Amanah dan Tantangan Baru
Memasuki tahun
2025, Lembaga Administrasi Negara RI (selanjutnya disebut LAN) mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Fungsi organisasi, nomenklatur jabatan, dan
tata kerja mengalami penyesuaian seiring dengan perubahan lingkungan strategis
yang mendahuluinya, seperti perubahan UU No. 5/2014 menjadi UU No. 20/2023
tentang ASN, bubarnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), lahirnya Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengintegrasikan fungsi penelitian,
pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap), meningkatnya kesadaran
tentang urgensi kebijakan yang berkualitas, dan sebagainya.
Perubahan
kelembagaan LAN sendiri ditandai oleh lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No.
93/2024 yang mencabut Perpres No. 79/2018 tentang Lembaga Administrasi Negara.
Sebagaimana lazimnya, Perpres tentang kelembagaan instansi pemerintah harus
dijabarkan kedalam Peraturan Menteri/Lembaga tentang Organisasi dan Tata Kerja
(OTK) instansi yang bersangkutan. Untuk itu, terhadap Perpres No. 93/2024 juga
telah diterbitkan Peraturan LAN No. 1/2025 tentang OTK LAN.
Perubahan
cukup fundamental bisa diamati dari perubahan nomenklatur jabatan. Di struktur
lama masih ada fungsi kajian dan inovasi yang diemban oleh LAN, namun kedua
fungsi ini hilang di struktur baru. Deputi 1 yang selama ini membidangi Kajian
Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara (DKKIAN), berubah menjadi Deputi
Peningkatan Kualitas Kebijakan (DPKK). Bahkan Deputi 2 yang mengurusi Kajian
dan Inovasi Manajemen ASN (DKIMASN), hapus sama sekali, dan fungsinya menjadi
bagian dari DPKK. Sementara Deputi 3 dan 4 yang selama ini membidangi Kebijakan
dan Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi, dikembangkan menjadi 3 Deputi,
yakni Deputi Transformasi Pembelajaran ASN, Deputi Penyelenggaraan Pengembangan
Kapasitas ASN, serta Deputi Penjaminan Mutu Pengembangan Kapasitas dan
Pembelajaran ASN. Perubahan pada tataran Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya
atau Eselon I ini, tentu saja sangat berimplikasi pada perubahan di level JPT
Pratama atau Eselon II.
Dari perubahan
tersebut dapat disimak adanya pergeseran dari konsep “Pengembangan Kompetensi”
atau bangkom, menjadi “Pengembangan Kapasitas dan Pembelajaran”. Meskipun
secara esensi tidak jauh berbeda, namun tetap saja kedua konsep tadi harus bisa
dibedakan antara satu dengan lainnya. Sayangnya, UU No. 20/2023 tentang ASN
tidak menyediakan penjelasan secara konseptual tentang makna pengembangan
kapasitas dan pembelajaran. Justru di pasal 49 masih digunakan diksi
“pengembangan kompetensi”, sehingga penafsiran yang menyamakan pengembangan
kompetensi dengan pengembangan kapasitas, tidak dapat terhindarkan.
Disinilah
peran LAN menjadi penting untuk mengoperasionalisasikan konsep pengembangan
kapasitas dan pembelajaran dalam bentuk program kerja dan karakteristiknya,
terobosan dan inovasi yang ditawarkan, serta target kinerja baru yang ingin
dicapai.
Amanah Baru
Seiring dengan
perubahan kelembagaan LAN diatas, saya juga mengalami sebuah fase yang boleh
dikatakan extremely different. Terhitung
mulai tanggal 12 Maret 2025, secara resmi saya dilantik dan diambil sumpah
sebagai Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN (DPPK ASN), sekaligus
mengakhiri jabatan lama selaku Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi
Negara (DKKIAN) yang saya duduki selama 6 tahun 2 bulan.
Sejujurnya,
jabatan DPPK ASN ini adalah hal yang “asing” bagi saya. Selama ini saya lebih
banyak diidentikkan dengan fungsi litbang, kajian, dan inovasi. Sepanjang karir
saya selama lebih dari 30 tahun sebagai ASN, belum seharipun saya ditugaskan di
unit diklat atau bangkom, kecuali orientasi saat masih menjadi CPNS. Dari
periode 1 Januari 1994 hingga tahun 2000, saya pernah ditempatkan di Bidang TU
dan Pengajaran STIA LAN Bandung, serta Bidang Litbang (kemudian berubah menjadi
Bidang Kajian) LAN Perwakilan Jawa Barat (selanjutnya bertransformasi menjadi
PKDA I dan PKP2A I).
Sebagai
pegawai LAN, sesungguhnya saya tidak asing dengan fungsi kediklatan, karena
sejak merintis karir sudah diperkenalkan dengan pola kerja total football, dimana antar unit kerja di LAN Perwakilan Jawa
Barat (juga di LAN secara umum), tidak ada egoisme sektoral. Semua pegawai harus
bisa saling mengerti karakter pekerjaan di sebuah unit dan mampu bekerjasama.
Jadi, pengetahuan tentang diklat bagi saya bukan nol besar, karena saya juga
terlibat dalam fungsi-fungsi fasilitasi bahkan beberapa kali juga menjadi
tenaga pengajar. Namun sebagai pegawai yang secara organik bukan berasal dari
unit diklat, tentu saja saya kurang memiliki pemahaman yang komprehensif
terkait kebijakan dan problematika yang dihadapi kolega di unit diklat. Itulah
sebabnya, stigma saya tetaplah research
native (“orang litbang”).
Apalagi sejak
tahun 2000 saya diangkat menjadi pejabat fungsional Peneliti, dan terus saya
jalani hingga tahun 2018. Saat masih menjadi peneliti, saya mendapat “tugas
tambahan” atau rangkap jabatan sebagai Kepala Bidang Kajian Aparatur PKP2A III
Samarinda (2005-2010), Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan (2010-2012),
Kepala Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (2012-2013), dan Deputi Inovasi
Administrasi Negara (2013-2018). Pada waktu itu rangkap jabatan struktural
dengan fungsional dimungkinkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.
47/2005 tentang Perubahan Atas PP No. 29/1997 tentang PNS yang Menduduki
Rangkap Jabatan. Namun dengan berlakunya PP No. 11/2017 tentang Manajemen ASN,
ketentuan rangkap jabatan dicabut, sehingga jabatan Peneliti saya turut
diberhentikan.
Riwayat
jabatan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk citra saya sebagai seorang
pemikir, konseptor, analis, dan belakangan juga inovator.
Namun saya
selalu memiliki keyakinan bahwa perspektif “orang luar” (outsider) selalu
penting untuk sebuah pembaharuan. Menempatkan seorang ahli di bidangnya selama
puluhan tahun hanya akan membuat orang tersebut tumpul dan terjebak dalam zona
nyaman (comfort zone). Menurut Rod
Judkins dalam bukunya “The Art of
Creative Thinking” (Sceptre: 2001), orang yang sudah merasa ahli di
bidangnya akan cenderung mengulang-ulang pekerjaan dan tidak memiliki terobosan
untuk mendorong kinerja lebih baik. Dalam bahasa aslinya dikatakan:
“An
expert constantly refers to past experience. Whatever has worked in the past,
they repeat. They turn knowledge into a repetitive ritual”.
Dalam banyak
hal, mencari orang asing atau amatir (beginner)
di bidang tertentu justru lebih menguntungkan bagi sebuah organisasi sepanjang
orang itu memiliki cara pandang terbuka dan berani melakukan hal-hal yang tidak
pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kalimat aslinya, Judkins memuji karakter
seorang pemula sebagai berikut:
“A
beginner has a fresh perspective. The amateurish and unprofessional are open to
ideas: they will try anything. The don’t know how things should be done.
Nothing is ‘wrong’ for them because they don’t know what is right”.
Saya mencoba
menerima amanah baru sebagai Deputi Penyelenggaraan Pengembanngan Kapasitas ASN
dalam perspektif Rod Judkins diatas. Saya mendudukkan diri sebagai orang amatir
dan pemula di dunia kediklatan, namun saya akan mencoba sekuat mungkin untuk
mencari kebaruan dan lompatan yang bisa membuat dunia ini lebih menarik,
menantang, dan bermanfaat besar bagi banyak pihak.
Seperti Sejarah yang Berulang
Sesaat setelah
dilantik menjadi Deputi Penyelenggaraan Pengembanngan Kapasitas ASN,
ingatan saya melambung kembali ke bulan Desember 2013 silam. Saat itu, saya
dilantik menjadi Deputi Inovasi Administrasi Negara (DIAN). Pada waktu itu,
kata “inovasi” masih sangat langka di khazanah administrasi publik, dan belum
ada satupun peraturan penrundang-undangan yang memerintahkan instansi
pemerintah untuk berinovasi. Namun, almarhum Prof. Agus Dwiyanto yang sangat
visioner melihat bahwa inovasilah yang akan menjadi megatrend sektor publik
dalam dasawarsa mendatang, sehingga dibentuklah kedeputian ini.
Diawal
pembentukannya, cukup banyak keraguan bahkan resistensi atas munculnya DIAN.
Pada umumnya, mereka yang resisten mengatakan inovasi tidak perlu menjadi unit
kerja tersendiri karena fungsinya sudah dijalankan oleh unit litbang atau
kajian. Kinerja pemerintah juga dinilai baik-baik saja sehingga tidak nampak
urgensi berinovasi. Apalagi, LAN waktu itu belum memiliki sebuah instrumen atau
metodologi untuk mendorong inovasi pelayanan publik dan tata kelola
pemerintahan. Ditambah lagi dengan jabatan saya sebelumnya sebagai Kepala Pusat
Kajian Hukum Administrasi Negara yang dianggap tidak sesuai (compatible) dengan DIAN, makin
lengkaplah keraguan orang terhadap saya dan DIAN.
Terus terang
saya juga mengakui bahwa saat dilantik sebagai DIAN, saya belum memiliki
pengetahuan yang cukup tentang inovasi. Saya benar-benar pemula dan amatir di
bidang ini. Namun sebagai seorang pemula, saya harus belajar lebih banyak dan
lebih cepat dibanding mereka yang mungkin lebih berpengalaman. Maka, saya
mendisiplinkan diri untuk membaca buku-buku teks dan jurnal tentang inovasi,
kemudian saya tuliskan dalam konteks LAN dan Indonesia. Hasilnya? Beberapa
tulisan itu saya kompilasikan menjadi buku berjudul “Inovasi Harga Mati”
(Rajagrafindo: 2017), yang sampai saat ini sudah mengalami cetak ulang hingga
lima kali. Selain itu, hingga saat ini tercatat lebih dari 120 pemerintah
daerah di Indonesia yang menerapkan program Laboratorium Inovasi yang
digulirkan oleh DIAN. Program Labinov ini adalah sebuah pendampingan untuk
mengakselerasi inovasi dengan metode 5D+1 (drum-up,
diagnose, design, deliver, display, dan
documentation). Itu hanya salah satu dari sekian banyak legacy yang dihasilkan DIAN.
12 tahun kemudian,
saya seperti mengalami déjà vu.
Peristiwa 2013 seperti lewat di pelupuk mata saya. Meminjam perkataan William
Strauss dan sejarawan Neil Howe: “history
has a tendency to repeat itself due to the cyclical nature of history”.
Atau orang Perancis bilang l'histoire se répètea. Sejarah itu
berulang. Ya, tahun 2025 ini saya dihadapkan pada situasi mirip tahu 2013
dimana saya dilantik pada posisi yang relatif asing bagi saya, dimana saya
masuk di zona tidak nyaman, dimana banyak orang yang mungkin akan meragukan
kemampuan saya, dan dimana saya harus mendisiplinkan diri sebagai pembelajar
terbanyak dan tercepat diantara yang lain.
Antara Kehormatan dan Tantangan
Saya memandang jabatan
baru yang saya sandang ini dari dua perspektif: sebagai sebuah kehormatan
sekaligus tantangan yang luar biasa berat. Saya merasa mendapat kehormatan
besar karena terpilih diantara kandidat-kandidat yang lebih baik dibanding
saya. Bagi saya, jabatan ini adalah sebuah kepercayaan dari lembaga dan negara
bahwa saya adalah orang yang tepat untuk mengisi posisi ini. Sebuah amanah yang
tidak cukup saya pertanggungjawabkan kepada lembaga dan negara, namun juga
kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Jika dalam kurun 1-3 tahun kedepan
tidak ada progres signifikan yang saya capai, artinya lembaga dan negara salah
besar dan rugi telah memilih saya.
Dibalik
kehormatan tersebut, terselip tantangan yang tidak kalah besar. Harus diakui
bahwa saat ini masih cukup banyak yang memadang sebelah mata program-program
pengembangan kompetensi bagi pegawai. Ada yang memandang hanya sekedar
formalitas, atau bahkan menghambur-hamburkan sumber daya. Sementara kemanfaatan
dan dampak yang dihasilkan tidak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan (negative return on investment). Belum
lagi soal kurikulum yang dinilai tidak cukup agile merespon dinamika dan kebutuhan organisasi, kualitas
fasilitator, indikasi tidak berlanjutnya produk pembelajaran berupa proyek
perubahan, dan masih banyak lagi masalah yang mungkin belum teridentifikasi.
Tantangan
sistemik lain yang dihadapi oleh LAN dalam bidang pengembangan kompetensi
adalah manajemen data yang lemah. Data tentang jumlah alumni per tahun dan per
angkatan memang mudah diperoleh. Namun jika ditanya tentang berapa jumlah ASN
yang sudah dan belum mengikuti pelatihan yang dipersyaratkan, berapa persen
pejabat Eselon I dan II di Indonesia yang sudah lulus Pelatihan Kepemimpinan
Nasional (PKN) baik Tingkat I maupun II, berapa alumni yang telah mendapatkan
promosi jabatan, berapa jumlah proyek perubahan berdasarkan kategori
(pengentasan kemiskinan, investasi, digitalisasi, pembangunan infratsruktur,
dan seterusnya), instansi pemerintah (kementerian/lembaga/pemda) mana yang
paling disiplin dalam pemenuhan hak pengembangan kompetensi bagi pegawainya (training rate), lembaga pelatihan mana
yang memiliki kinerja paling baik berdasarkan hasil evaluasi, dan seterusnya, maka
akan sangat sulit sekali ditemukan jawaban yang presisi.
Manajemen data
ini bagi saya merupakan salah satu aspek yang paling urgen dalam pengembangan
kapasitas ASN. Data yang valid dan lengkap akan menjadi media pendukung
pengambilan keputusan (decision support
system) dalam menentukan sebuah kebijakan dan program. Tanpa dukungan data
yang baik, maka LAN atau DPPK ASN akan terjebak hanya sebagai penyelenggara (event organizer) terhadap seluruh
program pengembangan kapasitas ASN, bukan sebagai Center of Excellence yang menjadi kawah Candradimuka terunggul bagi
setiap ASN.
Hal lain yang
tidak kalah menantang adalah masih tingginya fenomena alumni PKN I dan II yang
belum mendapat kesempatan promosi, sementara pegawai yang belum lulus PKN
justru dipromosikan. Artinya, PKN belum menjadi sub-sistem yang diperhitungkan
dalam manajemen talenta instansi pemerintah. Hal ini yang sering menjadi faktor
disinsentif bagi calon peserta PKN. Padahal, PKN sebagai sebuah program
pengembangan kompetensi kepemimpinan dan manajerial sifatnya mandatory atau kewajiban sekaligus
menjadi persyaratan jabatan. Siapapun yang telah dinyatakan lulus dan kompeten
dari PKN, maka yang bersangkutan sudah memiliki kecukupan kompetensi untuk
duduk dalam jabatan.
Singkatnya,
tantangan yang dihadapi oleh seluruh pegawai di Kedeputian ini tidaklah
main-main. Butuh analisis yang akurat tentang peta permasalahan beserta
kausalitas dan prioritas untuk penanganannya. Apapun program yang akan
dilakukan oleh DPPK ASN nantinya, harus dipastikan memiliki urgensi yang tinggi
dan reasoning yang kuat. Meminjam
nasihat Simon Sinek dalam bukunya yang berjudul “Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action”
(Portfolio: 2011), mulailah dengan “why”
(mengapa sesuatu harus dilakukan), jangan melompat pada “how” (bagaimana melakukannya), apalagi “what” (apa yang perlu dilakukan). Jawaban atas pertanyaan “why” itu akan menuntun kita pada tujuan
yang hakiki dari organisasi beserta program kerjanya (purpose, goals). Sedangkan jawaban atas pertanyaan “how” akan mencerminkan arah dan strategi
untuk mencapai tujuan (direction).
Adapun jawaban atas pertanyaan “what”
akan menjadi modal kita melakukan monitoring dan evaluasi atas capaian kerja (progress).
Mencermati
sekelumit tantangan yang cukup kompleks diatas, menjadi kewajiban saya selaku
nahkoda DPPK ASN untuk menggerakkan setiap sumber daya secara optimal. Para
pegawai perlu didorong untuk terus meningkatkan kapasitasnya (up-skilling maupun re-skilling). Teamwork
dan visi bersama (shared-vision) juga
wajib untuk semakin dikembangkan, selaras dengan penguatan nilai-nilai
pelayanan (costumer values) secara
berkelanjutan. Jelas ini bukan tantangan mudah, namun dengan kebersamaan tidak
ada yang mustahil untuk diwujudkan. Bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar