Laman

Minggu, 01 Agustus 2010

Strategi Banishing Bureaucracy Dalam Implementasi Prinsip Reinventing Government


Prinsip-prinsip reinventing government sebagaimana dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler pada hakekatnya masih merupakan suatu deskripsi yang belum begitu konkrit, yang dirumuskan dari hasil-hasil pengamatan terhadap kinerja berbagai organisasi pemerintahan. Oleh karena itu, reinventing government ini belum memberikan strategi-strategi yang lebih praktis dan aplikatif. Sebagai kelanjutan dari gagasan reinventing government sekaligus untuk memberikan langkah-langkah atau strategi untuk mengimplementasikannya, maka terbitlah buku berjudul Banishing Bureaucracy ini.

Strategi-strategi yang dirumuskan dalam buku tersebut sesungguhnya memiliki latar belakang dari adanya kegagalan-kegagalan dari berbagai program reformasi atau revitalisasi administrasi pemerintahan di berbagai negara. Kegagalan program reformasi yang jauh dari harapan ini kemudian sering disebut sebagai mitos. Dalam kaitan ini, terdapat lima mitos yang berhubungan dengan program reformasi sektor publik, yakni mitos liberal, mitos konservatif, mitos bisnis, mitos pekerja, dan mitos masyarakat (Osborne and Plastrik, 1997 : 13).

Mitos liberal (the liberal myth) beranggapan bahwa pemerintah dapat ditingkatkan kinerja atau produktivitasnya dengan cara lebih banyak membelanjakan dan lebih banyak mengerjakan (spending more and doing more). Dalam kenyataannya, pemakaian uang atau anggaran yang lebih banyak tidak selalu membawa hasil yang lebih baik. Sedangkan mitos konservatif (the conservative myth) merupakan kebalikan dari mitos liberal, yang beranggapan bahwa pemerintah yang lebih baik adalah yang sedikit berbuat dan sedikit mengeluarkan biaya (spending less and doing less). Namun dalam prakteknya, hal ini tidak mampu meningkatkan performansi pemerintah, meskipun disisi lain dapat meningkatkan tabungan.

Selanjutnya menurut mitos bisnis (the business myth), pemerintah dapat ditingkatkan kemampuannya dengan cara mengelola pemerintah seperti perusahaan (running government like a business). Realitasnya, meskipun metafora bisnis dan manajemen teknologi memberi kontribusi positif, tetapi nyatanya terdapat perbedaann yang kritis antara sektor privat dengan sektor publik. Kemudian menurut mitos pekerja (the employee myth), para pekerja publik akan dapat memperbaiki kinerjanya jika memiliki sumber keuangan yang memadai. Akan tetapi kita harus mencari sumber keuangan yang lain jika kita menginginkan hasil yang berbeda. Dan terakhir, mitos masyarakat (the people myth) berpandangan bahwa kinerja pemerintah dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar kepada masyarakat, atau menciptakan keberdayaan dan kualitas masyarakat yang lebih baik (hiring better people). Namun masalah sebenarnya bukan terletak pada masyarakat, melainkan sistemnya yang menjebak masyarakat atau masyarakat yang terperangkap pada suatu sistem yang tidak memberikan ruang gerak bagi inovasi dan inisiatif masyarakat.

Dengan adanya kelima mitos yang merupakan kritik terhadap program reformasi sektor publik yang ada selama ini, maka reinventing diarahkan sebagai suatu transformasi mendasar terhadap organisasi dan sistem kerja sektor publik untuk menciptakan kemajuan yang dramatis guna mewujudkan efektivitas, efisiensi, adaptabilitas dan kemampuan berinovasi. Transformasi ini dapat tercapai dengan merubah tujuan atau fungsinya, insentif, akuntabilitas, struktur kekuasaan, serta kulturnya. Kutipan aslinya dari terjemahan ini adalah sebagai berikut :

“Reinvention mean the fundamental transformation of public systems and organizations to create dramatic increases in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate. This transformation is accomplished by changing their purpose, incentives, accountability, power structure, and culture” (Osborne and Plastrik, 1997 : 14).

Sehubungan dengan hal tersebut, Osborne and Plastrik mengajukan perlunya lima strategi utama, yang diyakini dapat mengubah “DNA” pemerintah. Kelima strategi itu terdiri dari strategi inti (core strategy), strategi konsekuensi (consequences strategy), strategi pelanggan (customer strategy), strategi kontrol (control strategy), serta strategi kultur atau budaya (culture strategy).

Strategi inti berisi program-program untuk memperjelas tujuan dan atau fungsi dari sistem dan organisasi sektor publik (clarity of purpose). Sebab, suatu organisasi yang belum memiliki tujuan atau fungsi yang jelas – bahkan memiliki fungsi atau tujuan ganda dan berlawanan satu sama lain – jelas tidak akan bisa meningkatkkan kinerjanya. Strategi memperjelas tujuan ini disebut sebagai strategi inti sebab hal ini berhubungan dengan fungsi utama pemerintah yaitu pengarahan (the steering functions). Sementara empat strategi lainnya lebih memfokuskan pada upaya untuk meningkatkan peran penyelenggaraan (improving rowing), strategi inti ini justru menonjolkan peran pengarahan atau pengaturan (improving steering). Dengan kata lain, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh apakah tujuan tersebut lebih efektif dilaksanakan oleh badan usaha (privat atau semi privat), atau oleh organisasi pemerintah murni.

Dalam kasus milik perusahaan-perusahaan daerah yang sebelumnya berasal dinas misalnya, perlu ditetapkan secara jelas dan tegas tentang tujuan hakiki dari perubahan dinas menjadi badan usaha, dalam arti apakah ada tujuan lain atau tujuan baru yang diemban oleh organisiasi baru tersebut ataukah tidak. Jika tidak, mengapa kelembagaan dinas harus harus diubah menjadi badan usaha ? Akan tetapi jika memang dibebani tujuan baru, maka perlu dipastikan apakah tujuan tadi belum dilaksanakan oleh organisasi lain, serta apakah tidak terjadi duplikasi dalam pencapaian tujuan.

Sementara itu, strategi konsekuensi mengkaji sekitar masalah insentif yang dibangun dalam sistem atau sektor publik. Dalam hal ini, harus dibentuk suatu konsekuensi atau akibat-akibat tertentu untuk meningkatkan kinerja (creating consequences for performance). Sebagai contoh, seorang karyawan hendaknya memperoleh imbalan atau penghargaan sesuai dengan hasil yang dicapainya. Strategi ini menghendaki pula aplikasi dari manajemen perusahaan di sektor publik. Jika berhasil, maka organisasi publik akan ditempatkan dalam sistem atau mekanisme pasar dimana masyarakat sangat membutuhkan dan tergantung kepadanya. Namun jika gagal, perlu dilakukan suatu kontrak untuk menciptakan kompetisi antara pemerintah dengan swasta (atau antar organisiasi pemerintah). Dari sini dapat disimpulkan bahwa pasar dan kompetisi akan memberikan pengaruh terhadap besarnya sistem insentif, sekaligus kinerja yang lebih baik. Namun demikian harus dipahami bahwa tidak semua aktivitas pemerintah dapat diintegrasikan kedalam mekanisme pasar atau iklim persaingan.

Strategi ketiga – yakni strategi pelanggan – memfokuskan pada masalah akuntabilitas sektor publik. Hanya saja yang dipertanyakan, kepada siapakah akuntabilitas tersebut ditujukan ? Tentu saja dalam hal ini masyarakat atau pelanggan (customer) merupakan pihak yang paling berkompeten untuk menilai kinerja pemerintah sekaligus sebagai pihak yang menerima responsibilitas dan akuntabilitas pemerintah. Selama ini, akuntabilitas secara legal formal ditujukan kepada aparatur pemerintah yang lebih tinggi, yang menentukan tujuan organisasi serta yang membiayai penyelenggaraan kegiatan. Dan oleh karena organisasi pemerintah seringkali berada dibawah tekanan untuk memenuhi permintaan dari kelompok kepentingan tertentu, maka mereka lebih memikirkan kemana sumber-sumber pembiayaan harus dibelanjakan (didistribusikan) dari pada memikirkan kinerja dan manfaat yang dihasilkan. Dalam konteks seperti ini, birokrasi pemerintah semestinya dibersihkan dari pengaruh-pengaruh politis. Strategi pelanggan menolak pola demikian, dengan cara menyerahkan akuntabilitasnya kepada pelanggan. Ini berarti bahwa pelanggan diberi kebebasan untuk memilih atas pelayanan dari organisasi publik, sekaligus diberikan standar pelayanan yang memuaskan. Membentuk akuntabilitas kepada pelanggan menuntut perbaikan kualitas hasil kerja, bukan semata-mata mengelola sumber daya yang ada. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sasaran akhir dari strategi ini adalah bagaimana kepuasan masyarakat (customer satisfaction) dapat terus ditingkatkan.

Strategi kontrol berkaitan erat dengan kekuasaan (power). Dalam sistem organisasi birokratik, sebagian besar kekuasaan berada pada atau sekitar puncak hirarkhi, sedangkan dalam organisasi yang demokratis, kekuasaan berasal dari rakyat yang diserahkan kepada para pejabat pemerintah yang merupakan wakil dari rakyat. Kemudian dari para pejabat pemerintah di tingkat Pusat ini, kekuasaan didelegasikan atau didesentralisasikan kepada pejabat / manajer lini.

Akan tetapi biasanya, para pejabat di tingkat menengah atau yang mengisi kotak-kotak lini ini memiliki “kebebasan” yang sangat terbatas dalam hal pengambilan keputusan, dan fleksibilitasnya menghadapi kendala seperti instruksi anggaran yang baku dengan sistem specific grant, aturan kepegawaian, penerapaan inspeksi auditif yang ketat, dan sejenisnya.

Strategi kontrol menganjurkan agar sebagian kewenangan pengambilan keputusan diserahkan ketingkat organisasi yang lebih rendah melalui jenjang hirarkhi. Hal ini akan membawa dua keuntungan, yakni pertama memberdayakan organisasi dengan berkurangnya pengawasan dari lembaga-lembaga pemerintah tingkat pusat ; dan kedua memberdayakan karyawan / pegawai dengan dimilikinya kewenangan untuk mengambil keputusan, menanggapi pelanggan, serta dalam hal pemecahan masalah.

Adapun strategi yang terakhir – yakni strategi budaya – menegaskan bahwa kinerja sektor publik akan sangat ditentukan oleh kultur atau budaya yang melekat pada dirinya, seperti nilai-nilai, norma, perilaku, dan harapan dari setiap pegawai. Budaya disini sangat dipengaruhi oleh keempat strategi diatas, baik oleh tujuan organisasional, sistem insentif, sistem akuntabilitas, dan oleh struktur kekuasaan. Artinya, jika salah satu dari empat strategi ini berubah, maka budaya sektor publik juga akan mengikutinya. Akan tetapi kadangkala, budaya juga sangat sulit berubah meskipun dikehendaki oleh pimpinan, pelanggan maupun pembuat kebijakan sekalipun. Organisasi sektor publik biasanya memiliki ciri-ciri khusus seperti banyaknya unit fungsional, tata cara prosedural, dan penyusunan job description yang tegas, yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai sudah sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Jika para pegawai telah terbiasa dengan kondisi seperti ini, maka mereka akan menjadi cenderung rentan terhadap budaya, dalam arti menjadi reaktif, tergantung dan tidak memiliki keberanian untuk berinisiatif.

Dengan strategi budaya ini, kepada masyarakat akan dikembangkan suatu kebiasaan dan perilaku baru yang lebih baik, dengan catatan bahwa budaya lama yang relevan masih dapat dipertahankan. Kebiasaan atau perilaku baru ini dapat terwujud dengan cara membantu masyarakat untuk meraih dorongan emosionalnya seperti harapan, ketakutan dan cita-cita mereka. Selain itu, masyarakat perlu membangun visi masa depan serta sikap mental tentang arah dan cara suatu organisasi mencapai tujuannya.

Penerapan kelima strategi diatas hendaknya dapat dilaksanakan secara bersamaan, sebab penerapan satu atau dua strategi saja belum akan cukup mencapai maksud dan tujuan dari program reformasi sektor publik, baik yang meliputi aspek tujuan (purpose), insentif (incentive), akuntabilitas (accountability), kekuasaan (power) dan budaya (culture). Namun jika kelima strategi tadi tidak dapat secara serentak diimplementasikan, maka penerapannya dapat dilakukan secara inkremental, dalam arti penerapan salah satu strategi perlu segera diikuti dengan strategi lainnya, sehingga akhirnya kelima strategi tersebut akan menjadi strategi yang komprehensif dalam rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Akan tetapi perlu diperhatikan juga agar penerapan  lima strategi tadi tidak menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih (overlapping).


Daftar Referensi

Osborne, David, and Plastrik, Peter, 1996, Banishing Bureaucracy (The Five Strategies for Reinventing Government), Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Osborne, David and Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government (How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing company, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar