Selasa, 08 April 2025

 Amanah dan Tantangan Baru

 

 Pengantar

Memasuki tahun 2025, Lembaga Administrasi Negara RI (selanjutnya disebut LAN) mengalami perubahan yang cukup signifikan. Fungsi organisasi, nomenklatur jabatan, dan tata kerja mengalami penyesuaian seiring dengan perubahan lingkungan strategis yang mendahuluinya, seperti perubahan UU No. 5/2014 menjadi UU No. 20/2023 tentang ASN, bubarnya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), lahirnya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengintegrasikan fungsi penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap), meningkatnya kesadaran tentang urgensi kebijakan yang berkualitas, dan sebagainya.

Perubahan kelembagaan LAN sendiri ditandai oleh lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 93/2024 yang mencabut Perpres No. 79/2018 tentang Lembaga Administrasi Negara. Sebagaimana lazimnya, Perpres tentang kelembagaan instansi pemerintah harus dijabarkan kedalam Peraturan Menteri/Lembaga tentang Organisasi dan Tata Kerja (OTK) instansi yang bersangkutan. Untuk itu, terhadap Perpres No. 93/2024 juga telah diterbitkan Peraturan LAN No. 1/2025 tentang OTK LAN.

Perubahan cukup fundamental bisa diamati dari perubahan nomenklatur jabatan. Di struktur lama masih ada fungsi kajian dan inovasi yang diemban oleh LAN, namun kedua fungsi ini hilang di struktur baru. Deputi 1 yang selama ini membidangi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara (DKKIAN), berubah menjadi Deputi Peningkatan Kualitas Kebijakan (DPKK). Bahkan Deputi 2 yang mengurusi Kajian dan Inovasi Manajemen ASN (DKIMASN), hapus sama sekali, dan fungsinya menjadi bagian dari DPKK. Sementara Deputi 3 dan 4 yang selama ini membidangi Kebijakan dan Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi, dikembangkan menjadi 3 Deputi, yakni Deputi Transformasi Pembelajaran ASN, Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN, serta Deputi Penjaminan Mutu Pengembangan Kapasitas dan Pembelajaran ASN. Perubahan pada tataran Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya atau Eselon I ini, tentu saja sangat berimplikasi pada perubahan di level JPT Pratama atau Eselon II.

Dari perubahan tersebut dapat disimak adanya pergeseran dari konsep “Pengembangan Kompetensi” atau bangkom, menjadi “Pengembangan Kapasitas dan Pembelajaran”. Meskipun secara esensi tidak jauh berbeda, namun tetap saja kedua konsep tadi harus bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Sayangnya, UU No. 20/2023 tentang ASN tidak menyediakan penjelasan secara konseptual tentang makna pengembangan kapasitas dan pembelajaran. Justru di pasal 49 masih digunakan diksi “pengembangan kompetensi”, sehingga penafsiran yang menyamakan pengembangan kompetensi dengan pengembangan kapasitas, tidak dapat terhindarkan.

Disinilah peran LAN menjadi penting untuk mengoperasionalisasikan konsep pengembangan kapasitas dan pembelajaran dalam bentuk program kerja dan karakteristiknya, terobosan dan inovasi yang ditawarkan, serta target kinerja baru yang ingin dicapai.

 

Amanah Baru

Seiring dengan perubahan kelembagaan LAN diatas, saya juga mengalami sebuah fase yang boleh dikatakan extremely different. Terhitung mulai tanggal 12 Maret 2025, secara resmi saya dilantik dan diambil sumpah sebagai Deputi Penyelenggaraan Pengembangan Kapasitas ASN (DPPK ASN), sekaligus mengakhiri jabatan lama selaku Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara (DKKIAN) yang saya duduki selama 6 tahun 2 bulan.

Sejujurnya, jabatan DPPK ASN ini adalah hal yang “asing” bagi saya. Selama ini saya lebih banyak diidentikkan dengan fungsi litbang, kajian, dan inovasi. Sepanjang karir saya selama lebih dari 30 tahun sebagai ASN, belum seharipun saya ditugaskan di unit diklat atau bangkom, kecuali orientasi saat masih menjadi CPNS. Dari periode 1 Januari 1994 hingga tahun 2000, saya pernah ditempatkan di Bidang TU dan Pengajaran STIA LAN Bandung, serta Bidang Litbang (kemudian berubah menjadi Bidang Kajian) LAN Perwakilan Jawa Barat (selanjutnya bertransformasi menjadi PKDA I dan PKP2A I).

Sebagai pegawai LAN, sesungguhnya saya tidak asing dengan fungsi kediklatan, karena sejak merintis karir sudah diperkenalkan dengan pola kerja total football, dimana antar unit kerja di LAN Perwakilan Jawa Barat (juga di LAN secara umum), tidak ada egoisme sektoral. Semua pegawai harus bisa saling mengerti karakter pekerjaan di sebuah unit dan mampu bekerjasama. Jadi, pengetahuan tentang diklat bagi saya bukan nol besar, karena saya juga terlibat dalam fungsi-fungsi fasilitasi bahkan beberapa kali juga menjadi tenaga pengajar. Namun sebagai pegawai yang secara organik bukan berasal dari unit diklat, tentu saja saya kurang memiliki pemahaman yang komprehensif terkait kebijakan dan problematika yang dihadapi kolega di unit diklat. Itulah sebabnya, stigma saya tetaplah research native (“orang litbang”).

Apalagi sejak tahun 2000 saya diangkat menjadi pejabat fungsional Peneliti, dan terus saya jalani hingga tahun 2018. Saat masih menjadi peneliti, saya mendapat “tugas tambahan” atau rangkap jabatan sebagai Kepala Bidang Kajian Aparatur PKP2A III Samarinda (2005-2010), Kepala Pusat Kajian Manajemen Kebijakan (2010-2012), Kepala Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara (2012-2013), dan Deputi Inovasi Administrasi Negara (2013-2018). Pada waktu itu rangkap jabatan struktural dengan fungsional dimungkinkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 47/2005 tentang Perubahan Atas PP No. 29/1997 tentang PNS yang Menduduki Rangkap Jabatan. Namun dengan berlakunya PP No. 11/2017 tentang Manajemen ASN, ketentuan rangkap jabatan dicabut, sehingga jabatan Peneliti saya turut diberhentikan.

Riwayat jabatan seperti inilah yang pada akhirnya membentuk citra saya sebagai seorang pemikir, konseptor, analis, dan belakangan juga inovator.

Namun saya selalu memiliki keyakinan bahwa perspektif “orang luar” (outsider) selalu penting untuk sebuah pembaharuan. Menempatkan seorang ahli di bidangnya selama puluhan tahun hanya akan membuat orang tersebut tumpul dan terjebak dalam zona nyaman (comfort zone). Menurut Rod Judkins dalam bukunya “The Art of Creative Thinking” (Sceptre: 2001), orang yang sudah merasa ahli di bidangnya akan cenderung mengulang-ulang pekerjaan dan tidak memiliki terobosan untuk mendorong kinerja lebih baik. Dalam bahasa aslinya dikatakan:

“An expert constantly refers to past experience. Whatever has worked in the past, they repeat. They turn knowledge into a repetitive ritual”.

Dalam banyak hal, mencari orang asing atau amatir (beginner) di bidang tertentu justru lebih menguntungkan bagi sebuah organisasi sepanjang orang itu memiliki cara pandang terbuka dan berani melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Dalam kalimat aslinya, Judkins memuji karakter seorang pemula sebagai berikut:

“A beginner has a fresh perspective. The amateurish and unprofessional are open to ideas: they will try anything. The don’t know how things should be done. Nothing is ‘wrong’ for them because they don’t know what is right”.

Saya mencoba menerima amanah baru sebagai Deputi Penyelenggaraan Pengembanngan Kapasitas ASN dalam perspektif Rod Judkins diatas. Saya mendudukkan diri sebagai orang amatir dan pemula di dunia kediklatan, namun saya akan mencoba sekuat mungkin untuk mencari kebaruan dan lompatan yang bisa membuat dunia ini lebih menarik, menantang, dan bermanfaat besar bagi banyak pihak.

 

Seperti Sejarah yang Berulang

Sesaat setelah dilantik menjadi Deputi Penyelenggaraan Pengembanngan Kapasitas ASN, ingatan saya melambung kembali ke bulan Desember 2013 silam. Saat itu, saya dilantik menjadi Deputi Inovasi Administrasi Negara (DIAN). Pada waktu itu, kata “inovasi” masih sangat langka di khazanah administrasi publik, dan belum ada satupun peraturan penrundang-undangan yang memerintahkan instansi pemerintah untuk berinovasi. Namun, almarhum Prof. Agus Dwiyanto yang sangat visioner melihat bahwa inovasilah yang akan menjadi megatrend sektor publik dalam dasawarsa mendatang, sehingga dibentuklah kedeputian ini.

Diawal pembentukannya, cukup banyak keraguan bahkan resistensi atas munculnya DIAN. Pada umumnya, mereka yang resisten mengatakan inovasi tidak perlu menjadi unit kerja tersendiri karena fungsinya sudah dijalankan oleh unit litbang atau kajian. Kinerja pemerintah juga dinilai baik-baik saja sehingga tidak nampak urgensi berinovasi. Apalagi, LAN waktu itu belum memiliki sebuah instrumen atau metodologi untuk mendorong inovasi pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan. Ditambah lagi dengan jabatan saya sebelumnya sebagai Kepala Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara yang dianggap tidak sesuai (compatible) dengan DIAN, makin lengkaplah keraguan orang terhadap saya dan DIAN.

Terus terang saya juga mengakui bahwa saat dilantik sebagai DIAN, saya belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang inovasi. Saya benar-benar pemula dan amatir di bidang ini. Namun sebagai seorang pemula, saya harus belajar lebih banyak dan lebih cepat dibanding mereka yang mungkin lebih berpengalaman. Maka, saya mendisiplinkan diri untuk membaca buku-buku teks dan jurnal tentang inovasi, kemudian saya tuliskan dalam konteks LAN dan Indonesia. Hasilnya? Beberapa tulisan itu saya kompilasikan menjadi buku berjudul “Inovasi Harga Mati” (Rajagrafindo: 2017), yang sampai saat ini sudah mengalami cetak ulang hingga lima kali. Selain itu, hingga saat ini tercatat lebih dari 120 pemerintah daerah di Indonesia yang menerapkan program Laboratorium Inovasi yang digulirkan oleh DIAN. Program Labinov ini adalah sebuah pendampingan untuk mengakselerasi inovasi dengan metode 5D+1 (drum-up, diagnose, design, deliver, display, dan documentation). Itu hanya salah satu dari sekian banyak legacy yang dihasilkan DIAN.

12 tahun kemudian, saya seperti mengalami déjà vu. Peristiwa 2013 seperti lewat di pelupuk mata saya. Meminjam perkataan William Strauss dan sejarawan Neil Howe: “history has a tendency to repeat itself due to the cyclical nature of history”. Atau orang Perancis bilang l'histoire se répètea. Sejarah itu berulang. Ya, tahun 2025 ini saya dihadapkan pada situasi mirip tahu 2013 dimana saya dilantik pada posisi yang relatif asing bagi saya, dimana saya masuk di zona tidak nyaman, dimana banyak orang yang mungkin akan meragukan kemampuan saya, dan dimana saya harus mendisiplinkan diri sebagai pembelajar terbanyak dan tercepat diantara yang lain.

 

Antara Kehormatan dan Tantangan

Saya memandang jabatan baru yang saya sandang ini dari dua perspektif: sebagai sebuah kehormatan sekaligus tantangan yang luar biasa berat. Saya merasa mendapat kehormatan besar karena terpilih diantara kandidat-kandidat yang lebih baik dibanding saya. Bagi saya, jabatan ini adalah sebuah kepercayaan dari lembaga dan negara bahwa saya adalah orang yang tepat untuk mengisi posisi ini. Sebuah amanah yang tidak cukup saya pertanggungjawabkan kepada lembaga dan negara, namun juga kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Jika dalam kurun 1-3 tahun kedepan tidak ada progres signifikan yang saya capai, artinya lembaga dan negara salah besar dan rugi telah memilih saya.

Dibalik kehormatan tersebut, terselip tantangan yang tidak kalah besar. Harus diakui bahwa saat ini masih cukup banyak yang memadang sebelah mata program-program pengembangan kompetensi bagi pegawai. Ada yang memandang hanya sekedar formalitas, atau bahkan menghambur-hamburkan sumber daya. Sementara kemanfaatan dan dampak yang dihasilkan tidak sebanding dengan investasi yang dikeluarkan (negative return on investment). Belum lagi soal kurikulum yang dinilai tidak cukup agile merespon dinamika dan kebutuhan organisasi, kualitas fasilitator, indikasi tidak berlanjutnya produk pembelajaran berupa proyek perubahan, dan masih banyak lagi masalah yang mungkin belum teridentifikasi.

Tantangan sistemik lain yang dihadapi oleh LAN dalam bidang pengembangan kompetensi adalah manajemen data yang lemah. Data tentang jumlah alumni per tahun dan per angkatan memang mudah diperoleh. Namun jika ditanya tentang berapa jumlah ASN yang sudah dan belum mengikuti pelatihan yang dipersyaratkan, berapa persen pejabat Eselon I dan II di Indonesia yang sudah lulus Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) baik Tingkat I maupun II, berapa alumni yang telah mendapatkan promosi jabatan, berapa jumlah proyek perubahan berdasarkan kategori (pengentasan kemiskinan, investasi, digitalisasi, pembangunan infratsruktur, dan seterusnya), instansi pemerintah (kementerian/lembaga/pemda) mana yang paling disiplin dalam pemenuhan hak pengembangan kompetensi bagi pegawainya (training rate), lembaga pelatihan mana yang memiliki kinerja paling baik berdasarkan hasil evaluasi, dan seterusnya, maka akan sangat sulit sekali ditemukan jawaban yang presisi.

Manajemen data ini bagi saya merupakan salah satu aspek yang paling urgen dalam pengembangan kapasitas ASN. Data yang valid dan lengkap akan menjadi media pendukung pengambilan keputusan (decision support system) dalam menentukan sebuah kebijakan dan program. Tanpa dukungan data yang baik, maka LAN atau DPPK ASN akan terjebak hanya sebagai penyelenggara (event organizer) terhadap seluruh program pengembangan kapasitas ASN, bukan sebagai Center of Excellence yang menjadi kawah Candradimuka terunggul bagi setiap ASN.

Hal lain yang tidak kalah menantang adalah masih tingginya fenomena alumni PKN I dan II yang belum mendapat kesempatan promosi, sementara pegawai yang belum lulus PKN justru dipromosikan. Artinya, PKN belum menjadi sub-sistem yang diperhitungkan dalam manajemen talenta instansi pemerintah. Hal ini yang sering menjadi faktor disinsentif bagi calon peserta PKN. Padahal, PKN sebagai sebuah program pengembangan kompetensi kepemimpinan dan manajerial sifatnya mandatory atau kewajiban sekaligus menjadi persyaratan jabatan. Siapapun yang telah dinyatakan lulus dan kompeten dari PKN, maka yang bersangkutan sudah memiliki kecukupan kompetensi untuk duduk dalam jabatan.

Singkatnya, tantangan yang dihadapi oleh seluruh pegawai di Kedeputian ini tidaklah main-main. Butuh analisis yang akurat tentang peta permasalahan beserta kausalitas dan prioritas untuk penanganannya. Apapun program yang akan dilakukan oleh DPPK ASN nantinya, harus dipastikan memiliki urgensi yang tinggi dan reasoning yang kuat. Meminjam nasihat Simon Sinek dalam bukunya yang berjudul “Start with Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action” (Portfolio: 2011), mulailah dengan “why” (mengapa sesuatu harus dilakukan), jangan melompat pada “how” (bagaimana melakukannya), apalagi “what” (apa yang perlu dilakukan). Jawaban atas pertanyaan “why” itu akan menuntun kita pada tujuan yang hakiki dari organisasi beserta program kerjanya (purpose, goals). Sedangkan jawaban atas pertanyaan “how” akan mencerminkan arah dan strategi untuk mencapai tujuan (direction). Adapun jawaban atas pertanyaan “what” akan menjadi modal kita melakukan monitoring dan evaluasi atas capaian kerja (progress).

Mencermati sekelumit tantangan yang cukup kompleks diatas, menjadi kewajiban saya selaku nahkoda DPPK ASN untuk menggerakkan setiap sumber daya secara optimal. Para pegawai perlu didorong untuk terus meningkatkan kapasitasnya (up-skilling maupun re-skilling). Teamwork dan visi bersama (shared-vision) juga wajib untuk semakin dikembangkan, selaras dengan penguatan nilai-nilai pelayanan (costumer values) secara berkelanjutan. Jelas ini bukan tantangan mudah, namun dengan kebersamaan tidak ada yang mustahil untuk diwujudkan. Bismillah.

Tidak ada komentar: