Laman

Sabtu, 05 Juni 2010

BUDAYA IMITASI DALAM BIROKRASI LOKAL


DISENGAJA atau tidak, praktek birokrasi di tingkat lokal (daerah) selama ini banyak diwarnai oleh imitasi atau tiruan terhadap sistem birokrasi di tingkat nasional. Program pembangunan daerah 5 tahunan yang tertuang dalam Repelitada (sekarang Propeda), secara redaksional merupakan “kutipan” dari Repelita (sekarang Propenas) dengan melakukan sedikit perubahan yang menyangkut nama daerah dan data-data teknis lainnya. Matsui Kazuhisa, pakar tentang Indonesia di Institute of Developing Economics, JETRO, dalam seminar di Universitas Nagoya bulan Maret 2002 lalu mengkritik kebiasaan ini sebagai wujud tidak kreatifnya birokrasi lokal dan kokohnya kekuatan birokrasi nasional atas unsur lokal.

Disisi lain, pembentukan dinas atau instansi teknis di daerah juga mengacu kepada format kelembagaan di level nasional. Oleh karena itu, jika terdapat departemen X di tingkat nasional, hampir bisa dipastikan ada dinas atau lembaga lain di daerah yang menangani urusan X. Singkatnya, sistem pemerintah daerah hanya merupakan replika atau miniatur dari sistem pemerintah pusat.

Uniknya, budaya imitasi ini berlaku tidak hanya dalam menduplikasi sistem pemerintahan di Pusat, tapi juga antar / sesama pemerintah daerah. Sebagai contoh, jika kita simak jenis-jenis pungutan / retribusi di berbagai daerah, akan kita sadari bahwa terdapat tingkat kemiripan yang sangat tinggi terhadap jenis-jenis retribusi, meskipun karakteristik dan komoditas unggulan antar daerah tersebut berbeda secara signifikan. Dan dibalik berbagai kemiripan tadi, dapatlah kita tafsirkan motivasi dari banyaknya program studi banding antar daerah.

Budaya imitasi yang menghasilkan berbagai kesamaan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah ini harus dibedakan dengan politik sentralisasi model Orde Baru. Pada masa lalu, aspek-aspek seperti kewenangan bidang pemerintahan, sistem perencanaan pembangunan, sampai dengan pakaian dinas untuk pegawai, diseragamkan melalui kebijakan yang sistematis dan terpusat. Itulah sebabnya, nuansa dekonsentrasi jauh lebih kuat dibanding desentralisasi. Sedang dalam kasus imitasi diatas, tidak ada intervensi kebijakan secara langsung oleh Pusat. Daerah justru diberi kelonggaran untuk mengatur suatu aspek secara berbeda jika memang diperlukan, namun ternyata tidak dilakukan.
* * *

Dengan diberlakukannya kebijakan otonomi luas melalui penetapan UU 22/1999, campur tangan pemerintah pusat di daerah berkurang secara dramatis. Artinya, daerah memiliki kebebasan untuk mengatur dan mendesain sendiri kewenangan yang akan dijalankan, organisasi yang akan menjalankan kewenangan, kebutuhan sumber daya, serta perangkat ketatalaksanaan (metode, aturan, prosedur) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Sayangnya, ada gejala terjadinya kekagetan budaya. Pemda yang sebelumnya selalu tunduk kepada “petunjuk” pusat, secara tiba-tiba harus lepas dari induknya serta harus berjuang keras untuk menentukan nasib sendiri. Entah karena tidak biasa atau karena memang tidak bisa, hampir tidak ada daerah yang benar-benar kreatif, mempunyai terobosan penting, dan mampu menunjukkan kinerja tinggi. Sebaliknya, manajemen pemda dewasa ini banyak diwarnai oleh banyaknya protes masyarakat, konflik antar lembaga eksekutif dan legislatif, serta perseteruan partai politik dalam memperebutkan posisi kepala daerah.

Sebagai akibat dari kekagetan budaya tadi, maka tidaklah mengherankan jika praktik imitasi masih menjadi primadona. Sebagai contoh, belakangan ini banyak tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan Gubernur secara langsung (Kompas, 18/8/02; KCM 25/3/02, 3/7/02; Republika, 3/9/02; PR, 15/8/02, 5/9/02). Tuntutan ini muncul seketika setelah adanya Tap MPR tentang pemilihan Presiden secara langsung. Tentu banyak argumen dibalik usulan ini. Misalnya, pemilihan langsung jauh lebih demokratis dan mendorong pendidikan politik bagi masyarakat. Pemilihan langsung juga dapat mengantisipasi praktik politk uang dan dagang sapi di lobi DRPD.

Tanpa bermaksud mengkritisi aspirasi tersebut, beberapa hal perlu dipikirkan sebelum metode pemilihan Gubernur secara langsung diterapkan. Pertama, adakah konsep “kedaulatan (rakyat) daerah”, dan jika ada, siapakah pemilik kedaulatan itu? Pada tataran nasional, kedaulatan adalah ditangan rakyat, sehingga pemilihan kepala negara (yang kebetulan juga kepala pemerintahan) dilakukan oleh rakyat. Sebagai sebuah negara kesatuan, adalah semestinya jika kedaulatan bersifat tunggal dan tidak terbagi-bagi dalam kedaulatan rakyat secara provinsial (misalnya kedaulatan rakyat Jakarta, Aceh, Papua, dsb). Dengan kata lain, pemerintahan provinsi adalah bagian dari negara kesatuan, dan bukan negara bagian yang dimiliki oleh rakyat di provinsi yang bersangkutan saja. Dalam konsep negara kesatuan, rakyat tidaklah terkotak-kotak berdasarkan batas-batas teritorial, sehingga rakyat Papua memiliki hak untuk ikut menentukan format pemerintahan DKI, dan sebaliknya.

Kedua, jika Gubernur dipilih langsung, kepada siapakah dan bagaimanakah mekanisme pertanggungjawabannya? Kedudukan Gubernur adalah sebagai Kepala Daerah (otonom) sekaligus sebagai Wakil Pemerintah, sehingga ia bertanggungjawab kepada DPRD dan juga kepada Presiden (pasal 31). Artinya, ia memiliki “dua kaki” dan “dua tuan”. Jika ia juga harus bertanggungjawab langsung kepada rakyat, maka akan terjadi triplikasi pertanggungjawaban yang aneh secara administratif dan sulit secara politis.

Ketiga, adakah jaminan bahwa Gubernur hasil pemilihan langsung akan dapat menjalankan amanat rakyat secara maksimal dan bekerjasama dengan DPRD secara baik? Dewasa ini terdapat kesan adanya arogansi dan superordinasi legislatif terhadap eksekutif daerah. Jika pemilihan langsung diterapkan, kondisi ini akan terbalik dimana Gubernur mungkin saja merasa superior atas DPRD. Hasilnya, hubungan Gubernur – DPRD bisa retak yang mengakibatkan terganggunya stabilitas pembangunan daerah.
* * *

Tulisan ini tidak berpretensi bahwa budaya imitasi adalah jelek. Justru imitasi yang telah dimodifikasi semestinya menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari pada produk aslinya. Namun perlu disadari bahwa karakteristik, kebutuhan dan kemampuan suatu daerah berbeda dengan kondisi Pusat dan kondisi daerah lain. Semangat otonomi adalah kemandirian dan pemberdayaan, disamping demokratisasi dan perbaikan mutu pelayanan. Oleh karenanya, inilah saat yang tepat bagi birokrasi lokal untuk keluar dari bayangan dominasi birokrasi pusat dengan cara membatasi, jika tidak meninggalkan, budaya imitasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar