Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Hubungan Kewenangan dan Konsekuensinya Terhadap Penataan Sumber Daya Pemerintah Daerah


Abstract:
Pengalihan sumber daya kepada daerah yang secara normatif merupakan faktor kunci keberhasilan otonomi daerah, ternyata menyimpan sisi-sisi tersembunyi yang justru dapat menghambat proses pemandirian dan demokratisasi di daerah. Itulah sebabnya, agar kebijakan pengalihan sumber daya dapat mencapai hasil sesuai yang diinginkan, daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten / Kota perlu melakukan upaya-upaya persiapan secara matang. Adapun persiapan yang selayaknya ditempuh adalah melakukan evaluasi terhadap potensi keuangan dan aset daerah, yang meliputi sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah saat ini maupun aset Pusat serta sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah yang akan diserahkan kepada daerah.


Pendahuluan


Sebagaimana kita pahami, penggantian UU Nomor 5 tahun 1974 pada hakekatnya didorong oleh kekuatan filosofis untuk mempercepat perubahan paradigma dalam pola penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, paradigma baru yang dikembangkan oleh UU No. 22 tahun 1999 bertumpu pada nilai-nilai demokratisasi, pemberdayaan dan pelayanan, yaitu suatu pemerintahan daerah yang memiliki keleluasaan dan pengambilan keputusan yang terbaik dalam kewenangannya, untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikannya kepada masyarakat.


Hubungan Kewenangan Pemerintah Daerah


Yang perlu dicermati disini adalah bahwa lahirnya UU Nomor 22 tahun 1999 tersebut akan menyebabkan urusan pemerintahan menumpuk di Kabupaten / Kota. Konsekuensinya, beban kerja Kabupaten / Kota akan semakin berat, yang jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik, justru akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat pada umumnya. Untuk mengantisipasi hal ini, maka UU Nomor 22 tahun 1999 menyatakan bahwa: kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut (pasal 8).

Secara filosofis, pasal ini dimaksudkan sebagai menunjang keberhasilan otonomi daerah. Sebagaimana dikemukakan Josef Riwukaho (1988), terdapat empat faktor / syarat yang perlu diperhatikan dalam menjalankan tugas otonomi, yakni SDM, keuangan, peralatan, serta organisai dan manajemen. Dengan kata lain, implementasi pasal 8 UU Nomor 22 tahun 1999 secara baik akan menjadi conditio sine qua non bagi keberhasilan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Logikanya, penambahan kewenangan yang disertai dengan penambahan sumber-sumber daya, tidak akan menimbulkan permasalahan yang fundamental.

Meskipun demikian, harus diakui bahwa tidak semua Kabupaten / Kota mampu menyelenggarakan kewenangan sebagaimana diinginkan oleh UU. Pangkal permasalahannya tidak saja terletak pada kewajiban untuk menyelenggarakan kewenangan yang jumlahnya membengkak secara tiba-tiba; namun melekat juga pada proses pengalihan berbagai sumber daya dari Pusat ke Daerah. Dengan kata lain, terdapat indikasi kekurangsiapan Kabupaten / Kota dalam menerapkan otonomi luas menurut UU Nomor 22 tahun 1999.

Indikasi kekurangsiapan daerah ini secara umum tercermin pada tiga dimensi, yaitu SDM, finansial atau keuangan, serta manajemen (termasuk didalamnya teknologi atau metodologi).

Pada dimensi SDM, telah banyak dikeluhkan mengenai kualitas kondisi PNS di Indonesia yang masih cukup memprihatinkan. Data tahun 1991 menunjukkan bahwa hanya 7 % pegawai bergelar Sarjana (S1 keatas), 9,8 % bergelar sarjana muda, serta 58,6 % berpendidikan SLTA dan sisanya berpendidikan SLTP dan SD. Disisi lain, dapat dikatakan telah berkembang kecenderungan birokratisasi parkinsonian (Parkinson’s Law), dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokratisasi orwellian, yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi (Darwin dalam Arfani, 1996: 217-218). Akibatnya, birokrasi Indonesia menjadi semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung inefektif dan inefisien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan Daerah siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

Selanjutnya pada dimensi finansial, fakta empirik menunjukkan bahwa perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah selama ini belum menunjukkan keserasian hubungan. Artinya, sumber pembiayaan asli di daerah (PADS) masih terlalu rendah dan tergantung kepada bantuan pemerintah Pusat. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan UGM dan Depdagri misalnya, dari 229 Kabupaten / Kota yang diteliti, tercatat 71,23 % memiliki PAD kurang dari 20%; kemudian 22,26 % ber-PAD antara 20,1 % hingga 40 %; serta hanya 5,83 % yang memiliki PAD lebih dari 40 % (Sulistyo, 1995: 89). Kondisi serupa juga ditunjukkan oleh Kano (1995: 123-124), bahwa dari seluruh penerimaan kotor seluruh Kabupaten / Kota di Indonesia, sebesar 70 % merupakan grant dan subsidi yang disediakan pemerintah Pusat dan Propinsi. Jika perimbangan ini tidak segera direvisi secara adil dan proporsional, mustahil pula kewenangan Kabupaten / Kota dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Adapun pada dimensi manajemen, kelemahan daerah dapat diamati secara kualitatif dalam hal masih tingginya ketidakpuasan masyarakat terhadap jasa pelayanan publik yang diterimanya. Faktor penyebab rendahnya kinerja ini dapat berasal dari kurangnya penggunaan teknologi canggih, penetapan prosedur pelayanan yang kurang tepat, lemahnya koordinasi internal, kurang terkendalikannya tindakan pemborosan atau pembocoran, dan sebagainya.

Mengingat kenyataan bahwa Kabupaten / Kota masih menghadapi banyak keterbatasan, maka UU Nomor 22 tahun 1999 memberikan alternatif kebijakan manakala Daerah belum siap atau belum mampu melaksanakan suatu kewenangan tertentu. Alternatif yang ditawarkan adalah diperkenankan bagi Kabupaten / Kota untuk melimpahkan atau mengalihkan kewenangan tersebut kepada Propinsi, dengan catatan kewenangan tadi tidak termasuk 11 kewenangan wajib sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11. Yang terpenting dari ketentuan ini adalah agar tidak sampai terjadi kekosongan dalam penyelenggaraan jenis pelayanan tertentu kepada masyarakat.

Satu hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa kewenangan Propinsi yang merupakan pengalihan dari Kabupaten / Kota ini tidak bersifat permanen. Propinsi justru harus membina dan membantu Kabupaten / Kota yang bersangkutan hingga mampu menyelenggarakan sendiri kewenangan tersebut. Bentuk bantuan Propinsi kepada Kabupaten / Kota ini dapat berupa bantuan teknis, bantuan dana, bantuan manajemen, maupun bantuan personil. Pada saat Kabupaten / Kota sudah dianggap mampu, maka kewenangan tersebut harus dikembalikan.

Mekanisme pengalihan kewenangan Kabupaten / Kota kepada Propinsi ini menurut konsep Menteri Negara Otonomi Daerah harus dilakukan sebagai berikut: 1) Bupati / Walikota menyampaikan pada Gubernur dan Presiden, 2) Presiden menugaskan DPOD untuk mengkaji, 3) Presiden dapat menolak atau menyetujui berdasarkan saran DPOD, 4) Jika ditolak, kewenangan tersebut tetap dilaksanakan oleh Kabupaten / Kota, dan 5) Jika disetujui, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Propinsi.

Pengaturan mekanisme diatas secara rasional memang cukup baik, namun substansial masih mengandung beberapa kekurangan. Dalam hubungan ini, beberapa kritik perlu dikemukakan mencakup empat hal sebagai berikut. Pertama, pedoman tentang tata cara pengalihan kewenangan tersebut belum menetapkan alasan-alasan atau landasan pemikiran yang dapat dijadikan konsiderasi bagi Kabupaten / Kota untuk mengalihkan sebagian kewenangannya. Hal demikian dapat peluang negatif yang dimanfaatkan oleh Kabupaten / Kota untuk mengalihkan setiap kewenangan yang tidak disukai atau yang tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan daerahnya. Oleh karena itu, perlu ditentukan kriteria-kriteria yang obyektif untuk menjamin bahwa pengalihan tersebut benar-benar diperlukan.

Kedua, penjelasan pasal 9 UU Nomor 22 tahun 1999 menegaskan perlunya pernyataan Kabupaten / Kota yang bersangkutan sebelum dilaksanakannya pengalihan kewenangan. Ketentuan ini belum jelas dari sisi pelaku dan bentuk hukumnya. Dari sisi pelaku, apakah pernyataan tersebut cukup dilakukan oleh Bupati / Walikota, atau memerlukan persetujuan DPRD. Sementara dari sisi bentuk hukumnya, apakah pernyataan tadi harus dituangkan dalam bentuk Perda, Keputusan Kepala Daerah, rekomendasi, atau cukup surat dinas biasa. Hal-hal seperti ini jelas membutuhkan klarifikasi agar tidak terjadi kerancuan sistem pemerintahan daerah, khususnya dalam sistem tata naskah peraturan perundangan.

Ketiga, keberadaan Propinsi sebagai pihak yang menerima pengalihan, terkesan tidak diperhatikan pertimbangannya. Peran Propinsi baru terbatas menerima usulan dari Bupati / Walikota, namun tidak disertakan proses penetapannya. Dalam konteks pemberdayaan dan demokratisasi daerah, ketentuan ini dapat dikatakan kurang layak. Oleh karena itu, meskipun unsur Propinsi sesungguhnya sudah terwakili dalam DPOD melalui Asosiasi Pemerintah Daerah, namun Propinsi sebagai kesatuan daerah otonom tetap perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pengalihan kewenangan tersebut.

Keempat, dalam konsep Menteri Negara Otonomi Daerah dinyatakan bahwa jika usulan pengalihan kewenangan ditolak, kewenangan tersebut tetap dilaksanakan oleh Kabupaten / Kota. Permasalahannya adalah, jika kewenangan tadi tetap berada di Kabupaten / Kota, sementara Kabupaten / Kota yang bersangkutan secara obyektif tidak memiliki kemampuan, maka akan terjadi kemandegan dalam penyelenggaraan kewenangan dan pelayanan tertentu. Oleh karena itu, akan sangat baik jika sejak saat ini pemerintah telah menetapkan kondisi-kondisi obyektif yang dapat dijadikan dasar penolakan.

Upaya klarifikasi terhadap empat masalah diatas diharapkan dapat menciptakan hubungan kewenangan yang adil, serasi, dan transparan antara Propinsi dengan Kabupaten / Kota, sekaligus produktif dalam mendorong peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dalam hubungan ini, yang diperlukan selanjutnya adalah pengaturan secara cermat proses pengalihan berbagai sumber daya dari pemerintah Pusat dan Propinsi kepada Kabupaten / Kota.


Konsekuensi Penataan Sumber Daya


Kebijakan otonomi secara luas yang terkandung dalam UU Nomor 22 tahun 1999, secara umum disikapi oleh jajaran pemerintah Daerah dalam dua bentuk. Pertama, sikap optimis yang disertai kelegaan luar biasa, bahwasanya daerah memiliki hak politik dan hak hukum untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Dengan kewenangan desentralisasinya tadi, daerah diharapkan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding pada masa berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, khususnya dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Kedua, sikap pesimis sekaligus keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dan manfaat kebijakan otonomi. Sikap ini didasarkan pada fakta bahwa otonomi luas membawa dampak terhadap peningkatan beban kerja pemerintahan di tingkat Kabupaten / Kota, sementara perimbangan sumber daya (3P) antara Pusat dan Daerah belum terumuskan secara konkrit. Dalam kondisi demikian, sering muncul ungkapan bahwa kebijakan otonomi yang dilempar pemerintah Pusat ibarat kepala dilepaskan namun ekor tetap dipegang.

Untuk menghindari sikap pesimis agar tidak berkembang menjadi apatis, maka dalam UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 8 secara eksplisit dinyatakan bahwa: kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta SDM sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan akan terdapat keseimbangan antara beban kerja dengan faktor input yang menunjangnya.

Permasalahan adalah bahwa penyerahan atau pengalihan sumber-sumber daya tadi sama-sama memiliki konsekuensi yang kompleks, baik sebelum maupun sesudah pengalihan kepada Daerah. Sebelum proses pengalihan, konsekuensi yang muncul adalah kemungkinan kegagalan pelaksanaan otonomi di daerah. Sedangkan kemungkinan masalah yang muncul pada saat atau sesudah pengalihan antara lain ketidakjelasan kaidah normatif dan mekanisme pengalihan, ketidakimbangan antara jumlah pegawai dengan sumber daya finansial yang dialihkan, konflik kepentingan antar sektor atau antara Pusat dan Daerah, serta disorientasi daerah dalam melakukan penataan sumber-sumber daya yang dialihkan.

Banyaknya masalah yang mungkin timbul dari kebijakan pengalihan sumber daya tersebut, semestinya menyadarkan Daerah bahwa mereka tidak sedang menunggu harta karun atau durian runtuh. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan sekarang adalah mempersiapkan diri baik secara konseptual maupun legal formal. Dan dalam rangka ikut urun rembug terhadap masalah itulah, tulisan ini disusun.


Tiga Aspek Sumber Daya


Aspek sumber daya terpenting dalam hubungan dengan kebijakan otonomi daerah adalah pembiayaan, sarana dan prasarana, serta personalia / SDM. Artinya ketiga aspek ini haruslah melekat kepada kewenangan pemerintahan tertentu. Pada masa lampau, kewenangan pemerintahan berada di tingkat Pusat dan diserahkan sebagian kepada Daerah Propinsi atau Kabupaten / Kota. Dengan sistem yang demikian wajarlah jika ketiga aspek sumber daya tadi dikuasai oleh Pusat. Namun dengan bergesernya paradigma otonomi, maka kewenangan pemerintahan berada pada Kabupaten / Kota, kecuali yang dikecualikan menurut pasal 7 dan 9 UU Nomor 22 tahun 1999. Adanya pergeseran kewenangan ini secara otomatis membawa implikasi bergesernya hak penguasaan sumber daya kepada daerah. Dengan kata lain, tuntutan terhadap perwujudan sistem perimbangan ketiga aspek sumberdaya yang adil, sangat bersesuaian dengan semangat otonomi daerah itu sendiri. Materi dan masalah yang muncul dari masing-masing pengalihan sumber daya ini dapat dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.

Pada aspek pembiayaan atau finansial, hingga saat ini belum ada suatu formula konkrit tentang perimbangan keuangan Pusat dan daerah, sebagai penjabaran UU Nomor 25 tahun 1999. Namun sebagai suatu ‘pedoman umum’ dapat dikemukakan pendapat Kartasasmita (1997) mengenai perimbangan keuangan dan proporsinya bagi Daerah sebagai berikut: “besarnya persentase yang harus diserahkan kepada daerah untuk pajak peralihan, pajak upah, dan pajak materai bahkan sudah ditetapkan minimal sebesar 75 persen dan maksimum sebesar 90 persen”.

Persentase yang berkisar antara 60-90 % agaknya merupakan angka toleransi yang ideal. Namun harus disadari pula bahwa beban keuangan Pusat tidak hanya untuk menjalankan kewenangannya yang limitatif, tetapi juga beban atas hutang luar negeri serta fungsi distributif untuk mencegah melebarnya disparitas regional (kesenjangan antar daerah). Oleh karena itu, Pusat tetap memerlukan alokasi anggaran yang relatif masih besar, yang berimplikasi pada pengurangan proporsi untuk Daerah. Dengan demikian, persentase perimbangan dapat dirumuskan ke angka yang lebih moderat, yakni antara 50-70 % bagi Daerah.

Daerah tentu saja tidak perlu merasa khawatir dengan kisaran demikian, mengingat masih terdapat sumber penerimaan lain baginya, yakni melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) dan Khusus (DAK). DAU sendiri adalah dana yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, sedang DAK adalah dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membiayai kebutuhan khusus, misalnya kebutuhan yang merupakan komitmen / prioritas nasional, atau kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum.

Selanjutnya pada aspek aset atau sarana / prasarana, terdapat pengaturan yang menentukan bahwa 1) aset yang berasal dari Kanwil dialihkan menjadi aset Propinsi, 2) aset yang berasal dari Kandep / Cabang Dinas Propinsi dialihkan menjadi aset Kabupaten / Kota, 3) aset yang berasal dari UPT Departemen yang kewenangannya menjadi kewenangan daerah, statusnya akan diatur kasus per kasus, 4) aset yang berasal dari Kanwil atau UPT Departemen yang kewenangannya tidak diteruskan fungsinya di daerah, asetnya dikuasai oleh Menteri Keuangan, dan 5) aset BUMN/BUMD akan diatur tersendiri.

Dua hal yang perlu dikritisi dalam kaitan dengan pengalihan aset ini adalah upaya inventarisasi dalam rangka pengamanan aset, serta analisis terhadap perbandingan jumlah aset dengan besarnya biaya pemeliharaan yang dibutuhkan.

Seperti kita maklumi bersama, jumlah barang milik / kekayaan negara yang akan dialihkan kepada daerah jumlahnya sangat banyak, dan sebagian diantaranya tidak terinventarisir secara baik. Dalam kondisi demikian, tidak tetutup kemungkinan adanya aset-aset potensial yang “menguap” sebelum proses pengalihan selesai. Itulah sebabnya, upaya inventarisasi harus dilaksanakan secara transparan, cepat serta terkordinasi secara lintas sektoral, dan jika diperlukan dapat melibatkan pihak ketiga yang independen, misalnya akuntan publik. Sedangkan analisis terhadap perbandingan jumlah aset dengan besarnya biaya pemeliharaan mutlak diperlukan, mengingat bahwa jumlah aset yang besar tanpa ditunjang oleh biaya pemeliharaan justru akan membebani daerah yang bersangkutan. Disamping itu, analisis tadi diperlukan agar aset yang dialihkan kepada Daerah tidak menjadi kapasitas yang mubadzir (idle capacity).

Adapun pada aspek personalia atau SDM, terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa PNS yang dialihkan adalah PNS yang dipekerjakan di daerah, diperbantukan di daerah, serta yang berada di wilayah (instansi vertikal / UPT). Dilihat dari target waktu penyelesaian, pengalihan PNS Pusat yang tidak menduduki jabatan struktural selambat-lambatnya akhir September 2000, sedang PNS Pusat yang menduduki jabatan struktural selambat-lambatnya Desember 2000. Target ini dapat dikatakan muluk, mengingat sampai minggu kedua bulan ini, belum nampak tanda-tanda pengalihan SDM Pusat ke Daerah. Bahkan, kelembagaan Pusat di Daerah masih tetap eksis, yang tentu masih membutuhkan dukungan personalia.

Disisi lain, beberapa permasalahan yang harus diantisipasi dalam kaitan dengan pengalihan personalia ini paling tidak meliputi tiga hal. Pertama, kemungkinan adanya egoisme kedaerahan yang cukup kental. Egoisme ini dapat berupa penolakan pengalihan personalia, atau kalaupun menerima tidak akan mendudukkan mantan pejabat Pusat untuk posisi penting di Daerah. Pada gilirannya, sikap egois ini akan dapat memperuncing konflik kepentingan antara Pusat dan daerah.

Kedua, keterbatasan jumlah formasi jabatan dibandingkan jumlah PNS yang akan dialihkan. Disamping berdampak secara psikologis bagi pejabat yang tidak lagi memperloleh “kursi” atau posisi, kesenjangan ini jelas akan mengacaukan struktur kepangkatan PNS. Artinya, terdapat kemungkinan seorang pejabat berpangkat lebih rendah dibanding staf yang tidak menduduki jabatan. Konsekuensi tersebut belum termasuk efek negatif lainnya yakni munculnya para “pengangguran tidak kentara” yang sangat membebani anggaran belanja daerah.

Ketiga, terdapat kemungkinan bahwa pengalihan kepegawaian tidak mampu menjawab kebutuhan Daerah terhadap kuantitas dan kapasitas / kompetensi SDM. Sebagai contoh, suatu Kabupaten / Kota membutuhkan pegawai sejumlah 3000 orang, sementara daerah tersebut harus menerima pelimpahan pegawai sebanyak 4000 orang. Ini berarti terdapat kelebihan 1000 pegawai yang hanya menjadi beban bagi daerah yang bersangkutan. Kasus kesenjangan seperti ini dapat terjadi pula dalam hal kapasitas / kompetensi SDM, antara yang dibutuhkan dengan yang diterima. Untuk mengatasi hal ini, gagasan pemberian pensiun dini bagi pegawai yang dinilai tidak produktif, perlu disambut dan dikaji secara positif.


Persiapan Daerah: Suatu Catatan Penutup


Paparan diatas memberikan ilustrasi bahwa pengalihan sumber daya kepada daerah yang secara normatif merupakan faktor kunci keberhasilan otonomi daerah, ternyata menyimpan sisi-sisi tersembunyi yang justru dapat menghambat proses pemandirian dan demokratisasi di daerah. Itulah sebabnya, agar kebijakan pengalihan sumber daya dapat mencapai hasil sesuai yang diinginkan, daerah Propinsi maupun Kabupaten / Kota perlu melakukan upaya-upaya persiapan secara matang. Adapun persiapan yang selayaknya ditempuh adalah melakukan evaluasi terhadap potensi keuangan dan aset daerah, yang meliputi sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah saat ini maupun aset Pusat serta sumber-sumber dan besarnya pendapatan daerah yang akan diserahkan kepada daerah. Pada saat yang bersamaan, perlu diupayakan evaluasi terhadap struktur kepegawaian daerah, baik yang berstatus pegawai daerah otonom maupun instansi vertikal yang akan terintegrasi sebagai perangkat daerah. Hasil evaluasi yang akurat terhadap ketiga aspek sumber daya tersebut akan sangat berfaedah untuk mendesain format kelembagaan baru pemerintah daerah yang paling efektif, efisien dan rasional.

Dengan persiapan yang matang dalam proses pengalihan sumber daya, diharapkan kebijakan otonomi menurut UU Nomor 22 tahun 1999 dapat mencapai falsafah dasarnya, yakni mendukung kualitas pelayanan publik yang kepada masyarakat di daerah.


Catatan:
Naskah asli dan selengkapnya dari paper ini dimuat dalam Jurnal Wacana Kinerja, PKP2A I LAN Bandung, edisi September 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar