Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Perspektif Politik Kepartaian Pada Pemilu 1999


Pendahuluan


Sebagaimana kita ketahui, panggung politik kontemporer Indonesia saat ini ditandai oleh bermunculannya partai-partai politik baru, suatu hal yang sangat diharamkan pada periode sistem politik sebelumnya. Artinya, fenomena pluralisme kepartaian ini berkaitan erat dengan berkembangya “paham” politik baru yang lebih demokratis, transparan, serta memberi peluang besar bagi tumbuhnya partisipasi warga negara dalam kehidupan politik riil.

Lahirnya partai politik yang sudah mencapai lebih dari 100 ini disamping memberikan harapan cerah bagi kepolitikan nasional, namun perlu disikapi dengan hati-hati. Sebab, tidak menutup kemungkinan pesta demokrasi yang akan mereka ikuti berubah menjadi pesta berdarah seperti diramalkan oleh banyak pakar. Beberapa bentuk kemungkinan negatif dari fenomena pluralisme kepartaian ini antara lain adalah :

1.      Makin mengambangnya visi politik masyarakat (floating mass). Dengan berbagai ragam paham atau asas partai, masyarakat akan memiliki alternatif yang justru dapat membingungkan.
2.      Terjadinya friksi atau gesekan kepentingan hingga gesekan fisik antar pendukung partai yang mengarah kepada benih perpecahan sosial (social disintegration).
3.      Kompetisi memperebutkan suara rakyat akan membuka peluang praktek-praktek tidak terpuji seperti money politics, intimidasi, teror, dan sebagainya.

Jika salah satu kemungkinan diatas terjadi, maka gerakan reformasi politik yang tengah bergulir saat ini menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, menjelang pelaksanaan Pemilu 1999, sangat diperlukan adanya kedewasaan berpolitik dari aktor-aktor yang ada, sekaligus disertai itikad baik (good will) bahwa perjuangan pada bulan Juni nanti semata-mata ditujukan untuk kepentingan umum serta memperbaiki kebobrokan total yang ditimbulkan oleh rejim Orde Baru (1966 – 1998).

Peranan Tim 11


Keberadaan 100 partai politik diatas, sesungguhnya baru merupakan perwujudan banyaknya aspirasi dalam kelompok-kelompok masyarakat, yang tidak secara serta merta dapat mengikuti Pemilu sebagai OPP. Oleh karena itu, secara yuridis formal, partai-partai diatas tetap harus menjalani seleksi. Dalam kaitan ini, pada tanggal 4 Maret 1999 yang lalu, Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum atau lebih dikenal dengan Tim 11 telah mengumumkan hasil akhir verifikasi terhadap partai-partai politik yang ada saat ini. Hasil verifikasi tersebut menunjukkan hanya 48 partai politik yang dianggap layak untuk mengikuti Pemilu 1999.


Prediksi Kekuatan


Tujuan pembentukan partai politik, secara teoretis adalah untuk memperoleh kekuasaan politik, dan melalui kekuasaan tersebut melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1994: 200). Oleh karena itu, sejalan dengan tujuan pembentukannya, partai politik harus mampu mengembangkan beberapa fungsi antara lain : 1) sarana komunikasi politik, yakni sebagai jembatan antara kelompok yang memerintah (the rulers) dengan kelompok yang diperintah (the ruled) ; 2) sarana sosialisasi politik, yakni melakukan pendidikan politik guna meningkatkan identitas nasional dan pemupukan integrasi nasional ; 3) sarana rekrutmen politik, yakni mencari anggota baru dan mengajak untuk berpartisipasi dalam proses politik, serta 4) sarana pengatur konflik, yakni mengatasi pertikaian yang timbul.

Salah satu cara untuk dapat menjalankan fungsi sekaligus mencapai tujuannya, suatu partai harus memperoleh kepercayaan dan dukungan dari rakyat, yang dibuktikan dengan raihan suara pada Pemilihan Umum. Dengan kata lain, raihan suara akan berkorelasi positif dengan besar kecilnya kekuatan / kekuasaan politik partai yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa setiap partai politik akan menerapkan taktik dan strategi yang dianggap paling jitu guna membangun citra dan popularitas dirinya dimata masyarakat (image building).

Dalam hubungan tersebut, keberhasilan menarik massa pendukung serta suaranya, paling tidak ditentukan oleh tiga faktor pengaruh, yaitu : 1) ikatan emosional / kultural / historis partai dengan pendukungnya ; 2) konsolidasi jaringan dan program kerja partai ; serta 3) karisma dan atau popularitas pimpinan puncak partai beserta jajaran pengurusnya. Sebagai contoh, PKB memiliki ikatan emosional yang sangat kuat dengan para santri, sedangkan PDI Megawati memiliki ikatan kultural dan historis yang hebat dengan eks pendukung Bung Karno dimasa silam. Namun dilihat dari popularitas pimpinannya, PAN tidak berada dibawah PDI Perjuangan serta sedikit diatas PKB. Sementara dilihat dari jaringan dan program kerjanya, Golkar diyakini paling solid dibanding partai yang lain.


Pertimbangan Koalisi Antar Partai


Dari matriks diatas akan dapat dilihat dan ditemukan kelompok partai besar / kuat dan kelompok partai yang kecil / kurang kuat. Adapun kemungkinan partai politik yang dapat “berbicara” dalam Pemilu adalah : PAN, Golkar, PKB, PDI Perjuangan.

Selanjutnya berdasarkan peta kekuatan politik parpol serta peluang raihan suara tersebut, maka kemungkinan akan terjadi “lamar melamar” atau koalisi antar partai, terutama partai-partai “gurem” yang memiliki peluang kecil, atau partai besar yang ingin memperkokoh eksistensi dan legitimasinya. Beberapa pertimbangan dilakukannya koalisi antar partai antara lain adalah sebagai berikut :

1.      Agar partai yang bersangkutan tetap eksis dan memiliki suara / pengaruh di lembaga legislatif / DPR
2.      Untuk menggalang misi tertentu berdasarkan kesamaan asas / prinsip perjuangan partai.
3.      Untuk mengimbangi kekuatan partai tertentu yang meraih suara mayoritas, dan sebagainya.

Meskipun demikian perlu dipahami bahwa disamping mengandung potensi kekuatan (integrasi), keputusan melakukan koalisi juga mengandung potensi kelemahan (disintegrasi), sehingga suatu saat koalisi tersebut dapat bubar di tengah jalan, sekaligus kehilangan kekuatan politisnya. Pengalaman seperti ini pernah terjadi beberapa waktu di Parlemen Israel, dimana suatu partai kecil yang hanya memiliki kekuatan sebesar 3 kursi, tiba-tiba mencabut dukungannya kepada partai yang berkuasa, sehingga kehilangan persentase minimal yang dibutuhkan untuk dapat memerintah.

Oleh karena itu, koalisi sebaiknya tidak dilakukan dengan sembarang partai, apalagi hanya dengan pertimbangan atau perhitungan praktis demi kekuasaan belaka. Dalam hal ini, aspek-aspek yang melandasi keputusan untuk berkoalisi paling tidak harus didasarkan pada kriteria sebagai berikut :

1.      Adanya kesamaan visi dan misi partai berdasarkan kemiripan asas / prinsip perjuangan partai yang bersangkutan. Sebagai contoh, PPP akan cenderung berkoalisi dengan Partai Thariqat Islam atau PUI, sedangkan PDI cenderung berkoalisi dengan Partai Rakyat Marhaen, Partai Murba atau Partai Pekerja, dan sebagainya. Atas dasar kriteria ini, tidak ada alasan bagi PPP atau PKB untuk bergabung dengan Golkar.

2.      Adanya kesamaan basis pendukung / segmen pemilihnya. Misalnya, PKB cenderung berkoalisi dengan Partai Nahdatul Umat atau Partai Thariqat Islam, bukan dengan PUI apalagi PAN, meskipun sama-sama memiliki ciri atau corak keagamaan. Namun basis pendukung PKB, Nahdatul Umat atau Thariqat Islam berada pada rakyat muslim santri (putihan), sedang PUI atau PAN, lebih mengandalkan pada basis umat Islam pada umumnya (non santri / Islam Abangan). Selain itu, Partai Tionghoa akan cenderung berkoalisi dengan Partai Demokrat Katolik, karena sama-sama mengharapkan dukungan dari umat Nasrani.

Dalam hal-hal yang bersangkutan dengan kesamaan asas / prinisp perjuangan partai, dapat diadakan klasifikasi sebagai berikut :

Kelompok  “a”   =          Penegakan syari’ah Islamiyah.
Kelompok  “b”   =          Perjuangan Demokrasi dan HAM
Kelompok  “c”   =          Perwujudan Keadilan dan Pemerataan (Sosialisme)
Kelompok  “d”   =          Nasionalisme / Kebangsaan

Sementara dilihat dari basis pendukung / segmen masyarakat pemilih, dapat diadakan klasifikasi sebagai berikut :

Kelompok  “A”  =           Muslim Pesantren (Putihan)
Kelompok  “B”  =          Muslim Non Pesantren (Abangan)
Kelompok  “C”  =          Buruh, Tani, Nelayan (termasuk pengangguran dan “kelompok tergusur” lainnya)
Kelompok  “D”  =          Cendekiawan, Pengajar
Kelompok  “E”  =           Pelajar, Mahasiswa, Pemuda
Kelompok  “F”  =           Kelompok Minoritas
Kelompok  “G”  =          Seniman, Profesi, Veteran
Kelompok  “H”  =          Pengusaha

Dalam rangka analisis tentang asas / prinisp perjuangan partai serta basis pendukung / segmen masyarakat pemilih ini, perlu dipahami bahwa sebuah partai dapat memiliki satu asas secara amat spesifik (misal : PKB dan Thariqat berasas “a”), atau dapat pula memiliki asas yang sifatnya campuran (misal : PAN berasas “b” dan “d” dengan sedikit unsur “a”, atau PDI berasas “d” dan “c”).

Demikian pula jika dilihat dari segmennya terdapat dua kemungkinan, yakni yang hanya memfokuskan pada satu segmen pemilih tertentu (misal : Parta Demokrat Katolik pada segmen “F”), atau menjaring dari berbagai segmen (misal : Golkar pada semua segmen).

Namun yang pasti, untuk dapat memfokuskan strategi kampanye yang tepat dalam Pemilu, suatu partai harus mempunyai ketegasan dan kejelasan mengenai kedua hal tersebut (asas / prinsip perjuangan dan basis pendukung yang ingin diraih). Artinya, kedua aspek inilah yang harus digarap secara serius oleh partai, sehingga target yang ditetapkan sesedikit mungkin tidak meleset. Kalaupun ternyata partau yang bersangkutan mendapat simpati dan dukungan segmen pemilih yang bukan menjadi prioritasnya, hal itu adalah keuntungan tersendiri.

Kemungkinan atau peluang terjadinya koalisi antar partai politik berdasarkan asas / prinsip perjuangan dan basis pendukung yang ingin diraih, dapat diprediksikan sebagai berikut:

o        Dilihat dari Asas Perjuangannya, terdapat berbagai variasi koalisi antar Partai Besar dengan Partai Kecil, atau antara Partai Kecil dengan Partai Kecil;
o        Dilihat dari Basis / Segmen Pendukungnya, terdapat berbagai variasi koalisi antar Partai Besar dengan Partai Kecil, atau antara Partai Kecil dengan Partai Kecil.


Persaingan Antar Partai Dalam Pemilu 1999


Dari tabel diatas dapat dianalisis, bahwa kekuatan riil partai dan persaingan antar partai yang sesungguhnya dalam Pemilu 1999 nanti hanya terjadi antar partai-partai besar. Partai kecil lebih berfungsi sebagai “pengganggu” atau bahkan “penggembira”. Partai kecil ini dapat diperhitungkan sebagai “pengganggu” jika bersatu dengan partai-partai kecil lainnya dan melakukan koalisi dengan partai yang lebih besar. Namun sepanjang tidak melakukan koalisi, maka partai-partai kecil akan terancam tidak memiliki wakil sama sekali di lembaga perwakilan.

Secara lebih konkrit, persaingan antar partai akan terjadi antara PKB, PAN, Golkar, PDI Perjuangan, dan PPP.

Selanjutnya dari berbagai skenario diatas, maka strategi untuk memenangkan Pemilu bagi suatu partai akan menjadi relatif lebih mudah dan lebih jelas. Artinya, kekuatan dan sumber daya partai cukup diarahkan pada beberapa partai lain yang memang memiliki potensi sebagai rival berat.

Disisi lain, peluang untuk menggaet “partai penggembira” sebagai mitra juga perlu dikembangkan. Paling tidak, “partai penggembira” ini dapat dijadikan sebagai “bidak” untuk mengacaukan konsentrasi musuh, disamping melakukan fungsi utama sebagai “lumbung suara” sekecil apapun. Oleh karena itu, dalam perspektif demokrasi yang sedang tumbuh, keberadaan partai-partai kecil ini akan memberikan nuansa tersendiri yang membuat pelaksanaan Pemilu menjadi semakin bergairah. Dengan kata lain, kebijakan untuk meniadakan partai kecil sebagai organisasi peserta pemilu (OPP) adalah kurang beralasan dan kurang bijaksana.


Dampak Terhadap Golkar


Sebagai pemegang suara mayoritas, dapat dipastikan bahwa raihan suara Golkar pada Pemilu 1999 tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Sebab, pemilih memiliki alternatif pilihan yang lebih variatif dan akomodatif, sehingga dapat mempertahankan 30 % saja dari proporsi sebelumnya, sudah merupakan prestasi yang luar biasa.

Dengan kata lain, “plafond suara” atau jumlah seluruh penduduk yang berhak pilih, akan terpecah dan atau tersebar pada partai-partai yang ada (spread), terutama partai-partai yang tergolong besar. Oleh karena itu, strategi yang perlu ditempuh adalah melakukan counter terhadap program, issu dan kinerja dari partai-partai besar yang dipandang sebagai rival tersebut. Konsentrasi perlu ditujukan kesini (partai besar), sedangkan terhadap partai kecil dapat dikurangi jika tidak dikatakan ditiadakan.


Penulis adalah pengurus Persadi Wilayah Jawa Barat dan
staf peneliti pada LAN Perwakilan Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar