Laman

Minggu, 02 Mei 2010

Manajemen Lebaran dalam Pelayanan Publik


LEBARAN belum lama berlalu, namun banyak hal yang masih dapat dicermati dari fenomena tahunan ini. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, momentum lebaran selalu membuat aparat pelayanan di Indonesia menjadi sibuk luar biasa. Perbaikan jalan dan jembatan dipercepat, sementara jan-jalan alternatifpun dipersiapkan dengan cukup baik. Ribuan personil Polri dikerahkan siang malam untuk mengantisipasi berbagai kasus kemacetan dan keamanan, kalau perlu dengan menempatkan para penembak jitu (sniper) di titik-titik rawan kriminalitas. Departemen Perhubungan dengan sigap menambah armada darat (bus dan gerbong KA), sungai dan danau, serta laut dan udara. Tak tanggung-tanggung, dalam keadaan memaksa kekuatan TNI AL siap dioptimalkan untuk menyediakan kapal perang guna mengangkut para pemudik.

Bukan itu saja, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Bulog berusaha keras untuk menjamin stok bahan pangan dan sembako dengan harga wajar. Aparat kesehatan-pun harus kerja ekstra seiring dengan diberlakukannya pelayanan RS dan Puskesmas 24 jam. Disisi lain, banyak pemerintah daerah seolah berkompetisi menciptakan lingkungan kota yang nyaman, bersih dan bersahabat melalui penataan PKL, pasar tumpah, dan pengelolaan sampah yang jauh lebih baik dibanding waktu-waktu sebelumnya. Penyedia jasa telepon selular berlomba memberikan layanan terbaru dan termurah. Bahkan partai-partai politik pun tidak ketinggalan ikut menarik simpati masyarakat, misalnya dengan menyediakan ratusan bus secara gratis bagi mereka yang ingin berlebaran di kampung halamannya, sebagaimana yang pernah dilakukan tahun lalu oleh salah satu Parpol.

Yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa pemerintah seperti menyadari betul atas tugas dan kewajibannya sebagai abdi masyarakat. Itulah sebabnya, seluruh sumber daya dan kemampuan dari unit-unit pelayanan dikerahkan sepenuhnya demi terwujudnya kepuasan pelanggan (prinsip customer satisfaction). Lebih hebat lagi, kebutuhan biaya yang sedemikian besar untuk menyediakan jasa pelayanan tadi tidak dibebankan sedikitpun kepada masyarakat. Unit-unit pemerintahan seperti sedang mengikuti “Lomba Pelayanan Publik”, sehingga berebut untuk menjadi yang terbaik, tercepat dan termurah (prinsip the best, the fastest, and the cheapest). Inilah saat-saat dimana pemerintah terlihat secara sungguh-sungguh berupaya mensejahterakan – bahkan cenderung memanjakan – warganya.

Keadaan ini sangat kontras dengan waktu-waktu diluar suasana lebaran, dimana pelayanan terkesan seadanya, lamban dan berbelit-belit, tidak terencana dan terprogram dengan matang, sulit diraih karena alasan-alasan klasik, serta berbiaya tinggi alias mahal. Aparat pelayanan-pun terkesan kurang sensitif dan responsif terhadap tuntutan masyarakat, apalagi terhadap keluhan-keluhan mereka. Jalanan rusak dan jembatan ambrol di berbagai titik kota sudah menjadi pemandangan biasa. Sampah kota yang menggunung, pertumbuhan PKL yang tak terkendali, dan lalu lintas yang semrawut seakan tidak tersentuh oleh kebijakan publik. Para pengguna jasa transportasi juga seperti dibiarkan bergelantungan karena kurangnya armada bus dan gerbong KA. Aparat pelayanan beraksi laksana raja yang duduk di singgasananya, sehingga tidak pernah terpikir untuk melakukan “jemput bola”.

Maka, ketika lebaran telah berlalu, sebuah kegundahan menggumpal di dalam dada: akankah kita kembali kepada kondisi dan kinerja pelayanan aparatur yang menjemukan?

Kegundahan ini semestinya tidak perlu terjadi. Pertanyaan sederhana bisa diajukan: kalau pemerintah mampu menunjukkan kinerja pelayanan yang tinggi pada musim lebaran, kenapa tidak pada masa-masa sesudahnya? Dari sini kita bisa menarik satu kunci yang sangat menentukan baik buruknya suatu pelayanan publik, yakni kesadaran dan komitmen sepenuhnya dari pemerintah dan seluruh jajaran aparatnya. Barangkali tidak seorangpun yang meragukan kesungguhan pemerintah di waktu musim lebaran, terlepas dari masih adanya kekurangan disana-sini. Namun seiring dengan berakhirnya arus mudik, seakan-akan berakhir pula tugas pemerintah memberi layanan pada rakyatnya. Pada saat itu, seolah-olah pemerintah dapat menarik nafas lega dan mengambil cuti panjang dari rangkaian panjang aktivitas yang melelahkan.

Maka, wajarlah jika kita bertanya kembali: kemanakah hilangnya komitmen pemerintah yang telah nampak kemaren?

Sesungguhnya harus diakui bahwa pemerintah tidak habis-habisnya berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum. Pencanangan “Tahun Pelayanan Publik” adalah salah satu contoh konkritnya. Penyediaan layanan online langsung melalui internet (e-service) juga sebuah terobosan penting untuk memangkas birokrasi pelayanan yang sangat tidak efisien. Bahkan saat ini tengah digodok RUU Pelayanan Publik yang mengatur hak masyarakat untuk mengajukan menggugat birokrasi pemerintah yang dinilai buruk dalam melaksanakan tugas pelayanan, serta tindakan hukum bagi aparat yang diduga terlibat penyelewengan dalam proses pemberian layanan. Di level instansional, banyak daerah dan departemen yang telah membuat pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk wilayah dan bidangnya masing-masing. Tidak tanggung-tanggung, Menpan – siapapun yang menjabat – memiliki “ritual klasik” melakukan inspeksi mendadak (sidak) secara langsung dan kontinyu ke berbagai instansi demi melihat praktek pelayanan di lapangan dengan mata kepala sendiri.

Tapi sayangnya, kebijakan dan upaya yang sedemikian bagusnya tidak mampu mendorong kinerja pada tahapan implementasinya. Pelayanan publik tetap saja memprihatinkan. Sistem dan prosedur pelayanan yang dilakukan aparatur negara masih berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, tidak akomodatif dan kurang konsisten, sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum. Juga masih dijumpai adanya praktik pungutan tidak resmi. Sekali lagi kita bertanya: Mengapa? Apa yang salah dengan dunia pelayanan publik di Indonesia?

Kalau kita simak lebih seksama, ada kondisi yang sangat berbeda pada saat lebaran yang tidak ditemui pada masa selain lebaran. Kondisi itu adalah sebuah social pressure yang sangat dahsyat, yang jika tidak ditangani dengan cepat berpotensi menimbulkan berbagai bentuk gangguan sosial. Salah satu contoh, melonjaknya kebutuhan bahan pangan secara drastis jika tidak diikuti oleh penambahan stok yang memadai akan berdampak pada kelangkaan komoditi tertentu di pasar, yang sering dibarengi dengan penimbunan barang dan kenaikan harga secara menggila. Contoh lain, meledaknya penumpang jika tidak diikuti oleh penambahan armada (khususnya darat), dikhawatirkan akan menelan banyak korban karena berbagai kemungkinan seperti over capacity, rebutan tempat, atau bergelantungan di atap kereta/kendaraan.

Dari sini dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa relatif membaiknya pelayanan publik bukan disebabkan oleh meningkatnya komitmen aparat, tetapi lebih karena tekanan yang datang dari luar yang menghasilkan keadaan darurat. Dengan kata lain, pada saat itu yang terjadi adalah pelayanan berdasarkan tekanan (service by pressures) atau dapat dikatakan juga pelayanan karena kondisi darurat (emergency service management). Bahaya awamnya, manajemen pemadam kebakaran. Begitu kebakaran (baca: keadaan darurat) menghilang dan tekanan sosial menurun, maka kembali pula pelayanan pada standar semula.

Berangkat dari pemikiran ini, maka social pressure tadi perlu dipertahankan sepanjang tahun, jika ingin menjaga kinerja pelayanan pemerintah pada tingkatan yang diinginkan. Namun tentu saja, pressure pada masa lebaran tidak mungkin sama dengan pressure diluar masa lebaran. Sayangnya, menciptakan pressure diluar masa lebaran agak sulit. Banyaknya keluhan atau komplain masyarakat melalui media massa atau langsung ke instansi tertentu, tidak cukup membangkitkan komitmen pemerintah. Ratusan SMS di berbagai media massa cetak dan elektronik, juga seolah berlalu begitu saja. Untuk itu, RUU Pelayanan Publik perlu dipercepat pengesahannya agar masyarakat segera memiliki landasan hukum yang kuat. Disamping itu, selain YLKI, lembaga pengawas dan advokasi seperti Public Service Watch perlu diciptakan dan dioptimalkan. Hal lain yang harus dilakukan adalah membuat pola, sistem dan standar pelayanan sebagai sebuah permanent system yang tidak berlaku temporer, berjalan parsial, atau tergantung figur.

Yang pasti, tanpa dedikasi aparat pelaksananya, prospek pelayanan publik nampaknya belum begitu cerah dimasa-masa yang akan datang. Kita hanya bisa berandai-andai: seandainya setiap bulan ada lebaran, dan seandainya pemerintah selalu menerapkan “manajemen lebaran” dalam pemberian layanan umum, alangkah beruntungnya masyarakat Indonesia. © Tri Widodo WU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar