Laman

Kamis, 29 Juli 2010

Politik “Jalan Terakhir” dan Birokrasi yang Frustrasi


DALAM iklim desentralisasi luas seperti saat ini, kata-kata sakti seperti kreasi, invensi, inovasi, dan sejenisnya, menjadi kata kunci dan keniscayaan bagi pemerintah daerah beserta jajaran aparatnya. Esensinya, semangat devolusi harus dikelola dan diarahkan pada terciptanya more creative, more innovative, more productive, and better governance. Literatur tentang hal ini sangat berlimpah untuk menjadi rujukan dan benchmarking bagi pemerintahan kita.

Pemerintahan yang kreatif, inovatif, dan produktif, adalah sebuah sosok institusional yang tidak pernah kehilangan akal dan cara untuk memecahkan setiap persoalan yang dihadapi. Mereka tidak mengenal istilah “jalan terakhir” dalam sistem dan siklus kebijakan publik. Pepatah klasik yang berbunyi “banyak jalan menuju Roma”, bermutasi menjadi keyakinan yang lebih modern dalam wujud slogan-slogan seperti “tiada hari tanpa inovasi”, “selalu ada solusi bagi jiwa kreatif yang selalu berpikir”, dan sebagainya.

Dalam prakteknya, sering terjadi kondisi sebaliknya. Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, tidak jarang memilih jalan pintas dan mudah untuk mengatasi suatu persoalan, tanpa mempedulikan efek yang ditimbulkan oleh pilihan tersebut. Contoh yang paling actual adalah kenaikan harga BBM. Meski dikritik berbagai kalangan dari anggota DPR hingga mahasiswa, melalui berbagai aksi dari seminar di hotel berbintang hingga demonstasi jalanan, pemerintah tetap keukeuh pada keyakinannya, bahwa satu-satunya tindakan untuk menyeimbangkan struktur APBN yang rapuh akibat melambungnya harga minyak dunia adalah pengurangan subsidi (baca: kenaikan harga) BBM. Bahkan secara tegas dan lugas Presiden SBY menyatakan bahwa kenaikan BBM adalah jalan terakhir untuk menyelamatkan ekonomi nasional.

Contoh lain dari birokrasi yang tidak kreatif ditunjukkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang membuat “gebrakan” dengan melakukan tindakan represif berupa aksi mengunci atau menggembok roda mobil para pelanggar lalu lintas secara paksa. Tindakan lain yang sejenis adalah pencopotan pelat nomor kendaraan pribadi pelanggar parkir. Bahkan, Pemda DKI juga telah membangun pagar pembatas di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman yang dilengkapi dengan kawat berduri yang diolesi oli bekas, dengan maksud untuk mencegah orang menyeberang jalan.

Beberapa kasus diatas hanyalah sedikit contoh dari cerminan birokrasi kita yang mulai kebingungan dengan permasalahan yang dihadapi. Berbagai kebijakan yang telah ditempuh ternyata tidak menghasilkan dampak yang diharapkan. Sebaliknya, permasalahan sosial, ekonomi dan politik nampaknya makin bertambah banyak dan kompleks. Akibatnya, terjadilah kecenderungan birokrasi mencari pembenar atas tindakan yang sedang atau akan dilakukan, mencari kambing hitam atas kesalahan atau tanggung jawab yang ingin dihindari, serta mencari jalan termudah, tercepat dan termurah untuk meraih tujuan organisasi. Dengan kata lain, birokrasi kita dewasa ini menunjukkan tanda-tanda frustrasi yang cukup parah, yang diindikasikan oleh sikap pragmatisme yang berlebihan, tidak ramah dan cenderung arogan, kurang akomodatif terhadap aspirasi dan keluhan warga, tidak mampu menghasilkan terobosan kebijakan yang brilian, serta berpotensi menyimpang dari norma kepatutan, jika tidak dikatakan sebagai pelanggaran hukum.

Sebagai contoh, aksi pencopotan pelat nomor dalam kasus diatas tanpa seijin pemiliknya jelas-jelas merupakan perbuatan “merampas hak milik orang lain secara melawan hukum”, dan oleh karenanya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Demikian halnya pada kasus penggembokan mobil yang mengakibatkan pemiliknya tidak dapat memanfaatkan haknya secara sah, maka aksi tersebut dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana sabotase, atau minimal perbuatan yang tidak menyenangkan. Disamping itu, dilihat dari dimensi kepatutan, apa yang dilakukan Dishub DKI sangatlah tidak pantas dilakukan seorang birokrat negara.

Sama halnya dalam kasus kenaikan harga BBM. Suara banyak pakar tentang alternatif yang lebih pro-poor dan feasible secara ekonomis, seperti angin lalu dan tidak menimbulkan gema dan efek pembelajaran sedikitpun. Padahal, berbagai gagasan yang mereka lemparkan sangat penting untuk dipertimbangkan. Langkah-langkah seperti penjadualan pembayaran utang luar negeri, pemangkasan anggaran perjalanan dinas dan studi banding, penyelesaian kasus BLBI dan kredit macet kelas kakap, prioritasi ulang program pembangunan, efisiensi internal, dan sebagainya, tidak dapat dikesampingkan sebagai strategi penguatan kapasitas finansial negara.

Ironisnya, mereka tidak merasa bahwa perbuatan tersebut menyimpang dari kaidah normatif atau tata nilai apapun. Dishub DKI misalnya, menyatakan bahwa pencopotan pelat nomor dan penggembokan roda mobil tersebut sebagai keharusan, bukan sesuatu yang melanggar aturan karena dilindungi oleh instruksi Gubernur. Selain itu, tindakan ini merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi para pelanggar lalu lintas. Ini berarti bahwa jika upaya ini tetap tidak berhasil menertibkan lalu lintas Jakarta, maka tidak akan ada lagi kebijakan yang bisa diterapkan. Demikian halnya jika kenaikan harga BBM dipersepsikan sebagai jalan terakhir dan satu-satunya, maka jika kebijakan tadi ternyata tidak dapat menyelamatkan struktur APBN dan ekonomi nasional, maka secara logika, bangsa kita tinggal menunggu kehancuran karena tidak ada lagi kebijakan yang layak untuk dipilih.

Sekali lagi, hal ini memperkuat dugaan bahwa birokrasi kita sedang terjebak dalam sindrom frustrasi yang sangat dalam (frustrated bureaucracy).

Dengan kondisi birokrasi yang demikian, dapatkah kita sekarang mengatakan bahwa bangsa kita tengah mengalami hal yang sama, yakni frustrasi? Pertanyaan ini menjadi relevan, sebab masyarakatpun sesungguhnya pernah dan masih menunjukkan gejala frustrasi pula. Sebagai contoh, saking lelahnya menanti penegakan hukum yang benar-benar adil dan transparan yang tidak penah kunjung tiba, akhirnya aksi main hukum sendiri menjadi pilihan terakhir. Dalam hubungan ini, kasus-kasus membakar hidup-hidup pencuri yang tertangkap tangan, mengarak telanjang pelaku perzinahan, dan sebagainya harus ditafsirkan sebagai bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum nasional yang berlaku, dan bukan wujud masyarakat yang barbar dan biadab.

Demikian pula, manakala masyarakat telah bosan dengan praktek politik yang tidak pernah berpihak pada rakyat jelata serta penuh dengan berbagai trik dan intrik, kolusi dan korupsi, dagang sapi dan persekongkolan jahat lainnya, maka demonstrasi yang brutal atau bahkan anarki yang keji menjadi pilihan terakhir yang terbaik. Inipun harus ditafsirkan sebagai kegagalan sistem politik dalam menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang damai, tertib, sejahtera, serta memiliki hubungan yang harmonis dengan birokrasinya.

Dari kedua contoh terakhir ini dapatlah disimpulkan bahwa eskalasi rasa frustrasi akan makin membesar dan tidak terkendali jika terjadi kegagalan sistem hukum dan politik. Hal ini dapat dijadikan analogi bahwa terjadinya birokrasi yang frustrasi adalah akibat langsung dari kegagalan sistem administrasi publik atau sistem birokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan mencari kambing hitam sungguh berlebihan dan sangat tidak bijaksana. Yang harus dilakukan justru adalah pembenahan internal dan meningkatkan efektivitas kebijakan. Dalam konteks mencapai efektivitas kebijakan publik yang tinggi sekaligus mencegah terjadinya kegagalan birokrasi ini, gagasan debirokratisasi perlu diaktualisasikan kembali.

Debirokratisasi sendiri adalah gagasan tentang perlunya pemangkasan peran dan struktur birokrasi. Secara teoretis, birokrasi dapat dianalogikan dengan air. Ketika suhu air meningkat, air tersebut menjadi semakin panas. Seperti halnya birokrasi, semakin besar perannya dalam pembangunan dan semakin panjang rentang kendali yang dimiliki, maka makin rumitlah prosedur pelayanan. Oleh sebab itu, peran birokrasi harus dikurangi hingga titik tertentu, namun tidak menghilangkan sama sekali. Sebab, ketiadaan birokrasi juga dapat mengakibatkan situasi yang runyam. Sebagaimana air, hingga 40C air akan semakin dingin dan membeku. Namun begitu suhu diturunkan kembali, maka air tadi justru akan mencair. Dengan kata lain, baik air maupun birokrasi mengenal hukum anomali.

Satu hal yang perlu ditekankan juga adalah bahwa dalam masa transisi menuju demokrasi dewasa ini, birokrasi dituntut memiliki kesungguhan, optimisme dan perencanaan pembangunan yang matang. Tanpa modal ini, bukan tidak mungkin birokrasi kita dimasa mendatang akan semakin frustrasi. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar