Laman

Jumat, 02 April 2010

Demokrasi dan “Ukuran” Wilayah


SALAH satu paradigma pokok yang dianut oleh UU Pemerintahan Daerah yang baru adalah mendorong proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Pada saat yang bersamaan, era otonomi dewasa ini diitandai oleh lahirnya banyak sekali unit-unit pemerintahan baru mulai level propinsi, kabupaten / kota, sampai dengan kecamatan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa pembentukan wilayah (khususnya di tingkat kabupaten / kota) memiliki korelasi positif dengan peningkatan kehidupan demokrasi masyarakat lokal.

Asumsi ini sangatlah logis, sebab ketika terjadi pemekaran wilayah (baca: penambahan unit pemerintahan) maka jangkauan teritorial secara otomatis menjadi semakin pendek / dekat, sementara jumlah penduduk yang harus dilayanipun menjadi semakin sedikit. Dengan demikian, unit pemerintahan tadi semestinya lebih mampu memberikan pelayanan secara prima, sedangkan masyarakat memiliki akses yang lebih mudah / cepat terhadap proses pengambilan keputusan baik politis maupun administratif di daerahnya.

Meskipun demikian, patut disadari bahwa logika diatas tidak selamanya bersifat linier. Artinya, asumsi bahwa “semakin banyak pemekaran wilayah dan semakin besar jumlah unit pemerintahan, maka semakin baik kehidupan demokrasi”, tidaklah berlaku secara mutlak. Hingga taraf tertentu, pembentukan daerah (otonom) baru yang kurang terkendali justru akan menghasilkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan, disamping terhambatnya proses demokratisasi itu sendiri. Dalam rangka mencari proporsi yang ideal antara ukuran wilayah dengan kadar demokrasi itulah, tulisan ini dibuat.
* * *
DALAM artikel berjudul Size and Democracy: Case for Decentralization (1999), Larry Diamond dan Svetlana Tsalik memberi ilustrasi menarik tentang keterkaitan antara variable ukuran negara / wilayah dengan demokrasi. Menurut mereka, pada tahun 1998 hampir 75% negara yang berpenduduk dibawah 1 juta jiwa merupakan negara demokratis, sementara kurang dari 60% negara dengan populasi diatas 1 juta jiwa diikategorikan sebagai demokratis. Lebih ekstrim lagi, 5 dari 6 negara yang berpenduduk dibawah setengah juta cacah (microstate) adalah demokratis, dan lebih dari tiga perempatnya menerapkan demokrasi liberal. Dengan kata lain, jika kita menginginkan suatu negara atau daerah tetap demokratis, maka harus diupayakan agar jumlah penduduk tidak berkembang secara dramatis.

Permasalahannya, hampir tidak ada satupun negara atau daerah yang tidak mengalami pertumbuhan penduduk. Dalam hal demikian, terdapat dua opsi yang bisa dipilih, yaitu dengan pemekaran (membagi satu wilayah menjadi dua atau lebih wilayah baru) atau devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas). Dalam negara yang diklasifikasikan sebagai microstate, baik pemekaran maupun devolusi / desentralisasi tidaklah diperlukan karena negara tersebut sudah sangat kecil. Namun untuk negara besar seperti Indonesia, kedua opsi tadi menjadi pilihan kebijakan yang sangat populer. Dengan pola pikir seperti ini tidaklah aneh jika kemudian muncul banyak aspirasi untuk membentuk daerah baru yang alasan pembenarnya adalah mempercepat proses demokrasi lokal.

Menyimak pengalaman negara lain, jumlah daerah otonom juga jauh lebih banyak dibanding kondisi Indonesia. Sebagai contoh, Jepang memiliki 47 propinsi (prefecture) dan 3.232 daerah otonom setingkat kabupaten / kota (ShiChoSon). Sementara di Thailand terdapat 75 propinsi dengan 1.130 daerah otonom setingkat kabupaten / kota. Padahal, secara geografis kedua negara tadi jauh lebih kecil dibanding Indonesia, namun memiliki unit pemerintah daerah yang jauh lebih besar. Atas dasar ini, gagasan pemekaran wilayah, sekali lagi, menemukan dasar argumen yang sangat kuat.
* * *
WALAUPUN dapat diterima secara logis maupun teoretis, namun beberapa hal perlu dipertimbangkan secara matang sebelum diambil keputusan politik tentang pemekaran wilayah. Pertama, pengertian “ukuran wilayah” untuk konteks Indonesia tidak hanya menyangkut jumlah penduduk, tetapi juga luas geografis serta kemampuan daerah khususnya dibidang keuangan.

Apabila ukuran populasi saja yang digunakan, maka hanya wilayah Jawa yang “berhak” dimekarkan karena faktor konsentrasi penduduk. Hasilnya, bisa jadi pulau Jawa akan terbagi dalam ribuan daerah mini yang otonom. Kondisi sebaliknya akan terjadi jika ukuran luas geografis saja yang dipakai. Sedangkan dalam ukuran kemampuan finansial, berlaku premis bahwa makin rendah / kecil kemampuan suatu daerah makin tinggi urgensi penggabungan dengan daerah lain, dan bukan sebaliknya.

Kedua, pemekaran wilayah akan membuat rentang kendali birokrasi menjadi semakin panjang, sehingga mempersulit mekanisme koordinasi, pengawasan dan pembinaan oleh pusat terhadap propinsi dan kabupaten / kota, serta oleh propinsi terhadap kabupaten / kota. Konsekuensinya, fungsi dan tugas pemda dikhawatirkan akan menurun, jika tidak dikatakan inefektif dan inefisien.

Ketiga, pemekaran wilayah akan berimplikasi langsung terhadap berkurangnya jumlah dan kemampuan anggaran baik bagi daerah baru hasil pemekaran maupun daerah induknya. Lahirnya banyak daerah baru dewasa ini menyajikan fakta bahwa anggaran daerah lebih banyak terserap untuk membiayai belanja rutin seperti gaji pegawai, perjalanan dinas, pemeliharaan gedung, pengadaan ATK, dsb. Akibatnya, sektor pembangunan menjadi terabaikan, dan pada saat bersamaan, kualitas pelayanan umum menurun secara drastis.

Dampak lainnya, pemda seolah-olah berlomba untuk mendongkrak PAD-nya dengan cara menetapkan berbagai macam pungutan baru yang jelas-jelas membebani masyarakat dan menjadikan iklim usaha kurang kondusif. Dalam keadaan masyarakat yang terbebani dan pemda yang lebih berorientasi kedalam ini, jelas sekali bahwa upaya demokratisasi merupakan hal yang hampir mustahil.

Itulah sebabnya, trend pemekaran wilayah tidak disukai lagi di negara-negara lain. Sebaliknya, di Jepang misalnya, 47 propinsi yang ada saat ini secara administratif dikelompokkan menjadi 12 wilayah saja. Sedang pada level kedua, amalgamasi juga dilakukan dengan target pengurangan municipalities dari 3.232 menjadi hanya 257 (Masahisa Hayashi, 2002).

Sementara itu, pemerintah Thailand sedang merancang kebijakan untuk menciutkan jumlah daerah otonom tingkat III yang disebut TAO (Tambol Administratif Organization, di Indonesia setingkat Kecamatan) dari 7.498 menjadi hanya 5.000 (Bangkok Post, 3/11/02). Pengalaman negara-negara Eropa-pun menunjukkan makin sedikitnya jumlah daerah otonom setingkat kabupaten / kota. Di Swedia, unit pemda berkurang dari 1.006 pada tahun 1960-an menjadi 284 pada tahun 1980-an. Sementara pada periode yang sama, jumlah unit pemda di Belgia berkurang dari 2.663 menjadi 589; di Denmark dari 1.387 menjadi 275; di Jerman dari 24.282 menjadi 8.426; di Inggris dari 1.288 menjadi 457 (Hubert Allen, 1990).

Bercermin kepada pengalaman negara-negara diatas, pemekaran wilayah di Indonesia perlu dilakukan secara cermat dengan memperhitungkan berbagai untung ruginya. Jangan sampai di kemudian hari kita disibukkan dengan upaya untuk merampingkan atau menggabungkan kembali struktur dan jumlah pemerintah daerah. Demokrasi memang penting, namun pemekaran wilayah bukanlah cara satu-satunya untuk mempromosikannya. Buktinya, tidak terjadi distorsi nilai-nilai demokrasi ketika negara-negara tersebut melakukan pengurangan jumlah pemerintah daerah. © Tri Widodo WU.

Dipublikasikan di harian Media Indonesia, 16 Desember 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar