Laman

Kamis, 25 Juni 2015

Negara yang Berpihak



Jika diminta 1 kalimat singkat tentang apa yang saya pelajari dari penugasan saya selaku pimpinan delegasi benchmarking Diklatpim II Kelas Samarinda ke Thailand dan Kelas Surabaya ke Hongkong, beberapa waktu yang lalu, jawaban saya adalah sosok negara yang berpihak.

Ketika pemerintahan Jokowi membawa slogan baru tentang negara yang hadir melalui 9 program Nawacita, saya justru merasakan hadirnya pemerintah Hongkong dan Thailand bagi rakyatnya masing-masing. Ini bukan berarti bahwa pemerintah Indonesia tidak hadir untuk rakyatnya, namun masih butuh upaya serius dari jajaran petinggi negeri untuk membuktikan kehadirannya secara nyata di depan warganya. Pengalaman Hongkong dan Thailand inipun diharapkan dapat memberi inspirasi bagaimana menghadirkan negara untuk kepentingan warga negara.

Di Thailand, kami mengunjungi The National Bureau of Agricultural Commodity and Food Standards (ACFS) yang memiliki dua fungsi utama yakni melakukan standarisasi komoditas pertanian dan produk-produk makanan, serta melakukan negosiasi untuk menyelesaikan permasalahan terkait kebijakan non-tarif atau standar internasional. Saya ingin fokus pada fungsi kedua, yakni negosiasi, untuk menjelaskan issu keberpihakan negara.

Pada awal tahun 2012, misalnya, China mendeteksi adanya produk sarang burung yang diimpor dari Malaysia yang tercemar nitrit diatas ambang normal. Hal ini terjadi karena penambahan nitrit untuk meningkatkan kadar warna merah dalam produk tersebut agar meningkat harganya. Akibatnya, China melarang impor produk sarang burung dari seluruh negara termasuk Thailand, meskipun pengusaha Thailand tidak melakukan kecurangan seperti itu. Merespon kebijakan pemerintah China tadi, ACFS dan Kementerian Peternakan Thailand melakukan serangkaian negosiasi dengan pihak China, dan akhirnya menyepakati protokol tentang Inspection, Quarantine, and Hygiene Requirements for the Importation of Birds Nest Products from Thailand to China, sehingga pada tahun 2014 impor sarang burung dari Thailand sudah bisa masuk lagi ke China.

Sikap gesit pemerintah Thailand cq. AFCS dalam merespon issu yang merugikan petani sarang burung inilah yang saya maksudkan sebagai negara yang berpihak. Pemerintah setempat nampak sigap sekali mencegah kemungkinan berlanjutnya kerugian petaninya akibat ditutupnya keran impor oleh China. Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, politik dagang luar negeri yang merugikan pengusaha kecil domestik bisa diselesaikan.

Hebatnya lagi, ini bukan satu-satunya kasus yang berhasil ditangani ACFS untuk kepentingan ekonomi mereka. Pada tahun 2004, Jepang melarang impor daging ayam segar dari Thailand karena kasus Flu Burung. Dengan upaya yang serius, pada tahun 2009 Thailand sudah mendeklarasikan status bebas Flu Burung, namun larangan dari Jepang masih belum dicabut. ACFS bersama Kementerian Peternakan langsung melakukan serangkaian negosiasi, yang berujung pada kunjungan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang ke Thailand untuk melakukan inspeksi berbagai fasilitas transportasi hewan, karantina, serta standar penanganan Flu Burung. Hasil kunjungan ini adalah keyakinan bahwa Thailand benar-benar sudah bebas Flu Burung, sehingga pada bulan Desember 2013 sudah dibuka kembali impor daging unggas dari Thailand.

Kasus serupa juga terjadi dalam hubungan dagang Thailand dengan Indonesia. Pada tahun 2012, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Indonesia memberlakukan kebijakan pengetatan quota impor produk pertanian dari Thailand. Kebijakan ini sangat memukul Thailand karena Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan ASEAN dan terbesar ketiga di dunia setelah China dan Hongkong bagi produk hortikultura Thailand. Menyikapi hal ini, ACFS segera melakukan negosiasi terkait pembatasan kuota, sedangkan Kementerian Pertanian Thailand mengembangkan kesepakatan timbal balik (Mutual Recognition Agreement) dengan otoritas Indonesia. Pada akhir 2013, pemerintah Indonesia mengumumkan penundaan kebijakan sistem kuota tersebut. Ketiga kasus diatas hanyalah sedikit dari berbagai situasi kritis yang berhasil diselesaikan, dan ini menunjukkan betapa pemerintah Thailand benar-benar peduli dan bekerja untuk rakyatnya.

Adapun di Hongkong, kami mengunjungi Komisi Persamaan Kesempatan (Equal Opportunity Commision), sebuah lembaga yang dibentuk pada tahun 1996 atas perintah undang-undang, untuk menerapkan aturan tentang diskriminasi jenis kelamin (sex discrimination), diskriminasi kecacatan (disability discrimination), diskriminasi status keluarga (family status discrimination), serta diskriminasi ras (race discrimination). Hebatnya, aturan-aturan tersebut tidak hanya berlaku untuk warna negara Hongkong saja, melainkan juga bagi orang asing yang tinggal dan bekerja di Hongkong.

Sekedar gambaran, studi EOC pada tahun 2014 menghasilkan temuan bahwa 18 persen responden yang disurvei mengalami perlakuan diskriminatif atau pelecehan pada saat mencari kerja atau di dalam pekerjaan. Bentuk perlakuan diskriminatif yang paling sering adalah diskriminasi umur (64%), jenis kelamin (21%), pelecehan seksual (17%), status keluarga (14%), serta kehamilan (10%).

Bandingkan dengan di Indonesia, begitu banyak diskriminasi terkait umur. Untuk melamar sebagai PNS, misalnya, dibatasi minimal 18 tahun dan maksimal 35 tahun, sedangkan untuk menjadi anggota KASN minimal berusia 50 tahun. Secara begitu kasat mata, kita mengabadikan praktek diskriminasi dalam peraturan perundang-undangan. Sementara tentang diskriminasi jenis kelamin, betapa sering kita menyaksikan pengumuman lowongan kerja yang mensyaratkan jenis kelamin tertentu secara eksplisit. Tanpa kita sadari, bangsa ini sudah begitu lama dan mendalam berlaku diskriminatif untuk bangsa sendiri. Padahal, semenjak tahun 2005 Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah mengeluarkan Panduan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan di Indonesia (Equal Employment Opportunity) sebagai wujud komitmen untuk meratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan. Sayangnya, upaya enforcement-nya hanya terdengar sayup-sayup, untuk kemudian lenyap kembali ditelan bumi. Karena tidak ada upaya penegakan yang konsisten itulah, maka kehadiran negara tidak begitu terasa dalam kehidupan masyarakat.

Berikut ini adalah beberapa kasus persamaan kesempatan bukan hanya mengisi ruang-ruang kantor dan seminar, namun lebih memenuhi rongga-rongga kehidupan privat warga di Hongkong. Pertama, ada kasus seorang ibu yang menyusui bayinya di sebuah sudut di perpustakaan yang sepi, kemudian diperingatkan sebanyak dua kali oleh satpam dan diusir karena adanya ketentuan tidak boleh menyusui di perpustakaan. Si ibu menolak pergi dan tetap menyusui karena merasa memiliki hak untuk menyusui, dan bayinya-pun memiliki hak untuk disusui. Si ibu lantas mengadu kepada EOC, yang segera melakukan upaya rekonsiliasi. Hasilnya, pihak perpustakaan setuju untuk menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada si ibu, dan memberlakukan aturan diperbolehkannya menyusui di perpustakaan.

Kasus kedua, ada seorang perempuan yang bekerja sebagai manajer di sebuah restaurant. Oleh atasannya, ia diminta memindahkan hari liburnya ke akhir pekan. Namun perempuan ini menolak dan tetap meminta libur pada setiap hari Kamis karena pada hari itu ia membawa anaknya untuk terapi bicara. Karena menolak, akhirnya si perempuan ini dipecat. Setelah mengadu dan difasilitasi oleh EOC, restaurant tadi bersedia memberi ganti rugi 1 bulan gaji, permintaan maaf secara tertulis, serta surat rekomendasi untuk mencari pekerjaan. Kasus serupa dialami perempuan lain yang bekerja sebagai direktur SDM di sebuah perusahaan. Perempuan ini memiliki seorang ibu yang menderita kanker payudara, sehingga mengajukan cuti beberapa hari. Oleh atasanya, perempuan ini dinilai rendah kinerjanya dan diminta untuk mengundurkan diri. Karena menolak, akhirnya perusahaan tadi memecatnya. Setelah difasilitasi oleh EOC, akhirnya perusahaan memberi rekomendasi kepada perempuan tadi untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain.

Dalam kasus lain, ada seorang ibu yang baru melahirkan mengajukan komplain ke EOC karena seorang sopir bus tidak mau membuka kedua pintu bis, sementara ia menggendong bayinya dengan satu tangan dan memegang kereta bayi di tangan lainnya. Si ibu berargumen bahwa satu pintu tidak cukup leluasa baginya untuk naik kedalam bus. Dari hasil konsiliasi, perusahaan bus berjanji untuk memberi pelatihan bagi sopirnya dan meminta semua sopir bus untuk lebih ramah dan mau memenuhi permintaan/kebutuhan penumpang.

Ada lagi kasus tentang seorang pegawai yang mendapat cidera dalam pekerjaannya di sebuah klinik gigi. Oleh pimpinannya, ia dipaksa mengambil cuti karena sakit, namun setahun kemudian dia diberhentikan secara sepihak. Ketika EOC mengadakan investigasi, pihak perusahaan memberi penjelasan bahwa mereka tidak melakukan pemecatan. “Pemberhentian” tadi disebabkan oleh perampingan organisasi. Proses konsiliasi menjadi buntu, sehingga EOC kemudian memutuskan untuk memberi bantuan hukum kepada pegawai yang dipecat tadi, dan melanjutkan proses ke pengadilan. Akhirnya, klinik gigi tadi bersedia memberi kompensasi terhadap si pegawai.

Masih teramat banyak kasus-kasus kecil hingga besar yang ditangani oleh EOC, dan banyak sekali orang yang merasa sangat terbantu mendapatkan haknya yang dijamin oleh undang-undang. Undang-undang menjadi sebuah kebijakan yang berwibawa karena memberi rasa aman bagi warga negara. Kebijakan publik yang baik memang semestinya tidak sekedar memberi beban tambahan bagi masyarakat, apalagi menimbulkan rasa takut dan khawatir. Kebijakan adalah payung yang melindungi warga negara dari terik panas dan hujan badai. Sementara tugas pejabat publik adalah memberikan jaminan bahwa kebijakan yang dikeluarkan negara benar-benar mampu merealisasikan tujuannya sebagai instrumen membangun kualitas pelayanan dan kesejahteraan secara progresif.

Dari berbagai cerita di kedua negara diatas, dapat kita Tarik sebuah lesson learned bagaimana menghadirkan negara bagi masyarakatnya. Caranya ternyata cukup mudah, yakni merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak (pro people), kemudian menegakkan aturan tadi dengan komitmen yang bulat dari seluruh jajaran pejabat publiknya. Integritas total terhadap tugas dan orientasi terhadap nilai-nilai kepublikan (public values) menjadi kata kunci keberhasilan negara hadir hingga ke relung hati terdalam rakyatnya.

Villa Melati Mas Serpong, 25 Juni 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Mozaik Jalanan: Dari Abang Bajaj Hingga Gotong Royong



Sejak saya mendapat fasilitas seorang sopir dari kantor, saya memiliki kebiasaan baru setiap pulang dan pergi ke kantor, yakni mengobservasi apapun yang saya lihat sepanjang jalan. Ini beda sekali dibanding dulu saat masih membawa sendiri kendaraan, dimana saya lebih fokus untuk melihat celah-celah sempit diantara kemacetan yang parah agar bisa secepat mungkin sampai tujuan. Sekarang, saya tidak peduli dengan cara sopir saya membawa mobil yang lebih suka bertahan di jalur kanan semacet apapun, sementara jalur paling kiri (bahu jalan) relatif lancar. Saya mencoba mengalihkan kekecewaan terhadap gaya sopir saya yang seperti memakai kacamata kuda dengan cara mengamati, merenungi, meresapi setiap hal yang saya lihat.

Salah satu pusat perhatian saya adalah para abang Bajaj. Dari pengamatan saya setiap pagi, ada 2 kategori abang Bajaj. Pertama, mereka yang baru berangkat kerja sehabis subuh, sehingga terlihat masih segar, nampak sudah mandi sebelum berangkat, bahkan ada yang masih memakai kopluk khas kaum muslim. Wajah mereka cenderung bersih, tenang, santai, dan tidak banyak masalah. Saya membayangkan bahwa mereka meyakini benar bahwa rejeki itu urusan Tuhan, sedangkan urusan manusia hanyalah berikhtiar dengan disertai doa. Sangat tidak pada tempatnya manusia mengkhawatirkan rejeki dari Tuhannya, karena seekor Cicak di dindingpun tidak pernah kelaparan meski rejekinya berwujud makhluk yang bisa terbang. Orang-orang seperti ini begitu enjoy dengan pekerjaan dan keadaannya, sehingga mempengaruhi sikapnya dalam mengendarakan Bajaj secara santun dan tidak kebut-kebutan. Perasaan cukup (qona’ah) dan bersyukur terbersit dari wajah-wajah sederhana abang Bajaj tipe pertama ini.

Disisi lain, terkadang saya menemukan wajah abang Bajaj yang kusut, letih, dengan baju kumal karena lebih sehari – atau mungkin sudah tiga hari – tidak ganti baju, dan muka kusam seperti menyimpan banyak beban. Saya membayangkan mereka bekerja siang malam dan lupa dengan hak tubuhnya untuk diistirahatkan. Mereka juga lupa bahwa jiwanya butuh penyegaran dan makanan rohani. Mungkin mereka berpikir bahwa waktu 24 jam sehari terlalu sedikit untuk mengejar rejeki, dan sangat boleh jadi rejeki abgi mereka adalah kristalisasi keringat belaka tanpa ada intervensi Ilahiyah dari penguasa alam semesta.

Kondisi yang kontras yang saya amati tadi seringkali saya jadikan bahan introspeksi bahwa jangan-jangan saya termasuk kategori abang Bajaj yang kedua. Saya sungguh bersyukur bahwa saya bisa menarik pelajaran dari mereka. Dan saat saya meyakini bahwa mereka adalah guru-guru kehidupan dan sumber pembelajaran dalam hidup seorang manusia, semakin terbukalah kesadaran saya bahwa segala sesuatu disekitar kita pastilah mengandung pembelajaran bagi kita. Semua tergantung pada kita, apakah kita mau berpikir, menggunakan pikiran dan mata hati kita untuk memperbaiki diri sendiri.

Dilain kesempatan, saya mencoba mengkalkulasi secara kasar tentang pemasukan di gerbang tol. Bagi saya – bahkan bagi sopir saya – uang Rp. 5 ribu yang harus kami setor setiap melewati gerbang Karang Tengah, bukanlah jumlah yang besar. Dengan mudahnya kami membayar tanpa ada keberatan sedikitpun. Namun jika dikaitkan dengan puluhan ribu bahkan jutaan pengendara lainnya, maka Rp. 5 ribu per kendaraan itu akan menjadi sebuah kekuatan yang teramat besar.

Saya kemudian tergerak untuk mencari data di internet tentang jumlah kendaraan yang melewati ruas tol tertentu setiap harinya. Dari sumber di Jasa Marga, tercatat ada 2.224.831 kendaraan per hari melintasi ruas JORR berdasarkan Survei Lalu Lintas Asal Tujuan tahun 2010. Lima tahun berikutnya, bayangkan berapa kenaikan jumlah kendaraan di ruas ini. Sungguh ini potensi pendapatan yang sangat besar. Untuk di JORR saat ini tarifnya adalah Rp. 16 ribu, sehingga total pendapatan pengelola tol JORR adalah Rp. 35.597.296.000 per hari, sebuah angka yang super fantastis. Data lain yang saya dapatkan dari website Jasa Marga yakni jalan tol Jagorawi yang dilewati sebanyak 343.000 kendaraan per hari, dan pada tahun 2012 volume lalu lintas melonjak mencapai 518.000 kendaraan per hari. Jika tarif tol Jagorawi adalah Rp. 8 ribu, maka pendapatan sehari pengelola ruas ini mencapai Rp. 4.144.000.000.

Uniknya, saya yakin jarang sekali para penumpang merasakan dahsyatnya uang yang dikumpulkan di setiap gerbang. Mengapa demikian? Karena mereka hanya berkontribusi dalam jumlah yang sangat kecil. Semakin banyak orang yang berkontribusi, akan semakin ringanlah beban setiap orang, namun semakin besarlah akumulasi kontribusi tersebut. inilah yang sesungguhnya merupakan esensi dari gotong royong. Seandainya gotong royong diadopsi menjadi sistem permanen dalam kebijakan publik di seluruh sektor pembangunan, maka tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Keterbatasan APBN/APBD, porsi anggaran yang kecil setiap sektor, pagu anggaran yang juga sangat terbatas yang diterima setial K/L dan SKPD, semuanya akan selesai jika prinsip gotong royong itu diterapkan. Pengentasan kemiskinan yang masih menyisakan PR besar, gedung-gedung sekolah yang roboh, infrastruktur yang minim dan menyisakan ratusan atau ribuan daerah terisolasi, teramat kecilnya dana riset untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan issu-issu sejenisnya, semua juga akan selesai jika semangat gotong royong dari seluruh lapisan penduduk didayagunakan.

Prinsip gotong royong itu sendiri sebenarnya merupakan amanat Konstitusi bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Namun sepertinya para elite politik dan perumus kebijakan masih belum menemukan formulasi yang tepat untuk menerjemahkan mandat tersebut. Gotong royong masih terus menjadi slogan ketimbang praktek nyata dalam tata kehidupan masyarakat dan negara. Gotong royong hanya dipahami sebagai kerja bakti bersama antar warga bertetangga.

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya gagasan gotong royong adalah konsep asli Indonesia di masa silam. Coba ingat bagaimana penduduk pedesaan dahulu membangun sebuah rumah secara keroyokan. Setiap orang menyumbangkan sesuatu, apakah berbentuk tenaga, gula, batu bata, dan seterusnya. Ketika sebuah rumah selesai dibangun, dibangunlah rumah kedua, dan begitu seterusnya, sehingga mayoritas penduduk memiliki rumah layak huni tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan juta bahkan milyaran seperti yang terjadi saat ini. Ingatlah juga bagaimana penduduk desa bisa membangun sarana peribadahan atau jalan kampung tanpa harus meminta sumbangan sebagaimana pemandangan yang sering kita saksikan dewasa ini.

Saya pribadi belum punya gagasan bagaimana menginternalisasi semangat gotong royong tadi dalam setiap sendi penyelenggaraan pemerintahan. Saya hanya meyakini, belajar dari kasus iuran uang tol tadi, gotong royong adalah solusi cerdas untuk permasalahan kebangsaan kita.

Villa Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015

Sabtu, 20 Juni 2015

Kali Ini Tentang Pak Noorsyamsa Djumara

Sudah lama sekali saya ingin menulis tentang sosok kalem, santun, penyabar, dan penuh senyum ini. Sayangnya, selalu saja ada dalih klasik – sibuk lah, tidak ada waktu lah, dan seterusnya – yang menyebabkan tulisan ini tak kunjung selesai. Namun ketika saya telah merampungkan artikel testimonial saya tentang pak Desi Fernanda dan pak Agus Dwiyanto, dorongan untuk menuntaskan tulisan ini menjadi semakin kuat.

Ya, pak Noor, begitulah kami memanggil beliau, adalah orang yang sangat berpengaruh terhadap diri saya. Jika majalah Time setiap tahun merilis publikasi tentang tokoh-tokoh dunia paling berpengaruh, maka bagi saya pak Noor adalah salah satu tokoh paling berpengaruh tanpa perlu survey apapun. Tanpa beliau, mungkin saya tidak pernah mengenali bakat saya dalam hal menulis. Tanpa beliau, mungkin tidak akan pernah ada artikel opini saya yang dimuat di Jakarta Post, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan hampir seluruh koran nasional dan beberapa koran daerah. Tanpa beliau, mungkin juga saya tidak akan pernah percaya diri memberi materi di depan puluhan bahkan ratusan orang.

Sekitar akhir November 1993, beliau memanggil saya dengan beberapa teman se-angkatan dan kakak angkatan. Waktu itu saya masih orientasi di Bidang Diklat, sementara pak Noor adalah Kabid Litbang di LAN Perwakilan Jawa Barat (sekarang PKP2A I Jatinangor). Beliau menyodorkan berita di harian Pikiran Rakyat (PR) berjudul “Nasib Pegawai Negeri”, kemudian meminta kami semua untuk membuat tanggapan terhadap berita tersebut. Bagi saya, meskipun bukan atasan langsung, namun perintah dari unsur pimpinan dalam sebuah organisasi harus dimaknai sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar. Maka, meski harus mengkonsep dengan coretan tangan (waktu itu hanya ada 1 komputer untuk 1 unit, dan jumlah mesin ketik manual-pun masih sangat sedikit), saya memaksakan diri untuk menulis. Kami diberi deadline 1 minggu, dan alhamdulillah saya bisa menyerahkannya tepat waktu. Pada waktu itu, hanya sayalah yang bisa menunaikan tugas dari pak Noor, dan saya sangat memaklumi teman-teman lain yang tidak menyelesaikan tugasnya karena tugas-tugas lain yang lebih mendesak.

Pak Noor kemudian membaca dengan cermat dan memberi sedikit koreksi. Setelah saya perbaiki dalam hari yang sama, beliau meminta saya mengirimkan tulisan ini ke PR. Bagi saya yang CPNS-pun belum (SK CPNS baru saya terima tanggal 1 Januari 1994), tugas itu merupakan sebuah kemewahan yang mustahil saya lakukan. Maka saya menyarankan agar tulisan ini dikirim atas nama beliau saja. Pak Noor memahami posisi saya, dan akhirnya beliau bersedia untuk dicantumkan namanya sebagai penulis artikel bersama dengan saya. Tidak dinyana sama sekali bahwa hanya 2 minggu setelah kami kirim, artikel itu dimuat. Gegerlah kantor kami karena ada calon pegawai yang baru 3 minggu berada di kantor sudah mampu menulis artikel di PR. Inilah milestone yang ditancapkan oleh pak Noor dalam diri saya, sehingga sampai sekarangpun saya dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif.

Sejak saat itu saya mulai “dilirik” petinggi lain. Pimpinan puncak kami saat itu, pak Karhi Nisjar, meminta saya untuk membantu menyiapkan konsep-konsep baik untuk pidato, artikel untuk seminar, bahkan artikel untuk jurnal ilmiah dan tugas-tugas kuliah S3. Pak Noor juga melibatkan saya dalam seluruh aktivitas penelitian dan penulisan proceeding Seminar dalam rangka HUT LAN maupun Temu Wicara Ilmiah (TWI) dalam rangka Wisuda STIA-LAN Kampus Bandung. Dari membuat proposal hingga laporan akhir, semuanya saya kerjakan dengan senang hati sesuai peran yang dibebankan kepada saya. Bagi saya yang saat itu memiliki motivasi besar untuk belajar meskipun menyadari kebodohan diri, tidak ada kata lain terhadap sebuah perintah kecuali “siap”.

Bukan itu saja, pak Noor juga sering secara tiba-tiba memerintahkan saya untuk memberi materi di sebuah forum ilmiah menggantikan beliau. Ada dua kesempatan yang sangat ingat betul. Pertama, pada sebuah workshop di Hotel Bandung Permai, tiba-tiba saya dan seorang kolega saya, kang Baban Sobandi, disuruh menyampaikan materi kepada peserta. Inilah pertama kali rasa deg-degan yang begitu kuat menjalar ke seluruh bagian tubuh. Untunglah rasa deg-degan tadi mendorong adrenalin kami untuk secepat kilat menyaring berbagai ilmu yang telah mendekam dalam otak kami (meskipun sebenarnya masih sangat cetek), untuk kemudian kami share kepada peserta. Pak Noor terlihat senang sekali mengerjai kami berdua, namun tersungging senyum gembira ketika kami dinilai tampil cukup memuaskan.

Kejadian kedua terjadi di sebuah hotel di Surabaya pada forum yang diikuti oleh para kepala SKPD. Sebenarnya tugas saya hanya menyiapkan bahan paparan pak Noor, dan itu sudah beliau sampaikan, ketika tiba-tiba beliau mengatakan kepada peserta bahwa saudara Tri Widodo akan memberi tambahan materi. Seperti tersengat aliran listrik 1000 watt, perasaan saya berada diantara ingin menangis dan marah karena pak Noor seperti menjebak saya dalam situasi yang sangat sulit. Namun saya paham benar bahwa beliau memiliki niat mulia dan saya tidak boleh mengecewakan karena ini adalah “tugas negara”. Untungnya, saat itu saya sedang menempuh program S2 Kebijakan Publik di Universitas Padjajaran, dan seluruh catatan kuliah saya ada dalam 1 buku, yang selalu saya bawa kemanapun pergi. Maka, itulah modal saya. saya langsung membuka catatan kuliah dan seolah-olah memberi kuliah bagi para peserta. Saya bicara mulai trend pemerintahan wirausaha sesuai konsep Reinventing Government David Osborne dan Ted Gaebler, juga Banishing Bureaucracy dari David Osborne dan Peter Plastrik, atau konsep privatisasi dari E.S. Savas, dan sebagainya.

Ketika saya selesai memaparkan berbagai konsep yang memang sangat teoretik tadi, tiba-tiba ada pertanyaan dari seorang kepala dinas senior yang “protes” bahwa pemerintah tidak butuh teori, namun lebih pada aplikasi. Saya merasa mendapat serangan hebat dan masih belum tahu bagaimana merespon hal semacam ini. Pada saat “genting” seperti tiu, pak Noor segera turun tangan. Beliau memberi penjelasan panjang lebar bahwa seorang praktisi tidak bisa melupakan teori karena segala macam kebijakan publik pun pada dasarnya juga lahir dan berasal dari konsep-konsep teoretik. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan yang seimbang antara berpikir visioner dan konseptual disatu pihak, dan kemampuan manajerial dipihak lain. Banyak lagi yang disampaikan pak Noor secara menohon, yang membuat peserta tadi terdiam dan tertunduk malu.

Dari peristiwa tadi saya dapat memahami sikap seorang Noorsyamsa Djumara dalam membimbing anak buahnya. Beliau memberikan kepercayaan dan kebebasan untuk berekspresi, namun kepercayaan dan kebebasan itu juga berada dalam kendalinya. Beliau memiliki perhitungan yang matang bahwa siapapun yang diberikan kepercayaan, pastilah sudah memiliki kompetensi minimal untuk memenuhi ekspektasi minimal beliau. Dan ketika kadernya ini menghadapi badai saat menunaikan kepercayaan yang diberikan, beliau siap mengulurkan tangan untuk menjamin bahwa kadernya tadi tidak tenggelam oleh penugasannya. Tipe pemimpin seperti ini bagi saya adalah seorang pemimpin yang sempurna.

Terlepas dari sisi kedinasan, beliau juga tipikal pemimpin yang baik diluar kedinasan. Hal ini nampak ketika saya bicara dalam bahasa Sunda, yang ternyata kurang sopan (maklumlah saya berasal dari Jawa Tengah dan oleh teman-teman diberi pelajaran bahasa Sunda “sesat”), sambil tersenyum beliau memakluminya dan membetulkan bahasa Sunda saya. Hasilnya, sampai sekarang saya selalu berkomunikasi dengan beliau dalam tingkatan bahasa Sunda yang tertinggi yang saya mampu.

Beliau juga seorang figur yang tiada jemu memberi motivasi kepada saya untuk menyelesaikan studi Doktoral saya (pada saat ini saya sudah menyelesaikan ujian tertutup disertasi dan telah dinyatakan lulus). Saya merasakan bahwa beliau memiliki harapan yang amat besar kepada saya, yang kadang-kadang hal itu cukup membebani, namun selalu saya coba jadikan sebagai motivasi untuk lebih baik lagi. Sikap seperti itu membuktikan bahwa pak Noor adalah seorang mentor sejati yang perannya sangat dibutuhkan bagi eksistensi sebuah organisasi.

Sungguh, saya sangat beruntung mengenal pak Noor. Tulisan singkat dan sederhana ini tidak sanggup mendeskripsikan peran dan kontribusi beliau terhadap pengembangan diri saya. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah merekam dalam tulisan pendek ini sebagai wujud terima kasih saya yang abadi kepada beliau. Hatur nuhun pak Noor, katampi pisan sagala rupi kasaean bapak

Villa Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015