Laman

Kamis, 02 September 2010

Potret Pengelolaan Potensi Daerah di Era Otonomi (Kasus Obyek Wisata Pangandaran di Kab. Ciamis)


DALAM iklim kebebasan baru di daerah sebagai akibat pemberlakuan otonomi luas, kemampuan membaca dan mengoptimalkan potensi sangatlah penting. Sebab, meskipun terdapat konsep perimbangan sumber daya antara Pusat dan Daerah, namun semangat otonomi lebih menghendaki agar daerah dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya.

Bantuan Pusat ke Daerah baik yang berbentuk dana, personalia maupun prasarana, semestinya hanya merupakan komponen pelengkap untuk mendukung kapasitas daerah. Namun dalam prakteknya, kapasitas asli daerah (terutama dibidang keuangan) sangatlah jauh dibanding kucuran yang diperoleh dari pemerintah pusat. Hal ini dapat diamati dari proporsi PAD (pendapatan asli daerah) terhadap APBD, yang ironisnya, sebagian besar daerah otonom di Indonesia hanya memiliki PAD dibawah 20% dari total APBD.

Dari kacamata positif dan optimis, harus dikatakan bahwa rendahnya kemampuan tadi bukan disebabkan oleh kenyataan bahwa daerah tersebut terbelakang, miskin sumber daya alam, terisolasi secara geografis, tidak ditopang oleh partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha, dan sebagainya. Seabrek alasan klasik itu hanyalah kambing hitam untuk menutupi kegagalan suatu daerah dalam membangun kompetensi dirinya. Faktor penyebab yang lebih rasional justru adalah kekurangmampuan daerah menemukenali dan memberi nilai tambah terhadap setiap potensi yang ada di wilayahnya.

Dalam hubungan ini, ada dua bentuk ekstrim kekurangmampuan yang sering dialami oleh banyak daerah. Pertama, state of disorientation yaitu kondisi kurang tajamnya visi dan orientasi suatu daerah terhadap asset potensial yang dimiliki sehingga memberi kontribusi yang tidak signifikan terhadap pemasukan daerah. Kedua, state of uncontrolled exploitation yaitu pengelolaan asset secara berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan namun berdampak buruk pada sektor atau pihak lain (negative spillover). Kasus pertama direpresentasikan oleh Kabupaten Ciamis, sedang kasus kedua direpresentasikan oleh Kota Bandung (Tulisan ini hanya akan membahas kasus pertama).

CIAMIS adalah wilayah yang berciri agraris dan sangat kaya dengan keindahan alam. Di kabupaten ini terdapat asset wisata andalan untuk meraup pendapatan, yakni pantai Pangandaran. Potensi Pangandaran sesungguhnya tidak kalah dengan Bali, namun sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab Ciamis nampaknya cukup puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak terlihat ada upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional seperti rumah sakit dan super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat, laut dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang tersedianya media iklan skala nasional dan global, dan sebagainya.

Sementara di sektor perikanan, Ciamis memiliki potensi pembenihan dan pembudidayaan ikan Gurame Soang. Gurame jenis ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat hingga bisa mencapai 10-15 kg per ekor. Sayangnya, sejak saat pembenihan, pengorganisasian melalui koperasi hingga pemasarannya, kurang ditangani secara profesional. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kota-kota lain di Jawa, masyarakat setempat-pun rasanya masih butuh penyadaran untuk ikut mempromosikan komoditi ini.

Kedua potensi tadi sesungguhnya bersifat complementary (saling melengkapi) dan enforcing (saling memperkuat). Artinya, gurame soang dapat saja dibudidayakan disekitar kawasan pantai Pangandaran, sekaligus dibbina sebagai salah satu unsur wisata. Sayang sekali, Pemkab Ciamiis nampaknya tidak melihat adanya interkoneksi antar kedua potensi ini. Padahal, andai saja Ciamis dapat mengoptimalkan kedua potensi diatas, bukan tidak mungkin pendapatan daerah ini akan menyamai daerah lain yang lebih maju, misalnya Bandung.

PERLU dicatat disini bahwa meskipun Ciamis memiliki kelemahan dalam pengolahan potensi atau assetnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga memiliki cerita sukses tentang penguatan sumber pendapatan daerah. Disamping itu, kondisi disorientasi (kekurangmampuan bentuk ke-1) seperti pada kasus Ciamis ini hanya merupakan case-study, yang dapat saja terjadi di semua daerah di Indonesia.

Apa yang perlu dilakukan selanjutnya adalah membuat analisa potensi dan pemetaan komoditas unggulan beserta strategi yang dapat menjamin keseimbangan antara kepentingan ekonomis (target PAD) dengan kebutuhan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Disamping itu, otonomi hendaknya tidak dimaknakan sempit sebagai kewenangan mutlak suatu daerah. Dalam kasus Ciamis misalnya, jika memang daerah tidak mampu mengelola Pangandaran, maka akan lebih baik jika kewenangan pengelolaan kawasan wisata ini diserahkan kembali kepada Pusat yang memiliki sumber daya lebih baik. Demikian pula untuk mendorong produktivitas petani Gurame Soang, pembinaan langsung dari departemen teknis sangat layak dipertimbangkan.

Dalam hubungan ini, dekonsentrasi mestinya tidak selalu diartikan proses transformasi kewenangan DARI atas KE bawah. Sebuah Kabupaten, bisa saja mendekonsentrasikan suatu urusan kepada Propinsi atau Pusat. Misalnya, Kab. Ciamis yang kaya dengan potensi wisata (khususnya pantai Pangandaran), namun memiliki sumber daya yg sangat terbatas untuk mengelolanya. Akibatnya, potensi ini tidak bisa menghasilkan income sebagaimana seharusnya. Maka, tidak ada salahnya urusan ini didekonsentrasikan ke Prop. Jabar atau Pusat.

Mungkin ada pertanyaan, apakah dekonsentrasi model ini tidak berbeda dengan Sentralisasi? Menurut saya, jelas berbeda. Dalam sentralisasi, bukan hanya pengeloaan yang diserahkan, tetapi juga ownership dan tanggungjawab utuh terhadap asset tersebut. Sedang dalam dekonsentrasi ini, yang terjadi hanyalah upaya membagi tugas pengelolaan, pembiayaan dan pertanggungjawaban kepada lebih dari satu unit organisasi. Artinya, manajemen Pangandaran tidak terkonsentrasi di/oleh Kab. Ciamis.

Akhirnya, perlu kiranya dilakukan “penyadaran” bagi daerah, bahwa tingginya PAD tidak secara serta merta berarti tingginya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak berada pada aras material semata. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana Pemda bersama rakyat membangun potensi daerah demi kemajuan bersama pula. Inilah hakikat otonomi daerah yang sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar