Laman

Kamis, 02 September 2010

Restrukturisasi Kelembagaan Pemerintah Daerah dalam Rangka Memperkuat Kinerja Pelayanan Publik


Abstrak:
Menyusul diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, penataan kelembagaan pemerintah daerah menjadi kebutuhan mendesak. Namun, kebijakan ini harus dipandang sebagai alat untuk membangun kinerja pelayanan yang tinggi sebagaimana diamanatkan dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru; bukan sebagai tujuan dari otonomi daerah. Dilihat dari logika yang digunakan, tulisan ini mendeteksi adanya kesalahan paradigmatik, dimana banyak daerah melakukan penataan kelembagaan hanya berdasarkan cara berpikir “jika – maka”. Padahal, menata organisasi bukanlah sebuah proses yang linier atau searah, namun lebih mencerminkan sebuah lingkaran yang terdiri dari titik-titik yang saling tergantung atau terkait satu sama lain (conditional circle). Oleh karenanya, logika “bagaimana jika” lebih dianjurkan dalam membangun sosok kelembagaan daerah yang efektif dan efisien, tanggap dan cekatan, terbuka dan bertanggungjawab, serta inklusif dan demokratis. Untuk alasan itulah, makalah ini menawarkan beberapa pertimbangan dan alternatif model kelembagaan daerah yang mungkin dapat dikembangkan untuk memacu kinerja pelayanan birokrasi dimasa mendatang.


Latar Belakang


Seiring dengan adanya perubahan landasan yuridis penyelenggaraan pemerintahan daerah, restrukturisasi kelembagaan menjadi sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, restrukturisasi kelembagaan harus dipahami sebagai salah satu upaya kebijakan untuk membentuk sebuah sistem pemerintahan daerah yang efektif dan efisien (effective and efficient), tanggap dan cekatan (quick and responsive), terbuka dan bertanggungjawab (transparent and accountable), membuka seluas mungkin partisipasi publik (inclusive and democratic), serta berkinerja tinggi dalam bidang pembangunan dan pelayanan (developmental).

Sayangnya, terdapat indikasi bahwa penataan kelembagaan baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota sering dilakukan secara tergesa-gesa dengan orientasi dan pendekatan yang sangat beragam, bahkan tanpa disertai pertimbangan dan pengkajian yang matang. Di berbagai daerah, sering terjadi perubahan dan atau penggantian Perda tentang SOTK yang masih berusia muda antara 1 hingga 3 tahun. Perombakan organisasi yang terburu-buru atau “asal-asalan” seperti ini, bisa dikatakan sebagai kebijakan yang tidak matang (immature policy), sehingga kemampuan lembaga publik untuk menghasilkan kinerja tinggi menjadi sangat diragukan. Disisi lain, keberanian daerah untuk melakukan perombakan organisasi dengan frekuensi yang tinggi berdasarkan prinsip trial and error, dikhawatirkan akan menghabiskan energi pemerintah daerah sekaligus menjauhkan daerah dari hakekat dan filosofi desentralisasi itu sendiri.

Oleh karena itu, harus disepakati bahwa restrukturisasi kelembagaan pasca kebijakan desentralisasi luas hanyalah sebuah alat untuk menjamin agar tujuan utama pemberian otonomi, yakni peningkatan kualitas pelayanan umum, dapat dicapai secara optimal. Dengan kata lain, restrukturisasi kelembagaan bukanlah tujuan akhir dari otonomi daerah, melainkan hanya sasaran antara untuk menciptakan kinerja pelayanan yang prima. Tulisan ini mencoba mengelaborasi lebih dalam berbagai pertimbangan dan logika yang mestinya dipakai dalam melakukan restrukturisasi kelembagaan, serta menawarkan beberapa alternatif model kelembagaan daerah yang potensial untuk dikembangkan dimasa mendatang.


Pertimbangan dan Logika Restrukturisasi


Wacana restrukturisasi kelembagaan hampir selalu menyangkut dimensi “besaran organisasi”. Artinya, restrukturisasi tidak selalu berkonotasi perampingan (downsizing), namun bisa juga pembesaran (upsizing). Dengan kata lain, kebijakan restrukturisasi adalah sebuah proses mencari ukuran yang sesuai dan seimbang antara beban tugas / kewenangan pemerintahan disatu pihak, dengan kemampuan dan kebutuhan obyektif di pihak lain. Oleh karena itu, format kelembagaan dapat mengalami pengembangan (expansion) ataupun pengecilan (contraction), tergantung dari perubahan dinamis variabel-variabel yang mempengaruhinya. Dan dalam prakteknya, penataan kelembagaan memang selalu membentuk kekuatan tarik-menarik antara expansion dan contraction, serta bergerak diantara dua titik ekstrem pada kontinuum tersebut.

Dalam konteks mencari dan menempatkan titik ideal sekaligus membangun figur / format kelembagaan yang memenuhi kriteria seperti dikemukakan diatas, maka perlu dilakukan berbagai pertimbangkan secara matang. Beberapa pertimbangkan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1.      Besaran kewenangan.
Untuk daerah Kabupaten / Kota, kewenangannya mencakup seluruh kewenangan pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama. Sedangkan kewenangan Propinsi telah ditetapkan secara limitatif dalam PP No. 25 tahun 2000.
Berbagai kasus di daerah mengilustrasikan bahwa kewenangan ini dijadikan sebagai dasar utama dalam menentukan formasi dan besaran organisasi. Artinya, jumlah dan jenjang organisasi akan dibentuk sesuai dengan jumlah dan beban kewenangan. Disamping itu, ketika PP No. 25 tahun 2000 menetapkan kewenangan berdasarkan bidang-bidang, maka bidang-bidang tersebut diterjemahkan sebagai nama lembaga di daerah, baik yang berbentuk dinas maupun lembaga teknis.
Penataan organisasi berdasarkan kewenangan ini memang paling sederhana dan paling mudah dilakukan. Namun, hasil yang diperoleh tidak akan optimal, terlebih jika mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

2.      Penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Kewenangan daerah pada dasarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang dan fungsi. UU Nomor 22 Tahun 1999 sendiri dan seluruh peraturan pelaksanaannya menganut klasifikasi berdasarkan bidang.
Disisi lain, klasifikasi berdasarkan fungsi-fungsi pemerintahan sesungguhnya perlu sekali dilakukan. Dalam hal ini, paling tidak akan terdapat kewenangan yang berhubungan dengan pemberian layanan (service delivery), kewenangan untuk merumuskan perencanaan pembangunan daerah (development planning and policy making), kewenangan untuk memberdayakan sumber daya daerah (distributional of resources), serta kewenangan untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan-kewenangan lainnya (controlling). Keempat jenis kewenangan ini bisa dikatakan sebagai kewenangan pokok atau core functions pemerintahan daerah yang terdapat disemua bidang / sektor pembangunan.
Ketika kewenangan pemerintahan dibagi hanya berdasarkan bidang (misalnya pertanian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya), dapat disimak bahwa tiga kewenangan terakhir sangatlah terabaikan. Dalam fungsi perencanaan, misalnya, hanya ada sebuah lembaga, yaitu Bappeda. Inipun diperparah dengan fakta bahwa perencanaan pembangunan yang dihasilkan Bappeda tidak memiliki kekuatan mengikat bagi lembaga-lembaga lainnya. Demikian pula Bawasda yang kurang memiliki “taring” untuk menjamin pemerintahan daerah yang bersih dan professional. Dan lemahnya fungsi-fungsi perencanaan dan pengawasan, jelas akan berdampak pada rendahnya kinerja pemerintahan daerah secara umum.
Adanya pemetaan yang jelas tentang fungsi-fungsi pemerintahan akan memudahkan daerah dalam menyusun perangkat kelembagaannya. Sebaliknya, pembentukan kelembagaan yang kurang mengindahkan fungsi-fungsi pemerintahan akan menghasilkan efisiensi dan efektivitas yang rendah. Dalam konteks ini, Desi Fernanda dalam forum diskusi terbatas di PKDA I LAN Bandung (12-5-2004), memberi ilustrasi menarik bahwa kelembagaan Puskesmas sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat” (private goods) yang harus disediakan oleh sektor privat pula. Barang publik (public goods) di bidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular), penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kesehatan, bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di privatisasi, jelas akan menghemat anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber baru pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

3.      Tingkat kemitraan, tingkat aplikasi teknologi, tingkat kemampuan personil, serta tingkat kemandirian / partisipasi masyarakat.
Faktor-faktor ini akan sangat menentukan pola penyelenggaraan sebuah kewenangan dan/atau pelayanan. Ketika sektor swasta telah memiliki kemampuan yang memadai untuk “mengambil alih” peran pemerintah dalam penyediaan layanan publik, maka kelembagaan pemerintah-pun harus diminimalisir sesuai dengan peningkatan kapasitas mitra kerja. Demikian pula dalam hal aplikasi teknologi. Jika program e-government (Inpres No. 3 tahun 2003) dapat dioptimalkan dan program pemberian layanan melalui internet dapat diteruskan, hal ini akan membawa implikasi langsung terhadap efisiensi kelembagaan sektor publik. Pada kasus lain, adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan pegawai secara normatif akan mendorong produktivitas dan efisiensi organisasi. Akhirnya, swadaya masyarakat yang tinggi menggambarkan ketergantungan yang rendah kepada birokrasi.

4.      Syarat-syarat teknis lain sebagaimana diatur oleh PP No. 8/2003.
Dalam lampiran PP No. 8/2003 disebutkan adanya faktor-faktor umum dan faktor-faktor khusus dalam penataan kelembagaan daerah. Faktor umum mencakup luas wilayah, jumlah penduduk, rasio belanja aparatur (rutin) dalam APBD, jumlah kabupaten/kota (untuk penataan propinsi) atau jumlah kecamatan dan desa / kelurahan (untuk penataan kabupaten/kota), serta aspek karakteristik daerah pengembangan / pertumbuhan.
Sedangkan jumlah dan jenis indikator untuk kategori “faktor khusus” sangat bervariasi secara sektoral. Dalam hal ini, sektor-sektor yang diatur meliputi 19 sektor atau bidang, masing-masing yakni: pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan, perindustrian dan perdagangan, koperasi dan UKM, penanaman modal, tenaga kerja dan trasmigrasi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, pekerjaan umum, perhubungan, pengendalian dampak lingkungan, informasi dan komunikasi, kebudayaan dan pariwisata, kesbang dan linmas, pemberdayaan masyarakat, dan pendapatan daerah.

Untuk mengelaborasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan kelembagaan tersebut, dapat dianalisis dengan menggunakan dua jenis logika, yakni logika “jika – maka” dan logika “bagaimana jika”.

Logika “jika – maka” dapat disebut sebagai cara berpikir yang bersifat linier dan paling sederhana dalam menata kelembagaan sektor publik. Sebagai contoh, jika kewenangan suatu daerah besar, maka struktur organisasi yang dibutuhkan juga harus besar agar dapat mewadahi kewenangan yang dimiliki. Contoh lainnya, semakin besar jumlah penduduk dan luas wilayah sebuah daerah, maka semakin besar atau banyak pula lembaga yang dibutuhkan untuk melayaninya. Selanjutnya, semakin besar kelembagaan yang terbentuk, semakin besarlah jumlah pegawai dan sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan organisasi tersebut.

Logika ini cukup logis, namun mengandung kelemahan yang sangat mendasar, jika tidak disebut sebagai bahaya. Dalam hal terjadi penambahan kewenangan misalnya, otomatis harus dilakukan penambahan atau pembesaran struktur organisasi. Padahal, penambahan kewenangan tidak selamanya disertai dengan transfer sumber daya yang seimbang. Oleh karena itu, pandangan yang meyakini bahwa besaran organisasi berhubungan secara tegak lurus dengan besaran kewenangan, tidak memiliki kerangka konseptual yang kuat sehingga dapat diabaikan. Sayangnya, logika ini cukup umum diterapkan di berbagai daerah sebagai “alasan pembenar” untuk menggemukkan struktur organisasi mereka. Pada kasus lainpun terlihat bahwa logika ini sesungguhnya tidak cukup rasional. Misalnya, jika terjadi pemekaran wilayah (pemecahan suatu daerah menjadi dua atau lebih) yang berimplikasi pada menyusutnya luas wilayah dan jumlah penduduk, maka format kelembagaan perlu dikurangi atau diperkecil.

Sebaliknya, dalam logika “bagaimana jika”, pertanyaan seperti bagaimana jika kondisi X terjadi?, bagaimana jika variable Y berubah?, bagaimana jika alternatif Z dipilih?, dan berbagai pertanyaan kritis lainnya, lebih diutamakan. Dengan kata lain, analisis kualitatif ini berpijak pada berbagai kemungkinan yang muncul dalam tahapan awal dari proses pembentukan kelembagaan, serta berbagai alternatif untuk menjawab berbagai kemungkinan tersebut. Dengan demikian, opsi kebijakan yang mungkin diambilpun juga cukup beragam.

Selanjutnya, dari beragam alternatif dan opsi kebijakan tadi, perlu dikerucutkan menjadi alternatif dan pilihan yang lebih spesifik. Untuk ini, ketajaman untuk mengenali faktor-faktor strategis daerah, kemampuan untuk melakukan analisis silang atau sebab akibat antar faktor, kejelian untuk mengoptimalkan potensi yang ada, kemampuan untuk memprediksikan trend pada masa depan, serta kecermatan untuk menentukan solusi atas masalah yang dihadapi, sangat dibutuhkan guna menghasilkan putusan (dalam hal ini format kelembagaan) yang benar-benar berbasis pada prinsip ramping, efektif, efisien, rasional, dan operasional.

Untuk menjawab pertanyaan “bagaimana jika terjadi penambahan kewenangan” misalnya, jawabannya tidak selalu harus berupa penambahan atau pembesaran organisasi. Sebelum sampai pada keputusan akhir, berbagai opsi bias dikembangkan seperti dengan cara membebankan kewenangan tersebut kepada unit kerja yang serumpun atau memiliki kedekatan karakteristik, menjalin kerjasama dengan pihak swasta, memacu kualitas dan produktivitas SDM, dan sebagainya. Demikian pula, perubahan dalam jumlah penduduk dan luas wilayah dapat disiasati dengan pengembangan perangkat teknologi informasi, penambahan frekuensi layanan “jemput bola”, pemangkasan prosedur kerja, dan sebagainya. Dengan demikian, penambahan kewenangan bisa berjalan terus, sementara variabel-variabel pembentukan daerahpun dapat berubah-ubah tanpa harus diikuti oleh penambahan unit kerja tertentu.

Harus diakui bahwa PP No. 8 tahun 2003 masih lebih menganut logika “jika – maka”. Hal ini nampak sekali dari dipergunakannya angka-angka untuk menentukan skala nilai, bobot dan skor suatu indikator tertentu. Jika total skor suatu bidang (misalnya pertanian) berarti belum dapat dibentuk organisasi perangkat daerah yang berdiri sendiri, dan fungsinya digabung dengan fungsi yang sejenis dan serumpun. Namun jika tercapai total skor antara 500 sampai dengan 750, dapat dibentuk organisasi yang berdiri sendiri, berbentuk Kantor. Adapun jika total skor lebih dari 750, maka dapat dibentuk organisasi perangkat daerah yang berdiri sendiri berbentuk Dinas atau Badan.

Inilah kekurangan utama PP No. 8 tahun 2003, dimana keputusan membentuk sebuah lembaga sangat ditentukan oleh pertimbangan kuantitatif semata. Dengan kata lain, pada saat perhitungan “matematis” menunjukkan hasil pada skala tertentu, maka harus dibentuk organisasi sesuai dengan kriteria skala tertentu pula. Dengan logika berpikir seperti ini, urgensi sebuah lembaga akan hilang manakala skor yang dijadikan dasar pembentukannya telah berkurang. Lagi pula, penetapan skor melalui perhitungan angka-angka seperti itu sangat membuka peluang terjadinya manipulasi data.

Penggunaan metode kuantitatif dengan sistem skor sesungguhnya sangat bermanfaat dalam proses penataan kelembagaan sepanjang tidak dijadikan sebagai metode tunggal. Pengabaian terhadap faktor-faktor lain akan mengakibatkan falsifikasi dalam menentukan alternatif dan opsi kelembagaan yang harus dipilih. Itulah sebabnya, dalam menjalankan program restrukturisasi kelembagaan sangat dianjurkan untuk menerapkan pertimbangan dan logika yang komprehensif.


Model Alternatif Kelembagaan Daerah


Sesuai dengan semangat desentralisasi dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah Propinsi dan terutama daerah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan format kelembagaannya, termasuk lembaga yang non-konvensional. Selama ini, perangkat (konvensional) daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas, dan Lembaga Teknis. Namun diluar itu, tetap dimungkinkan adanya pemunculan bentuk dan model baru kelembagaan daerah seperti kawasan otorita, lembaga semi publik, joint management, dan sebagainya. Dengan kewenangan yang ada, pemerintah Kabupaten / Kota dapat mengembangkan asas dekonsentrasi dan/atau ko-administrasi di wilayahnya, antara lain melalui pembentukan lembaga-lembaga alternatif atau non-konvensional ini.

Dengan demikian, penentuan alternatif kelembagaan di daerah pada hakekatnya ditujukan untuk memberi pilihan yang lebih leluasa kepada daerah untuk dapat menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan secara lebih optimal. Dapat dikatakan pula bahwa pengembangan model-model alternatif ini bukan dimaksudkan untuk merombak kelembagaan yang ada saat ini. Artinya, model-model baru ini sifatnya komplementer (pelengkap) terhadap kelembagaan yang telah ada, bukan bersifat subsitutif (pengganti). Sebagai fungsi pelengkap-pun, model-model tadi hanya merupakan sebuah tawaran dan tidak ada prinsip kemutlakan / keharusan untuk diterapkan di daerah.

Penerapan model alternatif kelembagaan ini tetap harus didasarkan pada kebutuhan riil dan kemampuan operasionalnya. Disamping itu, penerapan lembaga alternatif ini hendaknya juga tidak menjadikan struktur organisasi pemerintah daerah membesar secara tidak terkontrol. Justru sangat disarankan bahwa ketika lembaga alternatif ini dibentuk, sebaiknya dibarengi oleh pengurangan atau perampingan lembaga yang telah ada sebelumnya, sehingga memberikan efek efisiensi yang kuat.

Adapun model alternatif kelembagaan yang ditawarkan disini meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:

1.      Kawasan Otorita
Pengelolaan suatu kewenangan pemerintahan berbasis otoritas khusus (authority-based management) sesungguhnya merupakan sebuah model yang lumrah dan sering diyakini memiliki efektivitas tinggi. Hanya saja dalam konteks Indonesia, penetapan kawasan otorita selama ini masih menjadi wewenang pemerintah Pusat, sebagaimana terlihat dalam pembentukan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Otorita Jatiluhur, dan sebagainya.
Meskipun demikian, pembentukan badan atau lembaga otorita ini dapat dilakukan di daerah yang memiliki kawasan-kawasan khusus seperti pelabuhan, bandar udara, industri (industrial estate), perkebunan, pertambangan, kehutanan, pariwisata, jalan bebas hambatan dan sebagainya. Dan kenyataannya, kawasan-kawasan khusus seperti itu sangat banyak yang berlokasi di wilayah Kabupaten / Kota. Pengelolaan kawasan khusus oleh unit kerja konvensional yang terkesan asal-asalan, hanya akan menyebabkan fungsi pengembangan kawasan dan pelayanan umum menjadi merosot mutunya.
Sebagai contoh, potensi wisata pantai Pangandaran di Ciamis sesungguhnya tidak kalah dengan Bali, namun sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya cukup puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak terlihat ada upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional seperti rumah sakit dan super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat, laut dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang tersedianya media promosi skala nasional dan global. Jika saja Pangandaran dikelola oleh sebuah badan otorita, sangat mungkin kawasan ini akan berkembang maksimal, sehingga menguntungkan masyarakat pengguna jasa wisata dan pemerintah daerah setempat secara timbal balik.
Sebagai ilustrasi lain dapat dikemukakan disini bahwa pasca pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999, terjadi konflik pengelolaan pelabuhan antara daerah-daerah pantai seperti Cilacap, Cilegon dan Gresik dengan Pemerintah Pusat cq. Departemen Perhubungan dan PT Pelindo. Daerah menuntut agar Pemerintah Pusat menyerahkan pengelolaan pelabuhan, walaupun Daerah sendiri belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengambil alih manajemen pelabuhan. Dalam kasus demikian, perlu dipikirkan adanya “desentralisasi” dari BUMN kepada unit kerja di daerah baik BUMD maupun Badan Otorita Daerah. Jika model desentralisasi seperti ini dapat disepakati, maka infrastruktur yang dimiliki PT Pelindo (SDM, sistem informasi kepelabuhan, dan sumber daya lainnya) akan berubah status dan ditransfer menjadi asset daerah.

2.      Tim / Komisi
Model tim atau kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa “tim” sering kali dapat bekerja lebih cepat dan efisien dari pada lembaga induk yang membentuknya. Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional sehingga mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari sistem birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk satu tim untuk satu kasus (one team one case) ini berkelanjutan dan berlebihan, dalam kaca mata administrasi negara jelas merupakan suatu bentuk dari kegagalan birokrasi publik (bureaucracy failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-administrasi.

3.      Lembaga Semi-Publik/Semi-Privat atau Government-Initiated Private Management.
Pengertian lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai sebuah model kerjasama dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor privat (swasta) memiliki kedudukan dan peran yang berbeda, namun sinergis, dalam pengelolaan suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah memegang fungsi regulasi dan pengawasan, sementara investor menyelenggarakan fungsi-fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaannya. Contoh konkrit tentang hal ini adalah Manajemen “Kya-Kya Kembang Jepun” di Surabaya, sebuah arena pusat jajan yang sekaligus berfungsi sebagai wisata budaya di tengah kota.
Kawasan Kya-kya ini dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung 200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, serta 500 meja makan. Sebelum diterapkan, ide ini didahului oleh berbagai macam studi secara terpadu yang mencakup studi keamanan, studi perilaku warga kota, studi parkir dan transportasi, studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis dan teknis seperti sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage, listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan sebagainya.
Dampaknya cukup luar biasa. Disamping merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi kerakyatan, juga menjadi obyek wisata baru dan ajang pelestarian budaya. Manajemen Kya-kya juga menghasilkan efek sosial seperti perayaan Hari Anak Nasional dengan mengundang 300 anak yatim piatu untuk makan malam bersama, berpesta bersama 300 pengamen dalam acara "Festival Ngamen Tjap Kya-kya Kembang Djepoen" selama sebulan, memelihara monumen nasional Jembatan Merah, serta memberi tali asih kepada para pejuang veteran (Pikiran Rakyat, 16-5-2004).
Bagi Pemkot Surabaya sendiri, kehadiran Manajemen Kya-kya memberi manfaat yang signifikan. Disamping menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi, urusan kebersihan dan keamanan di kawasan Kya-kya juga ditangani oleh Manajemen Kya-kya, sehingga beban Pemkot menjadi jauh berkurang. Disamping itu, pengelolaan yang professional diharapkan dapat menciptakan mutu pelayanan yang jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari gambaran diatas, tidaklah berlebihan kiranya untuk memasukkan model pengelolaan kawasan seperti Manajemen Kya-kya sebagai salah satu Best Practices dalam administrasi publik.
Model pengelolaan kawasan oleh manajemen swasta yang dibimbing oleh regulasi Pemda seperti ini sesungguhnya bisa diujicobakan di daerah lain. Di Kota Bandung, misalnya, terdapat banyak sekali sentra-sentra industri kecil yang cukup spesifik seperti Cibaduyut (sepatu dan tas), Cihampelas (pakaian), Cigondewah (kain). Di Sidoarjo terdapat kawasan Tunggul Angin (tas dan sepatu), sementara di Yogyakarta terdapat kawasan Malioboro (kerajinan dan makanan), Kasongan (gerabah), dan sebagainya. Jika saja kawasan-kawasan tadi dikelola secara baik oleh sebuah organisasi professional (professional institution), dapat diyakini bahwa asumsi mendongkrak produktivitas kawasan binaan dan memperbaiki pelayanan umum khususnya bagi warga yang tinggal di sekitar kawasan binaan, akan tercapai.

4.      Pengelolaan Bersama (Joint Management)
Desentralisasi luas yang diintrodusir oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 ternyata sering membawa permasalahan atau konflik antar daerah. Beberapa konflik yang sempat muncul di media antara lain:
·         Konflik antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga dan terminal Bubulak (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).
·         Konflik antara Kota Bogor ke Kabupaten Bogor menyangkut kebijakan perluasan wilayah. Pihak Kabupaten ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta tanah kas desa (bengkok) yang ditarik masuk wilayah Kota (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2002).
·         Konflik antara Pemprov Jawa Barat (cq. Perda No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan Perda No. 24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh) dengan Kabupaten Cianjur, Garut, Camis, dan Tasikmalaya yang menerbitkan Perda yang mengatur hal yang sama (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2002).
·         Konflik antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder Kota Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan bau busuk (Kompas, 24 Juni 2002).
Untuk mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin kompleks, maka saling pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama regional sangat diperlukan. Dan untungnya, kesadaran untuk membangun kerjasama antar daerah melalui sistem pengelolaan bersama (joint management) ini sudah mulai nampak, antara lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala Daerah di wilayah tertentu, yakni:
·           Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management yang diorientasikan pada Regional Marketing yang diberi nama “Barlingmascakeb” (lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)
·           SKB Walikota Surakarta, Bupati Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati Sragen dan Bupati Klaten tentang Kerjasama Antar Daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Bahkan sebagai tindak lanjut dari SKB ini, telah dikeluarkan Keputusan Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang Rincian Tugas Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten (lihat di http://www.gtzsfdm.or.id/documents/laws_n_regs/others/Subosuka_Wonosraten.pdf).
Meskipun demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau pengelolaan bersama suatu urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak daerah dan meliputi semua hal. Bisa jadi, joint management hanya terjadi antara 2 daerah otonom dan untuk satu urusan tertentu. Sebagai contoh, Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah persampahan dan TPA Bantargebang. Demikian juga antara Pemkot Bandung dan Pemkot Cimahi, keduanya harus bekerjasama dan memiliki kesepakatan (MoU) dalam pengelolaan sampah kota dan pengaturan TPA Leuwigajah.

Tentu saja, masing-masing model kelembagaan yang ditawarkan diatas memiliki kelebihan dan kekurangan. Itulah sebabnya, sekali lagi ditekankan bahwa pemilihan dan penerapan suatu alternatif tertentu haruslah melalui sebuah kajian yang matang dan komprehensif sesuai kebutuhan riil dan kemampuan operasionalnya. Adapun kelebihan dan kekurangan dari masing-masing model ini dapat dilihat pada Tabel 1.


Catatan Penutup


Dari perspektif kesisteman, penyempurnaan atau restrukturisasi kelembagaan haruslah mampu membawa perubahan budaya kerja dari birokratisme menjadi korporatisme. Ini artinya, restrukturisasi kelembagaan hanya dapat dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan hallo-effect terhadap perilaku birokrasi. Dalam hal ini, proses perubahan perilaku yang diharapkan meliputi perubahan dari pola manajemen gotong royong menjadi renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari orientasi kolektivitas menjadi penghargaan terhadap eksistensi dan peran individu, dari otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari tertutup menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi debirokratis, dari “government” menjadi “governance”, serta dari “bad governance” menjadi “good governance” yang menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani atau civil society.

Perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format kelembagaan jika tidak ditunjang oleh perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar