Laman

Jumat, 02 April 2010

Pemilihan Gubernur dan “Perjanjian Sosial” Baru


Semenjak reformasi politik bergulir di Indonesia akhir tahun 1990-an, terjadilah perubahan sistem politik yang sangat fundamental, dari demokrasi perwakilan rakyat (indirect democracy) menjadi demokrasi rakyat (direct democracy). Hal ini ditandai oleh pemilihan Presiden dan Kepala Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota secara langsung.

Perubahan bandul demokrasi itu sendiri secara filosofis didasarkan pada ide dasar untuk memurnikan kembali praktek demokrasi yang dinilai banyak tercemar selama era Orde Baru. Proses pemurnian itu ditempuh dengan mengembalikan mandat dan hak demokrasi kepada pemiliknya yang sejati, yaitu rakyat. Dengan kata lain, tatanan demokrasi melalui proses Pemilu dan Pilkada langsung yang tengah berjalan dewasa ini mencitakan terbangunnya sebuah mekanisme ”perjanjian sosial” yang lebih menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara.

Ide awal tentang perjanjian sosial sendiri digulirkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), seorang pemikir Perancis berkebangsaan Swiss. Dalam karya monumentalnya berjudul Du Contract Social (1762), ia berargumen bahwa manusia dilahirkan sebagai makhluk bebas, namun dimana-mana dia selalu terbelenggu. Ironisnya, perubahan dari kebebasan menjadi kondisi keterpasungan tadi menjadi sesuatu yang sah (legitim).

Dalam konteks kehidupan politik di Indonesia, era sebelum rezim reformasi barangkali dapat menjelaskan alam berpikir Rousseau. Meskipun hukum dasar memberi garansi terhadap hak-hak asasi warga negara, namun prakteknya sering ambigu atau kontradiktif. Pembatasan hak berkumpul dan berserikat, pembungkaman media, pemaksaan proyek tertentu atas nama kepentingan umum, atau kasus-kasus ”orang hilang”, adalah beberapa indikasi betapa rakyat berada dibawah subordinasi kekuasaan formal negara yang menyimpang dari semangat dasarnya.

Penyimpangan kekuasaan oleh negara barangkali adalah fenomena alami, sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Trend seperti inilah yang ingin dihindari melalui prosesi kontrak sosial. Dalam konsep kontrak sosial ini, setiap orang melepaskan kehendak pribadinya untuk membentuk kehendak umum (general will, volonte generale). Selanjutnya, kehendak umum tadi akan bermutasi menjadi aturan sosial yang merupakan sebuah hak keramat dan menjadi dasar bagi munculnya hak-hak rakyat lainnya.

Kasus Pilgub dimanapun, termasuk di Kaltim, sangat menarik untuk dianalisis dari kerangka membangun sebuah perjanjian sosial baru di level daerah.

Setiap pasangan kandidat maju dengan segenap program dan triknya masing-masing. Apa yang mereka sampaikan kepada konstituennya selama masa perkenalan dan kampanye, pada hakekatnya adalah butir-butir penawaran sebagai bagian dari kontrak sosial yang mereka susun. Jika rakyat kemudian memberikan respon berupa dukungan (support), penggabungan (grouping), atau pemihakan (alignment), maka saat itulah terjadi transaksi politik antara rakyat sebagai mandan dengan pemimpin sebagai mandataris. Namun jika yang terjadi adalah penolakan (resistance), pemisahan (ungrouping), dan perlawanan (opposition), maka telah gagallah political market antara kedua belah pihak.

Dalam realita politik praktis, kontrak sosial yang terjadi sayangnya hampir selalu bersifat maya (pseudo transaction). Artinya, ketika terpilih seorang Gubernur baru, hal itu tidak secara otomatis telah tercapai perjanjian sosial baru. Karakter dasar demokrasi liberal bisa ditunjuk sebagai salah satu faktor penyebab utama.

Sebagaimana kita pahami, demokrasi liberal memiliki pandangan klasik bahwa ”suara terbanyak” merupakan basis filosofis dalam pengambilan keputusan strategis. Konsep ini sesungguhnya bertentangan dengan ide Rousseau tentang general will. Rousseau membedakan antara kehendak umum (volonte generale) dengan kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak umum mengacu kepada kepentingan umum, sedangkan kehendak semua merupakan himpunan kepentingan pribadi. Keputusan politis pada model kehendak semua dapat membatalkan satu sama lain, sedangkan kehendak umum masih tetap menjadi himpunan kehendak yang berbeda. Dalam demokrasi liberal, suara terbanyak diasumsikan sebagai representasi kehendak semua. Dengan demikian, keputusan KPUD tentang pemenang Pilkada berdasarkan suara terbanyak adalah murni refleksi dari prinsip demokrasi liberal. Sungguh sangat disayangkan bahwa hingga saat ini kita belum memiliki sebuah sistem yang dapat mengakomodir kepentingan kelompok / pemilih yang tidak terwakili oleh suara terbanyak.

Faktor penyebab yang lain adalah posisi elite politik (para kandidat) dengan massa (konstituen) yang tidak simetris. Pada struktur atas, elite politik relatif sudah cukup betah pada political environ­ment yang terdegradasi, untuk tidak mengatakan korup. Sedikit banyak, para elite tadi telah terkena polusi politik dari iklim yang kurang sehat tadi. Disisi lain, akibat kemiskinan dan kebodohannya ditengah minimnya pendidikan politik, rakyat cenderung mudah terjangkit oleh polusi ekonomi dengan sikap permisifnya terhadap praktek jual beli suara, dagang sapi, operasi subuh, dan sebagainya. Asymmetric position inilah yang menyebabkan rakyat menjadi tidak begitu peduli dengan siapapun yang akan terpilih sebagai pemimpinnya.

Kedua kondisi diatas nampaknya berkontribusi terhadap munculnya paradoks dalam penyelenggaraan Pilgub. Di Kaltim sendiri, paradoks tadi bisa diamati mengejawantah dalam beberapa bentuk.

Pertama, ketika para kandidat dihadapkan pada fakta bahwa Kaltim adalah sebuah laboratorium sosial yang mencerminkan adanya ideologi kemajemukan, justru mereka sering terjebak oleh eksploitasi atribut atau simbol-simbol etnisitas tertentu secara eksklusif. Akibatnya, tidak aneh jika muncul reaksi keras dari etnis lain yang merasa tidak terwadahi aspirasinya.

Kedua, ketika para kandidat beserta parpol pendukungnya yang memiliki kesamaan platform dan program kerja dinantikan membentuk koalisi sinergis, ternyata justru membangun koalisi dengan kandidat / parpol yang memiliki platform berbeda hanya semata-mata mengejar target raihan suara. Akibatnya, seorang pendukung fanatik kandidat tertentu, terpaksa harus menarik diri dari calon yang didukungnya, hanya karena dia berkoalisi dengan calon lain yang tidak dikehendaki. Selain itu, target jangka pendek untuk menjadi pemimpin (baca: gubernur) namun melupakan kesamaan basis perjuangan seperti ini akan menjadi bom waktu dalam penyelenggaraan pemerintahan di kemudian hari.

Karena gejala empiris masih menunjukkan adanya paradoks tadi, maka dapat ditarik hipotesa bahwa pesta demokrasi bernama Pilgub yang kita gelar, belum dapat memenuhi kebutuhan dan idealita tentang perjanjian sosial baru. Ketika gubernur dan wakilnya dilantik suatu hari nanti, itulah sebenarnya momentum legalisasi perjanjian sosial baru. Sayangnya, sekali lagi, kita hanya akan menyaksikan sebuah pseudo transaction dalam konfigurasi politik lokal. Dengan demikian, esensi pembangunan civil society yang demokratis, mandiri dan terhormat tidak terletak pada sistem pemilihan langsung (direct democracy), namun lebih pada niat luhur para pemimpinnya untuk menghindari hipokrisi dalam pengabdiannya kepada rakyat. Pemilihan langsung memang penting, namun jika hanya melahirkan pemimpin yang hipokrit, betapa sia-sianya energi yang telah kita keluarkan untuk hajat sebesar Pilgub. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar