Laman

Kamis, 02 September 2010

Issu dan Arah Penataan Bidang Hukum Di Daerah


SEIRING dengan proses reformasi politik yang terus bergulir, pembenahan dimensi yuridis dan regulasi juga memerlukan perhatian secara serius. Sebab jika kita cermati dengan lebih teliti, permasalahan hukum dewasa ini merupakan sumber dari berbagai persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Dari aparat dan institusi hukum yang diindikasikan kurang bersih dan kurang professional, benturan antara satu produk hukum dengan produk hukum lainnya, penegakan hukum yang inkonsisten, hingga perumusan produk hukum yang tidak mencerminkan kepentingan orang banyak, adalah contoh-contoh problema di bidang hukum yang selalu menghantui kita.

Padahal, sistem hukum dan tata hukum yang baik dan tertib adalah prasyarat utama terciptanya tertib sosial sekaligus tertib administrasi dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpa pembenahan yang komprehensif terhadap permasalahan bidang hukum, maka upaya kita mewujudkan visi pembangunan yang berkeadilan menuju masyarakat sejahtera, akan mengalami hambatan.

Untuk itu, tulisan berikut mencoba menguraikan anatomi dua permasalahan bidang hukum, serta beberapa arah penataan yang diperlukan. Dalam tataran empirik, kedua issu dibawah ini merupakan persoalan yang sering diungkapkan dan dipertanyakan oleh berbagai praktisi pemerintahan, sehingga memerlukan klarifikasi dengan segera.


Evaluasi dan Revisi Perda Bermasalah


Demi alasan menggenjot PAD, banyak daerah yang lantas memberlakukan Perda yang berisi pungutan atau pembebanan finansial atas kegiatan ekonomi masyarakat. Alih-alih meningkatkan kemampuan keuangan daerah, kebijakan tadi justru banyak menimbulkan biaya tinggi (high cost economy) yang menghambat masuknya investasi ke daerah. pada gilirannya, aktivitas ekonomi yang seret atau terganggu justru menjadi kurang mampu menjadi sumber pendapatan daerah. Dengan kata lain, logika berpikir yang diterapkan banyak daerah saat ini adalah “ingin untung secara cepat dan mudah”, namun sesungguhnya mengandung bahaya pada jangka panjang. Logika ini semestinya diubah, yakni dengan menciptakan kemudahan-kemudahan (seperti pengurangan campur tangan, peningkatan subsidi, pemberian pemutihan dan dispensasi, bahkan pengampunan pajak bila diperlukan), namun akan merangsang aktivitas ekonomi yang secara akumulatif menjadi sumber baru yang dapat diandalkan pada masa mendatang.

Beberapa ahli dan lembaga telah mengkaji dampak buruk dari penerapan Perda retribusi yang berlebihan ini. Sebagai contoh, Susastro (t.t.) bahwa Perda semacam itu mengakitabkan meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari propinsi yang satu ke propinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang lain. Sementara itu, dari banyak kasus yang diteliti Akatiga (t.t.) pada industri konveksi, logam dan kerajinan, tingkat keuntungan pengusaha yang masih bertahan, akan lebih kecil ketimbang biaya kelancaran alias pungutan resmi maupun siluman yang dikeluarkan. Sebuah industri logan di Klaten pada penjualan 1997, mengeluarkan biaya pungutan 12 persen, sedang keuntungannya hanya 2,18 persen. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan bagi pengusaha kecil, apalagi dalam menghadapi pasar bebas era globalisasi. Dipastikan bakal tak mampu bersaing dengan produk impor. Tidak hanya bersifat ekonomis, pungutan pun berdampak juga pada terjadinya erosi moral dan rusaknya etika bisnis, yang tidak hanya di instansi pemerintah, tetapi juga merambah dunia usaha.

Pemerintah sesungguhnya sudah berupaya maksimal untuk mengatasi masalah ini. Pada tahun 2002 yang lalu, misalnya, pemerintah telah melakukan penilaian atas 1.183 perda yang diterima Depdagri dalam kurun waktu 7 Mei 1999 hingga Mei 2002. Diantara sekian Perda tersebut, 80 diantaranya dinyatakan dicabut (Media Indonesia, 21 Nopember 2002). Sayangnya, kapasitas pemerintah untuk mengontrol seluruh Perda sangatlah terbatas. Belum lama ini, pemerintah melalui Kepala Badan Pengkajian Keuangan dan Hubungan Internasional Depkeu mengakui kesulitan untuk mengawasi atau mencabut perda yang dikeluhkan kalangan pengusaha telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi, karena pemda tidak menyampaikan perda tersebut ke pusat. Dari sekitar 15 ribu perda yang berlaku, baru 4 ribu perda yang disampaikan ke pusat. Berarti ada 11 ribu perda yang tidak disampaikan ke pemerintah (Media Indonesia, 8 Maret 2005).

Mengingat kondisi sebagaimana tersebut diatas, maka alangkah baiknya jika daerah dapat memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

·        Penyusunan Perda hendaknya dilakukan seselektif mungkin, dalam arti benar-benar sesuai kebutuhan riil daerah dan masyarakat dii wilayahnya. Disamping itu, penyusunan sebuah Perda hendaknya juga dilakukan dengan mekanisme normatif yang berlaku, seperti penyusunan naskah akademik, pengkajian dan analisis dampak yang mungkin timbul, dan sebagainya.
·        Daerah hendaknya juga berbesar hati untuk menyampaikan setiap Perda yang ditetapkan kepada pemerintah Pusat. Sebab, walaupun daerah memiliki otonomi yang luas dan pengawasan represif pemerintah Pusat sudah mulai berkurang, namun penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap harus ditempatkan dalam kerangka NKRI. Dengan demikian, penyampaian Perda bukan dimaksudkan untuk mengundang intervensi Pusat, melainkan wujud solid dan harmonisnya hubungan Pusat – Daerah.
·        Evaluasi secara periodik terhadap Perda-perda yang ada perlu dilakukan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat yang terlibat khususnya para pebisnis lokal.
·        Orientasi legislator perlu dibenahi agar dalam proses regulation drafting tidak hanya berpikir memperbesar pemasukan bagi kas daerah, tetapi lebih kepada upaya meningkatkan mutu pelayanan publik.


Ketidakjelasan Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan

Dewasa ini terdapat indikasi adanya pertentangan antara materi Tap MPR No. III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dengan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal 2 Tap MPR No. III/2000 dinyatakan bahwa Tap MPR dan Keputusan Presiden termasuk dalam tata urutan peraturan perundangan, namun ternyata tidak diatur dalam UU No. 10/2004 (pasal 7). Perbedaan materi pengaturan diantara kedua produk hukum tersebut menimbulkan beberapa kebingungan, antara lain:

·        Apakah Tap MPR masih diakui sebagai bentuk peraturan perundangan dibawah UUD 1945 atau tidak.
·        Apakah UU No. 10/2004 merupakan lex specialis (hukum khusus) dari Tap MPR No. III/2000 yang merupakan hukum umum (lex generalis) atau tidak.
·        Apakah Keputusan Presiden masih berlaku dan dapat dibentuk pada waktu sekarang dan yang akan datang, ataukah tidak. Pada pasal 7 (4) UU No. 10/2004 disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Klausul ini mengandung pengertian bahwa Keputusan Presiden masih dapat berlaku dan Presiden masih memiliki kewenangan sah untuk membentuk Keputusan Presiden. Namun dalam pasal 56 (Ketentuan Penutup) UU ini ditegaskan bahwa “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ketentuan ini menyiratkan bahwa Keputusan Presiden merupakan produk hukum yang tidak dikenal lagi, sementara fungsi pengaturan dan penetapan oleh Presiden pada masa setelah berlakunya UU ini, harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Terhadap ketidakjelasan aturan diatas, dapat ditarik beberapa penafsiran hukum (rechts interpretatie) sebagai berikut:

·        Dilihat dari waktu pengundangannya, Tap MPR No. III/2000 memang merupakan hukum yang mendahului (lex anteriori) UU No. 10/2004 (lex posteriori). Namun dilihat dari tingkatannya, Tap MPR No. III/2000 merupakan hukum yang lebih tinggi (lex superiori) dibanding UU No. 10/2004 (lex inferiori). Dengan demikian, UU No. 10/2004 tidak dapat dan tidak mungkin membatalkan muatan yang telah diatur dalam Tap MPR No. III/2000. Ini berarti pula bahwa Tap MPR No. III/2000 secara yuridis harus ditafsirkan masih terus berlaku. Dan oleh karenanya, aturan-aturan dalam Tap MPR No. III/2000 tersebut masih memiliki kekuatan hukum yang kuat dan pasti.
·        Jika UU No. 10/2004 berfungsi sebagai lex specialis, maka Tap MPR No. III/2000 ini secara otomatis menjadi tidak berlaku. Namun jika “tidak”, maka Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Disamping itu, pasal 57 (Ketentuan Penutup) UU ini juga tidak secara eksplisit menyatakan tidak berlaku terhadap Tap MPR No. III/2000. Dua produk hukum yang dicabut secara tegas adalah UU No. 1 Tahun 1950 tertang Jenis dan Bentuk Peraturan yang Dikeluarkan Oleh Pemerintah Pusat, serta UU No. 2 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Penerbitan Lembaran Negara dan Berita Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan, dan Mulai Berlakunya Undang-Undang Federal. Itupun masih disertai klausul bahwa UU tersebut dicabut sepanjang yang telah diatur dalam UU No. 10/2004 ini. Dengan kata lain, UU No. 10/2004 merupakan hukum yang melengkapi (lex complementaire) ketentuan yang telah ada sepanjang tidak bertentangan. Secara analog hal ini dapat digunakan sebagai dasar pembenar bahwa Tap MPR No. III/2000 masih terus berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
·        Mengacu kepada kedua interpretasi hukum diatas, maka produk hukum berbentuk Keputusan Presiden masih dapat dibuat dan tetap memiliki kekuatan hukum yang setingkat dengan Peraturan Presiden. Justru munculnya produk hukum berbentuk Peraturan Presiden dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan, karena akan terjadi kejelasan bahwa Peraturan Presiden adalah produk hukum yang bersifat pengaturan secara umum (regeling), sedang Keputusan Presiden adalah produk hukum yang bersifat penetapan secara konkrit dan individual (beschikking). Dalam aturan lama, Keputusan Presiden dapat berisi baik pengaturan maupun penetapan. Dengan kata lain, Keputusan Presiden saat itu berkedudukan sebagai peraturan perundang-undangan, sekaligus sebagai peraturan kebijaksanaan. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan kebingungan, perbedaan interpretasi, serta peluang untuk disalahgunakan oleh Presiden. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan ini (UU No. 10/2004), Keputusan Presiden hanya akan menyangkut hal-hal tertentu seperti penunjukan / pengangkatan Menteri atau pejabat negara lainnya, pembentukan panitia-panitia negara yang bersifat ad-hoc, dan sebagainya.

Dalam konteks implementasi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangan di tingkat daerah, dapat disimpulkan bahwa baik Tap MPR No. III/2000 maupun UU No. 10/2004 masih memiliki kekuatan hukum yang kuat, dan oleh karenanya harus tetap dipedomani dalam penyusunan peraturan perundangan di daerah. Sejalan dengan hal itu, di tingkat daerah harus dilakukan perubahan pola pikir tentang budaya hukum. Selama ini, Peraturan Daerah hanya dilaksanakan dengan Keputusan Kepala Daerah (baik Gubernur maupun Bupati/Walikota), sedangkan Keputusan tadi sesungguhnya masih ambivalen karena bersifat mengatur sekaligus menetapkan.

Itulah sebabnya, Pemprop maupun Pemkab/Pemkot khususnya Bagian/Biro Hukum sudah harus memilah-milah substansi pengaturan mana yang semestinya masuk dalam ranah pengaturan, dan mana yang termasuk domein keputusan. Secara kebetulan, hal ini telah dimungkinkan oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada pasal 146 diatur bahwa “Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan/atau keputusan kepala daerah.

Dua persoalan bidang hukum yang dikemukakan diatas, tentu hanya merupakan sedikit dari setumpuk masalah yang ditemui dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Satu hal yang harus diupayakan adalah bagaimana mewujudkan supremasi hukum (rule of law) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketika rule of law telah dapat ditegakkan, maka reformasi politik akan dapat dijalankan secara gampang dan berhasilguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar