Laman

Minggu, 01 Agustus 2010

Reformasi Birokrasi Melalui Spirit Kewirausahaan


Pendahuluan: Pemerintah Telah Bangkrut?

Birokrasi, selama ini dikenal sebagai suatu konsep yang sangat baik, efektif dan efisien, serta tidak mungkin mengalami kebangkrutan. Sebab, birokrasi didukung oleh berbagai sumber daya manajemen (7M IS) yang sangat kokoh dan besar. Namun kenyataannya, dewasa ini banyak tuntutan masyarakat luas maupun kalangan akademik yang menghendaki dilakukannya “reformasi, revitalisasi atau restrukturisasi” sektor publik, sebagai indikasi terjadinya “kebangkrutan” birokrasi.[1]

Berkaitan dengan potensi kebangkrutan birokrasi ini, pada tahun 1992 di Amerika Serikat terbit suatu buku ilmiah populer karangan David Osborne dan Ted Gaebler yang berjudul Reinventing Government. Buku yang kemudian banyak dijadikan sebagai referensi utama dalam merumuskan strategi revitalisasi dan atau reformasi sektor publik di negara-negara berkembang ini dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana pemerintah berada dalam kesulitan besar dan terancam “kebangkrutan”. Bahkan dalam kalimat pertama buku ini tertulis pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu apakah pemerintah telah mati?Dan ternyata, atas pertanyaan itu sebagian besar masyarakat AS memberikan jawaban “ya”.

Dalam konteks negara kita, tuntutan reformasi sistemik terhadap birokrasi bukanlah suatu kelatahan semata dari adanya program serupa di luar negeri, tetapi memang merupakan kebutuhan yang mutlak dalam rangka menghadapi persaingan global pada abad ke-21 nanti. Selain itu, dorongan melakukan reformasi juga diperkuat karena masih tingginya fakta berupa inefisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian, gagasan akan perlunya efisiensi sektor publik dan profesionalisme aparatur ini, jelas didasari oleh pemikiran bahwa pada pada masa yang akan datang, aparatur negara akan dihadapkan pada suatu kondisi obyektif yang menuntut daya saing (competitiveness) serta kecepatan, ketepatan dan keakuratan (effectiveness) penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan. Terlebih lagi jika diingat bahwa sumber daya yang dimiliki oleh birokrasi tetap terbatas, sementara tuntutan masyarakat terhadap jasa pelayanan umum (public service) semakin meningkat, maka adanya kondisi semacam ini apabila terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan membengkak menjadi gap atau kesenjangan, dan pada gilirannya akan menjauhkan birokrasi dari masyarakat yang harus dilayaninya.

Berdasarkan kondisi empiris tersebut, sudah saatnya bagi birokrasi – baik di negara maju maupun berkembang – untuk melakukan reorientasi, revitalisasi maupun reformasi dari fungsi-fungsi kepemerintahan dan pelayanannya. Beberapa negara yang telah mencoba melancarkan program reformasi ini antara lain Kanada dengan Public Service Reform 2000 (PS 2000), Malaysia dengan Visi 2020, atau juga negara kita yang pernah menyusun konsep Nusantara 21 yang kelanjutannya hingga saat ini tidak terdengar lagi.

Keseluruhan program reformasi sektor publik tersebut diatas, menjadi lebih fenomenal dengan lahirnya buku Reinventing Government (1992) karya Osborne dan Gaebler. Buku ini ditulis dan ditujukan bagi “para pencari” (inventors), yaitu mereka yang mengetahui ada ketidakberesan tetapi tidak yakin benar apa ketidakberesan tersebut; mereka yang telah mengetahui cara yang lebih baik tetapi tidak tahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan; mereka yang telah mengalami banyak kesuksesan tetapi sadar bahwa penguasa mengabaikan mereka; serta mereka yang punya pengertian kearah mana pemerintah harus berjalan tetapi tidak tahu bagaimana sampai kesana.

Dengan demikian, bagi orang-orang yang alergi terhadap perubahan, menata ulang pemerintahan merupakan gagasan yang sangat berani. Padahal seperti dikatakan oleh Herodotus, tidak ada sesuatu di dunia yang abadi, kecuali perubahan. Demikian pula yang berlaku bagi kelembagaan pemerintahan. Organisasi sektor publik selama ini biasa digolongkan kedalam corak organisasi mekanik (mechanism paradigm) yang menganggap organisasi sebagai suatu mesin yang bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang menekankan adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin mencapai taraf efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas pimpinan.

Paradigma mekanik ini pada kenyataannya sudah kurang sesuai dengan tuntutan kebutuhan di lapangan, sehingga perlu dikembangkan kearah corak organisasi organik (organism paradigm) yang memandang organisasi sebagai suatu sistem yang menekankan pada unsur manusia sebagai pelaku utama. Dalam model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas bukan merupakan aspek utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab produk (output) tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang dianggap lebih penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya keseimbangan antara faktor manusia dengan faktor lingkungannya.

Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa organisasi pemerintah atau organisasi sektor publik ternyata juga mengalami suatu proses perubahan yang tidak bisa dielakkan. Sebagai cotoh, dahulu tidak seorangpun berharap pemerintah menyantuni fakir miskin, namun sekarang sebagian besar pemerintah tidak hanya menyantuni fakir miskin tetapi juga mengeluarkan biaya pemeliharaan kesehatan dan pensiun bagi setiap warga negaranya. Kemudian, jika dahulu tidak ada satu pihakpun yang berharap pemerintah menanggulangi bencana kebakaran, maka dewasa ini tidak ada pemerintahan yang tanpa jawatan pemadam kebakaran. Disamping itu, jika dahulu pemerintah selalu menyediakan sarana investasi untuk kelancaran kegiatan ekonomi publik maupun swasta (misalnya penyediaan tanah untuk jalan raya, jalan kereta api, dan sebagainya), maka saat ini tidak seorangpun memimpikan hal itu.

Dengan dilandasi oleh keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efektif, Osborne dan Gaebler menawarkan sepuluh prinsip sebagai upaya reengineering pemerintahan, yaitu: pemerintahan katalis (catalytic government), pemerintahan milik rakyat (community owned government), pemerintahan yang kompetitif (competitive government), pemerintahan yang digerakkan oleh misi (mission driven government), pemerintahan berorientasi hasil (result oriented government), pemerintahan yang berorientasi pelanggan (customer driven government), pemerintahan wirausaha (enterprise government), pemerintahan antisipatif (anticipatory government), pemerintahan desentralisasi (decentralized government), dan pemerintahan yang berorientasi pasar (market oriented government).

Melalui 10 prinsip tersebut, Osborne dan Gaebler yakin bahwa suatu negara akan mampu membangkitkan kembali semangat dan energi baru bagi birokrasinya. Secara singkat, inti ajaran yang tertuang dalam 10 prinsip tersebut adalah bagaimana menginjeksikan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ke tubuh birokrasi.

Meskipun secara konsepsional para pakar diatas telah memberikan garis-garis besar mengenai program reformasi sektor publik, namun perlu dipahami juga bahwa aparatur pemerintah dimasing-masing negara memiliki nuansa-nuansa yang secara kontekstual berbeda. Oleh karena itu, implementasi prinsip-prinsip kewirausahaan birokrasi perlu kita sikapi secara bijaksana, dalam pengertian bahwa tujuan hakiki program reformasi sesungguhnya adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk mewirausahakan birokrasi semata-mata.

Hal ini sesuai pula dengan kekhawatiran Osborne dan Plastrik dalam bukunya Banishing Bureaucracy (1996) yang mengemukakan adanya mitos dalam program reformasi sektor publik. Maksudnya, jangan sampai terjadi bahwa program reformasi yang sedang diselenggarakan ternyata tidak atau kurang membawa hasil sebagaimana yang diinginkan.

Untuk itu, maka improvisasi sumber daya manusia sektor publik perlu diupayakan secara terus menerus dan sistematis, sehingga akan mampu melaksanakan program reformasi secara tepat guna dan berhasil guna. Terlebih lagi jika diingat bahwa kondisi lingkungan strategis organisasi pemerintah telah demikian berkembang, maka eksistensi dari aparatur yang bersih dan berwibawa, handal, bermental baik, serta efektif dan efisien, jelas merupakan keniscayaan.


Asumsi dan Urgensi Pemerintahan Wirausaha

Meskipun demikian, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa perumusan sepuluh prinsip diatas, serta perlunya implementasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, menurut Osborne dan Gaebler, didasari oleh beberapa asumsi dasar sebagai berikut:

1.            Bahwa pemerintah merupakan mekanisme koordinasi dan mekanisme pengambilan keputusan secara kolektif (state mechanism). Sebagai contoh dapat ditunjukkan misalnya dalam hal pembangunan jalan raya; penanganan masalah-masalah pengangguran, kebodohan, kemiskinan, kejahatan; serta upaya-upaya perlindungan lingkungan, perlindungan badan dan hak milik, perlindungan polisi dan jalan raya, pertahanan nasional, dan sebagainya.
2.            Bahwa mekanisme masyarakat dan mekanisme pasar (market mechanism) tidak akan berfungsi secara efektif tanpa pemerintahan yang efektif pula.
3.            Bahwa yang menjadi masalah pokoknya bukan terletak kepada orang atau manusia yang bekerja pada pemerintahan, melainkan sistem tempat mereka bekerja.
4.            Bahwa liberalisme tradisional maupun konservatisme tradisional tidak banyak relevansinya dengan masalah yang dihadapi pemerintah saat ini. Artinya, upaya menciptakan birokrasi pemerintahan yang baru atau upaya swastanisasi birokrasi, bukan merupakan pilihan yang sifatnya “hitam putih” atau keharusan mutlak antara ya dan tidak. Akan tetapi makna yang tersirat dalam berbagai upaya tadi adalah bagaimana menata ulang pemerintah agar menjadi lebih efisien.
5.            Bahwa keadilan adalah untuk semua orang. Artinya, dengan menciptakan pemerintah yang kompetitif, keadilan (distributif) masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam hal pelayanan umum justru akan semakin meningkat, bukan sebaliknya.

Gagasan Osborne dan Gaebler untuk menyuntikkan semangat kewirausahaan ke sektor publik mengambil dasar konsepsional J.B. Say (1800), yang mengatakan bahwa kewirausahaan (entrepreneur) adalah pemindahan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksikmalkan produktivitas dan efektivitas. Disamping itu, perlu digarisbawahi bahwa wirausaha selalu identik dengan risk taker (pengambil resiko). Seorang wirausahawan sesungguhnya bukan penanggung resiko, melainkan akan mencoba mendefinisikan resiko yang harus dihadapi serta menimimalkan sebanyak mungkin resiko tersebut.

Kembali kepada latar belakang penulisan buku Reinventing Government seperti telah disinggung pada awal bab ini, Osborne dan Gaebler menemukan data bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Amerika Serikat terhadap pemerintah telah berada pada titik yang kritis. Sebagai contoh, hanya 5 % orang Amerika yang akan memilih jabatan dalam pemerintahan; 13 % pegawai tinggi federal yang merekomendasikan karier pegawai negeri; hampir tiga perempat orang Amerika menyatakan keyakinannya bahwa pemerintah mengeluarkan nilai dollar yang lebih rendah dibanding 10 tahun sebelumnya. Disamping itu, sekitar tahun 1990-an, banyak negara-negara bagian yang mengalami defisit anggaran yang sangat parah, serta terjadi pemberhentian ribuan pekerja. Dengan kondisi seperti itu, masyarakat yang telah geram melihat performansi pemerintah, berubah menjadi apatis.

Meskipun demikian, masih ada harapan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pemerintah diatas. Harapan ini adalah munculnya lembaga-lembaga kemasyarakatan baru yang cukup ramping, terdesentralisasi dan inovatif. Lembaga baru ini juga memiliki sifat fleksibel, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta cepat mempelajari cara-cara baru bila keadaan berubah. Disamping itu, lembaga ini juga memanfaatkan kompetisi, pilihan konsumen, dan mekanisme non birokratis lainnya untuk menjalankan segala sesuatu dengan sekreatif dan seefektif mungkin. Inilah yang bagi Osborne dan Gaebler merupakan harapan masa depan bentuk pemerintahan yang ideal.

Sebaliknya, bentuk pemerintahan dengan sistem birokrasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan (bukannya berorientasi misi), serta rantai hierarkhi komando yang rigid, tidak lagi berjalan dengan baik. Artinya, konsepsi birokrasi yang dirumuskan oleh Weber telah berbalik 180 derajat dengan tuntutan dunia kontemporer saat ini.

Untuk waktu kurang lebih 100 tahun yang lalu, memang makna birokrasi sangat positif, dimana birokrasi bermakna sebagai suatu metode organisasi yang rasional dan efisien. Hal ini mengandung pengertian bahwa dengan otoritas hierarkhis dan spesialisasi fungsional yang melekat pada dirinya, birokrasi memiliki kemungkinan untuk melaksanakan tugas-tugas besar dan kompleks secara efisien. Bahkan Weber menegaskan keunggulan organisasi birokrasi sebagai berikut:

Alasan yang jelas bagi kemajuan organisasi yang birokratis selalu berupa keunggulan teknisnya atas bentuk organisasi lain manapun …. Ketepatan, kecepatan, kejelasan ….. pengurangan friksi dan biaya material maupun personal – semua ini ditingkatkan sampai titik optimum dalam pemerintahan yang sangat birokratis.

Dalam prakteknya, bentuk organisasi pemerintah birokratis ini masih dapat menciptakan efektivitas dan efisiensi hanya pada fase-fase awal dari pembentukan negara modern, khususnya pada fase-fase dimana terjadi perang antar negara (Perang Dunia I dan II) serta dimana kondisi sosial ekonomi maupun politik negeri tersebut masih diributkan oleh persaingan antar suku dan perburuan ambisi pribadi atau kelompok. Namun dalam komunitas masyarakat maju saat ini, jika sistem maupun mekanisme pemerintahan birokratis masih dipertahankan, dapat diyakini bahwa pemerintah akan mengalami “kebangkrutan”.

Untuk itu, pemerintahan birokratis perlu digiring dan diarahkan kepada bentuk pemerintahan wirausaha, yang menurut Osborne dan Gaebler memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

…… pemerintahan wirausaha mendorong kompetisi antar pemberi jasa. Mereka memberi wewenang kepada warga dengan mendorong adanya kontrol dari birokrasi kedalam masyarakat. Mereka mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan masukan. Mereka digerakkan oleh tujuannya – missi mereka – bukan oleh ketentuan dan peraturan. Mereka mendefinisikan kembali klien mereka sebagai pelanggan dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan. Mereka lebih suka mencegah masalah sebelum muncul, ketimbang hanya memberi servis sesudah masalah itu muncul. Mereka mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya. Mereka mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan manajemen partisipasi. Mereka lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme birokratis. Dan mereka tidak hanya memfokuskan pada pengadaan perusahaan negara, tetapi juga pada mengkatalisasi semua sektor – pemerintah, swasta, dan lembaga sukarela – kedalam tindakan untuk memecahkan masalah masyarakatnya.


Pelayanan Birokrasi dan Tantangan Kewirausahaan

Fungsi utama dari eksistensi pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan ciri utama dari bentuk negara kesejahteraan (welfare state) yang banyak dianut oleh negara-negara di dunia dewasa ini. Oleh karena mengemban fungsi pelayanan dan kesejahteraan, pemerintah “tabu” untuk mencari keuntungan atau profit di sela-sela tugasnya tersebut. Inilah sebabnya, dalam penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintahan maupun tugas pembangunan, pemerintah telah memiliki input-input atau sumber daya manajemen yang permanen sifatnya. Sebagai contoh, ketersediaan anggaran yang ditetapkan setiap tahunnya, akan dapat memenuhi kebutuhan untuk gaji pegawai negeri, belanja barang dan mesin-mesin, serta biaya operasional dari kegiatan yang dilakukan.

Akan tetapi perlu diingat bahwa ketersediaan dan pertambahan sumber daya bagi pemerintah sangatlah terbatas, dibandingkan dengan peningkatan tuntutan pelayanan masyarakat yang makin variatif dan disertai dengan standar kualitatif. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika akhir-akhir ini banyak sekali berkembang pemikiran para pakar yang menghendaki adanya perubahan orientasi pemerintahan yang lebih menekankan kepada fungsi-fungsi katalisasi, antisipasi, demokratisasi maupun desentralisasi. Hal ini didasarkan pada suatu fakta empiris bahwa disatu pihak proses pembangunan selama ini telah berhasil meningkatkan tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat; dan dipihak lain mendorong pula terbentuknya suatu masyarakat modern yang berpandangan kritis dengan berbagai macam tuntutan baru yang menyertainya. Kondisi seperti ini jelas merupakan kebanggaan nasional, sekaligus sebagai bukti bahwa strategi pembangunan yang ditempuh selama ini telah mencapai sasarannya. Meskipun demikian, kondisi tersebut juga menjadi tantangan yang sangat berat bagi aparatur pemerintah untuk selalu mengimbangi kemajuan masyarakat yang begitu pesat.

Dengan demikian jelaslah bahwa adanya perubahan orientasi fungsi pemerintahan tadi, pada dasarnya bertujuan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kesenjangan antara tuntutan pelayanan masyarakat dengan kemampuan aparatur pemerintah untuk memenuhinya. Atau dapat dikatakan pula bahwa program “reformasi sektor publik” pada akhinya diharapkan dapat menghasilkan output akhir berupa peningkatan kinerja pelayanan umum (public service).

Tuntutan adanya peran baru pemerintah diatas sesungguhnya merupakan gejala yang wajar, mengingat bahwa sarana dan prasarana (sumber daya) yang dimiliki oleh pemerintah sangat terbatas. Sementara itu, keterbatasan dalam hal sarana dan prasarana tidak dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tentang rendahnya kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks seperti inilah, maka setiap jajaran aparatur perlu berpikir dan mencari alternatif terbaik bagaimana mengatasi kendala yang ada tanpa mengurangi makna dan hakikat pelayanannya. Ini berarti juga bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka pelayanan kepada masyarakat, atau memberikan nilai tambah (added value) terhadap jasa pelayanan yang telah ada sebelumnya. Strategi seperti inilah yang antara lain disarankan oleh Ikujiro Nonaka dan Takeuchi (1996), yang disebut dengan Value Creation Management.

Disamping perkembangan dinamika kemasyarakatan, pemerintah juga dihadapkan kepada tantangan pertumbuhan sektor swasta yang makin memiliki daya saing unggul. Konsekuensinya, pemerintah perlu meningkatkan daya siangnya agar masyarakat tidak berpaling kepada swasta dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan umumnya. Atau, kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah merupakan syarat tetap terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan pelayanan umumnya. Jika hal ini terjadi, maka terbuktilah kekhawatiran kita tentang “kebangkrutan birokrasi”.

Dalam rangka membentuk kemandirian pemerintah pada seluruh aspeknya, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat inilah, maka pemerintah perlu memiliki semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Jadi, jiwa wirausaha semula hanya dimiliki oleh sekelompok pengusaha yang tidak memiliki fasilitas-fasilitas tertentu, tetapi ingin memperoleh hasil maksimal dari usahanya. Oleh karenanya, logis jika aparatur kurang memiliki semangat ini karena dalam penyelenggaraan tugas-tugasnya telah tersedia berbagai fasilitas pendukung terutama dari segi anggaran atau budget. Mengingat perbedaan yang cukup mendasar antara organisasi publik yang bersifat nirlaba dengan organisasi privat yang mencari laba inilah, maka organisasi pemerintah perlu pula menerapkan cara kerja atau manajemen seperti yang dianut oleh organisasi sektor privat. Dengan kata lain, jiwa wirausaha ini sesungguhnya lebih banyak dipunyai oleh swasta dari pada kalangan pemerintahan, sehingga transformasi semangat kewirausahaan dapat dikatakan pula sebagai mengelola sektor publik sebagaimana halnya mengelola suatu usaha swasta atau perusahaan.

Dalam hubungan ini, kasus penetapan suatu unit kerja pemerintah sebagai unit swadana (berdasarkan Keppres Nomor 38/1991) dapat dikategorikan sebagai terobosan yang sangat penting dalam perspektif ilmu administrasi negara. Artinya, prinsip pemerintahan wirausaha diinjeksikan atau diinduksikan kepada unit swadana, sehingga unit kerja ini akan memperoleh manfaat berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kegitan pelayanan yang diselenggarakannya.

Penetapan unit kerja pemerintah sebagai unit swadana dikatakan merupakan terobosan penting, sebab dewasa ini pilihan jasa kepada masyarakat semakin beragam dan tidak lagi dikuasai oleh unit-unit pelayanan jasa pemerintah secara monopolistik, melainkan telah tumbuh organisasi pelayanan swasta sebagai pesaing atau kompetitor sektor publik. Iklim persaingan ini tentu saja merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi unit swadana untuk bertahan hidup. Dikatakan sebagai peluang karena unit swadana dengan berbagai fasilitas yang ada padanya memiliki potensi untuk berkembang; sementara dikatakan sebagai tantangan karena apabila unit swadana tidak mampu meningkatkan profesionalisme kerjanya, maka ia akan ditinggalkan oleh para pelanggan atau pemakai jasanya.


Pengertian, Ruang Lingkup, dan Karakteristik Kewirausahaan

Pengertian entrepreneur (kewirausahaan) menurut Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1992: 472 – 473) adalah pengusaha yang mampu melihat peluang, mencari dana serta sumber daya lain yang diperlukan untuk menggarap peluang tersebut, dan berani menanggung resiko yang berkaitan dengan pelaksanaannya. Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Perancis entreprende yang berarti mengejar peluang, mengisi kebutuhan melalui inovasi dan menjalankan usaha.

Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Richard Cantillon dalam bukunya yang berjudul Essai sur la Nature du Commerce en General (1755), yang menyatakan bahwa entrepreneur / kewirausahaan adalah orang yang mengambil resiko dengan jalan membeli barang dengan harga tertentu dan menjualnya dengan harga yang belum pasti. Dalam pengertian Cantillon ini, karakteristik utama wirausaha adalah keberaniannya mengambil resiko, perannya mengambil keputusan untuk mendapatkan dan menggunakan sumber daya, kegiatannya mencari peluang yang terbaik untuk menggunakan sumber daya agar memperoleh hasil yang terbesar.

Dalam bahasa Jerman, kata entrepreneur adalah unternehmer dan kata bahasa Inggris yang paling mendekati maknanya dipandang dari sudut sejarah berasal dari kata “projector” yang diartikan sebagai “yang membuat proyek dimasa mendatang yang menanggung resiko dalam pernyataannya”.

Dengan demikian para pembuat teori ekonomi dan para penulis pada masa ini sepakat bahwa entrepreneur ialah mereka yang memulai sebuah usaha baru dan yang berani menanggung segala macam resiko, serta mereka yang mendapatkan keuntungannya. Pada tahap selanjutnya, penggunaan istilah entrepreneur makin populer sekitar tahun 1800 yang digunakan untuk menggambarkan pengusaha-pengusaha yang mampu memindahkan sumber-sumber ekonomis dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi, dan yang menghasilkan lebih banyak. Dalam hal ini, entrepreneur memiliki fungsi dalam arti luas yang menekankan pada fungsi penggabungan faktor-faktor produksi dan perlengkapan manajemen yang kontinyu disamping sebagai penanggung resiko.

Selanjutnya mengenai pengertian entrepreneur ini, Adam Smith (1776) berpendapat bahwa wirausaha adalah pembangunan organisasi untuk kepentingan komersial. Dalam pandangan dia, seorang wirausaha adalah seorang industrialis. Wirausaha adalah orang yang luar biasa dalam hal penglihatannya ke masa depan, mampu mengenali kebutuhan/permintaan atas barang atau jasa. Wirausaha bereaksi atas perubahan ekonomi, seorang pelaku perubahan ekonomi yang mengadakan transpormasi permintaan menjadi penawaran (penyediaan barang /jasa).

Dari berbagai definisi yang diungkapkan para pakar manajemen bisnis dan administrasi negara, dapat disajikan mengenai wirausaha dan atau kewirausahaan sebagai berikut:

  • Wirausaha adalah seseorang yang memiliki seni dan ketrampilan untuk menciptakan perusahaan, yang memiliki penglihatan atas kebutuhan masyarakat dan mampu memenuhinya (Jean Baptiste Say, 1803).
  • Wirausaha adalah pencipta bisnis. Pengertian ini diperluas dengan aspek kepemilikan bisnis tersebut diwaktu selanjutnya (John Stuart Mill, 1848).
  • Wirausaha melakukan “perusakan kreatif” (creative destruction) dengan menciptakan cara yang baru dan lebih baik. Wirausaha adalah orang yang menciptakan cara baru dalam mengorganisasikan proses produksi. Jadi Wirausaha adalah seorang inovator produksi. Inovasi inilah yang menjadi inti dari ekonomi modern. Wirausaha tidak harus seorang inventor (penemu). Wirausaha tidak harus seorang kapitalis. Wirausaha tidak sama perannya dengan manajer. Kewirausahaan adalah suatu proses. Kewirausahaan tidak dapat diwariskan seperti halnya harta (Joseph Schumpeter, tulisan antara 1911 s.d. 1950).
  • Wirausaha adalah mereka yang gagal menempuh tangga peran atau jabatan yang tradisional di masyarakat. Untuk itu ia menyalurkan kreativitasnya dengan menciptakan perusahaan yang unik miliknya. Wirausaha mengorganisir bisnis baru yang sebelumnya tidak ada (Orvis Collins dan David Moore, 1964).
  • Seorang wirausaha adalah orang yang memiliki dorongan, ambisi, energi dan motivasi untuk memberi suatu usaha kecil dobrakan kuat yang diperlukan untuk berhasil (Robinson, 1966).
  • Wirausaha selalu mencari perubahan, menanggapinya, dan memanfaatkannya sebagai suatu kesempatan. Para wirausaha melihat suatu perubahan sebagai suatu norma hidup atau tingkah laku standard, dan suatu yang sehat. Kewirausahaan tidak hanya di perusahaan swasta yang beroientasi mencari laba, melainkan di lembaga nirlaba dan pemerintahan. Masih banyak lagi upaya untuk mendeskripsikan siapa itu wirausaha, dimaman ada yang sangat semmpit pengertiannya, misalnya hanya yang mendirikan usaha bisnis baru dan ada yang sangat luas, misalnya siapa saja yang melakukan inovasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam membicarakan wirausaha dan kewirausahaan, harus lebih dahulu ditetapkan apa yang kita maksud dengan kata tersebut (Peter Drucker, 1985).
  • Entrepreneurship adalah proses dinamik untuk menciptakan kekayaan inkremental (incremental wealth), dimana kekayaan tersebut diciptakan oleh individu-individu yang menghadapi resiko besar sehubungan dengan modal, waktu dan / atau komitmen karir atau yang memberikan nilai bagi produk atau jasa tertentu (Ronstandt, dalam Winardi, 1995: 4)
  • Entrepreneurship is the process of creating something different with value by devoting the necessary time and effort assuming the accompanying financial, physic and social risks, and receiving the resulting reward of monetary and personal satisfaction (Winardi).

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditemukan beberapa karakteristik utama entrepreneur seperti dikemukakan oleh Burch (1986: 28-29) sebagai berikut:

  • Dorongan berprestasi, dalam arti bahwa semua entrepreneur yang berhasil, memiliki keinginan besar untuk mencapai suatu prestasi.
  • Bekerja keras, dalam arti bahwa sebagian besar entrepreneur mabuk kera demi mencapai sasaran yang ingin dicapai.
  • Memperhatikan kualitas, dalam arti bahwa entrepreneur manangani dan mengawasi sendiri bisnisnya sampai mandiri, sebelum iamuali dengan usaha yang baru.
  • Sangat bertanggungjawab, dalam arti bahwa entrepreneur secara legal, moral maupun mental sangat bertanggungjawab atas usaha mereka.
  • Berorientasi pada imbalan, dalam arti bahwa entrepreneur mau menunjukkan prestasi, kera keras dan bertanggungjawab, dan mereka mengharapkan imbalan yang sepadan dengan usahanya. Imbalan ini tidak hanya berupa uang, tetapi juga pengakuan dan penghormatan.
  • Optimis, dalam arti bahwa entrepreneur hidup dengan doktrin semua waktu baik untuk berbisnis, dan segala sesuatu adalah mungkin.
  • Berorientasi pada pada hasil karya yang baik (excellent oriented), dalam arti bahwa entrepreneur seringkali ingin mencapai sukses yang menonjol dan menuntut segala yang first class.
  • Mampu mengorganisasikan, dalam arti bahwa entrepreneur mampu memadukan bagian-bagian dari usahanya dalam rangka mencapai hasil maksimal bagi usahanya, mereka umumnya diakui sebagai “komandan” yang berhasil.
  • Berorientasi pada uang, dalam arti bahwa entrepreneur mengear uang tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan pengembangan usahanya saja, tetapi juga dilihat sebagai ukuran prestasi kerja dan keberhasilan.

Dalam hal pembahasan mengenai karakteristik kewirausahaan ini, V. Winarto (1997) menyebutkan bahwa sama nasibnya dengan mencari kesepakatan tentang pengertian wirausaha, upaya mencari karakteristik wirausaha menghasilkan banyak variasi karakteristik. Misalnya Rao menghasilkan daftar karakteristik pribadi wirausaha (Personality Charecteristics of Entrepreneurs) sebanyak 57 karakteristik. Yang lebih membuat sulit menemukan suatu kesepakatan karakteristik wirausaha adalah adanya kenyataan sebagai berikut:

·         Wirausaha yang berhasil tidak selalu mempunyai semua karakteristik yang disebutkan pelbagai ahli.
·         Karakteristik yang disebut sebagai karakteristik wirausaha juga dimiliki oleh bukan wirausaha bisnis, misalnya dimiliki oleh seorang guru besar, peneliti ahli atau wiraniaga (salesman) jagoan.

Salah satu pengupaya pencarian karakteristik pribadi wirausaha yang terkenal adalah David McCleland. Disimpulkan bahwa ada korelasi yang positif antara tingkah laku orang yang memiliki motuf prestasi (need for achievement) tinggi dan tingkah laku wirausaha. Karakteristik orang dengan motif prestasi yang tinggi adalah:

·         Memilih resiko moderat, dalam arti bahwa dalam tindakannya dia memilih melakukan sesuatu yang ada tantangannya, namun dengan kemungkinan keberhasilan yang dianggapnya cukup tinggi.
·         Mau mengambil tanggung-jawab pribadi, dalam arti bahwa kegagalan yang terjadi tidak dialihkan tanggung jawabnya pada “kambing hitam”.
·         Mencari dan mau menerima umpan balik.
·         Berusaha mencari cara-cara baru untuk melakukan sesuatu.

Upaya untuk mengungkapkan karakteristik utama wirausaha juga dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan teori letak kendali (locus of control) yang diketengahkan oleh J.B. Rotter. Teori letak kendali menggambarkan bagaimana meletakkan sebab dari suatu kejadiaan dalam hidupnya. Apakah sebab kejadiaan tersebut oleh faktor dalam dirinya dan dalam lingkup kendalinya, atau faktor di luar kendalinya.

Rotter membuat dua kategori letak kendali, yaitu internal dan eksternal. Pada orang yang letak kendalinya eksternal akan beranggapan keberhasilan tidak semata tergantung pada usaha seseorang, melainkan juga oleh keberuntungan, nasib, atau ketergantungan pada pihak lain, karena adanya kekuatan besar disekeliling seseorang. Pada orang internal, yang bersangkutan beranggapan bahwa dirinya mempunyai kendali atas apa yang akan dicapainya. Karakteristik tipe internal sejalan dengan karakteristik wirausaha, misalnya lebih cepat mau menerima pembaharuan (inovasi).

Management Systems International menyebutkan karakteristik pribadi wirausaha (personal entrepeneraurial charactheristics) sebagai berikut:

·         Mencari peluang (opportunity seeking)
·         Keuletan (persistence )
·         Tanggung Jawab terhadap pekerjaan (commitment to the work contract )
·         Tuntutan atas kualitas dan efisisensi (demand for quality and efficency )
·         Pengambilan resiko (risk taking )
·         Menetapkan sasaran (goal setting )
·         Mencari informasi (information seeking )
·         Perencanaan yang sistematis dan pengawasannya (systematic planning and monitoring )
·         Persuasi dan jejaring / koneksi (persuasion and networking).
·         Percaya diri (self confidence).
·         Kecenderungan untuk berkreasi (creativity).

Sementara itu Dalam praktek kehidupan bisnis, Danhof sebagaimana dikutip Winardi menyajikan empat tipe entrepreneurship sebagai berikut:

1)      Innovating Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh pengumpulan informasi secara agresif dan analisis hasil-hasil yang diperoleh melalui kombinasi baru faktor-faktor produksi. Orang-orang dalam kelompok ini seringkali bersifat agresif dalam aktivitas eksperimentasi dan mereka sangat giat untuk mempraktekkan kemungkinan-kemungkinan yang atraktif.
2)       Imitative Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh kesediaan untuk meniru inovasi-inovasi yang berhasil yang dilaksanakan oleh para innovating entrepreneurs.
3)      Fabian Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh sikap hati-hati berlebihan dan skeptisisme (mungkin tak lain dari “inersin”) yang hanya akan melakukan imitasi apabila jelas sekali terlihat bahwa apabila tindakan peniruan tersebut tidak dilakukan, hal itu akan menyebabkan kerugian dalam posisi relatif perusahaan yang bersangkutan.
4)      Drone Entrepreneurship
Ia dicirikan oleh sikap menolak peluang-peluang untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam rumus produksi, sekalipun sikap demikian akan menyebabkan hasil perusahaan yang bersangkutan merosot dibandingkan dengan hasil yang diraih produsen-produsen lain.

Perilaku entrepreneur berkaitan erat dengan konsep kebutuhan untuk berprestasi (achievement motive) yaitu bahwa manusia ingin mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya. Motif pengembangan diri ini muncul dalam bentuk umpamanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang kompeten dan berhasil.

Dalam perspektif yang lebih sempit, seorang entrepreneur mengorganisasikan dan mengoperasikan sebuah perusahaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia membayar harga-harga yang berlaku untuk bahan-bahan yang dikonsumsi di dalam perusahaannya untuk penggunaan tanah, jasa-jasa pribadi yang dimanfaatkannya dan untuk modal yang digunakan olehnya. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-20 muncul pandangan seorang entrepreneur sebagai inovator sebagaimana dikatakan Schumpeter (dalam Winardi, 1995: 3) sebagai berikut:

“……… fungsi para entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara lebih umum sebuah kemungkinan teknologikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru atau memproduksi sebuah komoditi lama dengan cara baru, membuka sebuah sumber baru supali bahan-bahan atau suatu penyaluran baru bagi produk-produk atau mereorganisasi sebuah industri baru ……..”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa entrepreneur dan entrepreneurship sangat erat kaitannya dengan proses inovasi dalam organisasi. Inovasi tersebut dapat berupa penghematan modal (capital saving), penghematan tenaga kerja (labor saving) atau bersifat netral yang dipandang dari kedua macam input tersebut. Oleh karena itu, entrepreneurial tidak hanya dibutuhkan di organisasi-organisasi bisnis, tetapi juga di organisasi pemerintah, khususnya lembaga-lembaga pelayan masyarakat. Termasuk organisasi yang memerlukan semangat entrepreneurial adalah unit-unit kerja yang memperoleh pelimpahan wewenang untuk menyelenggarakan pelayanan jasa tertentu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Drucker (1988: 192) bahwa:

“….. lembaga pelayanan masyarakat seperti kantor pemerintah, serikat buruh, universitas, gereja, begitu juga sekolah, rumah sakit, organisasi masyarakat dan soaial, asosiasi profesi dan perdagangan atau sejenisnya, perlu menjadi wiraswasta dan inovatif, sebagaimana halnya lembaga bisnis. Tidak disangsikan lagi, mereka mungkin bahkan lebih memerlukannya. Perubahan yang pesat dalam masyarakat kita sekarang ini, dalam bidang teknologi ataupun dalam bidang perekonomian merupakan ancaman yang semakin besar terhadap lembaga tersebut, namun juga merupakan peluang yang semakin besar pula ".

Suatu pemerintahan yang menerapkan prinsip entrepreneurship merefleksikan adanya manajemen pemerintah yang selalu mencari cara-cara yang efektif dan efisien, bersedia meninggalkan program dan proyek yang sudah kadaluwarsa, bersifat inovatif, kreatif, serta berani mengambil resiko meskipun tidak berarti harus selalu terdapat resiko. Namun demikian, satu hal yang perlu ditekankan disini adalah, meskipun lembaga pelayanan publik (pemerintah) lebih dibatasi oleh tugas-tugas suci untuk kepentingan umum, namun semangat dan jiwa kewirausahaan tetap diperlukan guna mengoptimalkan produktivitas kerja karyawan dan organisasi, sekaligus meminimalisir inefisiensi dalam organisasi.


Mitos Dalam Kewirausahaan

Kewirausahaan sebagai suatu konsep yang relatif baru masih sering dimengerti kurang tepat di masyarakat. Berikut ini daftar mitos kewirausahaan yang dikumpulkan oleh Michel Robert dan Alan Weiss, dan sejumlah bukti yang dikumpulkan dari pelbagai sumber yang menentang mitos tersebut (Winarto, 1997). Mitos disini dimaksudkan bahwa hal-hal tersebut sering dipersepsikan ada keterkaitan dengan kewirausahaan, padahal sesungguhnya tidak seperti yang dipersepsikan tersebut. Beberapa mitos yang berhubungan dengan masalah kewirausahaan dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.            Wirausaha adalah pengambil resiko besar. Wirausaha bukan pengambil resiko besar, melainkan seorang yang menghitung resiko yang akan diambilnya. Tantangan ada namun dengan upaya akan dapat dicapai. Dan wirausaha bijaksana dalam memilih resiko, ia bukan pejudi.
2.            Wirausaha adalah pemilik usaha, bukan pegawai. Yang mengubah restoran “fast-food“ Mc.Donald’s menjadi raja dibidang franchising adalah Ray Kroc, pimpinan perusahaan, dan bukan pemiliknya yaitu McDonald bersaudara. Dan Intrepreneur di dalam perusahaan bukanlah pemilik.
3.            Inovasi hanya di perusahaan kecil. Inovasi dilakukan dengan keterampilan atau keahlian dan bukan pembawaan atau milik budaya tertentu ia dilakukan dimana-mana. Dan Musuh inovasi adalah birokrasi yang terdapat di perusahaan besar dan kecil.
4.            Inovasi adalah gagasan besar. Sebagaian keberhasilan besara dimulai dari gagasan baru yang sederhana misalnya “walkman” muncul sebagai produk baru yang sukses berasal dari keinginan tetap mendengar musik secara pribadi selagi main tenis.
5.            Wirausaha adalah pencetus gagasan saja, dalam arti bahwa seorang inovator terjun langsung menerapan gagasannya.
6.            Wirausaha menyediakan sarananya, termasuk modal sendiri. Ini berarti bahwa wirausaha tida sama dengan kapitalis, dan bahwa wirausaha menggunakan sarana yang ada dengan cara baru.
7.            Inovasi datang mencuat bagai kilat dari seorang genius. Ray Kroc memperbaharui bisnis hamburer dengan mengadakan pengamatan terus menerus atas restoran Mc.Donald’s. Selain itu, Fred Smith menghasilkan “undergraduate thesis” model distribusi barang kiriman kecil (parcel).
8.            Wirausaha dilahirkan dan kewirausahaan tidak dapat dilatihkan. Ini berarti bahwa seperti keterampilan dokter atau pengacara, keterampilan kewirausahaan dapat dilatihkan dan dikembangkan. Dalam konteks seperti inilah, maka diklat-diklat kewirausahaan seperti yang sedang diselenggarakan ini menjadi sangat penting sebagai wahana mencetak tenaga-tenaga profesional dan berorientasi kepada pencapaian kinerja dan produktivitas organisasi.


Kewirausahaan dan Peran Manajer

Dari beberapa paparan yang telah disajikan diatas dapatlah disimpulkan bahwa tuntutan kedepan untuk menghadapi globalisasi bagi organisasi adalah bagaimana menginjeksikan semangat kewirausahaan kedalam dirinya. Otomatis hal ini mengandung implikasi bahwa para pegawai yang tergabung dalam organisasi tersebut (terutama para manajernya), perlu menguasai benar praktek-praktek kewirausahaan guna meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.

Sebagaimana dikatakan Winarto (1997), peran wirausaha pendiri adalah melahirkan suatu organisasi baru, baik sendiri maupun bersama suatu kelompok. Setelah lahir maka wirausaha pendiri melakukan upaya pengembangan organisasi hingga sampai suatu titik dimana diharapkan organisasi tidak lagi tergantung pada si pendiri. Dalam perjalanan organisasi diperlukan manajemen yang akan menguatkan organisasi dengan sistem manajemen dan mengurangi, ketidak pastian dan ketergantungan pada faktor subjectivitas manusia, khususnya subjektivitas pendiri. Ketergantungan pada orang diganti dengan ketergantungan pada sistem dan prosedur yang berlaku bagi siapapun juga secara seragam.

Dalam era sekarang ini pelbagai upaya telah dilakukan, khususnya di perusahaan besar, untuk mengembangkan sistem dan budaya organisasi yang dapat menampung: manajemen yang baik dan juga adanya kewirausahaan. Hal ini tidak mudah, namun cukup penting untuk diperhatikan. Salah satu pola yang ada untuk menampung kewirausahaan di dalam organisasi mapan adalah adanya wirausaha-intra (intrapreneurs). Pengembangan kewirausahaan di dalam perusahaan dapat terjadi pada tiga tingkatan, yaitu:

·         Individu (intrapreneurs / product champions)
·         Kelompok kerja (entrepreneurs team / skunkworkas)
·         Organisasi / Perusahaan (entrepreneurial organization)

Selanjutnya Winarto mengemukakan bahwa suatu organisasi yang mapan cenderung mengikuti karakteristik suatu birokrasi yang baik, yaitu effisien dan kepastian. Untuk itu menekankan adanya peran formal, peraturan, pembagian kerja, spesialisasi, dan hirarki. Hal ini dapat dianalogikan bagai suatu kapal di lautan yang makin besar kapal tersebut makin kompleks perannya, peraturannya, pembagian kerjanya, spesialisasinya dan panjangnya tingkat hirarki. Kapal tersebut akan lamban dalam gerakan mengubah haluan untuk menyesuaikan dengan situasi.

Organisasi besar yang berwirausahaan akan mengubah dirinya tidak lagi sebagai satu kapal besar, melainkan sebagai suatu armada yang terdiri dari banyak kapal. Walaupun mempunyai manajemen yang rapi, misalnya sasaran atau tujuan yang sama dan aturan main yang disepakati, namun masing-masing kapal masih lincah menyesuaikan dengan lingkungan masing-masing.

Menjadi wirausaha intra (intrapreneur) tidak dapat ditunjuk, atau ditugaskan pada seseorang. Franck de Chambeau dan Shays menyatakan hindari menunjuk seseorang menjadi intrapreneur atau melakukan inovasi? Dalam kaitan ini, muncul dan berperannya wirausaha intra di suatu organisasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kebijakan organisasi untuk memberi kesempatan adanya sponsor di dalam organisasi. Sponsor adalah seseorang yang mempunyai kekuasaan yang tugas utamanya adalah melindungi intrapreneur dari cengkeraman birokrasi, adalah beberapa faktor yang dapat ditunjukkan sebagai contoh.

Kemudian dengan mengutip pendapat Pinchot, Winarto menggambarkan empat pemeran utama dalam organisasi yang berwirausahaan sebagai berikut:

1.      Inventor, mengembangkan gagasan baru; khususnya dalam bidang keteknikan (engineering). Hasil invensinya dapat diwujudkan dalam bentuk paten.
2.      Intrapreneur, mengembangkan gagasan baru yang layak untuk diterapkan menjadi kesempatan usaha. Memastikan bahwa gagasan tersebut dimasyarakatkan.
3.      Sponsor, yaitu seseorang yang mempunyai kedudukan di organisasi, yang mendampingi proses inovasi. Salah satu peran utamanya adalah memastikan bahwa hambatan birokrasi dapat dikurangi.
4.      Protektor, yaitu seseorang yang mempunyai kedudukan di puncak organisasi. Tidak sangat “intim” dengan intrapreneur, namun mau mendengar “keluhan” para intrapreneur.

Apabila semangat kewirausahaan telah dimiliki oleh para karyawan dari suatu otganisasi (terutama para manajernya), maka pada tahap berikutnya adalah menetapkan suatu agenda bagaimana mengembangkan organisasi yang berkewirausahaan. Dengan kata lain, adanya manajer yang memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi merupakan conditio sine qua non bagi terbentuknya organisasi yang berkewirausahaan.

Adapun untuk mengembangkan organisasi yang berkewirausahaan ini, Winarto memberikan beberapa ilustrasi dan kiat-kiat sebagai berikut.

Ia memulai dasar pemikirannya dari adanya fenomena tentang kesuksesan suatu organisasi “di masa lalu”. Organisasi macam ini, biasanya akan mempunyai struktur, sistem dan budaya yang cenderung mempertahankan kemapanan dan formula suksesnya. Ungkapan yang dipakai bagi organisasi ini adalah bagai seekor gajah yang sulit bergerak lincah. Mengembangkan organisasi mapan menjadi organisasi yang lincah, mampu menangkap kesempatan usaha baru, adalah seperti mengajar seekor gajah menari. Kesuksesan dapat mengikat organisasi ke masa lalu. Komentar atau evaluasi dengan kata-kata: “berdasarkan pengalaman kita”, telah menutup kemungkinan cara baru untuk menghadapi “konteks usaha baru’.

Bagaimana memulai menumbuhkan organisai mapan menjadi organisasi yang berkewirausahaan? Langkah awal adalah memulainya dari pimpinan puncak. Dari pengamatan atas organisasi yang sukses melepaskan ikatan masa lalunya, misalnya SAS, American Express, Chrysler, IBM, Telkom, Tambang Timah, momentum perubahannya dimulai dari atas.

Apa yang sebaiknya ditinjau ulang di organisasi yang ingin mengadopsi orientasi kewirausahaan? Salah satu pendekatan adalah dengan mengaadopsi teori 7S Mc Kinsey, yang terdiri dari Structure, System, Strategy, Staff, Skills, Style, Shared values. Manakah dari ketujuh S tersebut yang perlu dibuat lebih mampu mendukung orientasi organisasi untuk berinovasi?

Dalam hal ini perlu dipahami bahwa aspek System, meliputi suatu sistem kerja dan sistem informasi dalam organisasi harus dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan hubungan kerja, cepat dan benar. Kemudian Strategy, yaitu suatu rencana yang dipergunakan untuk mencapai sasaran tertentu yang telah ditentukan. Rencana ini harus disusun secara bertahap sedemikian rupa sehingga menunjang tercapainya tujuan organisasi. Structure, yaitu bahwa untuk mencapai suatu tujuan organisasi, diperlukan adanya struktur organisasi yang dapat diijabarkan kedalam tugas-tugas fungsionalnya. Staff, yaitu bahwa untuk mencapai tujuan organisasi, perlu didukung oleh staf/personil yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui rekrutasi (recrutment) yang baik. Style, yaitu tingkah laku atau gaya dari pimpinan dalam menggerakkan personilnya guna mencapai sasaran dan tujuan organisasi. Pimpinan harus dapat memberikan motivasi kepada bawahannya dengan memberikan reward kepada yang berprestasi, dan memberikan punishment kepada yang bersalah. Skill, bahwa dalam menjalankan organisasi perlu adanya kecakapan dan kemampuan dari anggotanya. Adapun Share value / superordinate goals, artinya bahwa ke-6 aspek diatas pada akhirnya difokuskan kepada superordinate goals, atau tujuan organisasi yang lebih tinggi.

Selanjutnya Winarto juga menjelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat inovatifnya suatu organisasi dapat dilakukan audit: jumlah dari kategori produk barunya. Konsultan Bush, Allen dan Hamilton mengkategorikan produk baru menjadi enam, mulai dari baru dengan maksud untuk mengurangi biaya sampai dengan baru untuk dunia. Penelitian tentang jumlah dan kategori inovasi produk baru perusahaan atau unit usaha dapat dibandingkan dari tahun ke tahun maupun dengan tingkat inovasi di industri atau di suatu negara.

Dari pengamatan yang dilakukan oleh siswa program MM di Sekolah Tinggi Manajemen PPM, umumnya perusahaan di Indonesia masih pada taraf “low” atau “moderate” dalam tingkat inovasinya. Mengingat kondisi seperti ini, maka penerapan semangat kewirausahaan bagi para manajer di Indonesia (sektor privat dan khususnya sektor publik), serta pembentukan organisasi yang berkewirausahaan, hendaknya benar-benar dipikirkan implementasinya untuk memacu kinerjanya masing-masing.


Catatan Penutup

Apa yang diuraikan oleh Osborne dan Gaebler dalam buku Reinventing Government pada hakekatnya merupakan suatu penawaran terhadap paradigma baru dan atau suatu pergeseran dalam model dasar kepemerintahan (di Amerika). Yang menjadi persoalannya adalah, bagaimana prinsip-prinsip yang secara teoritis sangat baik tadi dapat diimplementasikan tanpa menimbulkan friksi-friksi yang dapat menghambat tercapainya efisiensi dan efektivitas birokrasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas pelayanannya. Atau dengan kata lain, prinsip-prinsip pemerintahan wirausaha sebagaimana diuraikan diatas baru mengena pada dimensi normatif atau das sollen, sementara pada dimensi empiris atau das sein belum teruji dan belum dapat dibuktikan. Dengan demikian, tantangan yang harus dijawab oleh segenap aparatur pemerintah dalam perspektif kedepan adalah, bagaimana menemukan strategi-strategi praktis yang dapat diterapkan untuk mengadopsi prinsip reinventing government kedalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.

Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa penerapan dan atau pengadopsian prinsip reinventing government harus selalu mengingat karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Dapat dikatakan pula bahwa implementasi semangat reinventing government sifatnya kontekstual, dan bukan universal.

Terlepas dari sifat kontekstualnya, gagasan untuk mereformulasikan atau merevitalisasikan birokrasi modern sebagaimana yang ditulis oleh Osborne dan Gaebler perlu diapresiasikan dan ditindaklanjuti. Sebab, prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat reinventing government diyakini dapat menciptakan konsepsi baru mengenai birokrasi modern, tidak seperti yang dipersepsikan oleh Weber. Dan terciptanya birokrasi modern yang memiliki semangat kewirausahaan, pada gilirannya akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.


Daftar Pustaka

Gordon, Judith R., Organizational Behavior: A Diagnostic Approach, New Jersey: Prentice Hall, 5th Edition, 1996
Nafziger, E. Wayne, The Economics of Developing Countries, New Jersey: Prentice Hall, 3rd Edition, 1997
Nonaka, I & Tekeuchi, (1995), The Knowledge-Creating Company, Hardvard Business Scool Press, Boston.
Osborne, David, and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategies for Reinventing Government), Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1996.
Osborne, David and Gaebler, Ted, Reinventing Government (How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing company, Inc, 1992.
Savage, C., 1996, The Fifth Generation of Management, New York: Harper
Winardi, J., Entrepreneur and Entrepreneurship, Modul Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Unit Swadana, Bandung: LAN Perwakilan Jawa Barat, Januari 1995.

Lain-Lain:
Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992



[1]     Untuk memberi ilustrasi tentang potensi kebangkrutan sebuah negara, lihat Laurence J. Kotlikoff, Is The United States Bankrupt?, Federal Reserve Bank of St. Louis Review, July/August 2006,

2 komentar:

  1. Trims atas artikelnya. Bagi saya sangat bermanfaat! Sukses buat Mas!

    BalasHapus