Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Beberapa Evaluasi Kritis Tentang Fungsi Kesejahteraan dan Fungsi Pelayanan Birokrasi


Pendahuluan

Lahirnya birokrasi pemerintahan, semenjak awal pada hakekatnya dimaksudkan untuk melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, membebaskan penduduk dari rasa takut, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.[1] Bahkan Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa raison d’être atau alasan satu-satunya bagi eksistensi negara adalah kepentingan umum.[2] Dalam konteks ke-Indonesia-an, birokrasi harus mampu  mewujudkan tujuan nasional yaitu tercapainya masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera.

Adanya fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan yang diemban oleh birokrasi tadi jelas tidak dapat dipisahkan dari filsafat kerakyatan sebagai inti ajaran kontrrak sosial yang dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau.[3]Untuk merealisasikan fungsi kesejahteraan dan fungsi pelayanan sebagaimana tersebut diatas, maka birokrasi pemerintahan harus menjalankan “kebijakan-kebijakan negara” [4] Dan untuk itu, pemerintah dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana yang diharapkan mampu memacu kinerjanya secara optimal.

Oleh karena mengemban dua fungsi pokok ini, maka salah satu sisi normatif yang melekat pada setiap tindakan atau keputusan pejabat publik (sebagai unsur pelaksana birokrasi) adalah bahwa tindakan atau keputusan tadi haruslah selalu bermuara kepada upaya mencapai kesejahteraan publik.[5]

Meskipun demikian, dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat dapat diamati bahwa pemerintah menghadapi berbagai kendala maupun hambatan yang menyebabkan pelaksanaan fungsi pelayanan dan kesejahteraan menjadi tersendat. Dengan kata lain, banyaknya tingkat keluhan masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik serta masih tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, menunjukkan bahwa proses pencapaian tujuan nasional masih akan memakan waktu yang amat panjang, jika tidak dikatakan sebagai suatu kegagalan negara (state failure).

Tentu saja, dalam hal ini tidak perlu dicari-cari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya kegagalan tersebut, tetapi lebih bijaksana untuk memikirkan dan menemukan bagaimana alternatif kebijakan maupun teknik pemecahan masalah yang terbaik. Dalam kerangka inilah, makalah sederhana ini mencoba memberikan deskripsi singkat mengenai beberapa aspek yang berkenaan dengan fungsi pelayanan dan fungsi kesejahteraan aparatur. Pembahasan dimulai dengan Kondisi Umum Birokrasi dan Pembangunan di Indonesia, Keberhasilan dan Kendala Birokrasi, Etika dan Perilaku Birokrasi, serta diakhiri dengan penutup.


Kondisi Umum Birokrasi dan Pembangunan di Indonesia

Diatas telah dijelaskan bahwa untuk menjalankan fungsi kesejahteraan dan pelayanan, birokrasi dilengkapi dengan berbagai instrumen maupun sarana yang diharapkan mampu memacu kinerjanya secara optimal. Salah satu instrumen yang paling penting disini adalah tersusunnya birokrasi kedalam struktur pemerintahan yang mampu menjangkau hingga lapisan terbawah dari masyarakat serta didukung oleh sumber daya manusia yang semakin baik kualitasnya. Ini jelas dimaksudkan agar masyarakat dapat berhubungan secara langsung dengan aparatur dalam rangka pengurusan maupun pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya.

Disamping itu, birokrasi juga memiliki kebebasan penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam rangka mengatur kepentingan masyarakat tersebut (freies ermessen). Bahkan pemerintah berhak pula untuk memaksa dan memberikan sanksi kepada masyarakat yang tidak mentaati setiap peraturan yang telah diundangkan (law enforcement). Tidak dapat dikesampingkan pula adalah tersedianya anggaran yang cukup besar untuk membiayai berbagai program dan proyek pemerintah, sekaligus sebagai sumber pengeluaran rutin untuk membayar gaji aparatur. Dan satu aspek lagi yang sering dikesampingkan adalah tersedianya logistik (kendaraan, persediaan barang, cadangan bahan makanan dan sebagainya) yang memadai.

Berbagai aspek, instrumen maupun sarana yang dimiliki oleh birokrasi ini merupakan suatu input (masukan) yang harus dimanfaatkan secara terpadu, hemat (dalam pengertian pemakaian sesuai degan kebutuhan), dan terkendali (selalu dilakukan pengawasan yang ketat), sehingga diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal bagi kepentingan pembangunan. Dalam prakteknya, keseluruhan instrumen, aspek atau sarana tersebut memang telah dimanfaatkan dan diimplementasikan dalam berbagai para-digma pembangunan yang pernah ditempuh, baik paradigma pertumbuhan, basic needs approach, maupun paradigma pemerataan dan pemberdayaan.

Sebagaimana kita maklumi, pembangunan yang ditempuh birokrasi Indonesia menganut paradigma yang berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi sosial ekonomi saat itu. Atau dapat dikatakan juga, titik berat pembangunan ekonomi yang bertumpu pada trilogi pembangunan, urut-urutan loginya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan pembangunan pada tiap-tiap tahap.

Stabilitas menjadi prioritas pada masa awal pembangunan karena lattar belakang suasana ketidakstabilan politik selama Orde Lama dan sebelumnya; sementara pertumbuhan menjadi prioritas berikutnya karena latar belakang keadaan ekonomi yang mandeg dengan ditandai tingkat inflasi diatas 600 % (Moebyarto, 1996: 5).

Namun setelah ± 25 tahun pembangunan berjalan, nampaklah bahwa paradigma pembangunan yang bertumpu kepada pertumbuhan tidak dapat menimbulkan efek menetes kebawah (trickle down effect) atau penyebaran ke kawasan sekitarnya, bahkan sebaliknya menimbulkan efek yang merugikan (back wash effect) daerah yang terkena program pembangunan, misalnya berupa penggusuran atau kerusakan lingkungan. Selain itu, pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ternyata mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi yang makin besar.

Untuk itulah pada tahun 1970-an muncul pemikiran untuk mengembangkan model pembangunan alternatif yang mengarah pada pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic needs approach). Namun pendekatan ini ternyata juga tidak mampu memancing reaksi masyarakat miskin untuk mampu mengembangkan kegiatan usahanya (Hari Susanto, 1996: 42-43). Oleh karena pendekatan inipun ternyata kurang memuaskan, maka munculah pemikiran baru tentang paradigma pertumbuhan yang harus dipadukan dengan paradigma pemerataan.

Perpaduan antara paradigma pertumbuhan dan pemerataan ini oleh Ginandjar Kartasasmita disebut dengan istilah pemberdayaan masyarakat (1996: 142-143). Menurut Ginandjar dengan mengutip pendapat Chamber, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial dan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat people centered, participatory, empowering, and sustainable atau community based development. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Dalam terminologi Friedmann, konsep pemberdayaan massyarakat ini disebut alternative development, yang menghendaki adanya inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality, and intergenerational equity (mencakup kehidupan demokrasi, pertumbuhan ekonomi, persamaan antar jenis kelamin, serta persamaan hak antar generasi).


Keberhasilan dan Kendala Birokrasi

Oleh karena tugas utama birokrasi adalah memberikan pelayanan dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat, maka upaya pertama yang dipikirkan adalah bagaimana memberantas kemiskinan, baik kemiskinan absolut maupun relatif. Dan nampaknya, upaya yang dilakukan selama ini telah menunjukkan keberhasilan yang cukup menggembirakan, khususnnya dalam menekan angka kemiskinan absolut.

Adanya keberhasilan tersebut dapat ditunjukkan melalui data-data pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru selama sekitar 30 tahun. Dalam jangka waktu ini dapat dilihat bahwa struktur ekonomi serta tingkat kesejahteraan masyarakat telah mengalami kemajuan-kemajuan luar biasa, yang bisa ditunjukkan melalui indikator-indikatornya. Dengan berbagai kemajuan dan pertumbuhan yang dicapai, bahkan World Bank pernah menjuluki pembangunan di Indonesia sebagai suatu mukjizat atau keajaiban (miracle).

Adapun beberapa indikator keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia ini dapat ditunjukkan antara lain dengan berkurangnya jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan, yaitu dari ± 40 % penduduk pada tahun 1976 menjadi ± 17 % pada tahun 1987, serta menjadi hanya ± 11 % pada tahun 1996.

Disamping itu, dilihat dari aspek GNP, Indonesia dapat dikatakan telah melaksanakan pembangunan yang spektakuler. Ini terlihat dari adanya fakta bahwa pada pertengahan tahun 1960-an, pendapatan perkapita Indonesia termasuk paling rendah di dunia, yaitu sebesar US $ 50. Jumlah tersebut hanya separuh dari GNP negara-negara India, Nigeria, dan Bangladesh. Namun demikian, mulai tahun 1980-an, GNP Indonesia meningkat hampir mencapai US $ 500 per kapita Ini berarti 30 % lebih tinggi dari pada GNP India, 49 % lebih tinggi dari pada GNP Nigeria, dan 150 % lebih tinggi dari pada GNP Bangladesh (Husken, 1997: 3).

Disisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa proses pembangunan masih menghadapi beberapa kendala atau hambatan yang akhirnya menimbulkan ekses-ekses negatif yang tidak dikehendaki. Beberapa kendala yang sering ditemui antara lain tingginya tingkat korupsi yang menggerogoti anggaran belanja negara yang sesungguhnya sangat terbatas itu. Korupsi sendiri menurut Alatas (1987: 122 - 124) disebabkan oleh sistem birokrasi patri-monial yang tidak mengenal perbedaan antara lingkup pribadi dan lingkup resmi. Disamping itu, penyebab yang lain adalah masih kuatnya sistem persanakan atau kuatnya solidaritas kekerabatan dan kebiasaan saling memberi hadiah antar keluarga dalam masyarakat. Sementara itu, Karhi Nisjar (1996: 6 - 8) menyoroti penyebab korupsi dari dimensi praktis dan dimensi administratif sebagai berikut:

·         Sistem administrasi (integralisme fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan) yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran.
·         Tingkat kesejahteraan aparatur yang masih dibawah standar.
·         Sanksi hukum secara konkrit belum maksimal dan sulit ditegakkan.
·         Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan.

Kendala lain yang menghambat birokrasi dalam menyelenggarakan fungsi kesejahteraan adalah jumlah penduduk yang telah mencapai angka 200 juta. Dengan jumlah yang demikian besar, tentu saja sumber daya (alam dan lainnya) yang sebenarnya melimpah menjadi terlihat sangat kurang. Demikian pula lapangan kerja yang ada, tidak mampu menyerap permintaan labour market secara maksimal. Bahkan kenaikan pendapatan perkapita Indonesia seakan-akan menjadi melambat karena harus di sharing oleh jumlah penduduk yang besar tersebut. Belum lagi masalah kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan maupun fasilitas-fasilitas pelayanan publik lainnya, jelas tidak memungkinkan seluruh masyarakat untuk dapat menikmatinya secara merata. Bahkan di kota-kota besar, kepadatan penduduk tidak jarang mengakibatkan dampak-dampak externalities seperti rebutan lahan atau tingkat kriminalitas yang tinggi, sehingga dikhawatirkan akan lebih menghambat proses pembangunan.

Dikaitkan dengan kondisi keuangan negara, selain jumlah penduduk, besarnya jumlah pegawai negeri (4 juta orang lebih) juga merupakan faktor penghambat yang serius. Hal ini bisa dilihat bahwa dari keseluruhan jumlah APBN, 50 % lebih digunakan untuk pengeluaran rutin berupa belanja pegawai. Selanjutnya, keseluruhan kendala atau faktor penghambat ini di perparah dengan masih melembaganya budaya miskin yang melanda masyarakat khususnya golongan pribumi.[6]

Disisi lain, terdapat suatu anggapan bahwa untuk dapat menjalankan tugas-tuganya dengan baik -- yakni tugas menyejahteraan masyarakat -- terlebih dahulu harus dicapai suatu kondisi kesejahteraan aparatur yang memadai. Tanpa didukung oleh kesejahteraan yang baik, maka aparatur akan cenderung mencari pemenuhan kebutuhan individunya, sebelum dia melaksanakan fungsi kesejahteraan masyarakat.

Berbicara masalah kesejahteraan aparatur, jelas tidak dapat dilepaskan dari indikator-indikator kesejahteraan itu sendiri. Masalah penghasilan atau gaji, bagi seorang pejabat publik bisa dikatakan sebagai indikator kesejahteraan yang pokok, disamping pemenuhan kebutuhan sosial lainnya. Dan jika dilihat dari struktur atau skala gaji PNS (PP Nomor 15 tahun 1993), tidaklah mungkin baginya untuk dapat hidup sejahtera.

Akan tetapi dalam kenyataannya, sering kita saksikan bahwa aparatur sering menerapkan pola hidup mewah atau pamer kemewahan, sehingga sering pula kita dengar harapan DPR untuk dilakukannya pemeriksaan secara periodik terhadap kekayaan seorang pejabat. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya tingkat kesejahteraan aparatur (tanpa bermaksud meng-generalisir), sudah cukup memadai.

Jika hal ini disepakati, maka pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan secara progresif? Untuk menjawabnya, tentu harus dikembalikan kepada konteks permasalahan yang dihadapi.

Untuk memerangi masalah korupsi, Karhi Nisjar (1996: 11 - 12) menawarkan alternatif sebagai berikut:

·         Penyempurnaan atau pembaharuan sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususnya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan memangkas duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan.[7]
·         Peningkatan tingkat kesejahteraan aparatur, yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik dimana dengan pemenuhan kebutuhan ini di harapkan aparatur tidak mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan.
·         Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kecenderungan kolusi. Pembaharuan sistem hukum disini dimaksudkan sebagai penegakan norma-norma yang tidak semata-mata mengandalkan kebenaaran formil, tetapi juga memperhatikan perasaan keadilan masyarakat secara materiil.

Khususnya mengenai saran nomor 2, tingkat kesejahteraan aparat yang masih relatif rendah juga disebabkan oleh faktor jumlah pegawai yang demikian besar. Hal ini sesuai pula dengan hasil rumusan Seminar Nasional “Pembangunan Administrasi Dalam Pelita VII”, (1997: 33) yang antara lain menegaskan:

Kita tidak bisa berharap bahwa pegawai negeri yang masih memikirkan tingkat kesejahteraan hidup keluarganya akan mampu bekerja dengan tenang dan bersungguh-sungguh untuk melayani masyarakat. Namun karena jumlah pegawai negeri yang demikian besar sementara kemampuan keuangan negara yang terbatas, maka kita belum mampu memberikan imbalan atau kenaikan gaji yang berlipat ganda, sebagaimana mitra kerja mereka di lingkungan dunia usaha. Insya Allah, dengan program efisiensi nasional, secara bertahap kita akan terus melakukan rasionalisasi sehingga kita bisa memiliki jumlah pegawai negeri yang lebih berimbang dengan ruang lingkup tugasnya dan dengan kemampuan keuangan negara, sehingga kita akan lebih mampu meningkatkan kesejahteraannya paling tidak seimbang dengan tingkat kesejahteraan pekerja di sektor swasta.

Artinya, untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur, harus diadakan pembatasan terhadap jumlah pegawai. Inilah salah satu upaya restrukturisasi atau revitalisasi sektor publik. Tentu saja, pembatasan ini perlu diusahakan agar tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas birokrasi. Untuk itu, tugas-tugas atau pekerjan-pekerjaan pada level pelaksana (golongan I dan II), lebih baik didelegasikan kepada pihak swasta.[8] Disamping itu, dengan terjadinya perimbangan antara jumlah pegawai dengan kemampuan keuangan negara, diharapkan para pegawai tidak lagi melakukan pungutan-pungutan non budgeter maupun pungutan siluman lainnya sebagai “sumber” penghasilan tambahan. Sebab, perimbangan ini mengandung implikasi bahwa gaji seorang pegawai negeri akan mampu membiayai kebutuhan hidupnya dalam waktu 1 bulan penuh.

Kebijakan atau program lain yang perlu ditempuh untuk mencapai masyarakat sejahtera adalah dengan mengerem laju pertumbuhan penduduk, membuka daerah-daerah baru transmigran, serta memberantas penyakit budaya miskin. Dan untuk suksesnya berbagai program ini, keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat menengah kebawah sungguh-sungguh sangat diharapkan.


Etika dan Perilaku Birokrasi

Beberapa pokok pikiran yang disinggung diatas, pada hakekatnya baru menyentuh aspek teknis, sementara aspek non teknis belum disinggung secara proporsional. Padahal, aspek non teknis ini memegang peran yang sangat penting dalam mewujudkan kinerja pelayanan birokrasi yang memuaskan. Oleh karenanya, deskripsi dibawah ini akan mencoba membahas aspek normatif yang harus melekat pada fungsi pelayanan birokrasi.

Adalah suatu kemutlakan bahwa sempurnanya suatu tugas atau fungsi (baik individu maupun organisasi) ditentukan oleh tingkat profesionalisme dan kualifikasi manusia pendukungnya. Namun, kemampuan teknis (skill) dan keluasan wawasan (knowledge) saja belum cukup memadai untuk menumbuhkan kepercayaan dan rasa kepuasan dihati masyarakat. Mau tidak mau, birokrasi mestilah memiliki pula moral, etika maupun sikap dan perilaku yang terpuji dan patut di contoh (attitude).

Adapun perilaku birokrasi atau pejabat publik, paling tidak dibentuk oleh 5 (lima) norma, yaitu norma jabatan, norma sosial, norma profesi, norma keluarga, serta norma-norma lainnya (hukum, kesopanan, kesusilaan). Norma atau etika jabatan mempelajari perbuatan pegawai negeri yang memegang jabatan tertentu dan berwenang untuk berbuat atau bertindak dalam kedudukannya sebagai unsur pemerintah (Bayu Suryaningrat, 1984: 94). Norma sosial adalah seperangkat kaidah atau nilai-nilai yang harus ditaati oleh seorang pejabat sebagai anggota suatu komunitas sosial. Norma profesi adalah peraturan-peraturan baku yang diperuntukkan bagi anggota suatu organisasi profesi dalam rangka berinteraksi dengan anggota interrn organisasi maupun antar organisasi. Sedangkan norma keluarga merupakan suatu kondisi mental seseorang untuk menjunjung tinggi martabat dan kehormatan keluarga.

Keseluruhan norma diatas harus benar-benar dipahami oleh aparatur pemerintah, dengan tidak memberikan bobot yang lebih dominan kepada salah satunya. Manakala terdapat keseimbangan antar norma-norma tersebut, diharapkan praktek pelayanan publik-pun tidak akan bersifat pilih kasih atau pandang bulu. Semua lapisan masyarakat membutuhkan pelayanan birokrasi (public service), tetapi yang lebih dibutuhkan adalah sikap keadilan (equity) dari para birokrat.

Political will pemerintah untuk menciptakan sosok birokrasi yang memiliki perilaku terpuji ini sebenarnya telah dilaksanakan secara sistematis, seperti terlihat pada upaya implementasi Sapta Prasetya KORPRI, penegakan peraturan disiplin pegawai (PP Nomor 30 tahun 1980), pemberian Santi Aji secara berkesinambungan dan sebagainya. Hanya saja, dalam implementasi di lapangan masih sering ditemui oknum-oknum yang melanggar kode etik PNS yang justru mengakibatkan rusaknya kredibilitas dan akuntabilitas aparat dimata masyarakat. Inilah tantangan berat bagi pemerintah dari struktur teratas sampai dengan struktur terendah, yang harus segera diperbaiki pada masa-masa mendatang.

Secara skematis, pengaruh berbagai norma yang membentuk kepribadian seorang pejabat publik dalam fungsi pelayanan, dapat dilihat pada Gambar 2 tentang Model Perilaku Birokrasi Dalam Fungsi Pelayanan Publik.

Penutup

Indikator konkrit dari kinerja birokrasi dalam fungsi kesejahteraan maupun fungsi pelayanan umum, bisa dilihat dari sejauh mana peningkatan kehidupan (sosioekonomis) masyarakat, serta sejauh mana tingkat pengurangan keluhan (ketidakpuasan) yang disampaikan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perumusan kebijakan publik haruslah diarahkan kepada 2 (dua) sasaran tersebut, yaitu untuk memperbaiki kehidupan masyarakat sekaligus memperbaiki mutu pelayanan. Untuk itu, satu hal yang ditunggu adalah kesungguhan birokrasi Indonesia untuk mendarmabaktikan seluruh kemampuan dan sumber daya yang dimiliki bagi kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya guna menciptakan manusia Indonesia yang maju, mandiri dan sejahtera.

Daftar Bacaan

Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996.
Bayu Suryaningrat, Etika Administrasi Negara, Etika Pemerintahan, Etika Jabatan, Bandung: penerbit (?), 1984.
Djadja Saefullah, materi kuliah Etika Jabatan Publik, Bandung, 1997.
Faisal Basri, Ekonomi Politik Kemiskinan, dalam Analisis No. 17 Th. 4 September - Oktober 1996
Frans Husken (et. al), Indonesia Dibawah Orde Baru, Jakarta: Grasindo, 1997
Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, Cet. Kedua, 1988
Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996.
Hari Susanto, Pemanfaatan Dana IDT: Upaya Pemberdayaan dan Pengentasan Dari Kemiskinan, dalam Analisis No. 17 Th. 4 September - Oktober 1996, hlm. 47 - 48.
Karhi Nisjar S., Korupsi di Negara-negara Berkembang: Suatu Kajian Terhadap Permasalahan dan Penanggulangan Masalah Korupsi di Indonesia, makalah tidak diterbitkan, 1996.
Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987.
LAN RI, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Cet. ke-12, Jakarta: Haji Masagung, 1994
Mubyarto, Penanggulangan Kemiskinan, dalam Analisis No. 17 Th. 4 September - Oktober 1996.
Mustopadidjaja, Materi Kuliah Umum pada Program Pascasarjana LAN-UNPAD BKU Kebijakan Publik, Bandung, 28 Sept. 1996.
PERSADI, Hasil Rumusan Seminar Nasional “Pembangunan Administrasi Dalam Pelita VII”, Bandung, 1997.
SH. Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LP3ES, 1987.
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.


Catatan:
Naskah asli paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi Desember 1998.


[1]       Secara teoritis banyak sekali buku-buku yang membahas mengenai fungsi atau tugas negara ini. Beberapa diantaranya adalah: Faisal Basri, Ekonomi Politik Kemiskinan, dalam Analisis No. 17 Th. 4 September - Oktober 1996, hlm. 40; Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 29; Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992, hlm. 62, dan sebagainya.
[2]       Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, Cet. Kedua, 1988, hlm.305. Selanjutnya ia juga menandaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara (salus populi suprema lex).
[3]        Dalam bukunya yang sangat terrkenal Du Contract Social (1762), Rousseau mengajarkan bahwa manusia pada fase masyarakat primitif pada dasarnya memiliki sifat kesamaan. Namun dengan timbulnya hak milik perseorangan (propriete privee), sifat tadi berubah menjadi ketidaksamaan, yang pada gilirannya menimbulkan bentrokan (conflict) dan peperangan antar manusia yang mengakibatkan suatu keadaan kacau (social disorder). Untuk memperoleh ketenteraman dan kebebasan, maka masyarakat mengadakan perjanjian bersama (kontrak sosial), yang membentuk suatu pemerintahan dengan tugas-tugas pelayanan dan kesejahteraan. Baca: Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987, hlm. 17.
[4]        Mustopadidjaja mengartikan sistem penyelenggaraan kebijakan negara ini dengan istilah Administrasi Negara, yakni jalinan langkah-langkah yang dipilih untuk memecahkan masalah negara. Periksa: Mustopadidjaja, Kuliah Umum pada Program Pascasarjana LAN-UNPAD BKU Kebijakan Publik, Bandung, 28 Sept. 1996
[5]        Aspek normatif lain yang perlu dimiliki oleh birokrasi adalah: praktek kebijakan tugas disertai dengan tanggung jawab kinerja, memperhitungkan kepentingan banyak pihak, serta memperhatikan mandat legislatif dan atasan. Lihat: Djadja Saefullah, materi kuliah Etika Jabatan Publik, Bandung, 1997
[6]        Secara umum, keberadaan perantau Cina di Asia Tenggara lebih maju dan makmur dibanding dengan kelompok pribumi. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih melekatnya budaya miskin seperti kemalasan, sikap pasrah tanpa berusaha, anti kemajuan, dan sebagainya. Untuk pembahasan lebih mendalam mengenai hal ini, baca: S.H. Alatas, Mitos Pribumi Malas.
[7]        Sebagaimana diketahui, Sistem Administrasi Negara Indonesia mengenal mekanisme dan institusi pengawasan yang “berlapis”. Selain terdapat mekanisme pengawasan intern yang dilakukan oleh Itjen, Itwil, BPKP atau Irjenbang; juga terdapat mekanisme pengawasan ekstern yang menjadi tanggung jawab BPK, atau BPKP/Irjenbang terhadap Departemen lain. Diluar mekanisme ini, masih terdapat mekanisme pengawasan masyarakat, pengawasan legislatif, dan pengawasan yudisial. Adanya sistem pengawasan yang berlapis ini dikhawatirkan akan menimbulkan inefisiensi serta tumpang tindihnya kewenangan antar lembaga pengawas, sehingga justru berkesan sebagai upaya mencari kesalahan. Mengenai banyaknya institusi pengawasan ini, lihat misalnya SANRI, jilid II, Jakarta: Haji Masagung, Cet. ke-12,1994, hlm. 146 - 147
[8]        Pendelegasian tugas atau pekerjaan sektor publik kepada sektor privat, sering diistilahkan dengan partnership, privatisasi, contracting out atau out sourcing. Adapun metode atau teknik bisa melalui sistem BOO, BOT, konsesi, lisensi, kontrak biasa, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar