DALAM Jurnal Foreign Affairs Vol. 83 No. 4 (2004), Nancy Birdsall dan Arvind Subramaniam menulis artikel yang sangat menarik berjudul Saving Iraq from Its Oil. Dari judulnya saja sudah sangat jelas bahwa Irak perlu diselamatkan dari mis-management dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia, ternyata warga Irak tetap saja tergolong miskin. Rakyat Irak ibarat tikus mati di gudang beras, atau semut kelaparan di lautan gula. Bahkan Birdsall dan Subramaniam menyatakan dengan cukup sarkastik bahwa kekayaan alam bagi rakyat Irak bukan menjadi berkah, melainkan kutukan (resource curse).
Sesungguhnya bukan hanya Irak yang mengalami kegagalan pembangunan (mal-development). Saat ini paling tidak terdapat 34 negara berkembang yang 30% atau lebih pendapatannya berasal dari ekspor minyak dan gas alam. Ironisnya, 12 negara diantaranya masih memiliki pendapatan per kapita dibawah 1,500 dollar, sementara lebih dari setengah jumlah penduduknya hanya berpenghasilan kurang dari 1 dollar per hari. Dengan kata lain, negara-negara dengan kekayaan alam yang berlimpah justru dicirikan oleh kemiskinan rakyatnya yang parah. Disamping itu, tiga perempat dari 34 negara berkembang tadi secara politik juga kurang demokratis, serta tidak memiliki suprastruktur politik (dan ekonomi) yang mapan.
Pertanyaannya, mengapa SDA yang melimpah dapat menimbulkan dampak koruptif dalam sebuah negara? Salah satu jawabnya adalah bahwa pada saat harga melonjak, pemerintahan di negara kaya SDA cenderung bertindak konsumtif dan royal, namun pada saat harga jatuh, mereka harus memotong banyak biaya berbagai pembangunan sarana umum dan penyediaan pelayanan publik. Disamping itu, aspek manajemen memegang peran kunci dalam kasus itu. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa negara yang sesungguhnya lebih miskin SDA, namun memiliki kesejahteraan yang lebih baik dan lebih merata. Sebagai contoh, Belanda jauh lebih makmur dibanding Spanyol pada abad ke-17 yang memiliki cadangan emas dan perak sangat besar. Demikian pula, Jepang dan Swiss lebih sejahtera dibanding Rusia yang kaya dengan berbagai bahan tambang. Beberapa contoh lain juga dapat dengan mudah ditambahkan disini.
Dalam kasus-kasus diatas, SDA dipandang sebagai berkah yang turun dari langit dan menjadi alat untuk membasmi kemiskinan, namun tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Akibatnya, mis-management dan korupsi yang lebih menonjol, sementara kesejahteraan penduduk tidak pernah membaik. Dari kasus diatas nyatalah bahwa korupsi merupakan bentuk mal-development dari proses pembangunan nasional yang berdampak langsung terhadap taraf hidup penduduk suatu negara.
BAGAIMANA dengan Kalimantan Timur? Dengan luas wilayah 245.237 km2, Kaltim adalah propinsi terluas di Indonesia (setelah terjadi pemekaran wilayah di Papua). Selain itu, Kaltim juga merupakan satu dari empat propinsi terkaya (selain Aceh, Riau dan Papua) dalam hal SDA. Dilihat dari sumber daya mineral dan energi, misalnya, Kaltim memiliki cadangan minyak sebesar 1,17 juta MMSTB, gas bumi 48.680 BSCF, batubara 6,45 milyar ton dan emas 60,50 juta ton. Kaltim juga memiliki hutan seluas 14,67 juta ha, meliputi kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Hutan Tropika Basah di Kaltim juga merupakan paru-paru dunia terbesar setelah Brazil. Sedangkan kawasan budidaya non kehutanan seluas 5,24 juta ha, diperuntukkan sebagai lahan perkebunan seluas 4,7 juta ha (4,09 juta ha untuk kelapa sawit dan 0,61 juta ha untuk komoditas perkebunan lainnya) dan lahan pertanian 0,6 juta ha. Sementara itu, potensi perairan meliputi perairan laut seluas 98 ribu km2 dan perairan umum seluas 2,28 juta ha, dengan hasil perikanan rata-rata 350 ribu ton per tahun.
Melihat potensi yang sedemikian besar, semestinya optimisme yang terbentang didepan kita. Namun sebagaimana propinsi lainnya, kesejahteraan rakyat di Kaltim dan 3 propinsi terkaya tadi juga masih jauh dari harapan. Bahkan kinerja ekonomi di beberapa daerah yang kurang ditopang oleh SDA seperti DKI dan Bali, nampaknya jauh berada diatas capaian Kaltim. Disini, secara asumtif dapat ditarik hipotesis awal bahwa melimpahnya SDA kurang berkorelasi secara positif terhadap kemajuan pembangunan sosial ekonomi masyarakat.
PROSES mentransformasi SDA menjadi kesejahteraan bersama memang bukan persoalan sepele. Dalam hal ini, Birdsall dan Subramaniam (2004) menyodorkan tiga alternatif pengelolaan SDA, yakni privatisasi perusahaan minyak bumi (dan SDA lainnya), menghimpun dana khusus dari hasil pengolahan dan penjualan minyak untuk membatasi kebebasan pemerintah dalam fungsi pembelanjaan, serta membuat mekanisme distribusi / alokasi hasil minyak bumi langsung kepada masyarakat. Pemikiran Birdsall dan Subramaniam tadi nampaknya terlalu makro dan sumir, meskipun tetap perlu kita pertimbangkan secara cermat. Dalam tataran yang lebih mikro, pengelolaan SDA perlu diimbangi dengan peningkatan aspek teknologi, pembenahan fungsi-fungsi manajemen, dan pelurusan terhadap itikad dan komitmen para pelaku di bidang pengelolaan SDA. Dalam aspek teknologi, misalnya, eksplorasi dan eksploitasi SDA jelas membutuhkan teknologi yang tidak saja bersifat eksploratif dan eksploitatif, namun mestinya juga ramah lingkungan serta dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) pengelolaan SDA itu sendiri. Disisi lain, aspek perencanaan dan pengawasan harus pula dibenahi. Pada saat yang bersamaan, orientasi jangka pendek dari pemerintah dan pengusaha yang memandang SDA sebagai windfall harus diubah menjadi orientasi kemanfaatan secara merata untuk jangka panjang.
Satu hal yang jelas, membangun kesejahteraan membutuhkan waktu yang amat panjang, sementara SDA hanyalah salah satu input yang harus dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan kesejahteraan. Itulah sebabnya, ketergantungan terhadap SDA harus dikurangi dengan menciptakan sumber-sumber dan input baru yang lebih inovatif, sambil kita berpikir bagaimana memperbaiki sistem pengelolaan SDA selama ini. Tri Widodo WU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar