Laman

Kamis, 02 September 2010

Beberapa Issu Strategis Jangka Pendek di Daerah dan Langkah Antisipasinya


Abstract


Following the commencement of democratic and decentralized era in Indonesia, both political and socio-economic climate has tented to be more dynamic in the grassroots level. ‘Change’ is the most prominent term found in local politics, covering three fundamental aspects, i.e. political, public administration, and constitutional law. Such changes bring about the conscience to recognize their implication and the needs to readjust the current system in line with the spirit of reform. This paper analyses five essential issues faced by local government and local people, i.e. direct election of Local Government Head, institutional arrangement, development planning system and documents, evaluation of inappropriate regional regulations, and perplexing issue on legal hierarchy. It also provides some recommendations could be taken in dealing with those issues.


Pendahuluan

Denyut nadi politik lokal di berbagai daerah di Indonesia berjalan begitu dinamis pasca terbukanya era demokrasi dan desentralisasi. Perubahan kebijakan di tingkat nasional serta tuntutan reformasi di tingkat akar rumput, telah menjadikan proses interaksi antar aktor dalam masyarakat bekerja dalam “tempo” yang tinggi. Dalam bidang politik, administrasi publik maupun hukum, masyarakat (termasuk kalangan aparat) saat ini tengah menghadapi pola baru yang muncul sebagai akibat semangat reformasi tadi.

Di bidang politik, misalnya, Pemilihan Presiden secara langsung segera disusul dengan “desentralisasi politik” berupa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung. Kebijakan ini merombak secara total posisi rakyat yang sebelumnya menjadi obyek politik menjadi pelaku aktif sistem demokrasi lokal. Namun sebagai suatu sistem yang baru, wajar bila pola pemilihan Kepala Daerah secara langsung menyisakan berbagai persoalan yang cukup rumit, dan oleh karenanya perlu disikapi dengan pemahaman dan kesiapan yang matang dari seluruh jajaran terkait.

Sementara dalam bidang administrasi publik, perubahan format kelembagaan dan kewenangan menjadi pilihan yang tidak terelakkan. Sebab, perubahan UU No. 22/1999 menjadi UU No. 32/2004 juga membawa perubahan terhadap konsep kewenangan serta konsep perangkat daerah. Oleh karena itu, UU Pemerintahan Daerah yang baru juga perlu diikuti dengan revisi PP No. 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Disisi lain, sistem dan dokumen perencanaan pembangunan juga mengalami penyempurnaan. Paling tidak, saat ini ada 4 (empat) payung hukum yang telah terbit yang mengatur tentang sistem, mekanisme dan instrumen perencanaan, yakni UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, PP No. 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dan Keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP (sebagai penyempurnaan dari Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/Y/1999). Lahirnya berbagai peraturan tersebut harus dipersepsi sebagai upaya untuk memperkuat fungsi perencanaan pembangunan baik di tingkat pusat maupun daerah.

Adapun di bidang hukum (HTN/HAN), munculnya Tap MPR No. III/2000 sebagai pengganti Tap MPRS No. XX/1966, yang kemudian disusul dengan lahirnya UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, cukup banyak menimbulkan kebingungan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan. Harus diakui bahwa ketidaksinkronan kedua produk hukum tadi banyak menimbulkan multi tafsir dan beragam pandangan. Selain itu, banyaknya Perda bermasalah yang menghambat investasi dan iklim kompetisi usaha di daerah juga merupakan “pekerjaan rumah” bidang hukum yang perlu segera diselesaikan.

Mengingat banyaknya perubahan-perubahan pada dimensi politik, administrasi publik, serta hukum diatas, maka tulisan ini mencoba menguraikan anatomi persoalan strategis di daerah pada jangka pendek serta beberapa langkah yang dapat ditempuh sebagai bentuk antisipasi kebijakan atas berbagai implikasi yang timbul dari permasalahan tersebut.


Lima Issu Strategis di Daerah

1.      Persiapan Penyelenggaraan Pilkada (PP No. 6/2005) dan Implikasi pasca Pilkada.[1]

Semenjak dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan secara demokratis (pasal 18 ayat 4).[2] Atas dasar amanat UUD 1945 inilah, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah direvisi, yang disusul dengan lahirnya PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih dikenal dengan PP Pilkada Langsung. Sayangnya, dalam prakteknya aturan ini masih menimbulkan banyak sekali kebingungan baik dikalangan masyarakat, partai politik, maupun pemerintah daerah dan KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada Langsung. Semenjak lahirnya UU No. 32/2004, banyak pihak menyangsikan bahwa Pilkada Langsung akan benar-benar menumbuhkan demokratisasi di tingkat akar rumput, serta bermanfaat bagi proses pembangunan daerah secara menyeluruh. Beberapa hal yang menjadi sumber keraguan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:

  1. Pilkada Langsung dinilai kurang demokratis karena tidak membuka peluang bagi calon independen untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya. Dalam pasal 56 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Dengan demikian, rakyat sesungguhnya hanya memiliki hak pilih “pasif” (memilih diantara calon yang tersedia), namun belum memiliki hak inisiatif aktif untuk mengajukan dirinya guna berkompetisi dalam ajang Pilkada Langsung tersebut (Utomo, 2004a).
b.      Pilkada Langsung masih membuka peluang terjadinya money politics. Penyebabnya adalah, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut (Utomo, 2004a).
c.      Keterbatasan dana Pilkada yang berakibat pada ancaman penundaan dan bahkan batalnya penyelenggaraan Pilkada. Menurut Mendagri, Pilkada kali ini secara nasional membutuhkan dana sebesar Rp. 929,3 miliar, yang Rp. 744,3 miliar diantaranya dialokasikan ke 226 daerah termasuk pemberian insentif khusus bagi 35 daerah pemekaran, yakni dua provinsi dan 33 kabupaten/kota. Sedangkan sisanya sebesar Rp. 185 miliar akan digunakan untuk mendukung pemerintah pusat dalam melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembinaan teknis, pemutakhiran data administrasi kependudukan, dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan pilkada. Dalam prakteknya, pencairan dana tersebut mengalami hambatan, sehingga banyak daerah mengeluh kekurangan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, Mendagri meminta agar Pemda memberikan dana talangan dari APBD, namun banyak daerah yang menolak melakukan hal itu. Kondisi ini masih diperparah dengan tidak jelasnya mekanisme alokasi dana Pilkada, kekurangakuratan dalam menghitung kebutuhan riil, dan sebagainya.
d.      Masalah logistik juga menjadi aspek yang krusial. Misalnya mengenai pengadaan barang, apakah akan dilakukan oleh KPU, KPUD, ataukah Depdagri. Sementara dalah hal metode yang digunakan juga belum terdapat kesamaan pandangan, apakah harus dengan tender atau dapat dengan penunjukkan langsung. Jika mengingat besaran anggaran, maka semestinya pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui proses tender (Keppres No. 80/2003).
e.      Pilkada Langsung juga menyimpan potensi konflik yang tinggi. Dari hasil inventarisasi Depdagri ditemukan ada 76 daerah dari 222 daerah yang akan menyelenggarakan Pikada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab. Faktor penyebab terjadinya konflik itu di antaranya salah memahami peraturan Pilkada dan kondisi daerah yang belum kondusif (Suara Karya, 15 Maret 2005). Sementara di Medan, berbagai elemen mengancam akan memboikot pilkada karena adanya informasi bahwa hanya dua pasang kandidat yang akan maju dalam pemilihan tersebut (Suara Pembaruan, 14 Maret 2005). Lebih jauh Iskandar (2005) mengidentifikasi beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah, yakni: 1) terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen, 2) kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen, 3) UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan, 4) kerancuan peran DPRD dalam Pilkada, dan 5) potensi konflik pasca Pilkada.
f.        Masalah baru muncul ketika pada tanggal 22 Maret 2005 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan tuntutan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU No. 32/2004. Pertanggungjawaban KPUD kepada DPRD sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 57 (1), 66 (3) dan 67 (1) dinyatakan batal oleh MK. Sebagai gantinya, MK menetapkan bahwa KPUD bertanggungjawab kepada “publik”. Disinilah masalah baru muncul: pertama, pengertian publik tidaklah jelas dan juga tidak ada penjelasan tentang lembaga apa yang dapat merepresentasikan publik tersebut; kedua, mekanisme dan instrumen pertanggungjawaban kepada publik juga tidak jelas. Oleh karena serba tidak jelas, bahaya yang lebih besar sesungguhnya tengah mengancam kita, yakni kegagalan untuk melihat sosok KPUD yang bertanggungjawab. Dan jika KPUD tidak lagi bertanggungjawab kepada siapapun (karena sumirnya pengertian “publik”), maka bisa dibayangkan seperti apa kualitas penyelenggaraan Pilkada nanti. Disamping itu, kondisi ini juga mencerminkan adanya kekacauan dan carut-marutnya sistem administrasi negara kita.

Sehubungan dengan adanya setumpuk persoalan diatas, maka perlu adanya pemahaman secara benar terhadap berbagai fenomena dan perkembangan situasi yang ada. Pada saat yang bersamaan, perlu pula dilakukan berbagai persiapan teknis maupun konseptual yang dapat mendukung pelaksanaan Pilkada secara optimal. Adapun beberapa langkah antisipasi yang dapat ditawarkan disini meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengenai sumber pembiayaan, disamping dana pokok yang berasal dari APBD masing-masing kabupaten/kota, pendanaan Pilkada sebaiknya juga mendapat pendampingan dari anggaran APBD Propinsi dan anggaran KPU, disamping alokasi yang sudah dipersiapan oleh Depdagri. Bahkan perlu didorong adanya dana pihak ketiga yang tidak mengikat seperti bantuan atau hibah dari partai politik, simpatisan, pengusaha, lembaga donor, dan lain-lain.
b.      Para politisi lokal hendaknya bersikap dewasa dan mampu menunjukkan sikap kenegarawanan guna menciptakan iklim politik yang sejuk, harmonis, dan kondusif untuk berjalannya program-program pembangunan sosial ekonomi. Dengan kata lain, perlu diusahakan agar upaya membangun demokrasi tidak menjadi trade-off bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
c.       Sebagai negara yang berasas hukum (rechtsstaat), setiap lembaga dan anggota masyarakat dituntut untuk taat hukum. Dan oleh karena keputusan MK telah memiliki kekuatan hukum yang pasti, maka kontroversi terhadap amar putusan harus dikesampingkan. Disini yang jauh lebih penting adalah memikirkan bagaimana melakukan penyesuaian terhadap implikasi dari putusan MK tersebut. Dalam hubungan ini, PP No. 6/2005 tetap harus dijadikan pedoman teknis dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung, sepanjang tidak menyangkut aspek pertanggungjawaban KPUD.
d.      Dalam perspektif kedepan, KPUD harus ditempatkan secara hierarkhis dibawah KPU, dan bukan lagi sebagai penyelenggara Pilkada tersendiri yang terpisah dari struktur KPU serta sistem Pemilu nasional. Sementara upaya tadi diproses, saat ini KPU tetap harus merasa bertanggungjawab – paling tidak secara moral – atas keberhasilan penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah. Wujud tanggung jawab moral ini adalah dengan ikut melakukan monitoring/supervisi, fasilitasi, serta konsultasi dan pembinaan teknis kepada institusi penyelenggara Pilkada Langsung.
e.      Depdagri perlu segera menerbitkan surat edaran yang menjabarkan pengertian “publik” sebagai penerima tanggungjawab KPUD. Dalam hal ini, pertanggung jawaban kepada publik bisa dimaknakan dalam beberapa cara atau metode, misalnya menetapkan dan/atau membentuk asosiasi kemasyarakatan yang menjadi representasi “publik”; menyampaikan laporan pertanggungjawaban tertulis kepada DPRD setempat dan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat; serta pertanggungjawaban (pengumuman) melalui media massa cetak dan elektronik. Inti gagasannya adalah, bagaimana proses dan hasil pelaksanaan Pilkada dapat dikontrol oleh sebanyak mungkin komponen kemasyarakatan atau pihak-pihak lain yang merasa berkepentingan dengan penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut.


2.     Implementasi UU 32/2004, khususnya mengenai penataan kelembagaan (revisi PP 8/2003). [3]

Dalam banyak hal, pengaturan aspek kelembagaan pada UU No. 32/2004 tidak berbeda jauh dibanding pada aturan yang ada sebelumnya. Sebagai contoh, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah.

Namun dalam beberapa hal lainnya, ternyata dimensi kelembagaan ini mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam UU No. 32/2004. Jika dalam UU No 22/1999 dinyatakan bahwa Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan Daerah (pasal 60), maka dalam pasal 120 UU No. 32//2004 terdapat penambahan perangkat daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Untuk propinsi, penambahan perangkat daerah tadi adalah sekretariat DPRD Propinsi, sedangkan untuk kabupaten/kota ada dua perangkat daerah yang baru, yakni Sekretariat DPRD dan Kelurahan.

Perubahan perangkat daerah tersebut berimplikasi logis terhadap kedudukan dan pola pertanggungjawaban dari lembaga yang bersangkutan. Untuk Sekretariat DPRD, misalnya, menurut pasal 29 UU Nomor 22/1999, Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD. Namun dengan kedudukan barunya sebagai perangkat daerah, maka Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah (pasal 123).

Demikian pula dengan lurah / kelurahan. Dalam pasal 67 UU Nomor 22/1999 disebutkan bahwa Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan, dan oleh karena itu bertanggungjawab kepada camat. Sementara dalam pasal 120 UU Nomor 32/2004 ditegaskan bahwa kelurahan adalah perangkat daerah kabupaten/kota. Implikasinya jelas bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Lurah bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat (pasal 127). Selain itu, ketentuan baru ini akan merombak total kewenangan kelurahan. Sebab, selama ini dianut paham bahwa kelurahan menerima pelimpahan kewenangan dari camat (pasal 67 UU Nomor 22/1999). Namun dengan statusnya yang baru sebagai “perangkat daerah”, maka kelurahan menerima pelimpahan tugas/urusan pemerintahan langsung dari bupati/walikota (pasal 127 UU Nomor 32/2004). Status kelurahan dan disamakan dengan kecamatan sebagai perangkat daerah ini sekaligus menegaskan bahwa kedudukan kecamatan dan kelurahan dalam konteks daerah otonom adalah sama.

Hal lain yang perlu dicermati sehubungan dengan perubahan perangkat daerah adalah pergeseran asas pemerintahan yang diemban / dijalankan kecamatan. Berdasarkan UU Nomor 5/1974, kecamatan adalah unsur kewilayahan yang menyelenggarakan asas dekonsentrasi. Sedangkan dalam UU Nomor 22/1999, secara implisit camat diposisikan sebagai unsur desentralisasi. Hal ini nampak dari bunyi pasal 66 (4) yakni “Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota”. Adapun dalam UU Pemda yang baru, kedua unsur tadi (desentralisasi dan dekonsentrasi) dilekatkan pada kecamatan.

Dalam tingkatan kebijakan yang lebih teknis, perubahan aspek perangkat daerah juga diatur dalam draft PP pengganti PP No. 8/2003.[4] Dalam aturan ini dimunculkan adanya 3 (tiga) jenis atau karakteristik perangkat daerah, yaitu:

  1. Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan wajib, terdiri dari 11 bidang yakni bidang perencanaan, kesehatan, pendidikan, sosial, prasarana dan sarana umum, lingkungan hidup, perekonomian, kependudukan, pertanahan dan pemerintahan umum, pendapatan dan keuangan daerah, serta ketentraman dan ketertiban umum.
b.      Perangkat Daerah yang melaksanakan urusan pilihan, terdiri dari 8 bidang yakni bidang pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, transmigrasi, pengembangan pekerjaan umum, serta kebudayaan dan pariwisata.
c.       Perangkat Daerah yang melaksanakan fungsi pendukung, terdiri dari 10 bidang yakni bidang pengawasan, pendidikan dan pelatihan, pelayanan kesehatan, penelitian dan pengembangan, kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, informasi dan komunikasi dan telematika, perpustakaan, kearsipan, serta koordinasi wilayah.

Dari pengklasifikasian diatas dapat diprediksikan bahwa perangkat daerah yang dapat dibentuk paling banyak adalah 29 buah. Hal ini dengan asumsi bahwa satu jenis urusan atau fungsi pendukung, dilaksanakan oleh satu perangkat daerah. Namun mengingat adanya pembatasan jumlah perangkat daerah (sebagaimana diatur pula dalam PP No. 8//2003), maka harus ada analisis dan pertimbangan yang matang dalam penyusunan format kelembagaan di daerah. Satu hal yang harus disepakati yakni mengenai prinsip kewenangan maksimal dengan kelembagaan minimal. Artinya, seluruh urusan harus dapat dijalankan meskipun tidak dengan jumlah kelembagaan yang banyak. “Kewenangan maksimal” dimaksudkan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, sementara “kelembagaan minimal” ditujukan untuk mencapai efisiensi sebesar mungkin. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa satu perangkat daerah akan mendapat beban untuk menyelenggarakan lebih dari satu urusan.

Dilihat dari aspek kewenangan / urusan, pengklasifikasian urusan diatas berarti pula merubah 11 kewenangan/urusan wajib yang diatur dalam pasal 11 UU No. 22/1999. Dari 11 kewenangan tadi, hanya bidang kesehatan, lingkungan hidup, pendidikan, dan pertanahan yang masih dipertahankan sebagai urusan wajib bagi daerah. Sementara bidang-bidang pekerjaan umum, pertanian, kebudayaan (disatukan dengan pariwisata), serta industri dan perdagangan, dimasukkan sebagai urusan pilihan. Ironisnya, urusan-urusan perhubungan, penanaman modal, koperasi, dan tenaga kerja tidak masuk dalam kategori manapun. Hal ini menyiratkan bahwa sesungguhnya masih terdapat bidang-bidang urusan lain, diluar ketentuan dalam draft pengganti PP No. 8/2003. Implikasinya jelas bahwa daerah masih memiliki peluang untuk membentuk perangkat daerah guna melaksanakan urusan-urusan yang belum diatur tadi.

Paparan diatas sekaligus menggambarkan pada kita bahwa draft pengganti PP No. 8/2003 masih memiliki banyak sekali kelemahan. Dalam hal ini, beberapa kelemahan lain yang dapat diidentifikasikan antara lain adalah:

  1. Draft pengganti PP No. 8/2003 lebih banyak mengatur mengenai kedudukan serta tugas pokok dan fungsi perangkat daerah, dan kurang menyediakan pedoman-pedoman teknis, baik kuantitatif maupun kualitatif, tentang tata cara dan persyaratan rinci pembentukan, penggabungan, pemekaran, dan pembubaran sebuah perangkat daerah.
b.      Draft pengganti PP No. 8/2003 juga masih banyak memberikan kewenangan atribusi kepada Menteri Dalam Negeri. Sebagai contoh, criteria pembentukan organisasi perangkat daerah (pasal 4), pedoman pembentukan organisasi kecamatan (pasal 16), pedoman pembentukan organisasi kelurahan (pasal 17), harus ditetapkan dengan Keputusan Mendagri. Disamping itu, Mendagri (bersama-sama Menpan) juga diberi wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap penetapan perangkat daerah di daerah yang belum memiliki DPRD (pasal 25). Padahal, sebuah PP semestinya sudah dapat mengatur suatu materi secara operasional.
c.       Salah satu kritik terhadap PP No. 8/2003 dahulu adalah pengaturan yang terlalu rigid dan kaku, sehingga menyulitkan jajaran aparat di daerah dalam mendesain format kelembagaan yang diperlukan. Sekarang, pengaturan dalam draft pengganti PP No. 8/2003 nampaknya terlalu sumir dan makro, sehingga sulit dijadikan sebagai sebuah pedoman.

Menyikapi adanya peraturan yang demikian, maka penyusunan SOTK (struktur organisasi dan tata kerja) daerah harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Selain itu, perubahan perilaku birokrasi adalah sebuah keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik apapun format kelembagaan jika tidak ditunjang oleh perilaku yang berorientasi pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.

3.     Penyusunan RPJP Daerah dan RPJM Daerah (UU No. 25/2004; PP No. 20/2004).

Hingga saat ini, ystem semua daerah dan instansi setingkat eselon II sudah memiliki Rencana Strategis. Namun dengan lahirnya UU No. 25/2004, daerah memiliki kewajiban baru untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Jangka Pendek (RPJM). Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana hubungan antara Renstra dengan RPJP Daerah dan RPJM Daerah? Atau, apakah Renstra tadi secara otomatis tidak berlaku dengan lahirnya peraturan tentang RPJP dan RPJM Daerah?

UU 25/2004 menegaskan bahwa RPJM Kementerian/Lembaga atau disebut juga Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 tahun, yang harus dijabarkan dalam Rencana Kerja Tahunan yang disebut Renja-KL. Di tingkat Daerah, RPJM Satuan Kerja Pemerintah Daerah disebut juga Renstra-SKPD, dan harus dijabarkan dalam Rencana Kerja Tahunan yang disebut Renja-SKPD. Dari pengertian tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan dan tambahan penjelasan sebagai berikut:

  1. Yang wajib menyusun dan memiliki RPJP dan RPJM adalah pemerintah NKRI serta Pemerintah Daerah sebagai sebuan entitas otonom. Sementara bagi Kementerian/Lembaga dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah hanya wajib menyusun RPJM yang berkaitan dengan tupoksi unitnya, dan sekaligus berfungsi sebagai Rencana Strategis bagi masing-masing unit tersebut.
b.      Berkaitan dengan butir diatas, Rencana Strategis Daerah yang telah ada saat ini secara otomatis hanya berlaku sebagai RPJM Daerah. Meskipun demikian, sistematika Renstra yang lama perlu dimodifikasi sesuai aturan penyusunan RPJM. Sebagai contoh, dalam Renstra lama terdapat komponen Visi dan Misi. Pada model perencanaan yang baru, komponen Visi dan Misi merupakan bagian dari RPJP. Namun, Renstra-KL maupun Renstra-SKPD masih harus mencantumkan visi dan misi organisasinya. Sebab, Kementerian/Lembaga maupun SKPD tidak memiliki RPJP tersendiri.
c.       Oleh karena Renstra hanya berfungsi sebagai RPJM, maka Daerah juga harus segera menyusun dokumen perencanaan untuk periode 20 tahun kedepan, yakni RPJP Daerah. Selain berisi visi dan misi, RPJP juga harus mengatur tentang arah pembangunan daerah secara umum.
d.      RKP Nasional, RPJM Daerah, Renstra-KL maupun Renstra-SKPD harus berisi program dan kegiatan pembangunan (beserta pendanaannya) yang bersifat indikatif. Pengertian indikatif adalah bahwa informasi, baik tentang sumber daya yang diperlukan maupun keluaran dan dampak yang tercantum di dalam dokumen rencana ini, hanya merupakan indikasi yang hendak dicapai dan tidak kaku.
e.      Mengingat lahirnya UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004 membawa implikasi terhadap sistem perencanaan pembangunan di daerah serta penyusunan Renstra, maka Keputusan Kepala LAN No. 239/2003 harus direvisi ulang. Beberapa hal yang perlu direvisi adalah:
·        Pengaturan ulang tentang unit kerja wajib Renstra. Dalam hal ini, Kementerian/Lembaga dan SKPD yang masih harus menyusun Renstra; sementara Daerah sebagai entitas otonom tidak lagi wajib menyusun Renstra, tapi wajib menyusun RPJM.
·        Penyesuaian peristilahan sebagaimana diatur dalam UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004. Sebagai contoh, istilah RKT (Rencana Kerja Tahunan) berubah menjadi Renja (Rencana Kerja).
·        Pengaturan ulang mengenai sifat / tingkatan program dan kegiatan. Selama ini program dan kegiatan dalam Renstra adalah sesuatu yang sudah sangat terukur, namun menurut ketentuan UU No. 25/2004 dan PP No. 20/2004 cukup bersifat indikatif. Artinya, terhadap program dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam Renstra dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan tahun berjalan. Dengan demikian, Renstra bukan lagi menjadi dokumen mati, kaku dan rigid, yang justru menyulitkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi suatu instansi.

4.     Evaluasi dan Revisi Perda Bermasalah

Demi alasan menggenjot PAD, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. pada gilirannya, aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu justru menjadi kurang mampu menjadi sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain, logika berpikir yang diterapkan banyak daerah saat ini adalah “ingin untung secara cepat dan mudah”, namun sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka panjang. Logika ini semestinya diubah, yakni dengan menciptakan kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan campur tangan, peningkatan subsidi, pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan pengampunan pajak bila diperlukan), namun akan merangsang aktivitas ekonomi yang secara akumulatif menjadi sumber baru yang dapat diandalkan pada masa mendatang.

Beberapa ahli dan lembaga telah mengkaji dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang berlebihan ini. Sebagai contoh, Susastro (t.t.) menyatakan bahwa Perda semacam itu mengakibatkan meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi yang satu ke propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang lain. Sementara itu, dari banyak kasus yang diteliti Akatiga (t.t.) pada industri konveksi, logam dan kerajinan, tingkat keuntungan pengusaha yang masih bertahan, akan lebih kecil ketimbang biaya kelancaran alias pungutan resmi maupun siluman yang dikeluarkan. Sebuah industri logan di Klaten pada penjualan 1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang keuntungannya hanya 2,18 persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha kecil, apalagi dalam menghadapi pasar bebas era globalisasi. Dipastikan bakal tak mampu bersaing dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis, pungutan pun berdampak juga pada terjadinya erosi moral dan rusaknya etika bisnis, yang tidak hanya di instansi pemerintah, tetapi juga merambah dunia usaha.

Pemerintah sesungguhnya sudah berupaya maksimal untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2002 yang lalu, misalnya, pemerintah telah melakukan penilaian atas 1.183 perda yang diterima Depdagri dalam kurun waktu 7 Mei 1999 hingga Mei 2002. Diantara sekian Perda tersebut, 80 diantaranya dinyatakan dicabut (Media Indonesia, 21 Nopember 2002). Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).

Mengingat kondisi sebagaimana tersebut diatas, maka alangkah baiknya jika daerah dapat memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Penyusunan Perda hendaknya dilakukan seselektif mungkin, dalam arti benar-benar sesuai kebutuhan riil daerah dan masyarakat di wilayahnya. Disamping itu, penyusunan sebuah Perda hendaknya juga dilakukan dengan mekanisme normatif yang berlaku, seperti penyusunan naskah akademik, pengkajian dan analisis dampak yang mungkin timbul, dan sebagainya.
b.      Daerah hendaknya juga berbesar hati untuk menyampaikan setiap Perda yang ditetapkan kepada pemerintah Pusat. Sebab, walaupun daerah memiliki otonomi yang luas dan pengawasan represif pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, namun penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap harus ditempatkan dalam kerangka NKRI. Dengan demikian, penyampaian Perda bukan dimaksudkan untuk mengundang intervensi Pusat, melainkan wujud solid dan harmonisnya hubungan Pusat – Daerah.
c.       Evaluasi secara periodik terhadap Perda-perda yang ada perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang terlibat khususnya para pebisnis lokal.
d.      Orientasi legislator perlu dibenahi agar dalam proses regulation drafting tidak hanya berpikir memperbesar pemasukan bagi kas daerah, tetapi lebih kepada upaya meningkatkan mutu pelayanan publik.

5.     Ketidakjelasan Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundang- Undangan.

Dewasa ini terdapat indikasi adanya pertentangan antara materi Tap MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 2 Tap MPR No. III/2000 dinyatakan bahwa Tap MPR dan Keputusan Presiden termasuk dalam tata urutan peraturan perundangan, namun ternyata tidak diatur dalam UU No. 10/2004 (pasal 7). Perbedaan materi pengaturan diantara kedua produk hukum tersebut menimbulkan beberapa kebingungan, antara lain:

a.      Apakah Tap MPR masih diakui sebagai bentuk peraturan perundangan dibawah UUD 1945 atau tidak.
b.      Apakah UU No. 10/2004 merupakan lex specialis (hukum khusus) dari Tap MPR No. III/2000 yang merupakan hukum umum (lex generalis) atau tidak.
c.       Apakah Keputusan Presiden masih berlaku dan dapat dibentuk pada waktu sekarang dan yang akan datang, ataukah tidak. Pada pasal 7 (4) UU No. 10/2004 disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Klausul ini mengandung pengertian bahwa Keputusan Presiden masih dapat berlaku dan Presiden masih memiliki kewenangan sah untuk membentuk Keputusan Presiden. Namun dalam pasal 56 (Ketentuan Penutup) UU ini ditegaskan bahwa “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ketentuan ini menyiratkan bahwa Keputusan Presiden merupakan produk hukum yang tidak dikenal lagi, sementara fungsi pengaturan dan penetapan oleh Presiden pada masa setelah berlakunya UU ini, harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Terhadap ketidakjelasan aturan diatas, dapat ditarik beberapa penafsiran hukum (rechts interpretatie) sebagai berikut:

a.      Dilihat dari waktu pengundangannya, Tap MPR No. III/2000 memang merupakan hukum yang mendahului (lex anteriori) UU No. 10/2004 (lex posteriori). Namun dilihat dari tingkatannya, Tap MPR No. III/2000 merupakan hukum yang lebih tinggi (lex superiori) dibanding UU No. 10/2004 (lex inferiori). Dengan demikian, UU No. 10/2004 tidak dapat dan tidak mungkin membatalkan muatan yang telah diatur dalam Tap MPR No. III/2000. Ini berarti pula bahwa Tap MPR No. III/2000 secara yuridis harus ditafsirkan masih terus berlaku. Dan oleh karenanya, aturan-aturan dalam Tap MPR No. III/2000 tersebut masih memiliki kekuatan hukum yang kuat dan pasti.
b.      Jika UU No. 10/2004 berfungsi sebagai lex specialis, maka Tap MPR No. III/2000 ini secara otomatis menjadi tidak berlaku. Namun jika “tidak”, maka Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Disamping itu, pasal 57 (Ketentuan Penutup) UU ini juga tidak secara eksplisit menyatakan tidak berlaku terhadap Tap MPR No. III/2000. Dua produk hukum yang dicabut secara tegas adalah UU No. 1 Tahun 1950 tertang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat, serta UU No. 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal. Itupun masih disertai klausul bahwa UU tersebut dicabut sepanjang yang telah diatur dalam UU No. 10/2004 ini. Dengan kata lain, UU No. 10/2004 merupakan hukum yang melengkapi (lex complementaire) ketentuan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan. Secara analog hal ini dapat digunakan sebagai dasar pembenar bahwa Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
c.       Mengacu kepada kedua interpretasi hukum diatas, maka produk hukum berbentuk Keputusan Presiden masih dapat dibuat dan tetap memiliki kekuatan hukum yang setingkat dengan Peraturan Presiden. Justru munculnya produk hukum berbentuk Peraturan Presiden dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan, karena akan terjadi kejelasan bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat pengaturan secara umum (regeling), sedang Keputusan Presiden adalah produk hukum yang bersifat penetapan secara konkrit dan individual (beschikking). Dalam aturan lama, Keputusan Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan. Dengan kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan kebijaksanaan. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk disalahgunakan oleh Presiden. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan ini (UU No. 10/2004), Keputusan Presiden hanya akan menyangkut hal-hal tertentu seperti penunjukan / pengangkatan Menteri atau pejabat negara lainnya, pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.

Dalam konteks implementasi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan di tingkat daerah, dapat disimpulkan bahwa baik Tap MPR No. III/2000 maupun UU No. 10/2004 masih memiliki kekuatan hukum yang kuat, dan oleh karenanya harus tetap dipedomani dalam penyusunan peraturan perundangan di daerah. Selain itu, dalam perspektif kedepan, lahirnya UU No. 10/2004 ini harus ditindaklanjuti dengan reformasi hukum di tingkat daerah, yakni perlunya dimunculkan produk hukum baru yaitu Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota. Sebab, Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati/Walikota saat ini juga masih ambivalen (bersifat mengatur sekaligus menetapkan).

Argumentasi hukum diatas juga dapat dipergunakan untuk menafsirkan adanya pertentangan materi hukum antara UU Pemerintahan Daerah (baik No. 22/1999 maupun 32/2004) dengan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Menurut pasal 11 UU 22/1999, bidang pertanahan adalah salah satu urusan pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota disamping pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, Industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi, dan tenaga kerja. Sedangkan dalam pasal 14 UU 32/2004 ditegaskan pula bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi 16 rincian urusan, yang salah satunya adalah pelayanan pertanahan.

Namun berdasarkan Keputusan Presiden No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, kewenangan bidang Pertanahan pada dasarnya masih dipegang oleh Pemerintah, terutama yang mencakup fungsi-fungsi perencanaan, perumusan kebijakan, dan fungsi-fungsi strategis lainnya. Sedangkan Daerah hanya dapat menjalankan urusan-urusan teknis operasional. Anehnya, meskipun tingkatan Keppres berada dibawah UU, namun justru Keppres inilah yang secara de facto dijalankan secara efektif. Dalam hal ini, beberapa opsi dapat dikemukakan sebagai berikut:

a.      Meskipun tingkatannya lebih rendah, namun Keppres ini berfungsi sebagai lex specialis dari UU Pemerintahan Daerah. UU hanya mengatur bahwa kewenangan pertanahan merupakan urusan wajib, namun ketentuan semacam ini masih memerlukan penjabaran kedalam butir-butir yang lebih terinci. Dengan penafsiran ini, maka tidak dapat dikatakan bahwa Keppres No. 34/2003 bertentangan secara penuh dengan UU Pemerintahan Daerah.
b.      Secara obyektif berbagai daerah kurang mampu menjalankan kewenangan pertanahan, sehingga penyelenggaraan kewenangan pertanahan sendiri selama ini masih dipegang oleh BPN sebagai perangkat Pusat. Oleh karena itu, lebih baik kewenangannya-pun “dikembalikan” kepada Pusat atau Provinsi sebagai wakil pemerintah Pusat. Apabila kemampuan daerah telah meingkat, maka urusan pertanahan ini dapat dikembalikan kepada daerah berdasarkan prinsip otonomi luas yang dimilikinya. Kasus pertanahan ini sekaligus menyadarkan kita bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak berarti pengalihan secara tiba-tiba seluruh kewenangan dan sumber daya dari Pusat kepada Daerah. Prinsip kemanfaatan dan efektivitas penyelenggaraan suatu urusan juga harus dipertimbangkan dengan seksama sebelum terjadinya proses pengalihan tersebut.


Catatan Penutup

Kelima issu krusial yang dikemukakan diatas hanyalah sebagian kecil dari “gunung es” permasalahan riil yang dihadapi oleh jajaran pemerintah daerah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tantangan terbesar adalah bagaimana menyelesaikan masalah tersebut melalui langkah-langkah yang sistematis, sehingga dapat dicapai hasil yang optimal dan mampu menjadi sinergi bagi pembangunan di daerah.

Dalam proses transisi menuju pemerintahan daerah yang bersih, amanah, akuntabel, dan demokratis (good local governance), adalah hal yang wajar jika praktek penyelenggaraan pemerintahan diwarnai dengan berbagai masalah dan kekurangan. Namun, adanya berbagai masalah tadi bukanlah merupakan pembenar terhadap kinerja pemerintah daerah yang rendah. Oleh karena itu, yang harus segera dilakukan sekarang adalah membenahi berbagai dimenasi manajemen pemerintahan daerah, baik pada tahap perencanaan, koordinasi, dan pengawasan. Penyempurnaan aspek-aspek administrasi tersebut diyakini dapat menjadi prasyarat dasar berlangsungnya pembangunan daerah secara optimal, sekaligus mampu mengantarkan masa transisi menuju terwujudnya good local governance.


Referensi
Iskandar, Israr, 2005, Potensi Konflik dalam Pilkada Langsung, dalam Suara Karya edisi 10 Maret.
Soesastro, Hadi, tanpa tahun, Otonomi Daerah Dan Free Internal Trade, tersedia online di http://www.pacific.net.id/pakar/hadisusastro/010522.html
Utomo, Tri Widodo W., 2004a, Pilkada Langsung Dalam Kerangka Reformasi Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis, dalam Jurnal Online “Inovasi”, PPI Jepang, Vol. 2/XVI, November 2004, hal. 10 – 12
_____________, 2004b, “Implikasi Perubahan UU Pemerintahan Daerah Terhadap Aspek Kewenangan dan Kelembagaan (Sebuah Pengamatan Awal)”, dalam Jurnal Ilmu Administrasi, STIA LAN Bandung Vol. 1 No. 4, 2004, hal. 353-364.
_____________, 2005, “Disorientasi Pelaksanaan Pilkada Langsung”, dalam Kaltim Post tanggal 28-29 Maret 2005.


[1]     Sebagian besar paparan pada bagian ini pernah dipublikasikan di harian Kaltim Post tanggal 28-29 Maret 2005 dengan judul “Disorientasi Pelaksanaan Pilkada Langsung” (Utomo, 2005).
[2]     Pengertian “demokratis” diartikan bahwa pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan secara langsung. Sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan (DPRD) sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru hingga periode berlakunya UU No. 22/1999, dinilai sudah tidak sesuai dengan semangat demokratisasi dan desentralisasi. Terlebih lagi, pemilihan Presiden juga sudah dilaksanakan secara langsung, sehingga pemilihan Kepala Daerah-pun juga harus mengikuti model demokrasi di tingkat nasional. Selain itu, dalam pasal 62 dan 78 UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka DPRD tidak lagi memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
[3]     Beberapa bagian dari paparan ini disadur dari tulisan penulis berjudul “Implikasi Perubahan UU Pemerintahan Daerah Terhadap Aspek Kewenangan dan Kelembagaan (Sebuah Pengamatan Awal)”, dalam Jurnal Ilmu Administrasi, STIA LAN Bandung Vol. 1 No. 4, 2004b, hal. 353-364.
[4]     Analisis pada makalah ini didasarkan pada draft pertama PP pengganti PP No. 8/2003, tanggal 8 Desember 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar