SECARA umum terdapat persepsi di kalangan masyarakat luas bahwa Kalimantan merupakan wilayah yang relatif terbelakang dan terisolir, terlebih daerah yang secara geografis terletak di wilayah pedalaman dan perbatasan antar negara. Dengan kondisi yang demikian, terkesan bahwa daerah-daerah tersebut kurang tersentuh oleh kemajuan teknologi dan arus informasi kontemporer. Disini seolah berlaku sebuah hukum alam bahwa semakin tradisional sebuah masyarakat, dan semakin terisolir sebuah daerah, maka semakin jauh pula masyarakat dan daerah tersebut dari sentuhan gelombang globalisasi.
Tapi benarkah demikian? Hipotesis diatas ternyata tidak selamanya tepat untuk wilayah Kalimantan. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh fenomena mahalnya harga bahan-bahan kebutuhan pokok di wilayah “pedalaman” seperti Nunukan dan Malinau, yang diakibatkan oleh seretnya supply dari produsen domestik. Namun sebaliknya, di daerah tersebut justru dapat ditemukan dengan mudah berbagai barang produksi luar negeri dengan harga yang relatif murah. Masyarakat di daerah perbatasanpun lebih sering mendapat informasi dari media elektronik negara tetangga; bahkan beberapa orang ada juga yang menyekolahkan anaknya di negeri seberang. Belum lagi jika kita bicara masalah tenaga kerja lintas negara, issu-issu trafficking, illegal trading, smuggling, dan sebagainya, maka nampak sekali bahwa di daerah-daerah yang notabene “terbelakang” (menurut kriteria Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, 2005), ternyata justru mengandung potensi masalah berskala internasional. Contoh lain adalah rencana Pemerintah Pusat untuk membangun jaringan pipa gas alam bawah laut yang menghubungkan Bontang – Semarang sejauh 1.100 km. Banyak pengamat yang menilai proyek ini sebagai bagian dari konspirasi kapitalis global yang ingin mengeksploitasi SDA wilayah pedalaman demi mencapai maximum utility bagi daerah (atau negara) lain yang lebih maju.
Dari perspektif otonomi daerah, kedua contoh diatas memberikan sinyal yang kurang menggembirakan. Sebab, otonomi daerah dan globalisasi sesungguhnya bukan sesuatu yang bersifat saling menolak atau menegasikan satu sama lain. Memang semangat desentralisasi adalah untuk mendorong peningkatan kapasittas pemerintahan lokal dan kemandirian masyarakat lokal dalam menjalankan urusan-urusan berskala lokal. Sebaliknya, globalisasi bukan pula merupakan sesuatu yang superior terhadap lokalisasi (segala sesuatu yang bersifat kedaerahan). Idealnya, diantara keduanya dapat membentuk konvergensi globalisasi atas otonomisasi, yakni kondisi dimana globalisasi dapat berjalan dengan baik tanpa menimbulkan gesekan terhadap desentralisasi/otonomi. Kondisi ini oleh beberapa pakar menyebut pula sebagai fenomena glokalisasi atau sintesa antara globalisasi dan lokalisasi (Ohashi, 2002; Kacowics, 1999).
Namun dalam tataran empiris, yang kerap kali muncul malahan divergensi globalisasi terhadap desentralisasi. Dalam contoh diatas, otonomi daerah di wilayah perbatasan belum mampu menghasilkan pelayanan publik dan kebutuhan penduduk sehari-hari secara murah, cepat, dan berkualitas. Sementara di Bontang, otonomi daerah belum mampu membangun keberanian aparat setempat untuk melindungi kepentingan ekonomis daerahnya. Sebagaimana yang terjadi di belahan dunia lainnya, globalisasi justru mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal dan pelemahan daya tahan masyarakat untuk mempertahankan produk unggulannya.
Itulah sebabnya, Walter B. Stohr dalam bukunya Global Challenge and Local Response (1990) mengatakan bahwa restrukturisasi ekonomi mondial yang merupakan akibat logis dari globalisasi adalah ibarat virus AIDS, yang disebutnya local community AIDS. Disebut demikian, karena globalisasi itu menghilangkan (atau setidaknya mengurangi) kekebalan dan kemampuan suatu komunitas menghadapi tantangan global, yang pada akhirnya akan menghilangkan inovasi dan fleksibilitas anggota komunitas tersebut. Senada dengan Stohr, mantan PM Malaysia, Datuk Mahathir Muhammad bahkan menyebut globalisasi sebagai musuh bersama (common enemy) bagi negara-negara ASEAN, karena bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi lebih jauh bisa menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, bahkan kekacauan sosial (“Kompas”, 5/2/04). Dengan kata lain, jika kita mengikuti pola pikir kedua pakar diatas, maka globalisasi harus ditolak karena mengancam keberlangsungan pembangunan daerah.
Pertanyaannya, dapatkah kita menolak globalisasi? Selain melawan sejarah peradaban, menolak globalisasi berarti pula menolak berbagai kemanfaatan yang menyertai proses integrasi ekonomi politik dunia ini. Untuk itu, yang lebih kita butuhkan sesungguhnya adalah bagaimana mengatasi dampak buruk globalisasi, sekaligus mempromosikan lokalisme. Dalam hal ini, salah satu pendukung utama paham lokalisme adalah Colin Hines yang menulis buku berjudul Localization: The Global Manifesto (2000). Hines yakin bahwa globalisasi bukanlah pemberian Tuhan, sehingga ia mengajak untuk merubah pandangan kita kearah "teologi baru globalisasi" dengan lebih memberi tempat kepada paham "lokalism" yg melindungi dan membangun kembali ekonomi lokal. Itulah sebabnya, pendekatan utama dalam buku ini adalah "Protect the Local, Globally". Konkritnya, segala sesuatu yang bisa diproduksi di suatu negara atau daerah, harus dilakukan (jangan mendatangkan produk asing). Hal ini penting agar meningkatkan kontrol lokal atas ekonomi dan segala potensi untuk dapat disebarkan secara lebih adil diantara penduduk lokal.
Ditengah tarik ulur antara globalisasi dan lokalisasi tadi, kebijakan desentralisasi atau otonomi daerah nampaknya merupakan jawaban yang cukup ideal untuk membangun potensi daerah dan memperkuat identitas lokal tanpa harus menolak mentah-mentah arus globalisasi. Tentu saja, urgensi otonomi daerah disini bukanlah untuk menghilangkan secara langsung dampak negatif globalisasi. Esensi otonomi lebih pada upaya menciptakan landasan politis-yuridis-sosiologis yang kuat bagi daerah untuk membangun dirinya berdasarkan kebutuhan, karakteristik dan potensi yang dimilikinya. Dari sini, diharapkan akan lahir dua prasyarat penting untuk menghadapi globalisasi: 1) kapasitas lokal baik dalam hal SDM maupun kemampuan ekonomis; dan 2) sebuah blue-print pembangunan daerah jangka panjang yang inklusif, akomodatif, visioner, dan berkesinambungan. Dengan kata lain, otonomi daerah sesungguhnya hanya menyediakan anti-bodi terhadap virus community AIDS melalui pengembangan dua hal tadi.
Pada gilirannya, blue-print pembangunan yang matang dan terarah, ditunjang oleh kapasitas lokal yang mantap diharapkan akan bermuara pada proteksi dan promosi tiga faktor strategis di daerah, yakni: local culture and values, local commodities, dan local resources. Disisi lain, daerah juga harus mampu mengenali dan menggali potensi sendiri, agar sedikit demi sedikit makin memperkecil ketergantungan kepada Pusat atau juga dunia luar. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan adanya reorientasi pembangunan industri yang berfokus pada daerah (district level industrialization). Artinya, suatu industri hendaknya tidak melulu dibangun di wilayah metropolitan dan sekitarnya, tapi perlu digeser ke daerah pinggiran (periphery) dengan mengoptimalkan bahan baku lokal, tenaga kerja lokal, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Strategi seperti ini telah terbukti berhasil di negara-negara Eropa beberapa dekade lalu.
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah, untuk membangun dan memperkokoh local identity dan local competitiveness di era otonomi, harus dimulai dari reformasi birokrasi publik, terutama di level daerah. Dalam hal ini, regulasi harus benar-benar dirumuskan secara efektif demi merangsang majunya local entrepreneurs, sementara korupsi, pungli, serta retribusi ganda atau berlebih, harus segera di stop. Birokrasi lokal yang reformed ini, diyakini akan menjadi salah satu prasyarat untuk menunjang proses pembangunan daerah diantara arus globalisme dan lokalisme secara harmonis. Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar