Laman

Rabu, 19 Oktober 2016

Pesan Untuk Pakpak Bharat



Tulisan ini sebenarnya saya siapkan sebagai pidato lisan pada kegiatan launching rencana inovasi di Kabupaten Pakpak Bharat, tanggal 11 Oktober 2016. Estimasi waktu yang dialokasikan cukup lama yakni setengah jam, mulai jam 10.00-10.30 wib. Namun karena bupati ada rapat penting dengan Forkompimda terkait persiapan Pilkades serentak bulan depan, acara baru bisa dimulai pada pukul 13.00 wib, sementara paling lambat pukul 14.00 wib saya sudah harus mengejar pesawat pukul 20.00 wib. Maka, saya hanya memberi sambutan tidak lebih dari lima menit saja, sedangkan pointers yang sudah saya siapkan menjadi sia-sia. Nah … agar tidak menjadi sia-sia, “terpaksalah” knowledge verbal harus saya tuangkan dalam bentuk naskah, sehingga pesan-pesan yang ingin saya sampaikan dapat diterima dengan lebih mudah.

Kesan pertama saya terhadap Pakpak Bharat adalah daerah yang begitu tenang dan damai, subur makmur, sangat alami, dan teramat indah. Dari Sidikalang (Ibukota kabupaten Dairi, tempat kami bermalam) ke Salak (Ibukota Pakpak Bharat), jalanan relatif mulus meski agak sempit, diapit oleh hutan rimba yang masih perawan. Tidak nampak ada deforestrasi sama sekali atau aktivitas perusakan hutan. Tidak nampak juga enclave atau pemukiman liar penduduk di wilayah hutan. Benar-benar sebuah hutan konservasi yang terjaga kelestariannya.

Pikiran saya langsung terkoneksi dengan dua hal. Pertama, lagu Koes Plus berjudul “Kolam Susu”, yang mendendangkan syair “Orang bilang tanah kita tanah surga … Tongkat kayu dan batu jadi tanaman …”. Kedua, semboyan para pendiri bangsa bahwa Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja, ibarat untaian zamrud di sepanjang khatulistiwa. Kedua hal tersebut, begitu cocok untuk mendeskripsikan Pakpak Bharat.

Angan saya kemudian melayang lebih jauh. Saya membayangkan situasi puluhan atau ratusan tahun yang lalu, siapa dan apa motivasi manusia pertama yang memilih tinggal di daerah ini? Saya yakin tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan saya ini, bahkan oleh penduduk aslinya. Oleh karena itu, saya mencari analogi yang paling mendekati dengan situasi Pakpak Bharat. Analogi saya jatuh pada Alas (hutan) Mentaok, sebuah rimba belantara di tlatah Mataram (sekarang Yogyakarta). Hutan ini adalah area yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya, Raja Pajang, kepada Ki Ageng Pemanahan, atas jasanya mengatasi “pemberontakan” Ario Penangsang. Tanah ini dinamakan tanah Perdikan, dimana pemiliknya dibebaskan dari kewajiban membayar upeti (baca: pajak bumi) atas jasanya kepada negara. Pembebasan pajak ini boleh jadi merupakan bentuk inovasi pada masa pemerintahan kerajaan tempo dulu. Karena tidak perlu membayar pajak, maka Alas Mentaok itu mengundang minat banyak pendatang untuk tinggal dan berusaha di daerah tersebut, sehingga lama kelamaan semakin ramai dan makmur. Dan kita lihat sekarang, Alas Mentaok telah menjadi kota pelajar, kota budaya, kota wisata, dan juga kota perdagangan, yakni Kota Yogyakarta.

Alas Mentaok adalah contoh keberhasilan transformasi dari wilayah hutan menjadi perkotaan modern yang sarat dengan fasilitas layanan umum. Namun sebaliknya, ada situasi dimana kota-kota yang sudah relatif maju justru mengalami kemunduran yang sangat drastis sehingga ditinggalkan oleh penduduknya akibat mis-management atau karena sumber daya yang ada terkuras habis. Contoh abandoned cities ini antara lain Humberstone di Chili. Kota ini mencapai masa kemegahan pada periode 1920-1940an karena kekayaan tambangnya. Namun kota ini sudah tidak berpenghuni pada tahun 1961. Demikian pula kota Wittenoom di Australia. Pernah berpenghuni lebih dari 20 ribu jiwa namun sekarang hanya dihuni oleh beberapa orang saja. Kasus kota Gary, Indiana, di sisi selatan Chicago, juga bernasib sama. Pada tahun 1906 mengalami kejayaan terdorong oleh industri baja, namun tahun 1960-an mengalami depresi dan tidak mampu bangkit lagi hingga sekarang. Masih banyak lagi contoh kota-kota yang ditinggalkan karena alasan yang berbeda-beda, misalnya kota Ruby di Arizona, Eerie City of Agdam di Azerbaijan, dan seterusnya (http://weburbanist.com/2008/07/06/20-abandoned-cities-and-towns/, http://www.touropia.com/lost-cities/).

Bagaimana dengan Pakpak Bharat, akankah kawasan ini menjelma menjadi pusat pertumbuhan dan pusat kemakmuran baru, ataukah justru akan ditinggalkan setelah sumber daya alam habis tersedot atau karena salah urus? Keduanya memiliki probabilitas yang sama besar. Dalam hal ini, faktor yang akan menentukan arah Pakpak Bharat kedepan dan mampu membuat perbedaan adalah aparaturnya. Akankah aparatur disini mampu berpikir kreatif dan visioner, didukung kemampuan melakukan terobosan-terobosan dalam manajemen pemerintahan; ataukah mereka terjebak pada kebiasaan rutin (business as usual), nyaman dalam zona yang tidak kompetitif (comfort zone), dan enggan untuk berubah (resistance to change).

Untuk sementara, dapat ditarik hipotesa bahwa aparatur di Pakpak Bharat telah memiliki kemauan yang tinggi untuk menjadikan daerahnya lebih maju dan berkembang, serta memiliki kapasitas yang cukup baik untuk melakukan terobosan-terobosan dalam manajemen pemerintahan. Hal ini dapat diamati dari lahirnya 48 rencana inovasi yang diluncurkan, dari 168 ide inovasi yang sempat diverifikasi di tahap sebelumnya.

Banyak diantara 48 rencana inovasi itu yang bersifat unique dengan kadar originalitas yang tinggi. Sebagai contoh, Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan memiliki inovasi untuk memberdayakan pemuda dalam bentuk inisatif “Pemuda Pelopor Pembangunan” dan “Bamu Petik” (Barisan Muda Pembasmi Jentik). Meskipun terkesan sederhana, namun boleh jadi gagasan seperti ini merupakan penjabaran pidato Bung Karno yang mengatakan “Berikan aku 10 orang tua, maka akan kupindahkan gunung. Berikan aku 10 anak muda, maka akan kuguncang dunia”. Maka, gagasan Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan untuk memberdayakan pemuda atau kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini kurang optimal kontribusinya bagi daerah, adalah sebuah inovasi. Dinas Pendidikan masih memiliki ide inovasi yang unique seperti “One Village One PAUD”, “One School One Sport Club”, dan “Sweeping Buta Aksara”. Sementara DPPKAD dan Dinas Kesehatan memiliki orientasi kepublikan yang kuat dengan inovasinya untuk membalikkan proses pelayanan dari masyarakat mendatangi aparat, menjadi aparat mendatangi masyarakat. Inovasi mereka adalah “PBB Door to Door” dan “Layanan Laboratorium Keliling”. Inovasi yang menarik ditunjukkan juga oleh Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi melalui inisiatif “Gerakan Pakpak Bharat Ayo Membaca Selama 30 Menit Setiap Hari” dan “Pakpak Bharat Sejuta Foto”.

Berbagai inisiatif diatas menunjukkan kreativitas kebijakan di Pakpak Bharat semakin baik, yang ditopang oleh aparatur yang inovatif. Namun, itu semua tidaklah cukup. Ada dua hal lagi yang dibutuhkan. Pertama, memastikan gagasan dan rencana inovasi tersebut dapat diimplementasikan hingga memberikan hasil positif berupa kemanfaatan bagi stakeholders. Kedua, memikirkan dan menemukan inovasi-inovasi baru yang lebih berbasis pada karakteristik lokal dan keunggulan komparatif daerah.

Dalam hal ini, saya melihat bahwa Pakpak Bharat memiliki potensi yang tidak dimiliki banyak daerah. Salah satunya adalah lokasinya di ketinggian, udara sejuk, dan alam yang bebas polusi. Setiap pagi saat matahari mulai bersinar, terbentanglah pemandangan yang begitu indah. Sepanjang mata memandang, kabut yang tebal terlihat disekeliling kita. Seketika terbersit dalam pikiran saya bahwa Pakpak Bharat laksana kahyangan atau negeri diatas awan. Sebagaimana layaknya dalam dongeng pengantar tidur, negeri atas awan adalah tujuan yang paling diimpikan, yang menjadi akhir dari perjalanan panjang para pengelana. Maka, jika saya adalah aparat di Pakpak Bharat, akan saya munculkan program “Wisata Kabut”. Harapannya, ratusan bahkan ribuan pelancong akan bergerak dari Sidikalang sebelum subuh (maklumlah fasilitas hotel dan akomodasi belum berkembang di Pakpak Bharat), tiba di Salak menjelang matahari terbit. dan menyaksikan semburat matahari diantara kabut-kabut nan menawan.

Inovasi tadi akan saya integrasikan dengan program “Forest Track”. Setelah puas menikmati indahnya kabut, pelancong kita tuntut menyusuri jalan setapak yang sengaja diciptakan untuk menikmati lebatnya belantara yang menghijau. Selain untuk mendukung promosi wisata, program ini juga menjadi bagian dari pendidikan di alam terbuka, meningkatkan pengetahuan dan kecintaan terhadap kekayaan flora fauna, dan tentu saja, mendatangkan PAD.

Sebagai daerah yang sangat subur dan berlokasi di dataran tinggi, saya agak heran karena tidak menemukan sentra sayuran dan buah-buahan di Pakpak Bharat, sebagaimana lazimnya wilayah dataran tinggi lain seperti Puncak (Bogor), Lembang (Bandung), Tawangmangu (Karanganyar), Kaliurang (Yogyakarta), dan lain-lain. Bagi saya, ini adalah sebuah peluang yang terbuang sia-sia. Oleh karena itu, gagasan mengembangkan “Garden City”, misalnya, adalah sebuah inisiatif yang tidak sulit untuk dilakukan. Setiap warga juga bisa diajak mendukung program ini dengan menyediakan “10 tanaman bunga untuk setiap rumah tinggal”.

Selain peluang yang gagal diraih, ada kecenderungan potensi yang ada kurang dioptimalkan. Sebagai contoh Gambir, tanaman khas Pakpak Bharat yang tidak mudah ditemukan di daerah lain. Saat ini sudah dikembangkan produk turunan Gambir menjadi The Gambir. Namun sayangnya belum terjadi diversifikasi produk yang lebih variatif, misalnya dalam bentuk dodol, keripik, jus, atau kue Gambir. Untuk itu, saya mengimpikan ada program inovatif berupa “Festival Gambir” setahun sekali. Acara ini bukan hanya ajang untuk menjual produk-produk turunan Gambir, namun juga menjadikan Gambir sebagai salah satu maskot Pakpak Bharat. Faktanya, sangat sedikit yang mengetahui bentuk pohon Gambir, buah Gambir, cara membudidayakan, dan seterusnya. Gambir harus dijadikan media untuk mengenalkan Pakpak Bharat ke panggung dunia yang lebih luas.

Inovasi berbasis potensi lokal lain yang ditumbuhkan antara lain dengan mengubah 5 hari kerja menjadi 6 hari kerja. Bagaimana maksudnya? Menurut pengakuan salah seorang pejabat setempat, kurang lebih 50 persen dari pegawai Pakpak Bharat masih berdomisili di Dairi, dan bekerja secara komuter. Akibatnya, kota Salak menjadi jauh lebih sepi pada sore hari dibanding siang hari. Pada hari Sabtu-Minggu kondisinya semakin parah karena makin banyak penduduk yang keluar kota. Implikasi lebih jauh, aktivitas perekonomian dan kemasyarakatan kurang berkembang di Pakpak Bharat. Itulah sebabnya, harus ada upaya untuk mencegah orang meninggalkan wilayah Pakpak Bharat, atau menahan selama mungkin untuk tinggal. Nah, salah satu upaya yang paling mudah adalah dengan mengatur hari kerja menjadi 6 hari.

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh para pegawai pada siang hari setelah bekerja? disinilah kreativitas dan upaya me-link­-kan dengan potensi lokal menjadi penting. Saya melihat kantor Bupati dikelilingi oleh bukit-bukit yang kurang produktif karena hanya ditumbuhi oleh rumput dan semak-semak. Seandainya bisa dibuat kavling kecil-kecil, kemudian diserahkan pengelolaannya kepada para pegawai, akan diperoleh manfaat ganda: bagi pegawai merupakan sumber pemasukan alternatif; sedangkan bagi pemerintah daerah menjadi terobosan dalam pengelolaan lingkungan, menghidupkan sektor perekonomian sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat. Program ini bisa dikaitkan dengan inovasi lain misalnya pembangunan perumahan pegawai yang dicicil dari hasil kebun yang diolah oleh para pegawai.

Masih banyak sekali ide-ide segar yang bisa diformulasikan dari daerah berudara segar ini. Satu hal yang pasti, harus ada semangat untuk mengejar ketertinggalan dari daerah induknya, jika perlu melampaui. Kesempatan membangun daerah dari “nol” (pemekaran), sebaiknya dijadikan momentum meletakkan visi besar daerah hingga jangga panjang. Inovasi akan menjadi keyword untuk memastikan visi besar tadi menjadi kenyataan.

INOVASI SEBAGAI AKTUALISASI REVOLUSI MENTAL



Oleh:
Dr. Tri Widodo W. Utomo, MA
Deputi Inovasi Administrasi Negara, LAN-RI

Semenjak era Presiden Jokowi, revolusi mental menjadi tagline pemerintah yang terus menggema. Secara konseptual, revolusi mental bukanlah sesuatu yang baru karena pernah dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada pidato kenegaraan memperingati proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1957. Dalam buku saku Gerakan Nasional Revolusi Mental yang diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang PMK, disebutkan bahwa revolusi mental (selanjutnya disebut RM) adalah gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap, nilai-nilai, dan perilaku bangsa Indonesia untuk mewujudkan bangsa yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Dengan kata lain, RM dapat dikatakan sebagai Gerakan Hidup Baru bangsa Indonesia.

Agar dapat dilaksanakan secara lebih sistematis, komprehensif, dan terukur, maka RM dijadikan sebagai kebijakan formal yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2015 tentang RPJM Nasional 2015-2019. Dalam RPJMN ini gerakan RM merupakan satu dari sembilan agenda prioritas pembangunan, tepatnya pada agenda ke-8 yakni “Melakukan Revolusi Karakter Bangsa”.

Pertanyaannya, bagaimanakah aktualisasi kebijakan tersebut terutama di kalangan aparatur pemerintahan? Hingga saat ini telah banyak lembaga pemerintah yang melakukan deklarasi atau pencanangan gerakan RM, namun masih terkesan hanya bersifat serenomial belaka. Atas dasar itulah tulisan ini ingin memberi kontribusi pemikiran untuk menerjemahkan RM kedalam rencana aksi yang mampu membawa perubahan nyata terhadap kinerja organisasi dan pelayanan kepada masyarakat. Namun sebelumnya akan didahului dengan deskripsi tentang esensi RM dan nilai-nilai kepemimpinan yang dibutuhkan untuk memastikan berjalannya spirit RM secara maksimal.

Esensi Revolusi Mental

Terdapat 3 (tiga) nilai utama dalam gerakan RM, yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong. Integritas diartikan sebagai kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan, serta sikap tanggung jawab dan komitmen terhadap prinsip-prinsip moral dan etika. Sementara etos kerja dimaknakan sebagai kapasitas pribadi yang berorientasi pada hasil terbaik, serta terus menerus melakukan pembaharuan dan inovasi dalam lingkup tugas sehari-hari. Adapun gotong royong adalah bentuk dari semangat kebersamaan, kepedulian, dan kesukarelaan untuk membangun lingkungan sosial yang lebih baik dan memecahkan masalah bersama secara partisipatif.

Jika disimak lebih teliti, ketiga nilai utama RM tersebut mencakup dimensi sikap perilaku dan mental spiritual umat manusia. Dengan kata lain, RM ingin membangun sebuah karakter dan mentalitas manusia Indonesia yang berkepribadian tangguh dan unggul, berjiwa pejuang yang tidak mudah menyerah, berpikiran positif dan optimis ditengah banyaknya keterbatasan, senantiasa ingin maju dan berubah, berani meninggalkan zona nyaman dan menerima tantangan baru, rela berkorban untuk kebaikan bersama, dan karakter sejenisnya. Membangun manusia tidak lagi cukup hanya dari sisi lahiriah yang diukur oleh tingkat kesehatan, kecerdasan, dan daya beli saja, sebagaimana konsep IPM (indeks pembangunan manusia) selama ini. Dimensi yang lebih penting adalah dimensi ruhaniah, kejiwaan dan budi pekertinya. Bukankah lagu kebangsaan Indonesia Raya-pun juga mendahulukan bangunlah jiwanya dari pada bangunlah badannya? Meminjam istilah jaman Presiden Soeharto dulu, esensi RM adalah pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya.

Nilai Kepemimpinan Berbasis Revolusi Mental

Sebagus-bagusnya konsep dan kebijakan, tidak ada artinya jika tidak terimplementasi dengan bagus. Demikian pula dengan gerakan RM, hanya akan memberi makna dan nilai tambah bagi sebuah institusi apabila dapat dioperasionalisasikan dengan tepat mutu dan tepat sasaran. Dalam kaitan ini, pemimpin menjadi faktor determinan yang menentukan apakah RM hanya akan menjadi slogan indah semata, ataukah mampu ditransformasi menjadi kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Mengingat peran strategis kepemimpinan dalam implementasi gerakan RM, maka pemimpin pada setiap level perlu memiliki 5 (lima) nilai kepemimpinan sebagai berikut:

1.      Orientasi Kepublikan
Pemimpin adalah mereka yang mendapat amanah untuk mengelola sumber daya milik rakyat untuk kemaslahatan rakyat. Untuk itu, hal pertama yang harus diingat oleh seseorang saat mengucapkan sumpah jabatan adalah bahwa jabatannya, kewenangannya, dan fasilitasnya, semua harus diabdikan untuk kebaikan rakyat. Oleh karena itu, pada saat menyusun perencanaan program/kegiatan, seorang pemimpin wajib menjamin bahwa program tersebut akan memberikan evidence bagi kemanfaatan publik. Sama halnya dalam alokasi anggaran, pemimpin harus berani memberi garansi bahwa setiap uang yang dibelanjakan memiliki dampak positif untuk publik (prinsip value for money). Selain itu, dalam pengambilan keputusan, seorang pemimpin harus mempertimbangkan matang-matang agar tidak terjadi kekeliruan yang dapat menimbulkan kerugian atau kekecewaan publik (prinsip zero-defect policy).
2.      Mendekatkan Diri dan Mendengar dari Dalam
Tugas utama pemimpin adalah melayani orang lain. Tidak mungkin tugas melayani dapat dilakukan dengan baik jika pemimpin tidak tahu kebutuhan, harapan, dan suara hati orang-orang yang harus dilayani. Ilmu memang bisa mempermudah tugas seorang pemimpin, namun komunikasi langsung, interaksi dan silaturahmi dengan stakeholders tidak boleh dilupakan. Pemimpin harus menyadari benar bahwa secara filosofis, pemimpin adalah pelayan publik, maka kedudukannya dibawah orang-orang yang dilayani. Itulah sebabnya, pemimpin yang baik berani melakukan reposisi, yakni mendudukkan masyarakat sebagai pemberi mandat dan menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat. Dengan kedudukan yang tinggi tadi, maka masyarakat harus senantiasa terlibat dalam perumusan kebijakan hingga evaluasinya. Mahatma Gandhi adalah contoh terbaik pemimpin yang selalu mendengar dan menyerap aspirasi rakyat, hingga ia dijuluki sebagai orang yang “mendengar dengan matanya”.
3.      Keteladanan
Seseorang terpilih menjadi pemimpin pastilah karena memiliki keunggulan komparatif tertentu. Maka, sudah sewajarnya pemimpin menjadi cermin atau teladan bagi orang lain. Sebagai role model, seorang pemimpin berprinsip memulai kebaikan dari diri sendiri dan tidak menunggu orang lain melakukannya (lead by example). Istilah Aa Gym, keteladanan adalah nasihat yang terbaik. Keteladanan juga dapat dibangun melalui sikap untuk memenuhi tugas-tugasnya – bukan sekedar janji – sebagai pejabat publik (walk the talk). Disamping itu, pemimpin yang baik berani menanggung resiko demi kepentingan dan kesejahteraan publik (risk taker).
4.      Pembaharuan Berkelanjutan
Perbedaan utama antara pemimpin dan pengikut adalah bahwa pemimpin adalah mereka yang siap dan mampu membuat perbedaan. Jika seorang pemimpin bekerja secara rutin dan tidak memiliki kreativitas yang membedakannya dengan para pendahulunya, maka tidak ada bedanya ia dengan para pengikutnya. Itulah sebabnya, karakter pemimpin berbasis RM adalah membangun optimisme kebangsaan bahwa segala sesuatu adalah mungkin (state of possibility). Pemimpin tipe ini sanggup melakukan paradigm shift, yakni mengubah dan meninggalkan kebiasaan lama (business as usual) untuk mentradisikan hal baru yang lebih produktif.
5.      Integritas
Selain sifat-sifat jujur, dapat dipercaya, serta konsisten antara keyakinan dengan tindakan, seorang pemimpin dituntut memiliki kapasitras self-mastery, yakni mampu mengendalikan diri dari godaan atau kecenderungan berpikir sempit atau menyimpang. Pemimpin yang berintegritas juga selalu memiliki orientasi terhadap kualitas, sehingga terus menjaga hasil pekerjaannya agar tetap akuntabel, transparan, dan berfaedah untuk organisasi dan orang lain.

Inovasi Sebagai Aktualisasi Revolusi Mental

Pemimpin yang baik, pintar, ramah, dermawan, dan demokratis, tidaklah cukup. Pemimpin bukanlah pertapa yang menghindari berbuat salah dan hanya berpikir tentang kehidupan setelah mati. Pemimpin adalah mereka yang bisa mewariskan kebaikan (legacy) dan melakukan perubahan terus-menerus meski menghadapi beragam risiko. 5 (lima) nilai kepemimpinan diatas dapat dijadikan bekal untuk membawa organisasinya kearah yang lebih baik. Inilah hakikat pemimpin perubahan (transformational leadership).

Dari pengalaman para pemimpin di daerah dewasa ini, kita cukup optimis bahwa gerakan RM tidak akan menjadi jargon belaka. Perubahan dan inovasi di berbagai daerah mengindikasikan telah terjadinya perubahan mindset dan cara kerja yang jauh lebih baik dan lebih ramah pelanggan (costumer friendly). Di Kabupaten Kebumen, misalnya, ada inisiatif “Ultah ke-17 Dapat Hadiah e-KTP dan ”Pelayanan e-KTP Jemput Bola Bagi Orang Jompo”. Meski terkesan sederhana, namun gagasannya sangat kreatif dan orisinal, sekaligus sangat menonjol semangat melayaninya. Kedua jenis inovasi tadi juga mencerminkan kehadiran negara secara nyata di hadapan rakyatnya. Sementara itu di Kabupaten Kupang di NTT bisa dicontohkan inisiatif cerdas untuk mempercepat proses penghijauan melalui program ”Embung-embung Tanam Paksa, Paksa Tanam”. Meski terkesan kurang demokratis karena penggunaan kata ”paksa”, namun dalam implementasinya tidak ada pemaksanaan dan lebih berbasis kesadaran setiap penduduk, dan perlahan mampu mengubah wajah daerah yang cenderung tandus serta bercirikan rawa-rawa dan padang rumput menjadi area yang lebih hijau dan produktif. Selain itu, Kupang juga memiliki inovasi yang unik misalnya dengan dikembangkannya ”Kampung Garam” dan ”Lumbung Rumput Laut”, yang menunjukkan orientasi terhadap kepentingan masyarakat petani dan nelayan (Sumber: dokumen Laboratorium Inovasi LAN, 2016).

Pemilihan Kebumen dan Kupang ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa inovasi sektor publik yang berkembang di tanah air selama ini bukan hanya terjadi di Bandung, Yogyakarta, Solo, Surabaya, atau Bantaeng yang sering muncul di berbagai publikasi lokal maupun nasional. Semangat berinovasi sudah semakin merebak dan merata seiring kebijakan pemerintah Jokowi-JK yang menempatkan inovasi pada posisi terhormat di RPJMN 2015-2019. Untuk diketahui, kata inovasi diulang-ulang sebanyak 26 kali pada Buku I, 68 kali pada Buku II dan 37 kali pada Buku III. Hampir di Sembilan agenda prioritan pembangunan (Nawacita) terdapat semangat berinovasi. Hal ini kontras dengan RPJMN era-era sebelumnya yang bahkan tidak terdapat satupun kata inovasi didalamnya.

Yang perlu dilakukan sekarang adalah, bagaimana setiap unit kerja dapat menyusun Rencana Implementasi Gerakan RM untuk perbaikan pelayanan publik. hal pertama yang perlu disiapkan tentu saja adalah listing jenis layanan instansi masing-masing beserta tingkat kinerjanya saat ini. Dari informasi baseline ini kemudian dianalisis sedikit tentang kinerja yang diharapkan dan faktor-faktor yang menyebabkan target kinerja belum mampu diwujudkan. Analisis ini akan menghasilkan informasi tentang kebutuhan inovasi serta area perubahan yang perlu diintervensi. Kebutuhan inovasi inilah yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah kerangka kerja untuk dilaksanakan dengan disertai monitoring yang memadai. Pada akhirnya, perlu dilakukan evaluasi terhadap implementasi program inovasi ini, apakah memberikan dampak yang signifikan terhadap pelayanan publik atau tidak. Jika ternyata inidikator pelayanan meningkat, itu adalah cerminan bahwa gerakan RM telah berhasil mencapai sasarannya.

*) Tulisan ini disiapkan untuk Majalah Warta Bandiklat Jawa Tengah.