DI tengah hiruk-pikuk perseteruan para elit politik mengenai kenaikan harga BBM, kasus Ambalat tiba-tiba menyentak perhatian seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Padahal, dilihat dari luas wilayahnya, Ambalat hanyalah setitik koordinat dari hamparan nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Selain itu, tidak ada gejolak dalam negeri yang berarti ketika Indonesia kehilangan Sipadan dan Ligitan (2002) atau Timor Timur (1999). Namun mengapa rakyat Indonesia begitu tersinggung dan seketika tersulut jiwa nasionalismenya ketika Malaysia mengklaim blok Ambalat?
Jawabannya hanya satu: Ambalat teramat penting bagi rakyat dan pemerintah Indonesia. Entah itu karena potensi minyak yang melimpah, atau karena harga diri bangsa telah terlanjur terpatri di tanah dan air Ambalat. Itulah sebabnya, walaupun hanya “sejengkal” saja, namun darah rela untuk ditumpahkan. Issu “nasionalisme” seperti ini ternyata masih terus relevan semenjak jaman-jaman kerajaan sebagaimana tersurat dalam historiografi tradisional, hingga sejarah kebangsaan modern seperti saat ini. Dalam masyarakat Jawa lama, misalnya, terdapat prinsip sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi tumekaning pati (penghinaan dan perampasan sejengkal tanah akan dibela sampai mati). Filosofi serupa juga mudah ditemukan di berbagai masyarakat adat di Indonesia. Dan filosofi semacam inilah yang telah memberikan kekuatan dan semangat bagi kaum pribumi untuk mempertahankan kedaulatan dan mengusir penjajah yang mencoba merebut tanah warisan para leluhur kita.
Sesungguhnya bukan hanya Ambalat yang menjadi pangkal sengketa antar pemerintahan. Fenomena rebutan pulau juga terjadi antara Jepang dan Korea Selatan menyangkut pulau Dokdok (Takeshima). Dalam lingkup yang lebih kecil, Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Banten-pun sempat bersitegang memperebutkan Kepulauan Seribu. Berbagai kasus tadi menyadarkan kita bahwa the borderless world seperti yang pernah dikemukakan Kenichi Ohmae (1990), hanyalah sebuah visi imajiner belaka. Justru dalam era Information Technology yang mendorong lahirnya globalisasi ini, kejelasan kaidah hukum tentang perbatasan dan manajemen pembangunan wilayah perbatasan harus makin diperhatikan. Kekaburan aturan dan kelemahan administrasi perbatasan hanya akan menjadikan kawasan perbatasan sebagai medan penghamburan sumber daya, bukan sebagai medan pembangunan yang merangsang investasi. Timor Timur, Sipadan dan Ligitan, serta sekarang Ambalat, telah membuktikan hal itu.
Coba bayangkan, berapa banyak biaya yang telah dikeluarkan oleh negara untuk membiayai (baca: mempertahankan) pulau-pulau tadi. Dalam kasus Sipadan-Ligitan yang berakhir damai saja, hanya untuk membayar jasa pengacara internasional di sidang International Court of Justice, pemerintah harus merogoh puluhan milyar rupiah. Sekarang jika kasus Ambalat harus diselesaikan diujung senjata, berapa besar biaya yang harus ditanggung rakyat Indonesia? Pengerahan pasukan dan persenjataan militer bukanlah “proyek” skala mikro. Ini adalah pekerjaan raksasa yang bisa mengeringkan kas negara dalam waktu relatif singkat. Belum lagi kerusakan infrastruktur yang diakibatkan oleh perang itu, dan kebutuhan untuk melakukan program rekonstruksi.
Ditengah hempasan krisis ekonomi yang belum pulih benar, serta terjangan bencana dahsyat diberbagai penjuru tanah air, opsi angkat senjata jelas bukan opsi ideal. Bahkan dalam keadaan ekonomi politik yang sudah mapanpun, perang bukanlah jalan keluar yang terbaik atas suatu konflik. “Anggaran perang” jauh lebih mulia apabila digunakan untuk pembangunan sosial ekonomi yang sedang terpuruk. Saat ini, tuntutan alokasi anggaran yang lebih besar untuk sektor sosial ekonomi tidak dapat ditunda lagi. Sebagai contoh, tuntutan menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN/APBD serta pendidikan gratis. Belum lagi sektor-sektor lain yang membutuhkan dana tidak sedikit seperti pengentasan kemiskinan, pengadaan rumah sederhana, pembangunan infrastruktur fisik, pembukaan wilayah terisolasi, dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah hal-hal mendasar tadi harus dikorbankan hanya demi setitik Ambalat?
Tentu tidak! Kedaulatan harus tetap kita pertahankan. Namun harus dipahami bahwa kedaulatan bukan sesuatu yang bersifat trade off dengan kesejahteraan. Kedaulatan justru adalah titik awal membangun kesejahteraan; sehingga setiap tindakan yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan rakyat dengan alasan kedaulatan, tidak dapat diterima akal sehat. Masalahnya sekarang adalah, bagaimana kita dapat menjaga kedaulatan tanpa mengorbankan kesejahteraan?
Kuncinya terletak pada tertib hukum dan profesionalitas dalam manajemen perbatasan. Selain itu, sudah saatnya bangsa ini meninggalkan argumen kesejarahan atau rantai kepemilikan (chain of title) yang mengklaim wilayah negara sebagai bekas wilayah kerajaan pada masa lampau. Logika berpikir bahwa Ambalat merupakan bagian Indonesia hanya karena pernah menjadi bagian dari Kasultanan Bulungan, jelas tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, dan bahkan dapat menjadi bahan tertawaan diplomat asing. Dinamika interaksi antar bangsa sudah berubah sedemikian cepat. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan obyektif seperti penyusunan ocean plan, pemberian nama-nama dan atribut terhadap pulau-pulau kosong, pembinaan kemasyarakatan khususnya kepada kelompok nelayan, pengelolaan pulau secara aktif, penggalangan kerjasama yang kuat dan saling menghargai antar negara, dan sebagainya, harus diutamakan, dan itu merupakan tantangan yang berat bagi aparat di tanah air.
Diluar kasus Ambalat ini, harus kita sadari masih banyak sekali kasus-kasus penting yang membutuhkan perhatian serius. Pemberantasan korupsi, illegal logging, dan lain-lain, jangan sampai terlupakan hanya karena ingin berkonsentrasi pada upaya memenangkan persaingan dengan Malaysia di lepas pantai Sulawesi itu. Walaupun katakanlah kita bisa mempertahankan Ambalat, namun tidak dapat mengalahkan koruptor dan para pembalak liar, tetap saja kesejahteraan hanya menjadi impian semata. Nasib Ambalat memang penting, namun nasib bangsa Indonesia jauh lebih penting lagi. Dan nasib bangsa ini hanya bisa diperbaiki melalui pembenahan secara sistemik, tidak sekedar menyelesaikan sengketa Ambalat. Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar