih teramat kecil, sementara lembaga penelitian pemerintahan masih berjalan sendiri-sendiri. Meskipun sudah ada ARN (Agenda Riset Nasional) dan FKK (Forum Komunikasi Kelitbangan), namun keduanya belum mampu memecahkan persoalan klasik tidak sistematisnya kelembagaan dan program litbang pemerintah. Akibatnya, overlap kegiatan dan penganggaran masih menjadi pemandangan biasa bukan hanya antar instansi, bahkan dalam instansi yang sama.  

Kondisi serupa terjadi pula di kalangan perguruan tinggi. Antar universitas terbentuk persaingan bukan dalam banyaknya karya ilmiah dan hak cipta yang dihasilknan, namun lebih pada persaingan menggaet dan meluluskan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Yang terjadi kemudian adalah fenomena mass production yang mengabaikan kualitas. Perguruan tinggi juga terjebak pada “bisnis intelektual” dengan menjadi konsultan di berbagai tempat dan menjadikan konsentrasinya mengembangkan ilmu semakin meredup. Inilah yang dimaksud oleh Heru Nugroho sebagai banalitas intelektual (Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sosiologi UGM, Februari 2012).  

Dunia industri nampaknya juga terjangkit “penyakit” yang serupa karena terjebak pada nafsu profit maximization dan melupakan kepentingan bangsa yang lebih besar. Konsep “bapak asuh” dari perusahaan besar kepada perusahaan kecil tinggal cerita, sementara banyak pengusaha merasa sudah selesai menjalankan tugas sosialnya setelah mengeluarkan dana CSR (corporate social responsibility). Pengangguran masih saja menjadi masalah besar bangsa ini karena dunia usaha tidak sanggup menampungnya. Bahkan sarjana-sarjana menganggur juga semakin biasa kita saksikan. Banyak perusahaan juga membentuk unit R & D nya masing-masing dan tidak memanfaatkan hasil riset dari perguruan tinggi. Lembaga riset perusahaan dan litbang perguruan tinggi seolah-olah adalah dua dunia yang berbeda dan dipisahkan oleh jarak yang amat jauh. 

Deskripsi diatas mengilustrasikan tidak bekerjanya mekanisme triple helix di negeri kita. Dan ini menjadi faktor yang memperumit upaya menumbuhkan inovasi. Oleh karena itu, revitalisasi triple helix hanya bisa dilakukan jika ada proses untuk melakukan revitalisasi peran masing-masing pilar. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk menunjukkan komitmen melalui perumusan kebijakan yang berpihak pada pengembangan ilmu dan teknologi. Anggaran riptek dan litbang sudah saatnya dinaikkan secara signifikan, paling sedikit 2 persen dari total APBN dan APBD. ARN perlu disempurnakan dengan memperluas area litbang yang secara riil dilakukan oleh lembaga litbang pemerintah, sementara mekanisme koordinasi antar lembaga litbang pemerintah perlu ditata ulang agar dapat menghasilkan efek mainstreaming dalam pengusulan program dan anggaran litbang. Pemerintah juga harus segera menyusun rancang bangun pengembangan teknologi dan inovasi dalam jangka menengah dan panjang, yang antara lain berisi tentang skema pembiayaan program-program strategis litbang/riptek nasional, skema pengembangan SDM litbang/riptek, dan seterusnya. 

Selanjutnya, perguruan tinggi juga tidak boleh tinggal diam dan bertahta dalam comfort-zone. Para pendekar dari kawah Candradimuka harus turun gunung dan membantu menyelesaikan masalah aktual yang dihadapi masyarakat, bukan membantu sebuah lembaga secara personal. Perguruan tinggi harus memiliki peta permasalahan yang jelas dan menetapkan agenda litbang yang jitu untuk mengatasi masalah tersebut. pada saat bersamaan, kalangan industri dituntut semakin membuka diri terhadap dunia luar. Mereka perlu menjalin kerjasama yang lebih intens dengan perguruan tinggi, misalnya untuk mengadopsi hasil risetnya, atau untuk menampung para alumninya, untuk turut membiayai sebagian proyek litbangnya, dan seterusnya. Sebaliknya, perguruan tinggi juga harus komit untuk memenuhi sebagian kebutuhan pelaku industri, untuk memobilisasi SDM riset, untuk melakukan inkubasi inovasi, dan seterusnya. 

Secara konseptual, semua upaya itu cukup mudah dilaksanakan, namun yang sulit adalah komitmen untuk memulainya. Yang pasti, jika negeri ini tidak segera merekonstruksi triple helix dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional (SIN), jika anggaran litbang/riptek tidak juga mengalami perbaikan, jika setiap pilar masih saja berpikir egosentris, maka Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain dan inovasi hanya tinggal sebagai mimpi.  

Jakarta, 3 Juni 2014
*sepanjang “jalan kenangan”, tol bonjer yang selalu macet. macet = produktivitas*

Tidak ada komentar: