Laman

Jumat, 02 April 2010

Rakyat vs Parpol Dalam Suksesi Kepemimpinan



PROSESI Pemilihan Gubernur Kaltim yang panjang dan melelahkan, akhirnya usai juga dan hasilnyapun telah kita ketahui bersama. Namun masih ada sisa-sisa cerita yang menarik untuk dicatat dan dicermati.

Kalau kita perhatikan, Pilgub Kaltim 2008 memiliki kesamaan skenario dengan Pilpres 2004. Kesamaan itu adalah bahwa kandidat Presiden / Gubernur yang diusung oleh parpol besar, justru kalah telah oleh kandidat lain yang didukung parpol gurem dan tidak punya basis massa yang luas, tidak memiliki kursi yang signifikan di tubuh legislatif, bahkan sering tidak masuk dalam hitungan para pengamat dan surveyor opini publik.

Gejala seperti ini, meskipun bukan hal yang mustahil, namun cukup merisaukan jika tidak ada pembenahan sistem kepartaian dan pembangunan politik yang lebih baik. Dikatakan merisaukan, sebab gejala diatas secara tidak langsung mengindikasikan kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya.

Sebagaimana diungkapkan Miriam Budiardjo, parpol memiliki 4 (empat) fungsi dasar, yakni: 1) sarana komunikasi politik, yakni sebagai jembatan antara kelompok yang memerintah (the rulers) dengan kelompok yang diperintah (the ruled); 2) sarana sosialisasi politik, yakni melakukan pendidikan politik guna meningkatkan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional; 3) sarana rekrutmen politik, yakni mencari anggota baru dan mengajak untuk berpartisipasi dalam proses politik; serta 4) sarana pengatur konflik, yakni mengatasi pertikaian yang timbul.

Jika kita menyimak empat fungsi esensial parpol tersebut, maka parpol dengan rakyat (konstituen) seharusnya bersifat konvergen, artinya suara dan aspirasi parpol semestinya mencerminkan suara dan aspirasi masyarakat. Calon pilihan parpol-pun, logikanya adalah pilihan rakyat, karena parpol adalah corong, “urat nadi”, atau “penyambung lidah” rakyat. Parpol adalah cermin yang menangkap dan memantulkan kembali asa, suara, amanat, mimik wajah, denyut nadi, desah nafas, bahkan rintihan dan penderitaan rakyat. Secara teoretis, pragmatis, bahkan secara konstitusional sekalipun, parpol adalah kanal yang terbaik untuk memperjuangkan nasib dan masa depan rakyat. Jadi – sekali lagi – bangunan parpol semestinya kembar identik dengan bangunan kerakyatan.

Namun dalam kasus Pilpres 2004 dan Pilgub Kaltim 2008, nampak dengan terang benderang bahwa hubungan parpol dengan konstituennya bersifat divergen. “Komoditi” (baca: kandidat) yang dijual parpol ternyata tidak laku di pasaran. Jargon-jargon hebat dan janji-janji manis semanis gadis 17-tahun, ternyata tidak membangkitkan minat massa untuk merengkuhnya. Visi misi dan program kerja yang diunggulkan ternyata tidak meyakinkan dan tidak mampu mengobarkan optimisme publik. Rakyat dan parpol nampaknya tidak lagi laksana dua sisi simetris dalam satu keping mata uang yang sama, namun lebih merupakan koin yang memiliki nilai nominal tersendiri secara terpisah. Rakyat seolah-olah berkata: “Anjing menggonggong kafilah berlalu …”.

Dikaitkan dengan fungsi dasar parpol sebagaimana dikemukakan Miriam Budiardjo, parpol dapat disebut mengalami 3 (tiga) jenis malfungsi. Pertama, kegagalan komunikasi. Dengan mata telanjang dapat diamati bahwa parpol sebenarnya telah optimal menggunakan seluruh media komunikasi, mulai dari stiker, selebaran, spanduk, baliho, surat kabar, radio, televisi, website, hingga sms. Bahasa yang dipakai pun sangat beragam, dari bahasa gaul sampai dengan bahasa akademik tingkat tinggi. Namun persoalannya adalah, pesan (message) yang disampaikan oleh sender (parpol) tidak dapat diterima dengan baik oleh receiver (rakyat). Frekuensi yang dipilih oleh parpol nampaknya tidak tertangkap oleh pemancar yang dipasang rakyat. Akibatnya terjadilah korsleting komunikasi, yang pada gilirannya menjadikan rakyat tidak mengikuti alur berpikir dan skenario parpol.

Kegagalan parpol yang kedua adalah ketidakmampuannya untuk menjadikan dirinya sebagai wahana / instrumen pendidikan dan pembelajaran politik. Gejala Golput yang semakin besar menunjukkan bahwa rakyat cenderung memilih untuk tidak memilih. Perilaku masyarakat tradisional yang lebih suka memberikan dukungan (support), penggabungan (grouping) dan pemihakan (alignment) kepada partai tertentu, berubah menjadi sikap rasional untuk melakukan penolakan (protest), pemisahan (regrouping) serta ‘pemutusan hubungan’ (realignment). Perilaku pemilih yang semakin pasif dan apatis inilah yang menjadi barometer tidak bekerjanya parpol sebagai mesin politik untuk menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat.

Dengan kedua kegagalan diatas, maka parpol secara otomatis akan mengalami kegagalan yang ketiga, yakni kekalahan dalam rekrutmen politik. Tokoh-tokoh yang dijagokan tidak dapat merengkuh kursi kekuasaan, yang dengan kursi tersebut seharusnya parpol dapat memainkan 2 (dua) fungsi dasar demokrasi, yakni menyediakan arena bagi rakyat untuk berpartisipasi atau berkontestasi. Kegagalan membangun arena partisipasi dan kontestasi bagi khalayak tadi, menjadi ancaman lebih lanjut bagi parpol untuk membuktikan dirinya sebagai partai yang layak dipercaya. Dengan kata lain, parpol kehilangan kesempatan untuk membangun kepercayaan masyarakat (public trust).

Jika divergensi hubungan rakyat dengan parpol tadi benar – apalagi jika terus membesar – maka pembangunan politik pada era demokratisasi saat ini terancam mandeg, jika tidak dikatakan mengalami kemunduran. Dan untuk menggairahkan kembali kehidupan politik yang lebih dinamis, maka pembangunan sistem kepartaian menjadi salah satu syarat mutlak (condition sine qua non). Dalam hubungan ini, agenda yang mendesak bagi setiap parpol adalah menyusun taktik dan strategi yang jitu guna membangun citra dan popularitas dirinya dimata masyarakat (image building).

Tanpa bermaksud untuk membuat generalisasi, problem utama yang dihadapi oleh parpol adalah citra diri yang makin suram. Kasus-kasus penggunaan anggaran di lembaga legislatif secara tidak proporsional (membangun fasilitas mewah, menaikkan berbagai jenis tunjangan, kunjungan luar negeri terlalu sering, dll) telah menjauhkan parpol dari stakeholder-nya. Belum lagi kasus-kasus jual beli kursi, suap, gratifikasi dan bentuk-bentuk korupsi lainnya yang dipraktekkan oleh elite-elite parpol, telah mengantarkan parpol ke pintu gerbang de-legitimasi. Selain itu, praktek demokrasi berbasis multi partai seperti saat ini, telah terbukti menyerap political-cost dan financial-cost yang tidak masuk akal dalam setiap penyelenggaraan pemilu / pilkada, sementara parpol tidak kunjung memberikan kontribusi signifikan dalam melahirkan kelas menengah baru (new civil society) di Indonesia.

Tidaklah aneh jika kemudian mucul tuntutan dari berbagai pihak untuk dilakukannya kembali penyederhanaan parpol, seperti yang pernah ditempuh oleh rezim Orde Baru pada periode Pemilu 1971 dan 1977. Padahal, kebijakan mantan Presiden Soeharto itu sering dikritik sebagai salah satu biang mampetnya saluran dan komunikasi politik, yang berujung runtuhnya Orde Baru. Sunguh ironis, ketika keran deregulasi politik dibuka, dan ketika parpol tumbuh bak jamur di musim hujan, justru mulai muncul kesadaran bahwa situasi politik masa lampau ternyata lebih kondusif bagi berkembangnya demokrasi sekaligus pembangunan secara simultan.

Guna menjawab “gugatan” seperti itu, maka partai wajib hukumnya melakukan reformasi internal. Mental-mental korup, free rider dengan mengandalkan subsidi dan donasi, rekrutmen kader yang tidak berbasis kompetensi, orientasi kuasa dan bukan pelayanan, koalisi sesaat hanya untuk kepentingan sempit, egoisme ketokohan, black-campaign untuk menjatuhkan lawan, pengabaian etika politik, dan berbagai wujud mental negatif lainnya, harus ditinggalkan jauh-jauh, mulai sekarang. Jika tidak, maka dapat dipastikan bahwa parpol dan rakyat akan semakin berhadapan secara frontal dan diametral, paling tidak dalam tataran pemikiran.

Tentu, bukan kondisi seperti itu yang kita perjuangkan, melainkan terbangunnya kembali konstruksi harmonis antara parpol dengan rakyat melalui simbiose mutualisme diantara keduanya. Jika ini dapat diwujudkan, maka suksesi kepemimpinan baik di Pusat maupun di Daerah, benar-benar dapat menjelma menjadi pesta demokrasi ala Indonesia. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar