Laman

Sabtu, 20 Juni 2015

Kali Ini Tentang Pak Noorsyamsa Djumara

Sudah lama sekali saya ingin menulis tentang sosok kalem, santun, penyabar, dan penuh senyum ini. Sayangnya, selalu saja ada dalih klasik – sibuk lah, tidak ada waktu lah, dan seterusnya – yang menyebabkan tulisan ini tak kunjung selesai. Namun ketika saya telah merampungkan artikel testimonial saya tentang pak Desi Fernanda dan pak Agus Dwiyanto, dorongan untuk menuntaskan tulisan ini menjadi semakin kuat.

Ya, pak Noor, begitulah kami memanggil beliau, adalah orang yang sangat berpengaruh terhadap diri saya. Jika majalah Time setiap tahun merilis publikasi tentang tokoh-tokoh dunia paling berpengaruh, maka bagi saya pak Noor adalah salah satu tokoh paling berpengaruh tanpa perlu survey apapun. Tanpa beliau, mungkin saya tidak pernah mengenali bakat saya dalam hal menulis. Tanpa beliau, mungkin tidak akan pernah ada artikel opini saya yang dimuat di Jakarta Post, Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan hampir seluruh koran nasional dan beberapa koran daerah. Tanpa beliau, mungkin juga saya tidak akan pernah percaya diri memberi materi di depan puluhan bahkan ratusan orang.

Sekitar akhir November 1993, beliau memanggil saya dengan beberapa teman se-angkatan dan kakak angkatan. Waktu itu saya masih orientasi di Bidang Diklat, sementara pak Noor adalah Kabid Litbang di LAN Perwakilan Jawa Barat (sekarang PKP2A I Jatinangor). Beliau menyodorkan berita di harian Pikiran Rakyat (PR) berjudul “Nasib Pegawai Negeri”, kemudian meminta kami semua untuk membuat tanggapan terhadap berita tersebut. Bagi saya, meskipun bukan atasan langsung, namun perintah dari unsur pimpinan dalam sebuah organisasi harus dimaknai sebagai kewajiban yang tidak bisa ditawar. Maka, meski harus mengkonsep dengan coretan tangan (waktu itu hanya ada 1 komputer untuk 1 unit, dan jumlah mesin ketik manual-pun masih sangat sedikit), saya memaksakan diri untuk menulis. Kami diberi deadline 1 minggu, dan alhamdulillah saya bisa menyerahkannya tepat waktu. Pada waktu itu, hanya sayalah yang bisa menunaikan tugas dari pak Noor, dan saya sangat memaklumi teman-teman lain yang tidak menyelesaikan tugasnya karena tugas-tugas lain yang lebih mendesak.

Pak Noor kemudian membaca dengan cermat dan memberi sedikit koreksi. Setelah saya perbaiki dalam hari yang sama, beliau meminta saya mengirimkan tulisan ini ke PR. Bagi saya yang CPNS-pun belum (SK CPNS baru saya terima tanggal 1 Januari 1994), tugas itu merupakan sebuah kemewahan yang mustahil saya lakukan. Maka saya menyarankan agar tulisan ini dikirim atas nama beliau saja. Pak Noor memahami posisi saya, dan akhirnya beliau bersedia untuk dicantumkan namanya sebagai penulis artikel bersama dengan saya. Tidak dinyana sama sekali bahwa hanya 2 minggu setelah kami kirim, artikel itu dimuat. Gegerlah kantor kami karena ada calon pegawai yang baru 3 minggu berada di kantor sudah mampu menulis artikel di PR. Inilah milestone yang ditancapkan oleh pak Noor dalam diri saya, sehingga sampai sekarangpun saya dikenal sebagai seorang penulis yang cukup produktif.

Sejak saat itu saya mulai “dilirik” petinggi lain. Pimpinan puncak kami saat itu, pak Karhi Nisjar, meminta saya untuk membantu menyiapkan konsep-konsep baik untuk pidato, artikel untuk seminar, bahkan artikel untuk jurnal ilmiah dan tugas-tugas kuliah S3. Pak Noor juga melibatkan saya dalam seluruh aktivitas penelitian dan penulisan proceeding Seminar dalam rangka HUT LAN maupun Temu Wicara Ilmiah (TWI) dalam rangka Wisuda STIA-LAN Kampus Bandung. Dari membuat proposal hingga laporan akhir, semuanya saya kerjakan dengan senang hati sesuai peran yang dibebankan kepada saya. Bagi saya yang saat itu memiliki motivasi besar untuk belajar meskipun menyadari kebodohan diri, tidak ada kata lain terhadap sebuah perintah kecuali “siap”.

Bukan itu saja, pak Noor juga sering secara tiba-tiba memerintahkan saya untuk memberi materi di sebuah forum ilmiah menggantikan beliau. Ada dua kesempatan yang sangat ingat betul. Pertama, pada sebuah workshop di Hotel Bandung Permai, tiba-tiba saya dan seorang kolega saya, kang Baban Sobandi, disuruh menyampaikan materi kepada peserta. Inilah pertama kali rasa deg-degan yang begitu kuat menjalar ke seluruh bagian tubuh. Untunglah rasa deg-degan tadi mendorong adrenalin kami untuk secepat kilat menyaring berbagai ilmu yang telah mendekam dalam otak kami (meskipun sebenarnya masih sangat cetek), untuk kemudian kami share kepada peserta. Pak Noor terlihat senang sekali mengerjai kami berdua, namun tersungging senyum gembira ketika kami dinilai tampil cukup memuaskan.

Kejadian kedua terjadi di sebuah hotel di Surabaya pada forum yang diikuti oleh para kepala SKPD. Sebenarnya tugas saya hanya menyiapkan bahan paparan pak Noor, dan itu sudah beliau sampaikan, ketika tiba-tiba beliau mengatakan kepada peserta bahwa saudara Tri Widodo akan memberi tambahan materi. Seperti tersengat aliran listrik 1000 watt, perasaan saya berada diantara ingin menangis dan marah karena pak Noor seperti menjebak saya dalam situasi yang sangat sulit. Namun saya paham benar bahwa beliau memiliki niat mulia dan saya tidak boleh mengecewakan karena ini adalah “tugas negara”. Untungnya, saat itu saya sedang menempuh program S2 Kebijakan Publik di Universitas Padjajaran, dan seluruh catatan kuliah saya ada dalam 1 buku, yang selalu saya bawa kemanapun pergi. Maka, itulah modal saya. saya langsung membuka catatan kuliah dan seolah-olah memberi kuliah bagi para peserta. Saya bicara mulai trend pemerintahan wirausaha sesuai konsep Reinventing Government David Osborne dan Ted Gaebler, juga Banishing Bureaucracy dari David Osborne dan Peter Plastrik, atau konsep privatisasi dari E.S. Savas, dan sebagainya.

Ketika saya selesai memaparkan berbagai konsep yang memang sangat teoretik tadi, tiba-tiba ada pertanyaan dari seorang kepala dinas senior yang “protes” bahwa pemerintah tidak butuh teori, namun lebih pada aplikasi. Saya merasa mendapat serangan hebat dan masih belum tahu bagaimana merespon hal semacam ini. Pada saat “genting” seperti tiu, pak Noor segera turun tangan. Beliau memberi penjelasan panjang lebar bahwa seorang praktisi tidak bisa melupakan teori karena segala macam kebijakan publik pun pada dasarnya juga lahir dan berasal dari konsep-konsep teoretik. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan yang seimbang antara berpikir visioner dan konseptual disatu pihak, dan kemampuan manajerial dipihak lain. Banyak lagi yang disampaikan pak Noor secara menohon, yang membuat peserta tadi terdiam dan tertunduk malu.

Dari peristiwa tadi saya dapat memahami sikap seorang Noorsyamsa Djumara dalam membimbing anak buahnya. Beliau memberikan kepercayaan dan kebebasan untuk berekspresi, namun kepercayaan dan kebebasan itu juga berada dalam kendalinya. Beliau memiliki perhitungan yang matang bahwa siapapun yang diberikan kepercayaan, pastilah sudah memiliki kompetensi minimal untuk memenuhi ekspektasi minimal beliau. Dan ketika kadernya ini menghadapi badai saat menunaikan kepercayaan yang diberikan, beliau siap mengulurkan tangan untuk menjamin bahwa kadernya tadi tidak tenggelam oleh penugasannya. Tipe pemimpin seperti ini bagi saya adalah seorang pemimpin yang sempurna.

Terlepas dari sisi kedinasan, beliau juga tipikal pemimpin yang baik diluar kedinasan. Hal ini nampak ketika saya bicara dalam bahasa Sunda, yang ternyata kurang sopan (maklumlah saya berasal dari Jawa Tengah dan oleh teman-teman diberi pelajaran bahasa Sunda “sesat”), sambil tersenyum beliau memakluminya dan membetulkan bahasa Sunda saya. Hasilnya, sampai sekarang saya selalu berkomunikasi dengan beliau dalam tingkatan bahasa Sunda yang tertinggi yang saya mampu.

Beliau juga seorang figur yang tiada jemu memberi motivasi kepada saya untuk menyelesaikan studi Doktoral saya (pada saat ini saya sudah menyelesaikan ujian tertutup disertasi dan telah dinyatakan lulus). Saya merasakan bahwa beliau memiliki harapan yang amat besar kepada saya, yang kadang-kadang hal itu cukup membebani, namun selalu saya coba jadikan sebagai motivasi untuk lebih baik lagi. Sikap seperti itu membuktikan bahwa pak Noor adalah seorang mentor sejati yang perannya sangat dibutuhkan bagi eksistensi sebuah organisasi.

Sungguh, saya sangat beruntung mengenal pak Noor. Tulisan singkat dan sederhana ini tidak sanggup mendeskripsikan peran dan kontribusi beliau terhadap pengembangan diri saya. Dan yang bisa saya lakukan hanyalah merekam dalam tulisan pendek ini sebagai wujud terima kasih saya yang abadi kepada beliau. Hatur nuhun pak Noor, katampi pisan sagala rupi kasaean bapak

Villa Melati Mas Serpong, 21 Juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar