Laman

Minggu, 02 Mei 2010

Fenomena Pasar dan Parkir Kota Bandung


DALAM harian “Pikiran Rakyat” tanggal 7 Maret terdapat pemberitaan bahwa Dinas Pasar Kota Bandung mengeluarkan usulan agar pengelolaan parkir di sekitar lokasi pasar dikelola oleh dinas pasar. Sementara itu, seorang anggota DPRD menegaskan bahwa Dinas Pasar hendaknya lebih memfokuskan kepada apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya dan jangan dulu melihat yang lain diluar kompetensinya.

Secara tidak langsung, pemberitaan tersebut menyiratkan adanya perbedaan pandang di tubuh Pemkot dan DPRD Kota Bandung terhadap kewenangan bidang perparkiran, sekaligus potensi parkir sebagai asset finansial (retribusi). Dinas Pasar merasa bahwa kewenangannya mesti diperlebar mencakup “bidang-bidang lain” disekitar pasar (dalam hal ini parkir). Ini berarti bahwa kewenangan Dinas Pasar tidak hanya menyangkut substansi yang bersifat “kepasaran”, namun juga teritorial di dalam dan di sekitar pasar yang bersifat “non-kepasaran”.

Disisi lain, kalangan legislatif menilai bahwa perangkat daerah tertentu (dalam hal ini Dinas Pasar) hanya dapat memiliki dan menjalankan kewenangan di bidang substantifnya sendiri. Artinya, meskipun secara spasial / teritorial berhimpitan dengan wilayah kewenangan bidang atau lembaga lain, namun tidak dibenarkan menjalankan kewenangan tersebut.

Yang lebih menarik lagi, Dinas Pasar hanya tertarik untuk “meminta” pengelolaan parkir tetapi tidak berpikir untuk “mengambil” kewenangan lain seperti sampah / kebersihan yang menjadi kewenangan PD Kebersihan. Secara kasat mata, masyarakat awam akan melihat bahwa dibalik rencana Dinas Pasar terselip kepentingan ekonomis tertentu yakni perolehan retribusi. Pengelolaan kebersihan jelas tidak menarik untuk diperjuangkan karena hanya mengandung potensi retribusi yang kecil namun memerlukan dana dan prasarana yang sangat besar.

Dengan kata lain, masyarakat dapat mengkritisi bahwa dalam era otonomi daerah sekarang ini, ternyata paradigma berpemerintahan belum berubah, malah semakin kentara dalam “berebut rejeki” sesama lembaga publik. Disamping itu, pemikiran Dinas Pasar dapat dikatakan kurang konseptual. Sebab, jika Dinas Pasar boleh mengelola sebagian kewenangan parkir, maka rumah sakit, sekolah negeri maupun swasta, kantor-kantor, pengelola stadion olah raga, pengelola tempat wisata atau Dinas Pariwisata, dan sebagainya, juga dapat “meminta” sebagian kewenangan parkir. Sebagai akibatnya, BP Parkir tidak memiliki kewenangan sedikitpun karena telah diperas atau diambil oleh badan-badan lainnya.

Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kinerja perparkiran yang masih sangat rendah, fenomena tarik menarik kewenangan Parkir dapat menjadi preseden yang buruk bagi perkembangan otonomi daerah. Sebagaimana diberitakan harian “Pikiran Rakyat” tanggal 10 September 2001, warga Bandung mengeluh soal perparkiran. Beberapa fenomena yang menjadi perhatian masyarakat antara lain meliputi fakta-fakta menjamurnya petugas parkir di berbagai tempat tanpa aturan yang jelas, pungutan retribusi tanpa disertai karcis tanda bukti parkir, penggunaan setiap jengkal lahan untuk keperluan parkir, status juru parkir yang diindikasikan sebagai “liar dengan sikap yang seram dan menakutkan” dan sebagainya.

Oleh karena itu, apabila gagasan menarik sebagian kewenangan parkir menjadi kompetensi Dinas Pasar dilanjutkan, dikhawatirkan akan menjadikan ironi dalam implemetasi desentralisasi semakin menjadi-jadi. Artinya, bisa jadi masyarakat menjadi tidak percaya kepada birokrasi yang selalu berkutat pada masalah input (sumber daya) dari pada berusaha memperbaiki kualitas output atau kinerjanya.

Yang menjadi pokok persoalan disini sesungguhnya adalah pola atau model kelembagaan seperti apa yang paling tepat dan efisien untuk mengelola kewenangan bidang pasar dan bidang-bidang lain yang terkait dengan urusan pasar tersebut. Dalam konteks ini, ide Dinas Pasar sebenarnya dapat diterima, namun strategi yang diusulkanlah yang kurang masuk akal. Oleh karenanya, tulisan ini mencoba memberikan alternatif kebijakan kelembagaan yang secara normatif akademis lebih mampu memacu kinerja organisasi sekaligus performa otonomi daerah secara umum.

Kompetensi dan Alternatif Institusi

Semenjak UU Nomor 22 tahun 1999 bergulir, wacana tentang kewenangan semakin ramai diperdebatkan. Dilihat dari sifatnya, kewenangan dapat diklasifikasikan menjadi dua macam.

Pertama, kewenangan relatif, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan wilayah hukum atau administrasi suatu daerah tertentu. Dalam jenis kewenangan ini, batas wilayah memegang peranan penting, sebab semua urusan yang berada dan atau dilaksanakan pada lingkup wilayah tertentu, maka menjadi kompetensi pemerintah daerah di wilayah tersebut. Kewenangan relatif ini bersifat integrated dalam arti tidak dipisah berdasarkan sektor-sektor tertentu. Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah sebagai suatu sistem, model kewenangan ini mencerminkan apa yang dalam khazanah ilmu administrasi publik disebut centralized local government. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur aspek apapun sepanjang masih dalam yurisdiksi teritorialnya.

Kedua, kewenangan absolut, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan isi atau substansi tugas-tugas pemerintahan tertentu. Dalam jenis kewenangan ini, satu lembaga tertentu menjalankan kewenangan bidang tertentu pula, namun wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah daerah otonom. Dalam kasus kewenangan parkir, BP Parkir melaksanakan tugas dan fungsinya tanpa membedakan lokasi, apakah di sekitar pasar, sekolah, instansi, tempat wisata, dan sebagainya. Secara hakiki, lembaga-lembaga ini sebenarnya dapat dikatakan telah menerima dan menjalankan kewenangan otonom namun terbatas secara sektoral. Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang institusional, model kewenangan ini dapat disebut sebagai quasi-devolved local government. Bentuk Pemerintah Daerah yang semi terdesentralisasi ini akan menjadi fully-devolved local government jika sudah terjadi penyerahan kewenangan dari pemerintah daerah kepada masyarakat (desentralisasi tahap kedua).

Yang menjadi perdebatan adalah, model kewenangan dan kelembagaan yang bagaimana yang lebih efektif bagi pemerintah daerah? Dinas Pasar Kota Bandung, agaknya tengah berpikir pada tataran pertanyaan semacam ini. Basis pemikirannya tentu dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip better, faster, dan cheaper. Meskipun demikian perlu dipikirkan pula apakah bentuk kelembagaan yang baru itu akan membawa efektivitas secara internal atau tidak. Kalaupun Dinas Pasar merasa kurang puas dengan desain kelembagaan yang ada saat ini, dan dianggap tidak mampu memberikan pelayanan secara optimal, sesungguhnya dapat menempuh model alternatif.

Dalam hal ini, format kelembagaan yang berbasis kemitraan (partnership-based institution) dapat dijadikan sebagai pilihan strategis. Pada umumnya, kita dapat memilih satu diantara dua model institusi publik berbasis kemitraan sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu model atau pola Amalgamasi Internal dan Amalgamasi Eksternal.

Pola amalgamasi internal dimaksudkan sebagai penggabungan atau integrasi beberapa unit organisasi kedalam satu wadah tertentu dalam rangka menyelenggarakan urusan yang sama atau sejenis. Integrasi tadi perlu dilakukan mengingat bahwa setiap unit organisasi memiliki kepentingan yang sama terhadap suatu urusan tertentu, atau memiliki tugas dan fungsi yang saling terkait satu dengan yang lain. Adapun yang dimaksud dengan amalgamasi internal adalah integrasi beberapa unit organisasi di suatu daerah dalam rangka menyelenggarakan urusan tertentu di daerah tersebut. Sebagai contoh, untuk menyelenggarakan urusan perparkiran yang efektif, diperlukan keterlibatan beberapa instansi seperti Dinas PU Bina Marga, Dinas / Badan Pengelola Perparkiran, Dinas Pendapatan, Bagian Hukum, Bagian Organisasi, dan sebagainya dalam suatu wadah “Badan Pembina Perparkiran”. Contoh kasus ini telah diterapkan di Kota Surabaya.

Sedangkan pola amalgamasi eksternal merupakan suatu gabungan atau integrasi unit-unit organisasi antar daerah. Beberapa daerah yang telah menerapkan konsep ini antara lain Kartomantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), atau BKS Jabotabek (Badan Kerjasama Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi). Struktur kelembagaan, mekanisme kerja dan penggunaan factor input dari pola seperti ini sepenuhnya tergantung kepada perjanjian antar pemerintah daerah yang berkepentingan (intergovernmental agreement). Model ini paling tepat untuk menjalankan kewenangan yang bersifat lintas daerah, sehingga untuk urusan perparkiran dan pasar yang bersifat lokal, model ini kurang proporsional.

Pemilihan format institusi publik yang tepat, diharapkan dapat menghasilkan keuntungan dalam dua dimensi, yaitu input dan output. Dari dimensi input, mekanisme kesisteman dalam tubuh pemerintah daerah menjadi lebih efektif; sementara dari dimensi output, kualitas pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik. Inilah hakikat kebijakan otonomi daerah yang ditindaklanjuti dengan proses penataan organisasi. Dengan kata lain, kebijakan desentralisasi harus menghasilkan pemerintahan yang lebih baik, dan pemerintahan yang lebih baik harus mampu menghasilkan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik pula (decentralization for better government; better government for better society). Sesuatu yang pasti adalah bahwa apapun yang dilakukan pemerintah daerah, dan apapun hasil yang dicapai, hanya masyarakatlah yang akan membuktikan, apakah pemerintah sudah dinilai serius dan berhasil dalam menjalankan otonomi (yang semestinya adalah milik masyarakat). Masyarakat pulalah yang akan menjadi indikator terbaik untuk mengukur kinerja pemerintah daerah © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar