Laman

Senin, 01 Juni 2015

Membuka Gerbang Reformasi dan Mendorong Gerbong Inovasi dengan 7 Disiplin Pemimpin



Tulisan ini adalah rekaman saya terhadap sosok bernama Agus Dwiyanto. Beliau adalah seorang Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM yang ditakdirkan menjadi Kepala LAN 2012-2015 dan membawa banyak perubahan di dalamnya. Selama 3 tahun menjadi pembantunya, saya dapat meringkaskan seluruh kiprah beliau dalam 3 kata kunci, yakni: membuka gerbang reformasi, mendorong gerbong reformasi, dan implementasi tujuh disiplin seorang pemimpin.

Mungkin sebuah kebetulan jika saya menemukan buku karangan Jeff Wolf & Ken Shelton berjudul Seven Disciplines of A Leader: How to Help Your People, Team, and Organization Achieve Maximum Effectiveness (John Wiley & Sons, 2015). Begitu saya membaca 7 disiplin seorang pemimpin dalam buku itu, pikiran saya langsung tertuju pada sosok pak Agus dengan serangkaian gebrakan yang dilakukan selama memimpin LAN. Dari displin pertama hingga terakhir, semuanya telah dipraktikkan secara sempurna oleh beliau.

Uniknya, beliau menerapkan tujuh disiplin tadi justru sebelum lahirnya buku ini. Itu berarti bahwa pak Agus menjalani tugas kepemimpinannya dengan sentuhan seni. Ya, kepemimpinan adalah sebuah seni, yang lahir dari intuisi yang tajam, refleksi yang dalam, dan imajinasi yang panjang. Olah pikir beliau tentang reformasi dan inovasi tidak datang dari untaian teori klasik yang diajarkan di bangku kuliah atau ruang seminar. Semua itu dilakukan berlandaskan pada dorongan hati untuk memberi yang terbaik bagi institusi (passion) dan panggilan tugas untuk membenahi berbagai carut-marut negeri (calling). Maka, langkah-langkah “berani” yang beliau tempuh telah menjadikan reformasi bukan sebagai sesuatu yang diajarkan dan dipikirkan (reform that is taught and thought), melainkan sesuatu yang bekerja dalam aras praksis (reform that works).

Coba kita simak, dikala banyak pengamat, pejabat, dan masyarakat awam hanya meneriakkan gagasan membangun arsitektur kelembagaan pemerintah yang ramping dan efisien, pak Agus pada transmisi pertama sudah melakukan perampingan struktur Eselon I di LAN. Beliau bekerja, bukan berwacana. Beliau memberi bukti, bukan sekedar mimpi. Nampaknya pak Agus sadar benar tentang perlunya walk the talk. Namun yang terjadi sesungguhnya lebih dari itu. Beliau juga living the walk, yakni menghidupi jalan yang dipilih dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Apapun program yang dilakukan, haruslah bersumber dari basic values yang menjadi spirit bagi organisasi dan segenap pegawainya.

Salah satu nilai yang diperjuangkan pak Agus dalam memulai perubahan kelembagaan ini adalah keinginan menghilangkan fragmentasi dalam pelaksanaan tugas karena besar atau rumitnya struktur (fragmented organization). Mindset bahwa banyaknya dan tingginya level jabatan akan mencerminkan organisasi yang berwibawa, sudah waktunya dikubur dalam-dalam. Organisasi justru perlu didesain seefektif mungkin untuk membuat hubungan antar unit dan antar pegawai lebih terintegrasi. Langkah inilah yang kemudian menjadi trend nasional, dimana banyak K/L yang mengikuti langkah LAN melakukan perampingan struktur organisasinya. Dengan restrukturisasi kelembagaan yang bermuara pada terwujudnya consolidated and integrated organization (bukan sekedar downsizing) ini, program reformasi birokrasi (RB) nasional menjadi lebih bertaji dibanding sebelumnya, terutama pada area perubahan kelembagaan. Terkait dengan buku Jeff Wolf diatas, saya berani mengatakan bahwa pak Agus telah menerapkan disiplin pemimpin yang pertama, yakni Initiative and Influence: Seize the Reins and Set an Example for Others.

Pak Agus adalah juga seorang pemimpin yang visioner. Ketika banyak orang menghindar untuk berinovasi karena dipandang sebagai praktek breaking the rule, beliau justru meminta mandat baru kepada pemerintah agar LAN ditunjuk sebagai institusi yang bertugas mengembangkan inovasi administrasi negara. Cukup masuk akal jika inisiatif beliau ini tidak mudah untuk dipahami oleh jajaran pegawai LAN saat itu. Kebingungan merebak disekitar pertanyaan tentang apa itu inovasi administrasi negara, apa ruang lingkupnya, apa bedanya dengan kajian, bagaimana metode dan langkah-langkah berinovasi, dan sebagainya. Namun dengan penjelasan dan ikhtiar yang tanpa lelah, sekarang kami bahkan sampai kepada kesimpulan bahwa inovasi adalah jawaban terhadap semua permasalahan, baik pada level organisasi maupun pada level kenegaraan.

Kemampuan beliau membuka labirin masa depan dan memilihkan strategi untuk menjadi pemenang di masa depan menguatkan pandangan saya bahwa beliau adalah seorang inovator, yang dicirikan oleh kemampuan melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain (see what others don’t). Beliau telah sangat berhasil meyakinkan kami, khususnya para pegawai di Kedeputian Inovasi, bahwa inovasi adalah satu-satunya strategi untuk menang. Ketika belakangan kami menemukan kutipan dari Steve Jobs yang berbunyi innovation is the only way to win, kami sudah memahami maknanya karena kami sudah meyakininya terlebih dahulu. Dan ternyata, hanya dalam setahun sejak mandat inovasi diterima LAN, banyak daerah yang sangat antusias menjadi laboratorium inovasi LAN dan berkeinginan kuat menjadi lumbung inovasi nasional. Jika diibaratkan dengan gerbong kereta yang selama ini mandeg, inovasi sudah mulai bergerak dan siap melaju kencang. Inilah disiplin kedua seorang pemimpin yang kami terima dari pak Agus, yakni Vision, Strategy, and Alignment: The Progression from Plan to Accomplishments Marks a True Leader.

Ada hal lain yang menarik dari sosok pak Agus. Sebagai seorang pemikir besar yang dibuktikan dengan puluhan buku hasil karyanya, beliau adalah tipe pemimpin yang berjiwa eksekutor. Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu menegaskan keberaniannya melindungi anak buah dengan mengambil segala resiko yang mungkin muncul dari setiap kebijakan yang ditempuh. Beliau menginginkan anak buahnya tidak ragu-ragu dalam menjalankan tugas, dan mampu bekerja dalam kecepatan penuh. Selaras dengan keinginan seperti ini, beliau juga memberi keleluasaan bagi stafnya untuk menggunakan akal sehat ketika menghadapi sebuah persoalan atau tantangan baru. Beliau bukan tipe pemimpin yang senang saat anak buah berbondong-bondong meminta petunjuk dan arahan. Bagi beliau, akal sehatlah yang menjadi sumber petunjuk bagi pegawai dalam menentukan langkah. Sebagai seorang eksekutor yang cenderung perfeksionis, beliau meminta semua bawahannya untuk menerapkan zero tolerance untuk setiap penyimpangan atau perlakuan yang tidak semestinya. Maka, pantaslah jika di era kepemimpinan beliau, banyak peserta diklat yang tidak lulus atau ditangguhkan kelulusannya, sesuatu yang tidak pernah ditemui pada masa silam.

Pak Agus adalah juga contoh pejabat yang memiliki sensitivitas anggaran sangat tinggi. Berulang kali beliau menekankan semua kegiatan harus worth spending. Saya sendiri adalah salah satu pegawai yang pernah kena semprot beliau karena melakukan perjalanan dinas untuk keperluan sosialisasi program inovasi. Meskipun menurut kami cukup penting karena inovasi merupakan subyek baru yang harus dipahami banyak orang, namun beliau melihat masih ada prioritas lain yang lebih mendesak. Dengan sensitivitas seperti itulah, beliau juga tidak mendukung penggalian data ke lapangan kecuali jika instrumentasi dan metodologi penelitiannya sudah dipersiapkan secara matang. Sikap seperti inilah yang menunjukkan teraplikasikannya disiplin ketiga seorang pemimpin, yakni Priorities, Planning, and Execution: Execution Cannot Succeed without the Team’s Acceptance and Endorsement.

Disiplin keempat menurut Jeff Wolf adalah Social/Emotional/Political Intelligence: The Tribulations of Leadership and Their Remedies. Disiplin ini termanifestasikan dari hal kecil seperti menghilangkan panggilan dengan jabatan, mengadakan pertemuan dengan seluruh pegawai setelah senam kesegaran jasmani hari Jum’at (meskipun tidak rutin), menghilangkan formalitas dalam komunikasi harian, dan menerapkan fleksibilitas dalam berbagai hal, seperti format laporan peserta diklat, proses dan produk pembelajaran, dan sebagainya. Beliau juga memperkenalkan istilah “merawat institusi”, berupa alokasi satu hari dalam satu minggu untuk memikirkan organisasi agar semakin lebih baik. Praktek merawat institusi ini ternyata juga menjadi kebiasaan yang diterapkan di perusahaan Apple Inc., yang terbukti menjadikan perusahaan ini sebagai organisasi paling terkemuka di planet bumi saat ini. Intinya, beliau membangun organisasi bukan hanya dari hardware-nya saja, namun juga software­-nya, yakni budaya kerja yang berorientasi kualitas dan kebersamaan.

Tanpa terasa, tulisan saya sudah cukup panjang. Maka, saya ingin menghentikan sampai disini meski masih ada tiga disiplin lainnya, yakni: 1) Reciprocation, Collaboration, and Service; 2) Love and Leverage: There Is No Substitute for Passion about Work; dan 3) Renewal and Sustainability: Those who Practice Renewal and Sustainability Avoid Common Pitfalls. Tentu saja, ketiga disiplin juga menonjol sebagai sebuah habit yang ditradisikan pak Agus selama tiga tahun di LAN. Sengaja saya biarkan tanpa elaborasi untuk memberi kesempatan kolega saya di LAN melakukan refleksi atas diri sang Inspirator, pak Agus Dwiyanto.

Akhirnya, rekaman yang saya paparkan diatas memberi kesimpulan bahwa membicarakan administrasi publik di Indonesia tanpa melihat peran seorang Agus Dwiyanto, adalah sebuah anakronisme atau kesalahkaprahan. Mungkin pernyataan ini sedikit berlebihan, namun harus diakui bahwa pembaharuan praktek penyelenggaraan pemerintahan selama tiga tahun terakhir (2012-2014) sangat diwarnai oleh pemikiran dan tindakan-tindakan beliau. Pembaca yang tidak turut mengalami proses transformasi di LAN, sangat boleh jadi menilai tulisan ini tendensius untuk kepentingan tertentu. Bahwa tulisan ini subyektif, iya, karena saya tidak meminta pendapat dan konfirmasi dari orang lain terhadap opini saya. namun sebagai seorang Ahli Peneliti Utama yang 20 tahun lebih dididik untuk boleh berbuat salah namun tidak boleh berbohong, saya tetap menjaga kredibilitas profesi saya. Selain itu, tulisan ini saya buat setelah pak Agus menuntaskan pengabdiannya di LAN, sehingga beliau tidak dapat lagi membuat kebijakan apapun atas tulisan saya ini. Sayapun pernah melakukan hal yang sama untuk pimpinan saya sebelumnya, yakni pak Desi Fernanda. Dengan kata lain, tulisan ini murni refleksi seorang manusia terhadap manusia lainnya, sebagai upaya kecil membangun budaya apresiasi dalam birokrasi pemerintahan.

Jakarta, 1 Juni 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar