Laman

Jumat, 02 Juli 2010

Jangkauan Lintas Sektoral Kebijakan Kesehatan Sebagai Implikasi Public Policy


Pendahuluan

Proses penyusunan suatu kebijakan publik, biasanya terjadi didalam lingkungan interaksi antara tiga komponen. Administrasi Negara sebagai institusi yang memiliki kewenangan regulasi (discretionary power), bertugas merumuskan dan menetapkan suatu peraturan yang mencerminkan kehendak rakyat serta bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan Masyarakat. Apabila peraturan tersebut telah berlaku secara yuridis formil, maka kekuatannya meningkat menjadi Hukum yang harus dijunjung tinggi juga oleh badan yang menetapkannya. Di dalam proses penyusunan perangkat perundang-undangan yang berlaku secara umum dan mengikat secara hukum inilah sebenarnya terletak proses kebijakan publik.

Dari deskripsi diatas tersirat beberapa hal yang melekat pada suatu kebijakan publik. Pertama, kebijakan merupakan bentuk intervensi atau campur tangan pemerintah atas kehidupan sosial masyarakat. Dan apabila Thomas R. Dye pernah menga­takan bahwa Kebijakan adalah apapun pilihan pemerintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat (whatever government choose to do or not to do), maka kebijakan dapat diartikan sebagai semua pilihan perbuatan pemerintah untuk mengatur rakyatnya. Kedua, kebijakan harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat secara luas, sehing­ga dalam proses perumusannya digunakan pendekatan lintas sektoral dan multi disi­pliner.

Menurut Herbert A. Simon, studi tentang policy selalu meminjam dari semua ilmu-ilmu sosial, dan analisis tentang policy dipandang sebagai bidang studi yang bisa berintegrasi dengan ilmu-ilmu sosial (Lihat Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali, cet. kelima, 1992, hlm. 55) agar kepentingan masyarakat tidak menjadi tumpang tindih, saling bertentangan, atau menimbulkan kebingungan dan kesan pilih kasih diantara kelompok masyarakat.

Untuk dapat melakukan intervensi secara tepat, fair dan profesional, pemerintah perlu memiliki beberapa syarat. Pertama, harus memiliki policy tools / instrumen atau piranti agar secara efektif dapat menjalankan kebijakannya, disamping informasi yang akurat sehingga dapat memberikan diagnosa permasalahan secara tepat. Kedua, pemerintah harus memiliki otoritas yang memadai, sehingga dapat memberikan terapi manakala timbul permasalahan; dan ketiga, harus mempunyai kemampuan untuk mendeteksi akibat diluar dampak langsung yang ditimbulkan oleh implementasi kebijakan.

Makalah ini mencoba menganalisis suatu kebijakan publik di bidang keseha­tan dalam kaitannya dengan kemungkinan-kemungkinan terjadinya benturan kebijakan sebagai akibat kurang diperhitungkannya pendekatan lintas sektoral dan multi disi­pliner dalam perumusannya. Namun sebelumnya akan dicoba untuk mengetengahkan beberapa aspek teoritis mengenai public policy.


Kebijakan Publik Sebagai Ilmu dan Sebagai Proses

Menurut Irfan Islamy (1988), lingkup studi kebijakan meliputi beberapa bidang pengamatan pokok yang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu, analisa dan evaluasi kebijaksanaan (policy analysis and evaluation); dan Proses kebijaksanaan (policy process).

Analisa kebijaksanaan, pada dasarnya merupakan studi antar disiplin untuk menemukan alternatif kebijaksanaan terbaik guna mengatasi permasalahan yang dihadapi atau mencapai sejumlah tujuan yang diinginkan, sedang evaluasi kebijaksanaan dapat didefinisikan sebagai bidang yang memusatkan diri pada penilaian atas masalah-masalah adequateness, effectiveness, appropriateness, and efficiency suatu kebijakan, khususnya dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Dari pengertian tersebut, bisa dikatakan bahwa kebijakan adalah sesuatu yang dipelajari; atau dengan kata lain, kebijakan sebagai ilmu.

Bidang kedua, Policy process, mempelajari faktor-faktor dan dinamika sosial kelembagaan dalam hubungan sebagian atau keseluruhan siklus kegiatan kebijaksanaan (policy cycle), baik pada tahap perumusan (policy making) dan tahap pelaksanaan (policy implementation), maupun penilaian dan pengawasan (policy control and evalua­tion). Dalam pengertian inilah yang dimaksud kebijakan sebagai proses.

Proses kebijakan pada level policy formulation akan menghasilkan institu­tional arrangements atau rule yang tertinggi, misalnya Undang-Undang, yang kemudian akan diterjemahkan / dijabarkan oleh proses kebijakan pada level organisasional yang menghasilkan institutional arrangements dengan tingkatan lebih rendah. Selanjut­nya, arrangements ini akan diterjemahkan oleh proses kebijakan pada level operasional, yang pada gilirannya akan membawa dampak-dampak tertentu serta mempenga­ruhi pola perilaku atau pola interaksi masyarakat sebagai akibat dikeluarkannya policy tersebut.

Dari ketiga level atau ketiga rangkaian kegiatan tadi, hal yang paling rawan atau kritis pada public policy adalah usaha untuk melaksanakan (implementasi) policy. Ini disebabkan karena pada tahap inilah seringkali terjadi penolakan policy (policy veto) oleh masyarakat. Penolakan bisa terjadi manakala suatu kebijakan tidak bisa mencerminkan dan menyalurkan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan umum (public interest), atau tidak memberi peluang bagi berkembangnya partisipasi publik, (public participation), atau karena kurang bisa menampung pilihan-pilihan masyarakat (public choices). Dalam ketiga kasus ini, kebijakan yang semestinya merupakan peraturan yang bijaksana, justru menjadi tidak bijaksana.

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa suatu kebijakan tidak mencermin­kan kepentingan umum atau tidak memberi peluang untuk berpartisipasi atau tidak menampung pilihan-pilihan masyarakat ? Salah satu penyebabnya adalah penggunaan model Model dalam Ilmu Public Policy biasanya diadopsi dari Ilmu Politik dan Ilmu Administrasi, yang merupakan suatu perwakilan yang disederhanakan dari berbagai gejala dunia kenyataan. Selain model, ada lagi metode yang digunakan dalam perumusan kebija­kan, yaitu Simulasi Model seperti dicontohkan oleh Brewer (Lihat Miftah Thoha, op. cit., hlm. 82 dan Lukman Hakim, op. cit., hlm. 7).

Beberapa model yang biasa dipergu­nakan pada perumusan policy dapat dijelaskan pada uraian dibawah ini.

1.        Teori Model Elit: menyarankan bahwa rakyat dalam hubungannya dengan public policy hendaknya dibuat apatis dan miskin informasi. Elit lebih banyak membentuk opini massa dalam persoalan policy dibandingkan dengan massa memben­tuk opini elit. Dengan demikian public policy adalah hasil preferensi elit, dalam arti policy mengalir dari elite ke massa melalui administrator-administratornya, bukan sebaliknya berasal dari tuntutan-tuntutan masyarakat.
2.        Berbeda dengan model elit, menurut Model Kelompok public policy senan­tiasa merupakan usaha untuk menjaga keseimbangan dalam kelompok yang sedang berjuang. Dalam hal ini policy akan bergerak kearah yang dikehendaki oleh kelompok yang memiliki pengaruh, dan akan menjauh dari keinginan kelompok yang kehilangan pengaruh. Sedangkan menurut Model Kelembagaan, suatu policy tidaklah menjadi public policy kecuali ia diambil, dilaksanakan dan dipaksakan oleh beberapa lembaga pemerintah.
3.        Suatu model yang berorientasi kepada efisiensi adalah Model Rationalism, yang mengajarkan bahwa policy yang rasional adalah yang dirancang secara tepat untuk memaksimalkan hasil nilai bersih (net value achievement). Hal ini berarti bahwa rasio antara nilai-nilai yang dicapai adalah positif dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan alternatif policy lainnya.
4.        Model lain yang berorientasi kepada kelanjutan dari kegiatan pemerintah dimasa lalu dengan sedikit mengadakan perubahan adalah Model Incremental. Inkre­mentalisme dalam usahanya menciptakan policy, memusatkan perhatiannya untuk menambah, mengurangi dan menyempurnakan program yang telah ada.
5.        Dan terakhir adalah Model Sistem, yang berusaha menggambarkan public policy sebagai suatu hasil (output) dari suatu sistem politik.

Dengan pemilihan model yang tepat, diharapkan tidak akan timbul sikap penolakan terhadap kebijakan. Disamping itu, faktor lain yang menentukan keberhasi­lan implementasi kebijakan antara lain adalah tiadanya hambatan eksternal, tersedianya sumber daya secara memadai, dan hubungan ketergantungan minimum. Faktor lain yang sangat penting yaitu pemahaman dan kesepakatan terhadap tujuan, atau dengan istilah lain, kecermatan dan ketepatan dalam menentukan sasaran kebijakan.


Implementasi Kebijakan Kesehatan & Masalah Kependudukan

Sasaran kebijakan bidang kesehatan di Indonesia pada hakekatnya terdiri dari dua macam yaitu mewujudkan kondisi kesehatan bagi masyarakat (good health) dan menciptakan sistem pelayanan kesehatan yang optimal (good medical care). Masalah good health berkorelasi erat dengan faktor-faktor yang tidak dikon­trol secara langsung oleh dokter atau rumah sakit seperti : keturunan, gaya hidup (kebiasaan makan minum, olah raga, kecemasan), lingkungan fisik (air, saluran pembuangan, sampah, kondisi kerja) dan lain-lain. Meskipun tidak terkontrol secara langsung, namun pemerintah  melalui peraturan yang dibuatnya dapat menentu­kan kebijakan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan : berapa lama harapan hidup orang dewasa, berapa besar tingkat kematian dalam setiap kelahiran bayi, serta berapa besar tingkat kenyamanan hidup dapat dinikmati? Adapun masalah good medical care berkisar pada masalah-masalah frekuensi kunjungan ke dokter dan tingkat biaya pengobatannya, rasio dokter/RS/tempat tidur per kapita, cakupan imunisasi, atau akses yang sama antara kaya dan miskin dalam memperoleh jasa pelayanan kesehatan.

Dikaitkan dengan keadaan dan perkembangan kependudukan, good health lebih terlihat sebagai sasaran utama, sedang good medical care merupakan sasaran antara, dalam arti merupakan pendukung bagi cita-cita mewujudkan kesehatan masyarakat. Meskipun demikian tetap diterima anggapan bahwa untuk mencapai good health tidak selalu harus melalui good medical care.

Seperti diketahui, tingkat kesehatan masyarakat yang cukup tinggi mampu mempengaruhi, bahkan menimbulkan transformasi struktural kependudukan. Pada tahun 1960-an atau 1970-an disaat tingkat kesehatan masih relatif rendah terjadi baby boom, yang pada gilirannya mengakibatkan ledakan angkatan kerja baru (new labour force boom) dan kurang mampunya lapangan pekerjaan maupun lembaga pendidikan formal menampung mereka. Ditambah lagi dengan masih cukup tingginya angka kematian ibu melahirkan dan rendahnya angka harapan hidup, menjadikan struk­tur penduduk berbentuk kerucut, dimana sebagian besar penduduk terdiri dari usia muda (produktif) dan sebagian kecil usia dewasa dan tua. Sebaliknya, dengan semakin membaiknya kondisi kesehatan yang ditandai oleh meningkatnya harapan hidup dan menurunnya kematian ibu melahirkan, serta ditempuhnya kebijakan kependudukan tentang Keluarga Berencana, menjadikan struktur penduduk berbentuk kerucut terba­lik. Pada akhir PJPT II, proporsi penduduk usia muda akan makin mengecil, biarpun jumlah absolutnya tetap besar, proporsi usia kerja akan makin membesar, dan proporsi tua (diatas 60 atau 65) akan bertambah besar (Haryono Suyono, Perkiraan Sasaran Penduduk Dalam Pembangunan PJPT II di Indonesia, Pokok-Pokok Uraian pada Pertemuan Dosen dan Mahasiswa UMI Sulsel, Ujung Pandang, 10 September 1993).

Oleh karena suatu kebijakan sifatnya lintas sektoral, maka asumsi tersebut tidak bisa dipisahkan dari kebijakan sektor lain, dalam hal ini adalah kebijakan kependudukan tentang Keluarga Berencana (KB).

Dengan struktur yang berbentuk "kerucut terbalik", akan membawa dampak positif berupa penyerapan tenaga kerja secara maksimal dalam lapangan pekerjaan, serta pemerataan pendidikan. Akan tetapi, paling tidak terdapat dua permasalahan yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu kesejahteraan penduduk usia lanjut yang karena kondisi fisik/mentalnya tidak memungkinkan lagi untuk berperan dalam pem­bangunan (GBHN 1993), serta kemungkinan terjadinya defisit tenaga kerja terutama dalam hubungannya dengan kebijakan nasional pengembangan Indonesia Bagian Timur dan kebijakan transmigrasi swakarsa.

Kembali kepada sasaran kebijakan kesehatan yang terintegrasi dengan kebi­jakan kependudukan, agaknya penahanan laju jumlah penduduk tetap menjadi prioritas (paling tidak untuk jangka pendek), karena jumlah penduduk yang sangat besar terbuk­ti telah "mengurangi" keberhasilan pembangunan. Namun apabila pada satu saat angka pertumbuhan dan jumlah penduduk telah dianggap "ideal", maka sasaran kepada good health bisa menjadi tidak relevan, dan besar kemungkinan terjadinya policy veto. Dalam hal ini, perlu dipikirkan penyempurnaan kebijakan melalui model incremental.


Penutup

Pendekatan rasional terhadap kebijakan kesehatan memerlukan pengertian yang jelas mengenai sasaran, strategi alternatif dalam mencapai sasaran, serta perbandingan antara input dan output dari tiap-tiap alternatif. Namun harus diakui bahwa sasaran kebijakan kesehatan belum pernah didefinisikan secara jelas. Seandainya good health adalah sasarannya, maka usaha-usaha untuk meningkatkan kesehatan melalui perubahan kebiasaan dan pola hidup individual masyarakat akan menjadi pilihan utama. Dan ini jelas tidak benar. Sasaran terhadap good medical care pun sangat diperhati­kan, terutama karena masih timpangnya perbedaan dalam pemberian jasa pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang kaya dan yang miskin.

Satu hal yang pasti, sesuai dengan sifatnya yang lintas sektoral, kebijakan kesehatan telah dapat "bekerjasama" dengan kebijakan kependudukan. Namun begitu kenyataan yang sekarang ada telah berubah, maka harus segera diadakan penyesuaian kebijakan dengan tetap berlandaskan pada ciri-ciri : terapan, relevansi, multi disiplin, lintas sektoral, integratif, dan orientasi masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar