Laman

Kamis, 02 September 2010

Beberapa Catatan Tentang Pengembangan Kelembagaan Kawasan Lindung pada Era Otonomi Daerah


Pengantar


Degradasi lingkungan dewasa ini telah menjadi masalah global (common problem) bagi seluruh negara di dunia. Laporan IUCN, ICIMOD, dan GLOBIO (2005)[1] misalnya, mengilustrasikan adanya ancaman bagi lebih dari separo penduduk dunia terhadap ketersediaan sumber air bersih. Padahal, fungsi lingkungan hidup sesungguhnya bukan hanya sekedar menjaga kelestarian dan keberlangsungan tata guna tanah, air, dan udara, namun dapat pula menjadi sektor andalan dalam mengentaskan kemiskinan.[2]

Mengingat kondisinya yang semakin parah serta fakta bahwa lingkungan memiliki kontribusi sangat penting bagi kesejahteraan manusia, tidaklah mengherankan jika banyak negara yang peduli untuk mencari solusi terhadap keberlangsungan generasi mendatang. Berbagai konferensi internasional telah digelar, misalnya KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro, World Summit on Sustainable Development di Bali 2002, KTT Bumi 2002 di Johannesburg, dan lain-lain. Selain itu, berbagai konvensi dan perjanjian lingkungan multilateral juga telah disepakati seperti Convention on International Trade of Endangered Species (CITES), Basel Convention on Hazardours Waste, Vienna Convention on the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol, United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD) dan Cartagena Protocol on Biosafety, dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Kyoto Protocol, serta United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD).[3]

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi seluruh konvensi dan perjanjian multilateral di bidang lingkungan tersebut. Dan dalam konteks yang lebih mikro, upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup di Indonesia ditempuh salah satunya dengan pembenahan dimensi kelembagaan pengelola lingkungan hidup, khususnya kawasan lindung. Kawasan Lindung sendiri dimaksudkan sebagai kawasan di daratan maupun di kawasan pesisir dan lautan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, sebagai pendukung utama kehidupan yang berkelanjutan. Beberapa kawasan yang dappat diklasifikasikan sebagai kawasan lindung diantaranya adalah daerah aliran sungan (DAS), daerah resapan air, daerah sempadan sungai / pantai, kawasan sekitar waduk dan mata air, kawasan cagar alam / suaka margasatwa, Taman Hutan Raya (Tahura) dan Taman Nasional, dan sebagainya.

Gagasan tentang perlunya evaluasi dan pengembangan kelembagaan kawasan lindung ini sendiri mengandung asumsi bahwa kelembagaan yang ada saat ini memiliki banyak sekali kekurangan, dan oleh karenanya perlu dipertimbangkan adanya pembentukan kelembagaan alternatif yang lebih efektif, efisien, dan komprehensif / integratif.

Tulisan singkat ini mencoba melihat prospek pengembangan kelembagaan kawasan lindung dalam perspektif otonomi daerah, khususnya pada dimensi penataan organisasi perangkat daerah. Untuk itu, dasar pijakan yang digunakan dalam tulisan ini adalah RPP Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai draft pengganti PP No. 8/2003, serta RPP Pembagian Urusan Pemerintahan sebagai draft pengganti PP No. 25/2000.


Kelembagaan Khusus Dalam Konteks Otonomi Daerah


Secara garis besar, daerah memiliki kewenangan dan hak yang lebih besar untuk menyusun format kelembagaan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya sendiri. Baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004, sama-sama memberi landasan yuridis formal yang kuat untuk dibentuknya Perangkat Daerah, baik yang berupa Dinas maupun Lembaga Teknis. Sedangkan untuk pembentukan kelembagaan khusus, hal ini masih melekat pada kewenangan pusat, dan dapat dibentuk sepanjang memiliki nilai strategis skala nasional.

Ketentuan seperti ini nampak sekali dari bunyi Penjelasan Umum UU No. 32/2004, bahwa: “Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan untuk kepentingan nasional / berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut.

Dari ketentuan diatas dapat ditarik adanya karakteristik dari kelembagaan khusus atau kelembagaan yang menangani urusan khusus, yaitu:

1.      Urusan yang dijalankan lembaga khusus tadi bersifat lintas daerah (kabupaten/kota maupun propinsi), atau memiliki nilai strategis sangat tinggi.
2.      Kewenangan pembentukan lembaga khusus berada di tangan pemerintah Pusat, dengan mengakomodasikan kepentingan dan keterlibatan pemerintah daerah (termasuk masyarakat dan stakeholder lainnya).
                                                   
Namun dalam RPP Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) diberikan kewenangan pula untuk membentuk kelembagaan khusus untuk menangani urusan-urusan pemerintahan yang belum teridentifikasikan dalam UU No. 32/2004 dan RPP Kewenangan (RPP Pembagian Urusan Pemerintahan). Adanya hak baru untuk mengembangkan kelembagaan khusus ini tercermin dari draft ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:

1.      “Bagi Pemerintah Daerah Provinsi yang mempunyai perbatasan langsung dengan Negara lain dapat membentuk badan pengelola perbatasan.”
Ketentuan RPP ini nampaknya sedikit kurang konsisten dengan ketentuan UU NO. 32/2004. Sebab, urusan perbatasan antar negara sesungguhnya merupakan domein Pusat, sebagaimana urusan-urusan lain seperti kawasan cagar budaya, taman nasional, kawasan lindung, dan sebagainya. Itulah sebabnya, kelembagaan yang dibentuk-pun semestinya lembaga tingkat Pusat, bukan Perangkat Daerah Propinsi. Jika setiap propinsi yang berbatasan dengan negara lain diberi hak yang sama untuk membentuk lembaga pengelola perbatasan, maka dapat diprediksi akan muncul berbagai format lembaga yang berbeda dengan kewenangan, tugas pokok, departementasi, serta pola koordinasi dan pertanggungjawaban yang berbeda. Dengan kata lain, untuk urusan dan kepentingan yang sama (cq. perbatasan), akan disikapi oleh kebijakan yang berbeda dan tidak terintegrasi dengan baik. Fenomena seperti ini sudah mulai nampak, misalnya di Papua terdapat Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama Antar Daerah, sementara di Kalimantan Barat telah dibentuk Badan Persiapan Pengelola Perbatasan. Daerah lain seperti Kalimantan Timur dan NTT sendiri belum membentuk lembaga khusus bidang perbatasan.
Pada sisi lain, jika ketentuan tadi menjadi hukum positif, maka dapat menjadi dasar analog bagi daerah untuk membentuk lembaga-lembaga khusus atau yang menangani urusan khusus, termasuk urusan kawasan lindung.

2.      “Lembaga lain dapat dibentuk didaerah dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (penjelasan: untuk mewadahi tugas dan fungsi seperti Sekretariat Badan Narkoba, Sekretariat KPI, Sekretariat Satkorlak dll).”
Ketentuan RPP ini nampaknya akan menghasilkan kelembagaan serupa Kantor Wilayah pada masa UU No. 5/1974. Sebagai contoh, jika di tingkat nasional terdapat Sekretariat Badan Narkoba, maka terdapat kecenderungan akan dibentuk lembaga yang sama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Artinya, secara hierarkis substansial lembaga tersebut saling berhubungan, meskipun tidak secara struktural (command line). Disamping itu, pembentukan lembaga di tingkat propinsi dan kabupaten/kota bisa jadi akan merupakan inisiatif dari lembaga di tingkat Pusat, bukan murni kebutuhan dan aspirasi daerah.

Dari berbagai ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan adanya 2 (dua) opsi model kelembagaan khusus (cq. kawasan lindung), yakni kelembagaan yang tersentralisasi, dan kelembagaan yang terdesentralisasi. Dalam hubungan ini, maka konsep PKP2A I LAN Bandung dan BPLHD Propinsi Jawa Barat (2004), masih relevan untuk dijadikan bahan pertimbangan utama. Adapun penjelasan terhadap kedua model kelembagaan tersebut adalah:

1.      Kelembagaan yang Tersentralisasi (efficiency model). Artinya, kelembagaan yang mengelola kawasan lindung hanya satu dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola kawasan lindung. Kelembagaan ini mendapatkan pelimpahan kewenangan yang utuh dalam mengelola dan mengendalikan kawasan tersebut. Setiap instansi pemerintah atau swasta yang akan memanfaatkan kawasan hutan lindung harus mendapatkan rekomendasi atau ijin dari lembaga pengelola kawasan tersebut. Keuntungan yang didapat dengan penerapan model kelembagaan seperti ini adalah bahwa pengelolaan kawasan lindung akan lebih terintegrasi dan terkoordinasi. Namun pola ini cenderung eksklusif dan kurang mengakomodir peran serta isntansi lain (publik maupun privat) serta kelompok masyarakat.

2.      Kelembagaan yang Terdesentralisasi atau Terdistribusi (participative model). Artinya, kelembagaan yang mengelola kawasan lindung tetap tersebar pada Perangkat Daerah sesuai dengan bidang kewenangan masing-masing. Nammun model kelembagaan ini memiliki kelemahan, yakni menimbulkan permasalahan egoisme sektoral dan egoisme lokal (sebagai dampak negatif eforia otonomi daerah) yang masih tetap subur dikalangan instansi yang berwenang menggelola kawasan lindung. Akibatnya, akan terjadi fragmentasi program, tujuan dan sasaran bidang kawasan lindung, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaannya. Dengan kata lain, masing-masing instansi akan cenderung memperjuangkan kepentingan instansinya, meskipun mengakibatkan timbulnya kebijakan dan program penataan kawasan lindung yang tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi dengan baik.


Model Pengelolaan Kawasan Lindung di Masa Orba


Dewasa ini terdapat perubahan paradigmatik dalam pengelolaan lingkungan hidup. “Kedaulatan” suatu negara dalam pengelolaan lingkungan di wilayah administrasinya mulai luntur dan bergerak ke arah penerapan norma-norma, perjanjian dan konvensi multilateral yang harus dijunjung tinggi bersama. Disisi lain, peran dan tanggung jawab pemerintah yang dominan selama ini (state-based environmental management) juga mulai bergeser kepada perlunya pendekatan yang berbasis pada collaborative management (pengelolaan bersama) yang terdiri dari instansi pemerintah (Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dsb), perguruan tinggi, swasta / bisnis, organisasi profesi, LSM dan masyarakat (dalam arti luas ataupun masyarakat pengguna hutan yang tinggal di sekitar wilayah hutan / kawasan lindung). Pergerakan pendulum dari state-led management menjadi collaborative management ini pada beberapa hal bahkan mengisyaratkan perlunya sebuah konsep tentang community forestry, yang bertujuan lebih mengangkat hak-hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan atau kawasan lindung.

Konsep atau model pengelolaan lingkungan yang inklusif dan partisipatif seperti ini dalam khazanah baru sering disebut dengan istilah good environmental governance. Model ini sangat bersesuaian dengan dinamika di tingkat nasional dan lokal, dimana semangat desentralisasi dan otonomi daerah sedang melanda semua aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Otonomi daerah sendiri pada dasarnya merupakan salah satu bentuk political reform yang akan membawa konsekuensi logis berupa perlunya pembenahan kebijakan sektoral, termasuk sektor lingkungan dan kawasan lindung.

Paparan diatas menyiratkan bahwa pokok persoalan pengelolaan kawasan lindung dilihat dari perspektif kelembagaan adalah bukan apakah kawasan lindung dan SDA lainnya harus dikelola oleh negara atau secara komunal oleh masyarakat secara terpisah, namun bagaimana sumberdaya tersebut dapat dikelola secara bersama oleh negara dengan melibatkan partisipasi masyarakat (Chay Asdak, 2002). Menurutnya, selama masa Orde Baru, pola pengelolaan sumberdaya hutan didominasi oleh pemerintah dengan memberikan peran yang besar pada sektor swasta. Dengan kartel monopolistiknya, tidak saja berpengaruh terhadap industri yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan, tetapi juga berpengaruh terhadap kebijakan yang dikeluarkan. Kuatnya peran pemerintah dan swasta, berlangsung seiring dengan ketidakberdayaan masyarakat sipil. Kondisi ini diperburuk lagi dengan sistem masyarakat sipil yang dipaksakan menjadi monolitik dan seragam. Keadaan ini telah mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan/atau swasta yang berakibat pada kemerosotan kualitas lingkungan dan degradasi sumberdaya hutan.

Pada makalahnya yang lain, Chay Asdak (2003) memberikan penjelasan yang lebih detail bahwa dominasi pemerintah (pusat) dan swasta dalam pengelolaan hutan di Indonesia dilakukan melalui konsep industrial forestry dengan ciri large-scale dan sangat berorientasi pada kepentingan ekonomi (jangka pendek). Oleh karena itu, dapat dimengerti apabila pola pengelolaan hutan yang dipilih adalah tree management. Pola pengelolaan tree management ini hanya berkepentingan pada beberapa species pohon komersial yang telah ada pasarnya (industri perkayuan). Akibat yang ditimbulkan oleh pengelolaan hutan dengan pendekatan tree management adalah tersingkirnya kepentingan masyarakat lokal, rusak dan tidak berkembangnya pemanfaatan non-timber forest products (NTFP), tidak imbangnya antara permintaan dan penawaran kayu untuk industri, dan meningkatnya luas hutan sekunder.

Untuk mengatasi kondisi negatif diatas, Asdak (2002) menawarkan dua alternatif. Pertama, dicegah dengan cara privatisasi sumberdaya alam (Hardin, 1968). Kedua, sumberdaya alam tersebut dikontrol oleh pemerintah (negara) agar kelestariannya terjaga atau diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat lokal (Berkes, 1989). Dalam hal ini Berkes mengemukakan bahwa SDA yang dikelola secara komunal oleh masyarakat, baik pada masyarakat di negara berkembang maupun yang telah maju, dapat terjaga kelestariannya.


Kebutuhan dan Arah Pengaturan Aspek Kelembagaan


Di tengah euphoria otonomi dan desentralisasi luas seperti saat ini, pola pengelolaan kawasan lindung ebagaimana diterapkan oleh rezim Orde baru jelas sudah tidak relevan lagi. Konsekuensinya jelas, yaitu bahwa model kelembagaan pengelola kawasan lindung perlu direstrukturisasi. Dalam hubungan ini, Chay Asdak (2003) menekankan perlunya dilakukan perubahan pola pengelolaan hutan dari pendekatan industrial forestry ke arah eco-forestry. Konsep eco-forestry menekankan pentingnya pergeseran pola pengelolaan sumberdaya hutan dari tree management menjadi ecosystem management. Dalam konsep ecosystem management¸ fokus pengelolaan hutan tidak hanya pada pohon komersial, tapi juga NTFP dan fungsi hutan tidak langsung sehingga masyarakat lokal dapat lebih terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan.[4]

Dengan demikian dapat ditarik suatu simpulan awal bahwa kelembagaan yang inklusif dan partisipatif harus menjadi ciri utama dalam mendesain kelembagaan kawasan lindung. Kebutuhan adanya kelembagaan yang inklusif dan partisipatif ini juga didasarkan pada adanya beberapa karakteristik kawasan lindung, yaitu:

1.      Sifatnya yang lintas daerah (antar kabupaten/kota dan antar propinsi) dan lintas jenjang pemerintahan (pusat dan daerah). 
Adalah sebuah fakta bahwa batas-batas kawasan lindung seringkali tidak sama (coincide) dengan batas-batas administrasi sebuah daerah otonom. Disamping itu, kewenangan pengaturan dan penataan kawasan lindung juga bukan monopoli suatu jenjang pemerintahan tertentu. Artinya, baik pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten / Kota, sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur kawasan lindung ini sampai pada batas-batas tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

2.      Sifatnya yang lintas fungsi (ekologis dan ekonomis);
Secara umum kawasan lindung memiliki fungsi ganda yakni fungsi ekonologis sebagai resapan air, penahan erosi, penghasil O2, pelindung flora fauna, serta fungsi ekonomis sebagai sumber pendapatan dan pencaharian petani, komiditas ekspor yang mendatangkan devisa negara, dan sebagainya.

3.      Sifatnya yang lintas sektor (primer, sekunder, dan tersier).
Kawasan lindung juga menyentuh kepentingan yang bersifat lintas sektor. Artinya, esensi kawasan lindung bukan hanya menyangkut dimensi-dimensi kehutanan, pertanian, perikanan, atau lingkungan itu sendiri, namun juga memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan sektor lain seperti perdagangan (hasil hutan baik kayu maupun non-kayu), pariwisata, pengembangan wilayah (tata ruang), transmigrasi / relokasi penduduk, dan sebagainya. Bahkan kawasan lindung juga tidak dapat dilepaskan dari sektor industri (dalam dan luar negeri), serta sektor tersier lainnya (jasa, keamanan, dan lain-lain).


Dengan cirinya yang lintas atau multi dimensional tadi, maka kelembagaan kawasan lindung jelas tidak bisa dibentuk secara single facet. Pola atau model kelembagaan yang inklusif dan partisipatif tadi juga sejalan dengan semangat otonomi daerah. Dengan kata lain, pemberlakuan otonomi daerah membawa angin segar dan harapan baru akan sebuah pola pengelolaan kawasan lindung yang lebih baik, meskipun tetap ada beberapa potensi negatif yang mengiringinya. Hal ini bersesuaian pula dengan ketentuan Bab IV H (3) Tap MPR No. IV/MPR/1999 yang mendelegasikan secara bertahap wewenang Pusat kepada Daerah dalam pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup, sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga.

Dalam kaitan dengan kewenangan (baca: urusan pemerintahan), fungsi kawasan lindung nampaknya tersebar di berbagai bidang. Artinya, penataan dan perlindungan kawasan lindung harus dilakukan secara sinergis melalui bidang-bidang kelautan dan perikanan, kehutanan dan perkebunan, pertambangan, lingkungan hidup, serta pertanian. Sayangnya, dari berbagai bidang tadi, baru pada bidang kelautan dan perikanan yang telah dilakukan identifikasi tentang kewenangan pemerintah pada tiga tingkatan (Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota).

Dari rincian atau jabaran kewenangan / urusan bidang kelautan dan perikanan yang menyangkut kawasan lindung, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa kelembagaan pengelola sumber daya alam atau kawasan lindung tidak akan efektif jika dibentuk secara exclusive dan tersentral. Sebab, baik pemerintah Pusat, Propinsi, maupun Kabupaten / Kota, sama-sama memiliki kewenangan tertentu di bidang yang sama (kawasan lindung). Namun karena adanya ancaman inefisiensi terhadap kelembagaan yang terdesentralisasi atau terdistribusi, maka diusulkan adanya 2 (dua) pola kelembagaan, yakni kelembagaan yang berbasis pada solidaritas hulu – hilir (upstream – downstream solidarity), serta kelembagaan yang berbasis pada solidaritas pusat – daerah (central – regional solidarity).



Adapun implikasi dari kedua pola kelembagaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.     Pola Solidaritas Hulu – Hilir (upstream – downstream solidarity)
Beberapa contoh daerah yang memiliki pola hubungan Hulu – Hilir ini antara lain adalah Kab. BandungKota Bandung, Kab. Kuningan – Kota Cirebon, Kab. Sleman – Kota Yogyakarta, Kab. Kutai Timur – Kota Bontang. Secara umum terdapat kondisi dimana daerah hilir cukup tergantung pada daerah hulu, misalnya dalam hal supply sumber air bersih. Disisi lain, daerah hilir juga sering menerima dampak dari aktivitas di hulu, baik berupa pencemaran, banjir, dan sebagainya. Pola ini dibangun berdasarkan pada pendekatan kebutuhan (needs approach) dan bukan pada pendekatan hak (rights approach) (Chay Asdak, tanpa tahun).
Mengingat adanya keterkaitan yang sangat erat antara daerah hulu dan hilir tadi, maka perlu dikembangkan adanya kebersamaan dan solidaritas baik dalam hal pembagian keuntungan (benefit sharing) maupun pembebanan kerugian / dampak yang mungkin timbul (cost sharing). Dalam hal ini, mekanisme insentif – disinsentif dapat diterapkan tergantung pada konteks atau kasus yang terjadi.
Dalam rangka menjalankan kewenangan dan kepentingan masing-masing, kedua daerah (hulu dan hilir) dapat membentuk kelembagaan khusus yang terdiri dari perwakilan kedua daerah, atau membentuk kelembagaan secara terpisah (di daerah masing-masing) namun diikat oleh kerjasama / perjanjian tertentu.

2.     Pola Solidaritas Pusat – Daerah (central – regional solidarity)
Pola ini sangat penting ketika terdapat kesamaan kepentingan antara pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengatur suatu obyek yang sama. Sebagai contoh, pada saat muncul kasus Bandung Utara dan kawasan Punclut (Kab. Bandung), terkuak fakta bahwa RTRW Kab. Bandung ternyata tidak sesuai dengan RTRW Propinsi Jawa Barat. Pada saat yang bersamaan, Pusat menggulirkan wacana tentang RTRW Cekungan Bandung. Dalam kasus ini, tanpa adanya solidaritas antar jenjang pemerintahan, maka penataan suatu kawasan akan menjadi centang perenang.
Dengan demikian, secara konseptual yang dibutuhkan adalah distribusi kewenangan yang jelas antar level pemerintahan tadi. Sedangkan pola kelembagaan yang disarankan dapat bersifat terdesentralisasi dengan masterplan RTRW yang komprehensif / terintegrasi, atau pola kelembagaan tersentralisasi dengan implementasi oleh instansi sectoral di daerah ditunjang oleh koordinasi yang harmonis.

WALHI nampaknya juga seiring dengan pola solidaritas tadi. Dalam hal ini, WALHI (2004) berpendapat bahwa di tingkat daerah, kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup hendaknya menganut prinsip desentralisasi kewenangan berdasarkan fungsi, yang diharapkan dapat mendekatkan proses pengambilan keputusan dari pengambil keputusan kepada kelompok penerima dampak (beneficiaries). Bentuk kelembagaan yang diusulkan adalah pemerintahan rakyat (community governance), di mana kelembagaan ini sifatnya ad-hoc, informal, multi-stakeholder, pendekatan berdasarkan isu dan kepentingan yang dikelola dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kelembagaan formal pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan menjadi bagian dari pemerintahan rakyat ini.

Landasan berpikir WALHI dalam menyusun konsep penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup ini adalah bahwa reformasi kelembagaan harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1.      Kelembagaan yang terkait dengan kebijakan makro pengelolaan lingkungan hidup harus diletakkan dalam satu portofolio koordinasi di tingkat nasional. Lingkungan hidup harus dijadikan landasan bagi penyangga dan penjamin keberlanjutan kehidupan Indonesia di masa mendatang dan tidak lagi sebagai penyangga ekonomi jangka pendek. 
2.      Kelembagaan yang memiliki fungsi perlindungan dan konservasi lingkungan harus ditetapkan, dengan kewenangan meliputi perencanaan, penetapan baku mutu dan standar pengelolaan lingkungan, mitigasi dampak penurunan kualitas lingkungan, dan rehabilitasi akibat pencemaran. Lembaga ini juga harus mengintegrasikan fungsi pengawasan dan penegakan hukum lingkungan dan memiliki kewenangan penundaan ijin operasi sementara, jika diduga terjadi pelanggaran hukum di bidang lingkungan.
3.      Mengintegrasikan kelembagaan yang memiliki fungsi menjamin akses terhadap pemanfaatan lingkungan secara adil dan berkelanjutan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan kaji ulang dan perampingan kelembagaan sektoral yang ada saat ini. Idealnya, seluruh kelembagaan sektoral berada pada satu atap dari mulai perijinan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan. 


Catatan Penutup


Tidak bisa dibantah bahwa dimensi lingkungan memiliki kepentingan ekonomis yang sangat tinggi. Itulah sebabnya, bicara tentang lingkungan (dan kawasan lindung) termasuk aspek kelembagaannya, berarti bicara tentang interaksi negara (pemerintah), modal (sektor privat), dan rakyat (masyarakat). Dengan demikian, semenjak tahap perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan program pelestarian kawasan lindung, ketiga pilar tersebut perlu dilibatkan secara proporsional. Demikian pula, kebijakan penataan kawasan lindung yang meliputi aspek-aspek kewenangan, kelembagaan, serta pembiayaan dan sumber daya lainnya, haruslah memberi tempat yang seimbang kepada ketiga pilar tadi agar dapat memainkan perannya masing-masing.

Selain itu, penataan kawasan lindung juga harus dilakukan secara komprehensif melalui rekayasa yuridis, rekayasa administratif / manajemen, serta rekayasa ekonomis (PKP2A I LAN dan BPLHD Jawa Barat, 2004). Hanya dengan mengoptimalkan segenap potensi yang ada serta pendekatan kebijakan yang terintegrasi inilah, maka cita-cita KTT Bumi untuk mewujudkan Good Environmental Governance dapat tercapai.


Referensi


Ablimit Abdukadir, Denise Jeanmonod, and Madhav Karki (ed.), 2005, The Fall of Water, UNEP News Release 2005/42. Available online at http://www.globio.info/press/2005-09-05.cfm. Accessed on September 2005
Chay Asdak, 2002, Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan, Makalah untuk Semiloka “Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat”, kerjasama antara PT Perhutani dengan HELP Indonesia, Garut, 23 September.
Chay Asdak, 2003, Anatomi Kerusakan Sumberdaya Hutan di Jawa Barat, Makalah untuk Lokakarya Nasional “Forum Komunikasi Lingkungan dalam Rangka Memperkuat Komitmen dan Tanggungjawab Bersama”, kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup, DPRD Jawa Barat, dan Universitas Al-Ghifari, Bandung, 23 April.
Chay Asdak, tanpa tahun, Perspektif Baru Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Menuju Solidaritas Daerah Hulu-Hilir, makalah tidak diterbitkan.
PKP2A I LAN Bandung dan BPLHD Propinsi Jawa Barat, 2004, Naskah Akademik Penyusunan Raperda Kawasan Lindung di Jawa Barat.
Ruth Alsop and Bryan Kurey, 2005, Local Organizations in Decentralized Development: Their Functions and Performance in India.
Walhi, 2004, Reformasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kertas Posisi 17 September, Jakarta.
The World Bank, the United Nations Development Program, the United Nations Environment Program, and the World Resources Institute, 2005, World Resources 2005: The Wealth of the Poor: Managing Ecosystems to Fight Poverty, Press Release No 2006/062/ESSD. Available online at http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:20633295~pagePK:34370~piPK:34424~theSitePK:4607,00.html#_. Accessed on September 2005.



[1]     Ablimit Abdukadir, Denise Jeanmonod, and Madhav Karki (ed.), 2005, The Fall of Water, UNEP News Release 2005/42. Available online at http://www.globio.info/press/2005-09-05.cfm. Accessed on September 2005.
[2]     The World Bank, the United Nations Development Program, the United Nations Environment Program, and the World Resources Institute, 2005, World Resources 2005: The Wealth of the Poor: Managing Ecosystems to Fight Poverty, Press Release No 2006/062/ESSD. Available online at http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/NEWS/0,,contentMDK:20633295~pagePK:34370~piPK:34424~theSitePK:4607,00.html#_. Accessed on September 2005.
[3]     KTT Bumi 1992 telah menghasilkan Agenda 21, sementara KTT Bumi 2002 antara lain bertujuan untuk mengevaluasi Agenda 21 sekaligus mendorong terbentuknya International Environmental Governance, yang akan mengatur berbagai upaya penyelamatan bumi di masing-masing negara. Sedangkan esensi Kyoto Protocol adalah kesepakatan multilateral untuk mendapatkan jaminan dari negara-negara maju tentang skema mengurangi emisi industrinya pada tahun-tahun mendatang.
[4]     Diskusi yang cukup mendalam mengenai tarik menarik antara organisasi pemerintah dan organisasi non-pemerintah (swasta dan kemasyarakatan) disajikan oleh Alsop dan Kurey (2005) dalam bukunya berjudul Local Organizations in Decentralized Development: Their Functions and Performance in India. Dalam buku ini disebutkan bahwa “Local organizations have become key mechanisms in effective, fair, and sustainable resource management and development”. Gagasan Alsop dan Kurey ini sangat sejalan dengan konsepsi yang diajukan Chay Asdak tentang format kelembagaan di bidang sumber daya alam dan lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar