Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

BKKBN dan Kritik Wapres


DALAM kunjungannya ke Tasikmalaya beberapa waktu lalu, Wapres Hamzah Haz mengeluarkan kritik yang sangat tajam kepada pemerintah daerah, khususnya BKKBN. Beliau menegaskan bahwa lebih bagus kalau program dan BKKBN dibubarkan saja. Disamping karena tidak mampu memecahkan masalah dan tidak mencetak orang pintar, program KB juga menyerap terlalu banyak biaya. Secara implisit beliau juga mengungkapkan korelasi kegagalan program KB dengan rendahnya kinerja pembangunan secara makro. Hal ini bisa disimak dari pernyataannya bahwa “saat ini masih banyak desa-desa yang tertinggal dan belum ada listrik karena kesalahan program pembangunan masa lalu. Sekarang, (di desa-desa) listrik nggak ada, telepon nggak ada, yang ada cuma istri, ya sudah main istri saja” (Republika, 28/8/02).

Pernyataan Wapres ini cukup mengejutkan paling tidak dilihat secara administrasi kelembagaan dan solusi yang ditawarkan dalam penyelesaian suatu kasus / masalah. Secara kelembagaan, kewenangan dibidang keluarga berencana dan kependudukan jelas-jelas merupakan kompetensi daerah. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika akhir-akhir ini justru banyak daerah sedang mempersiapkan pembentukan unit BKKBN sebagai dinas otonom. Terlepas dari masalah efektivitas atau efisiensi kebijakan yang disusun, tentu saja tiap daerah memiliki argumen tersendiri dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) mereka.

Sebagai contoh, Pemkab Sumedang berargumen bahwa pengendalian program kependudukan hanya akan ditentukan faktor untung-untungan atau gambling jika BKKBN yang selama ini menjadi ujung tombak garapan itu, tidak menjadi institusi berbentuk dinas. Mengacu kepada teori kelipatgandaan penduduk dari World Population Estimates, Kepala BKKBN Sumedang mengemukakan, penduduk Sumedang tahun 2030 diproyeksikan akan menjadi dua kali lipat atau menjadi 1.936.968 jiwa. Kondisi itu terjadi apabila tidak ada intervensi fertilitas dengan pemakaian kontrasepsi, dan kalau BKKBN tidak menjadi dinas, sama saja dengan bekerja tanpa kaki (PR, 16/8/02).

Sementara itu, Pemkab Subang akan membentuk Dinas Kependudukan dan Kesejahteraan Masyarakat untuk mengganti peran BKKBN dan menampung karyawannya. Alasan pembenar yang digunakan adalah adanya perubahan sudut pandang dari program BKKBN, dari peningkatan kesejahteraan keluarga menjadi peningkatan kualitas SDM, sehingga peran Kantor BKKBN perlu lebih diperkuat menjadi Dinas (PR, 12/8/02).

Fenomena pembentukan Dinas BKKBN (apapun nomenklaturnya) juga marak di berbagai daerah seperti Majalengka dan Nganjuk (PR, 20/8/02). Ironisnya, ada kecenderungan untuk menolak pembentukan BKKBN sebagai lembaga dibawah Dinas, misalnya Sub Dinas (PR, 19/7/02). Hal ini didorong oleh Keppres 105/1999 yang mengatur tentang penyerahan kewenangan dan kelembagaan BKKBN kepada daerah. Itulah sebabnya, menurut Deputi Keluarga Sejahtera BKKBN Pusat, status kelembagaan BKKBN diserahkan sepenuhnya kepada daerah, akan dibubarkan atau dilebur, tergantung dari kebijakan masing-masing daerah (PR, 12/8/02).

Sayangnya, dengan sangat tiba-tiba Wapres melakukan ‘serangan’ yang menegasikan dan seolah-olah menganulir setiap kebijakan yang sedang berlangsung tentang formulasi kelembagaan dan fungsi baru BKKBN. Oleh karena pemerintah daerah merupakan subordinasi dari kelembagaan kepresidenan (termasuk didalamnya wakil presiden), maka pernyataan Hamzah jelas “sangat diperhatikan”, atau dengan kata lain, menimbulkan dampak yang signifikan terhadap policy daerah. Dari perspektif kebijakan publik, lontaran Wapres juga berseberangan dengan Keppres 105/1999 yang justru harus ditegakkan.

Disamping itu, terdapat sisi sensitivitas dari pernyataan Wapres, mengingat hal tersebut dilontarkan ditengah-tengah isu yang sempat berkembang bahwa pemerintah Pusat dibawah Megawati tidak mendukung ide desentralisasi luas secara penuh, dan oleh karenanya mencoba menempuh strategi resentralisasi.

Oleh karena itu, terdapat dua implikasi negatif yang mungkin muncul. Pertama, kecurigaan bahwa pemerintah Pusat tidak sungguh-sungguh dalam mendevolusikan kewenangannya kepada daerah, akan semakin mengkristal. Saran untuk membubarkan BKKBN dapat dipandang sebagai bukti konkrit adanya intervensi secara langsung pemerintah Pusat. Bahkan jika aparat daerah masih memiliki mentalitas model Orde Baru, tidak mustahil mereka akan menerjemahkan “opini” Wapres sebagai “petunjuk” yang mutlak harus diikuti.

Kedua, akan muncul image bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh memperhatikan pembangunan sektor kependudukan. Ketika kita dijejali oleh data tentang kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan, anak jalanan, dan masalah ketenagakerjaan (dengan merujuk kasus terbaru pengungsi TKI di Nunukan), justru pemerintah berniat untuk melikuidasi salah satu lembaga yang menangani masalah kependudukan.

Berdasarkan PP 25/2000, kewenangan kependudukan di tingkat propinsi hanya meliputi 5 macam, yakni 1) penetapan pedoman mobilitas kependudukan, 2) penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi dan anak, 3) penetapan pedoman dan fasilitasi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, 4) penetapan pedoman pengembangan kualitas keluarga, dan 5) penetapan pedoman perlindungan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan remaja. Dengan demikian, kewenangan lain diluar 5 hal tersebut menjadi kewenangan Kabupaten / Kota. Jika kelembagaan BKKBN hendak dihapus, sementara pemerintah Pusat sendiri sudah menyerahkan kewenangan ini kepada daerah, siapakah yang akan mengurusi masalah kependudukan di daerah?

Sementara itu dilihat dari solusi yang ditawarkan dalam penyelesaian suatu kasus, Wapres cenderung menggunakan pendekatan pragmatis sebagaimana pernah dipraktekkan oleh mantan Presiden Gus Dur. Artinya, pembubaran suatu organisasi dipandang sebagai solusi pertama dan sekaligus terakhir, tanpa ada upaya untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja (past and ongoing performance) serta tidak diikuti dengan policy research tentang kelayakan (feasibility study) pembentukan organisasi di waktu mendatang.

Rencana pemerintah untuk menghapus BKKBN tanpa kejelasan alasan ini juga sangat disesalkan oleh Kapuslit Kependudukan LIPI. Ia mengatakan bahwa isu kependudukan termasuk masalah besar yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ketiga di dunia. Ia juga menambahkan bahwa masalah-masalah kependudukan tidak akan tertangani tanpa ada satu badan khusus yang mengurusnya secara holistik dari berbagai aspek (Suara Pembaruan, 4/9/02).

Kecemasan Wapres tentang rendahnya produktivitas kerja BKKBN tentu bisa dimaklumi. Namun, solusi pembubaran cenderung menambah permasalahan ketimbang mengatasinya. Oleh karenanya, strategi penguatan kelembagaan (institutional strengthening) melalui penajaman visi dan misi, peningkatan efisiensi, serta pengetatan evaluasi, perlu lebih diprioritaskan. Strategi ini sangat penting untuk memperbaiki performa atau prestasi suatu organisasi. Dan pada akhirnya, prestasi organisasi jualah yang akan menentukan apakah organisasi tadi layak dipertahankan, atau justru dibubarkan.

Tulisan ini dipublikasikan di Harian Suara Karya, 2 Oktober 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar