Laman

Sabtu, 24 Oktober 2015

Sepenggal Cerita tentang Negeri China



China, siapa yang tidak mengaguminya? China boleh dikata sebagai fenomena paling menonjol abad ini. Hal ini bukan hanya karena warisan leluhurnya yang sangat dahsyat seperti tembok besar (the great wall) atau perguruan Shaolin yang melahirkan pendekar-pendekar Kung-fu kelas wahid. Bukan pula hanya karena kehebatannya di dunia olahraga yang selalu mendominasi semua cabang mulai level Asian Games hingga Olimpiade. Lebih dari lagi semua, China hebat karena kemampuannya mengelola negara, sehingga meskipun memiliki beban teramat besar berupa jumlah penduduk yang lebih dari 1 milyar jiwa, tidak menjadikan negeri ini mengalami ketergantungan pasokan bahan pangan dari luar negeri. Pendapatan perkapita yang mencapai 30 ribu USD dan tingkat kesejahteraan rakyat juga jauh lebih tinggi dibanding banyak negara dengan jumlah penduduk yang hanya seperempat atau bahkan sepersepuluh penduduk China. Kawasan pantai timur China juga tumbuh menjadi kawasan-kawasan termodern di dunia seperti Shanghai, Beijing, Guangzhou, dan yang lainnya, yang ditandai dengan munculnya ratusan gedung pencakar langit baru.

Nah, ketika saya mendapat kesempatan berkunjung untuk pertama kalinya ke China daratan, tepatnya Shanghai, saya merasa begitu antusias. Mengunjungi China adalah salah satu obsesi bawah sadar saya selama ini, yang terstimulasi oleh setting berpikir sebagaimana saya gambarkan diatas. Saya membayangkan bahwa saya akan mengalami proses mutasi ke dunia baru yang tidak terbayangkan sebelumnya, yang serba mencengangkan, yang tidak akan saya lewatkan untuk menikmatinya meski sekejap mata sekalipun.

Walaupun saya akui bahwa infrastruktur perkotaan sangat maju, namun ekspektasi saya terhadap negeri ini nampaknya terlalu tinggi. Sejak hari pertamapun, sudah banyak peristiwa yang meruntuhkan mimpi-mimpi indah saya tentang negeri tirai bambu ini. Saat saya check-in di hotel, misalnya, begitu saya masuk ke kamar, ternyata kamar itu masih dihuni oleh tamu yang lain. Dalam kasus seperti itu, wajar seandainya saya dan penghuni kamar itu marah dan komplain kepada manajemen hotel. Namun saya tidak protes sedikitpun, hanya meminta kamar baru, namun kesan pertama saya menjadi sangat berubah tentang China. Bukannya saya bermutasi ke dunia dongeng yang penuh dengan fantasi, yang saya alami justru peristiwa yang di negara belum berkembangpun rasanya tidak akan pernah terjadi.

Saya mencoba melupakan kejadian “sepele” ini, dan melanjutkan upaya menikmati Shanghai apa adanya. Waktu saya masuk kamar hotel untuk pertama kali, saya senang karena setiap kamar dilengkapi dengan personal computer, yang tersambung ke internet. Saya pikir, inilah cara mereka melayani tamu untuk mengakses internet, karena memang mereka tidak menyediakan fasilitas wi-fi di kamar. Namun ketika saya mulai menggunakan PC tersebut, ternyata banyak sekali situs yang tidak bisa diakses, terutama media sosial. Jika di Indonesia atau negara lain ada jutaan pengguna Google, Facebook, Twitter, Slideshare, Youtube, atau Academia, maka semua itu tidak dikenal disini karena diblok oleh otoritas negara. Mesin pencari yang disediakan adalah Baidu (www.baidu.com), yang ketika saya masukkan frasa “strategic management”, misalnya, 90% item yang muncul adalah informasi/sumber berbahasa China. Kebiasaan mengunduh film pendek di Youtube, atau mengeksplor artikel/jurnal ilmiah melalui Google, atau mencari bahan paparan / paper di Slideshare/Academia sebagai referensi menyusun bahan ajar, secara serta-merta tidak dapat dilakukan disini. Demikian pula, aplikasi Line di smart-phone tidak bisa dipakai di China, hanya Whatsapp yang tersedia. Entahlah, apa kesalahan Lee Hae Jin, pendiri/pembuat Line sehingga diperlakukan secara diskriminatif dibanding Jan Koum, penemu Whatsapp?

Semua itu sempat membuat saya mengalami perasaan kembali ke “jaman batu”, dimana keberadaan seseorang atau suatu bangsa dipisahkan secara tegas oleh batas-batas teritorial. Konsep borderless world yang sering saya dengar, sepertinya tidak terlalu cocok di China. Saya merasa terputus dari dunia luar. Kebutuhan saya tentang informasi tidak dapat terpenuhi secara bebas, karena tertutupnya media belajar melalui internet. Pastilah pemerintah China memiliki alasan mengapa mereka menutup akses terhadap beberapa situs internet tadi. Hanya saja, saya berpikir lain. Seandainya Google, Slideshare, Youtube, atau Academia diperkenankan, bukankah akan terjadi efek pembelajaran yang luar biasa bagi rakyat China? Bukankah instansi pemerintah juga lebih mudah berinteraksi langsung dengan masyarakat yang dilayaninya dengan menggunakan media sosial tadi? Memang tidak semua orang akan memanfaatkan untuk hal-hal positif, namun kemungkinan buruk seperti itu mestinya tidak menutup kesempatan bagi kemanfaatan yang lebih besar. Fungsi regulasi pemerintah dalam hal ini akan lebih indah jika tidak diarahkan dalam bentuk pelarangan (prohibition), namun lebih pada pembatasan (limitation). Gara-gara saya tidak bisa mengakses Google, Slideshare dan Youtube, dengan terpaksa saya harus menolak permintaan mengajar Strategic Management bagi pejabat Eselon I dan II Kementerian Perdagangan Pemerintah Timor Leste.

Observasi saya masih terus berlanjut tentang negeri ini. Ketika saya mengambil master di Jepang tahun 2002-2004 yang lalu, ada stigmatisasi untuk orang China dan Indonesia sebagai bangsa yang suka membuang sampah sembarangan. Dengan modal positive thinking, saya membuang jauh-jauh stigma itu saat datang di Shanghai. Sayangnya, saya harus membenarkan stigma yang saya dengar sejak 13 tahun yang lalu. Baik di lingkungan kampus maupun di jalan-jalan raya, bukan sekali dua kali saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, begitu mudahnya orang membuat puntung rokok atau sampah-sampah kecil. Saya yang orang asing-pun menyayangkan tindakan mereka, namun mereka malah tidak sayang dengan kotanya yang begitu modern. Tidak sampai disitu, saya juga kerap merasa jengah dengan bau asap rokok dimana-mana. Semenjak keluar bandara, lorong-lorong pertokoan, hingga di loby hotel, saya sering terperangkap dalam asap rokok. Bahkan, saya hampir pingsan ketika masuk lift di lantai 1 yang begitu pekat dengan bau asap rokok, sementara saya akan menuju ke kamar saya di lantai 17. Bayangkan, dari lantai 1 hingga 17 itu saya mencoba menahan nafas dan menutupi hidung dengan lengan baju saya. Sungguh ini pengalaman paling mengerikan yang saya temui di China, dan belum pernah saya temui di belahan planet bumi yang lain.

Satu lagi yang membuat saya tidak suka pada pengalaman pertama di China adalah soal taksi. Perilaku sopir taksi yang kami naiki di Shanghai mirip sekali dengan sopir angkot di Indonesia yang mengejar setoran. Mereka tidak menjaga jarak aman dengan kendaraan di depannya, memotong jalur tanpa malu-malu, sesukanya membunyikan klakson meski tahu jalanan macet, dan tidak ada ramahnya sedikitpun kepada penumpang. Meskipun baru naik taksi 2 kali sampai saat tulisan ini saya buat, namun kesan taksi ugal-ugalan sulit sekali saya hindari. Mungkin saja hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang biasa disini, namun bagi saya hal seperti ini dapat merusak citra bangsa China. Untungnya, para sopir taksi disini tidak suka berputar-putar agar tarifnya membengkak. Meskipun tidak nyaman karena perilaku yang kurang bersahabat dan karena kendala bahasa, minimal kita yakin bahwa para sopir taksi di China tidak suka ngibulin penumpangnya.

Itulah beberapa pengalaman pertama yang saya temui pada kunjungan pertama saya di China. Ternyata, negeri sendiri selalu lebih indah dan lebih enak untuk dinikmati. Saya berharap bahwa kejadian atau pengalaman yang saya dapatkan di kunjungan pertama di Shanghai ini hanyalah sebuah kebetulan semata, dan bukan cerminan budaya bangsa China secara utuh. Saya berharap, ketika suatu hari kelak saya berkunjung lagi ke China, bukan pengalaman ini yang saya dapatkan kembali, melainkan China yang ada dalam alam mimpi dan fantasi saya selama ini. Meskipun saya tahu bahwa the world is not perfect, tidak ada salahnya untuk terus memelihara mimpi dan fantasi. Ketika kita menemukan fakta yang bertolak belakang denagn mimpi kita, yang harus kita lakukan begitu sederhana: rajutlah mimpi baru. Tidak perlu kecewa ketika realita berkata lain. Mimpi itu butuh keberanian, maka jangan pernah takut untuk terus bermimpi indah. Ke China lagi? Siapa takut, hehehe … :)

Haixing Hotel Shanghai, 19 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar