Laman

Jumat, 02 April 2010

Demokrasi: Pemicu atau Peredam Konflik?


SEKEDAR untuk mencari batas, tonggak demokratisasi kontemporer di Indonesia dapat disebut dimulai sejak 1998 yang ditandai oleh lengsernya Soeharto. Sayangnya, demokrasi tidak lahir secara mulus yang disambut dengan suka cita, melainkan melalui proses kekerasan dan konflik dahsyat yang menimbulkan duka cita teramat mendalam.

Lebih sayang lagi, menjelang usianya yang ke-5 tahun, demokrasi belum mampu menjanjikan tata kehidupan yang damai dan sejahtera. Sebaliknya, pertikaian begitu mudahnya didapat kemanapun kita palingkan muka. Tidak hanya terjadi antar sesama komponen masyarakat seperti terjadi di Poso, Sambas atau banyak daerah lain meski dalam skala kecil; konflik juga terjadi antara pemerintah dengan organisasi semi-militer seperti GAM, GPK, dan RMS. Bahkan, konflik melanda pula kalangan parpol termasuk para dedengkotnya; serta antar lembaga pemerintahan (Utomo, Conflicts between Governmental Units and the Prospect of Arbitration, 2002).

Pertanyaan yang seketika muncul adalah, apakah demokrasi dan konflik memang dua hal yang tidak terpisahkan? Pertanyaan ini sangat logis mengingat sebelum runtuhnya rejim Orba, sangat sulit menemukan konflik yang begitu terbuka dan berkepanjangan kecuali gerakan separatis di Aceh dan Papua. Namun begitu keran keterbukaan dibuka, gelombang unjuk rasa, kekerasan, hingga tindakan anarkhis menjadi pemandangan yang sangat lumrah. Kita bisa juga membandingkan dengan kasus Uni Soviet dimana glasnots dan perestroika ternyata menghasilkan perpecahan dan pertikaian yang belum tuntas hingga sekarang. India juga contoh klasik tentang negara demokratis yang sarat dengan konflik sosial. Sekali lagi kita patut bertanya: benarkah demokrasi merupakan pemicu terjadinya konflik?
* * *
TENTU tidak ada satu jawabanpun yang bisa memuaskan pertanyaan tersebut. Dalam khazanah ilmu politik, terdapat dua mainstream yang berbeda dalam memahami hubungan kedua variable diatas. Alison Ayers (et.al.) dalam paper berjudul Democratic Institutions and Politics in the Context of Inequality, Poverty and Conflict (1999) misalnya, memberi gambaran menarik mengenai kontroversi pemikiran itu.

Disatu sisi, terdapat suatu paham yang memandang demokratisasi sebagai penyebab utama terjadinya konflik. Penganut paham ini memiliki argumen bahwa terbukanya ruang demokrasi melahirkan banyak kelompok dengan berbagai aliran dan tuntutan yang berbeda. Sayangnya, banyaknya politik aliran ini berimplikasi pada sulitnya mengorganisasikan berbagai kepentingan secara negotiable. Itulah alasannya mengapa banyak demokratisasi yang justru menyebabkan pertikaian horizontal maupun vertikal.

Pandangan ini diwakili oleh rejim Nyerere (Tanzania), Soekarno, dan Boigny (Ivory Coast) pada masa lampau; serta Mahathir (Malaysia) dan Museveni (Uganda) pada masa sekarang. Ketiga rejim terdahulu beranggapan bahwa hanya sistem satu partai atau demokrasi terpimpin-lah yang dibutuhkan untuk meredam ketegangan dan konflik sosial. Sementara rejim yang lain menyakini bahwa kompetisi multi-partai yang berlebihan dan terlalu memberi kebebasan terhadap hak politik dan hak sipil hanya akan menjadikan demokrasi menjadi tidak stabil.

Disisi lain, pandangan kedua mengakui bahwa memang demokrasi bukan jaminan tidak adanya konflik politik dalam masyarakat. Namun paling tidak, bangsa yang demokratis akan mampu mambangun pranata sosial, sumber daya dan fleksibilitas sistem yang lebih baik, sehingga dalam jangka panjang akan mampu mengelola setiap perbedaan dan sengketa secara damai. Dengan kata lain, demokrasi adalah sistem peredam konflik secara damai (peaceful management of conflicts). Sebab, demokrasi menyediakan metode perumusan kebijakan/pengambilan keputusan yang anti kekerasan, forum perwakilan untuk mempertemukan berbagai perbedaan, serta kesempatan berpartisipasi secara inklusif.

Pandangan kedua ini terutama diyakini oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance yang dalam publikasi berjudul Democracy and Deep-rooted Conflict (2001) menyebutkan bahwa “it is equally true that while democracy is often messy, incremental, and difficult, it is also by far the best hope of building sustainable settlements to most of the conflicts being fought around the world today”. Lebih dari itu, IIDEA percaya bahwa demokrasi dapat difungsikan sebagai alat untuk mengelola konflik itu sendiri. Hal ini dapat ditempuh melalui tiga teknik analisa konflik yaitu adversarial (melihat konflik sebagai “kita melawan mereka”), reflektif (introspeksi dan mempertimbangkan jalan keluar terbaik), serta integratif (memahami pandangan dan kepentingan kedua pihak).
* * *
KEMBALI ke fakta empiris di Negara kita, jika memang demokrasi adalah sesuatu yang komplementer dengan upaya meredam konflik, apa yang salah dengan demokrasi kita? Salah satu penjelasan yang dapat diajukan adalah bahwa proses demokratisasi di Indonesia lebih banyak dipersepsi dan disikapi sebagai proses transisi atau transformasi, dari pada kebutuhan untuk melakukan konsolidasi. Padahal, konsolidasi inilah yang kita perlukan untuk menjamin proses transformasi yang tidak bergejolak.

Sesungguhnya, proses demokratisasi di Indonesia sendiri dapat dikatakan sudah berjalan pada rel yang benar. Sebagai contoh, pemerintah telah menempuh beberapa kebijakan seperti 1) amandemen konstitusi yang ditindaklanjuti dengan penerbitan UU No. 22, 25, dan 28 tahun 1999, 2) pembentukan lembaga-lembaga advokasi seperti Komnas HAM, Komisi Ombudsman Nasional, 3) penggantian paket UU Bidang Politik, 4) pengurangan dominasi militer di lembaga legislatif, dsb. Sedangkan beberapa kelompok masyarakat juga mendukung proses demokrasi dengan mendirikan beberapa LSM yang mengawasi kiprah pemerintah, seperti Parliament Watch, Government Watch, Media Watch, Human Rights Watch, Corruption Watch, dan berbagai Watch yang lain. Namun, ini saja ternyata belum cukup; banyak agenda lain yang perlu segera diwujudkan.

Dalam kaitan ini, IIDEA menawarkan 7 agenda konsolidasi, yakni reformasi konstitusi, penguatan otonomi daerah, peninjauan kembali hubungan sipil-militer, pembangunan masyarakat madani, pemerataan pembangunan sosial ekonomi, penyetaraan gender, serta penanganan masalah yang berkenaan dengan pluralisme agama. Sementara itu, Juan Linz dan Alfred Stepan dalam buku Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996) menyaratkan 6 prioritas dalam rangka konsolidasi demokrasi, yaitu adanya pemilu yang bebas; masyarakat sipil yang otonom; masyarakat politik yang bersaing secara sehat guna menjalankan kontrol atas kekuasaan; supremasi hukum; birokrasi legal-rasional; serta terciptanya masyarakat ekonomi yang menjadi perantara antara negara dan masyarakat dalam sistem perekonomian. Walaupun pembahasan buku ini lebih ditujukan untuk kasus Amerika Selatan dan mantan negara komunis di Eropa, namun mengandung nilai yang universal, sehingga dapat kita adopsi untuk membangun demokrasi di Indonesia.

Dengan demikian, pekerjaan rumah kita untuk membangun demokrasi dan masyarakat yang tertib dan damai masihlah panjang. Namun yang harus selalu kita pedomani, hakekat demokrasi adalah upaya membangun sistem nilai/norma, sekaligus proses perubahan sosial budaya yang membuka lebar-lebar pintu konsensus bagi segala persoalan dan untuk semua golongan. Inilah kiranya kunci sukses dari proses demokratisasi yang tengah kita jalani bersama. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar