Laman

Kamis, 02 September 2010

Kondisi Umum Kawasan Perbatasan dan Strategi Alternatif Pengembangan Wilayah Kalimantan Utara


Abstract

The dispute on Ambalat block between Indonesia and Malaysia has encouraged government institutions to pay more vigilance on promoting development programs of border areas. There is a shift of paradigm posing border-areas as ‘front yard’, instead of border-areas as ‘backyard’. It implies that attempt on promoting border development along North Kalimantan region constitutes an emergency policy or catch-up strategy. This comprises efforts of establishing specific institution, providing exceptional funds, and designing integrated action plan on the hastening of border development. This paper portrays some essential dimensions of border areas such as general description and problems of border areas, nature of Ambalat conflict, legal framework of border areas, and recommended strategies to redevelop the North Kalimantan region.


Pengantar

Sebagaimana diketahui, belum lama ini terjadi sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Kasus ini membawa pelajaran dan hikmah yang sangat penting bagi Indonesia, paling tidak dalam 2 (dua) hal. Pertama, kasus tadi memberikan bukti empirik masih tingginya kecintaan dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia terhadap tanah airnya. Kedua, munculnya kesadaran dan komitmen baru pemerintah -- meskipun sudah sangat terlambat -- atas pentingnya pembangunan sosial ekonomi, infrastruktur, serta sistem pertahanan dan keamanan di wilayah tersebut.

Saat ini, pemerintah telah bertekad untuk mengubah image kawasan perbatasan dari halaman belakang (backyard) menjadi halaman depan (front yard) bangsa. Perubahan orientasi dan arah kebijakan ini jelas bukan hal yang mudah dan dapat dituntaskan dalam waktu relatif singkat. Sebab, disamping membutuhkan biaya yang sangat besar, kawasan perbatasan sudah terlanjur sangat tertinggal baik dibanding wilayah lain di Indonesia, terlebih lagi dibanding wilayah negara lain yang berbatasan dengan wilayah RI. Dengan demikian, upaya membangun dan mengembangkan kawasan perbatasan harus benar-benar didesain secara cermat, berdasarkan analisis yang mendalam dan komprehensif terhadap karakteristik, potensi, permasalahan serta kebutuhan nyata wilayah tersebut.

Disamping itu, kebijakan memperbaharui wajah perbatasan ini tidak dapat lagi diklasifikasikan sebagai kebijakan pembangunan yang normal, namun harus diposisikan sebagai kebijakan khusus (emergency policy) dalam rangka mengejar ketertinggalan pembangunan di segala bidang (catch-up strategy). Termasuk dalam emergency plan antara lain perlunya pembentukan tim / kelembagaan khusus yang menangani masalah perbatasan, penyediaan anggaran secara khusus, serta penyusunan rencana aksi (khususnya jangka pendek) yang terintegrasi antar sektor dan antar lembaga. Asumsi yang dipakai adalah bahwa jika pengembangan wilayah perbatasan ditempatkan pada kerangka kelembagaan, skema anggaran, serta perencanaan makro yang telah ada, maka hasilnya tidak akan optimal.

Pada kenyataannya, hingga saat ini pemerintah belum memiliki dokumen perencanaan yang matang guna mengakselerasi pembangunan wilayah perbatasan. Sementara disisi lain, tuntutan masyarakat lokal tentang perlunya percepatan wilayah utara Kalimantan semakin menguat. Dalam rangka menjembatani gap antara tuntutan di lapangan dengan kebutuhan untuk menetapkan kebijakan itulah, tulisan ini disusun. Namun sebelum membahas lebih detil mengenaii usulan strategi pengembangan wilayah perbatasan, tulisan ini terlebih dahulu akan memetakan kondisi dan permasalahan yang ada.


Kondisi dan Potensi Perbatasan di Wilayah Kaltim

Luas Wilayah Kaltim adalah 245.237,80 km atau 1,5 kali pulau Jawa dan Madura; terletak pada 1130 44’ – 110 59’ BT dan 040 25’ – 020 25’ LS; dengan panjang garis pantai (water front) Kalimantan Timur 1.185 km. Kaltim memiliki wilayah yang berbatasan langsung baik darat dan laut dengan wilayah Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. Batas administrasi Indonesia dan Malaysia yang bersentuhan dengan 3 (tiga) Kabupaten di Kalimantan Timur yaitu Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Kutai Barat; adalah sepanjang 1.038 km meliputi:

a.      Batas wilayah Kabupaten Nunukan dengan Malaysia sepanjang 689 km;
b.      Batas wilayah Kabupaten Malinau dengan Malaysia sepanjang 299 km;
c.       Batas wilayah Kabupaten Kubar dengan Malaysia sepanjang 50 km.

Panjang wilayah perbatasan di wilayah utara Kalimantan dari Tanjung Datu Kalbar s.d Sebatik Kaltim adalah 2.004 km, dengan jumlah patok seluruhnya 19.328 buah terdiri dari type A sebanyak 7 buah; type B sebanyak 76 buah; type C sebanyak 535 buah dan type D sebanyak 18.710 buah. Sementara itu, jumlah pos penjagaan ada 30 (17 pos berada di wilayah Kalbar, dan 13 lainnya di wilayah Kaltim), ditambah dengan 4 pos gabungan milik TNI dan tentara Malaysia. Disepanjang wilayah perbatasan antar negara di Kalimantan Timur berdampingan 3 (tiga) Kabupaten dan terdapat 11 (sebelas) Pos Lintas Batas pada 8 (delapan) Kecamatan.

Kawasan perbatasan memiliki sumberdaya hutan, sumber hayati di Hutan Lindung dan Taman Nasional Kayan Mentarang yang membentang di sepanjang kawasan perbatasan dan pertambangan yang belum optimal dalam pengelolaannya. Sangat potensial untuk jasa dan perdagangan, terutama kawasan Sebatik dan Nunukan yang letaknya strategis berbatasan dengan Negara Malaysia. Beberapa potensi yang terdapat di kawasan perbatasan antara lain: Potensi hutan seluas 7.855.168 Ha yang terdapat di Kabupaten Nunukan 1.236.836 Ha, Malinau 4.205.000 Ha dan Kabupaten Kutai Barat 2.413.322 Ha. Selain menghasilkan kayu alam, kawasan hutan di wilayah perbatasan juga menghasilkan hasil hutan ikutan yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi seperti kayu gaharu, sarang burung walet, damar, rotan dan tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat untuk obat-obatan. Potensi tambang yang dimiliki antara lain emas, uranium, batubara, batu permata dan lain-lainnya. Dengan kondisi tanah yang rata-rata podzolik serta curah hujan yang cukup, kawasan perbatasan sangat ideal bila dijadikan kawasan perkebunan khususnya tanaman kelapa sawit, kakao, karet dan hutan tanaman industri.

Dilihat dari aspek topografis, Seman (2005) memberi gambaran yang menarik, bahwa topografi kawasan perbatasan Kalimantan Timur dicirikan oleh wilayah dataran yang sangat terbatas dan berada tidak jauh dari pantai atau daerah aliran sungai, yaitu daerah yang berada di kawasan pantai di Kecamatan Sebatik, Nunukan dan Sebuku. Sedangkan kondisi topografi kawasan perbatasan pedalaman sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan yang terjal dengan kelerengan rata-rata diatas 40%, yaitu meliputi Kecamatan Lumbis, Mentarang, Kayan Hilir dan Hulu, Long Pahangai dan Long Apari.

Disamping perbatasan darat, wilayah Kalimantan Timur juga dicirikan oleh adanya perbatasan laut dengan negara tetangga (Malaysia).[1] Dalam hal ini, Kabupaten Berau, Kota Tarakan, dan Kabupaten Nunukan adalah wilayah yang berbatasan laut dengan yurisdiksi kelautan negara asing. Hal ini membawa implikasi bahwa penataan dan pengembangan kawasan perbatasan juga harus diarahkan untuk mempertegas / memperkokoh batas-batas teritorial laut, sekaligus menetapkan program-program prioritas dalam rangka pengelolaan wilayah perbatasan (laut) termasuk pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar yang masih belum tersentuh pembangunan.


Permasalahan dan Kendala Penataan Wilayah Perbatasan

Menurut Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Depdagri, permasalahan di perbatasan antar negara dapat dikelompokan kedalam dua masalah utama,
yaitu: permasalahan yang menyangkut kedaulatan bangsa dan negara dan mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan, serta permasalahan yang menyangkut kepentingan langsung masyarakat perbatasan. Sementara itu menurut LAN (2004), permasalahan perbatasan dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi, yaitu:

1.      Permasalahan yang berdimensi lokal dan domestik, yaitu gambaran kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, SDM, dan kemudian diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.
2.      Permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi illegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi SDA secara tidak beraturan, lemahnya sistem pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme.
3.      Permasalahan yang berdimensi regional antar-bangsa, yaitu lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri sendiri dengan negeri tetangga, pergeseran atau hilangnya patok tapal batas negara sehingga menimbulkan konflik mengenai garis batas, dan kasus-kasus lainnya.

Secara lebih terinci, permasalahan yang menyangkut kedaulatan bangsa dan negara serta mekanisme pengelolaan kawasan perbatasan adalah sebagai berikut:

1.      Adanya fenomena lunturnya rasa nasionalisme baik yang disebabkan oleh sulitnya jangkauan pembinaan maupun dipicu oleh orientasi dan peluang kegiatan ekonomi di wilayah seberang (negara lain).
2.      Penanganan kawasan dengan pendekatan sentralistik telah memperlambat proses pembangunan daerah dan tidak ada kejelasan kewenangan pemerintah daerah, kecamatan dan desa.
3.      Minimnya jumlah pos perbatasan bila dibandingkan dengan garis perbatasan yang begitu panjang.
4.      Dampak pemekaran beberapa kabupaten membawa implikasi diperlukannya penataan zona-zona potensi yang ada.
5.      Belum tersusunnya tata ruang wilayah perbatasan dan tata ruang kawasan pintu gerbang lintas batas.
6.      Masih adanya kegiatan pelanggaran hukum seperti pemindahan patok batas negara, penyelundupan kayu, penyelundupan bayi dan pengiriman TKI illegal.
7.      Belum dimanfaatkannya potensi SDA, budaya dan pariwisata.
8.      Minimnya sarana dan prasarana untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial serta ketahanan budaya.
9.      Terjadinya degradasi hutan yang disebabkan oleh adanya kegiatan-kegiatan eksploitasi SDA yang dikelola secara illegal.
10. Kesenjangan tingkat kesejahteraan penduduk perbatasan dibandingkan penduduk negeri seberang.
11. Rendahnya kualitas SDM di wilayah perbatasan dibandingkan penduduk negeri seberang.
12. Adanya kesenjangan sosial antara masyarakat asli perbatasan dengan masyarakat pendatang.
13. Kurangnya informasi yang dimiliki masyarakat terutama pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan.
14. Terbatasnya infrastruktur dan fasilitas umum untuk memennuhi pelayanan dasar sosial kepada masyarakat kawasan perbatasan.

Sementara itu, Bappeda dan Biro Pemerintahan Pemprop Kalimantan Timur dalam salah satu laporannya (2005) mengemukakan bahwa kendala yang dihadapi selama ini dalam penanganan perbatasan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.      Secara yuridis belum ada pengaturan yang menyeluruh yang mengatur mengenai penanganan perbatasan.
2.      Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan belum memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas mengenai perbatasan bahkan sebagian cenderung marginal, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
3.      Kondisi geografis Kalimantan Timur, secara fisik terdiri dari wilayah pulau pulau kecil di laut lepas, pegunungan, bukit, sungai-sungai, jeram dan rawa-rawa, sehingga aksesibilitas ke perbatasan sulit dijangkau.
4.      Terbatasnya sarana dan prasarana dasar, transportasi dan telekomunikasi berdampak pada rendahnya tingkat aksesibilitas serta keterisolasian dari wilayah sekitarnya, sehingga mempersulit pengawasan dan pengelolaan wilayah perbatasan di wilayah darat maupun wilayah laut termasuk pulau-pulau kecil.
5.      Belum adanya lembaga khusus yang menangani perbatasan antar negara di daerah; sementara itu banyak lembaga fungsional yang menangani perbatasan antar negara, sehingga hasil yang dicapai belum efektif.


Pokok Sengketa Perbatasan Indonesia – Malaysia

Sengketa perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia sesungguhnya hanya menyangkut blok Ambalat di lepas laut Sulawesi, dan bukan wilayah perbatasan secara keseluruhan. Berdasarkan peta TNI-AL, Karang Unarang berada di Teluk Siboko, menempel persis di perbatasan kedua negara. Indonesia menglaim Karang Unarang adalah wilayahnya, dengan menarik garis lurus 12 mil dari perbatasan Sebatik Indonesia sebagai titik pangkal. Versi Malaysia berbeda. Mereka mengukur dari titik Sebatik Indonesia langsung kebawah, tanpa tambahan 12 mil garis teritorial. Malaysia mengklaim hingga 70 mil laut atau 129,6 km kearah selatan Laut Sulawesi, dihitung dari pantai Sipadan dan Ligitan saat surut terendah. Dari sudut pandang ini, Karang Unarang adalah milik Malaysia (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).

Secara historis, blok Ambalat dan bahkan sebagian besar wilayah Sabah memang memiliki hubungan emosional maupun kultural yang sangat dekat dengan bangsa Indonesia, khususnya Kasultanan Bulungan. Sebagaimana dilaporkan oleh TEMPO (Edisi 14-20 Maret 2005), Kasultanan Bulungan telah memiliki hubungan diplomatik dengan Belanda. Secara politis, Kesultanan Bulungan diakui Belanda sebagai negara merdeka pada tahun 1844. Kedua negara ini kemudian mengadakan kerjasama membentuk pemerintahan semi otonom (zelfbestuurende lanschappen) dengan Sultan sebagai kepala negara dibantu oleh dua orang pejabat (landsgrote). Perjanjian pembagian kekuasaan Belanda-Bulungan ini terus diperbaharui. Terakhir, perjanjian itu direvisi pada 1928 dan dimuat dalam Staatsblad No. 86/1928 dan Gouvernements-besluit No. 17 dan 25 tahun 1928. Pada November 1949, Kesultanan Bulungan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Atas dasar perjanjian-perjanjian tersebut, maka perjanjian perbatasan yang dilakukan antara Belanda dan BNBC (British North Borneo Company) pada tahun 1891 dan 1915 yang berisi kesepakatan membagi wilayah Kalimantan Utara menjadi dua, yakni milik Inggris dan Belanda, dianggap menyalahi perjanjian-perjanjian dengan kesultanan setempat sebelumnya. Perjanjian antara dua negara kolonial itu diprotes keras oleh Kesultanan Bulungan karena membuat wilayah Bulungan yang terbentang dari Tarakan, Tidung sampai Lahat Datu, Sabah, menjadi terbelah. Terlebih lagi, perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan Sultan sebagai pemilik kedaulatan. Itulah sebabnya, Sultan Bulungan saat ini, Maulana Muhammad Al Ma’mun tidak pernah mengakui perjanjian semacam itu. Klaim pemerintah Malaysia atas sebagian wilayah Sabah – sebagaimana perjanjian perbatasan yang ditinggalkan Inggris tersebut – selain mendapat tentangan dari Kesultanan Bulungan juga dari Sultan Sulu di Filipina Selatan. Sultan Filipina ini juga mengklaim wilayah darat, antara lain meliputi Kota Kinabalu, ibukota Negara bagian Sabah sendiri (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).

Selain itu, TEMPO juga melaporkan bahwa Indonesia menamakan wilayahnya Blok Ambalat, dengan luas sekitar 6.700 km2. Bagian barat dikelola oleh ENI Ambalat Ltd. (Itaia) dan bagian timur diperasikan Unocal Indonesia Venture Ltd. (AS). Penguasaan Malaysia mencakup daerah yang lebih luas, 25.700 km2 atau hampir seluas Propinsi Sulawesi Utara. Namanya Blok ND 6 dan ND 7, yang dulu sempat dinamakan Blok Y dan Z. Saat ini, kedua blok itu dioperasikan oleh Shell (Belanda) bersama Petronas Carigali Sdn. Bhd.[2]


Hukum Internasional Tentang Perbatasan

Dalam khazanah hukum internasional, pengaturan tentang laut diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Namun sebelum UNCLOS ini muncul, terdapat 4 (empat) Konvensi Jenewa tahun 1958 yang mengatur laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan sumber hayati di laut, landas kontinen, dan laut lepas. Konvensi ini pada waktu selanjutnya dianggap kurang memadai, sebab banyak negara merdeka baru yang menuntut kedaulatan lautnya. Dalam Konferensi Hukum Laut PBB ke-3 tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika, disepakati United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang mengatur perihal hukum laut. Konvensi ini efektif berlaku pada 16 November 1994. Penggerak konvensi ini adalah negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina, Fiji dan Mauritius.

Dalam konvensi tersebut diatur cara menentukan batas teritorial di laut, yakni maksimal 12 mil laut atau 22,2 km dari muka laut terendah. Bila dua negara tetangga memiliki garis pantai kurang dari 24 mil, batas laut teritorial antar dua negara adalah median atau garis tengah (equidistance). Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritorialnya diukur dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut.[3] Titik-titik ini kemudian dihubungkan sehingga membentuk garis batas teritoral. Dalam batas teritoral ini berlaku penuh kedaulatan negara.

Selain laut teritorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif, dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak boleh lebih dari 24 mil laut atau 44,4 km dari batas laut terendah sebuah negara. Dalam zona tambahan ini, suatu negara berhak melakukan pengawasan di bidang pabean, imigrasi, dan fiskal. Selanjutnya di zona ekonomi eksklusif (ZEE), sejauh 200 mil atau 370 km, negara memiliki hak berdaulat atas kekayaan alam maupun mineral yang berada di jalur tersebut. Sedangkan wilayah landas kontinen adalah dasar laut dan tanah dibawahnya (seabed and seasoil) dari daerah yang masih kepanjangan alamiah dari daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental margin). Lazimnya batas landas kontinen ini tak lebih dari 200 mil dari garis pangkal pantai. Dalam landas kontinen, negara pantai berhak melakukan eksplorasi kekayaan alam yang ada di bawahnya (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).

Dalam pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional disebutkan, jika sengketa antara dua negara tidak bisa diselesaikan secara bilateral, ada beberapa alternatif penyelesaian seperti mediator, arbitrator, dan mekanisme regional (multilateral). Bila masih menemui jalan buntu, bisa ditempuh solusi berupa joint development. Pada tahun 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, Indonesia sepakat membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Konsep serupa akhirnya ditiru negara-negara lain. Sementara Malaysia saat ini punya dua joint development di Laut Cina Selatan dengan Thailand dan Vietnam. Itu karena mereka tak sepakat dalam hal garis batas selama bertahun-tahun (Hasyim Djalal, Malaysia Tak Bersikap Sebagai Tetangga Baik, wawancara dengan TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).

Ketentuan berdasarkan zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan batas landas kontinen nampaknya sudah tidak berlaku secara efektif. Terbukti, pada sengketa Indonesia – Malaysia memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan, Mahkamah Internasional (International Court of Juctice) menggunakan pertimbangan lain yang lebih rasional, yakni continuous presence (kehadiran etrus menerus), effective occupation (penguasaan / pendudukan efektif), serta maintenance and ecology preservation (pelestarian alam). Meskipun Hakim Shigeru Oda dalam putusan Mahkamah Internasional (MI) tanggal 17 Desember 12002 menegaskan bahwa putusan MI ini hanya menyangkut kedaulatan Pulau Sipadan dan Ligitan dan tidak menyangkut landas kontinen, nampaknya putusan ini cenderung menjadi sumber hukum laut yang baru (yurisprudensi). MI sendiri tetap menegaskan bahwa pengaturan mengenai landas kontinen, harus diatur berdasarkan UNCLOS 1982 (Gatra, No. 18 Tahun XI, 19 Maret 2005).

Sementara itu, produk hukum nasional sesungguhnya juga telah mengakomodir mengenai batas-batas wilayah ini. Sebagai contoh, dasar hukum bagi perundingan batas wilayah Negara baik darat maupun laut yang dilakukan Pemerintah adalah mengacu kepada sejumlah hukum nasional tentang wilayah perairan nasional (UU No. 4/Prp/1960 yang kini telah direvisi dengan UU No. 6 tahun 1996), yurisdiksi atas landas kontinen (UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen) dan yurisdiksi eksklusif atas ZEE berdasarkan UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE. Dalam pasal 3 UU No. 1 tahun 1973, misalnya disebutkan bahwa “dalam hal landas kontinen Indonesia berbatasan dengan Negara lain, penetapan garis batas tersebut dilakukan dengan cara melakukan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan”. Mandat serupa juga ditegaskan dalam pasal 3 UU No. 5 tahun 1983 untuk penetapan batas ZEE RI dengan Negara tetangga yang berhadapan / berdampingan (Biro Pemerintahan Setda Prop Kaltim, 2005).


Kerangka Yuridis Pengembangan Wilayah Perbatasan

Secara nasional, pemerintah telah menyediakan payung hukum yang cukup komprehensif tentang pengembangan wilayah perbatasan. Berdasarkan Bab 26 Peraturan Presiden No. 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, hal. IV.26-7, misalnya, program pengembangan wilayah perbatasan ditujukan untuk: 1) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional, 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Kegiatan pokok yang akan dilakukan untuk memfasilitasi pemerintah daerah adalah:

1.      Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui: a) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi, b) peningkatan kapasitas SDM, c) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan, d) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan.
2.      Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan, terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil, antara lain melalui penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti pemberian prioritas Dana Alokasi Khusus (DAK), public service obligation (PSO), dan keperintisan untuk transportasi, penerapan universal service obligation (USO) untuk telekomunikasi, serta program listrik masuk desa.
3.      Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan tanda-tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional.
4.      Peningkatan kerjasama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan.
5.      Peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan.
6.      Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.

Selain itu, pemerintah tengah merancang beberapa produk hukum setingkat UU atau dibawah UU yang mengatur beberapa dimensi pengelolaan perbatasan, yakni sebagai berikut (Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri):

1.        RUU Batas Wilayah Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diprakarsai oleh Departemen Dalam Negeri.
2.        Rancangan Keppres tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar yang diprakarsai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
3.        Rancangan Keppres tentang Dewan Pengembangan Kawasan Perbatasan Antar Negara yang merupakan prakarsa dari Meneg PPKTI.
4.        Rancangan Keppres tentang Penanganan Masalah (Perundingan) Perbatasan yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri.
5.        Rancangan Keppres tentang Rencana Induk Pengembangan Wilayah Perbatasan Negara RI yang diprakarsai RI oleh Ditjen PUM, Departemen Dalam Negeri.
6.        Kebijakan Strategi Nasional Pengembangan Pulau-pulau Kecil (Buku Putih) yang diprakarsai oleh Bappenas bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan.
7.        Rancangan Keppres Tata Ruang Kawasan Perbatasan di Kalimantan yang di prakarsai oleh Ditjen. Tata Ruang, Departemen KIMPRASWIL. 
8.        Penyusunan “Buku Putih Perbatasan” (Isi terutama menyangkut border management) yang diprakarsai oleh Menko Perekonomian. Saat ini pembahasan masih pada tahap penjajagan melalui wadah Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) dimana Menko Perekonomian sebagai ketua.

Secara kelembagaan, penanganan masalah perbatasan dewasa ini dilakukan secara ad-hoc oleh berbagai instansi teknis yang berbeda-beda sesuai dengan materi pokok permasalahannya. Pola penanganan tersebut membawa implikasi penanganan yang kurang terpadu dan kurang komprehensif sebagai ilustrasi, masalah demarkasi batas darat dan kerjasama perbatasan, termasuk penanganan masalah yang timbul di perbatasan, dikoordinasikan oleh berbagai instansi, misalnya:

1.      General Border Committee (GBC) RI-Malaysia diketuai oleh PanglimaTNI;
2.      Joint Border Commite (JBC) RI-PNG diketuai oleh Menteri Dalam Negeri;
3.      Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL diketuai oleh Direktur Jenderal Pemerintahan Umum, Departemen Dalam Negeri;
4.      Tim Penetapan Batas landas Kontinen diketuai oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral;
5.      Border Committee Indonesia – Philipina diketahui oleh Panglima Kodam VII/Wirabuana (Tingkat Ketua) dan oleh Komandan Gugus Keamanan Laut Wilayah Timur (Tingkat Wakil Ketua).

Sementara itu di tingkat daerah, Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur (2005) telah menetapkan kebijakan perencanaan pengembangan kawasan perbatasan kedepan sebagai berikut:

1.      Penguatan struktur ekonomi kawasan perbatasan Kalimantan Timur melalui antara lain pengembangan sektor perkebunan terutama kelapa sawit di sepanjang garis perbatasan dengan memanfaatkan para TKI yang selama ini bekerja di Malaysia serta menempatkan para prajurit TNI dan keluarga.
2.      Perluasan ketersediaan sarana dan prasarana/infrastruktur dasar wilayah, transportasi dan telekomunikasi.
3.      Penyiapan kemampuan aparat kawasan perbatasan Kalimantan Timur dalam rangka pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara efektif dan efisien.
4.      Perlindungan kelestarian hutan secara berkelanjutan.
5.      Peningkatan rasa nasionalisme dan pemahaman politik bagi masyarakat perbatasan Kalimantan Timur.
6.      Penguatan fungsi pertahanan dan keamanan untuk menjaga batas-batas wilayah RI secara konsisten.
7.      Peningkatan kesadaran hukum masyarakat perbatasan dan peningkatan pengawasan dan pengamanan terhadap pelanggar lintas batas, terutama untuk kegiatan illegal logging, illegal fishing, dan illegal trading.
8.      Peningkatan ekonomi masyarakat dengan pembentukan kawasan-kawasan sentra produksi, kegiatan industri dan perdagangan, dan pengelolaan sumberdaya lokal secara profesional dan bertanggung jawab.
9.      Peningkatan kualitas kehidupan sosial budaya masyarakat perbatasan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan penduduk.

Kebijakan yang telah ditetapkan tadi pada kenyataannya kurang berjalan secara optimal, khususnya karena kondisi geografis di Kalimantan Timur yang sangat berat dan luas, termasuk keberadaan pulau-pulau kecil yang tersebar dengan tingkat pembangunan yang masih amat rendah.

Sebagaimana mengacu kepada Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 125.1/236/PUM tanggal 5 Maret 2003 perihal Pulau Bernama dan Belum Bernama Setiap Propinsi di Indonesia, di Kalimantan Timur terdapat sebanyak 386 pulau dan 138 pulau diantaranya belum bernama. Hal ini apabila tidak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah, akan berdampak negatif terhadap eksistensi perairan kepulauan dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dimasa yang akan datang; terutama adanya upaya penguasaan pulau oleh pihak luar. Sebagai contoh pulau terluar yang perlu menjadi perhatian dan perlu dilindungi dari intervensi pihak luar yaitu (Biro Pemerintahan Pemprop Kalimantan Timur, 2005):

1.      Sebatik pada koordinat 04.09.10 LU; 117.47.50 BT di wilayah Kabupaten Nunukan.
2.      Batu Unarang / Karang Unarang pada koordinat 04.00.30 LU; 118.04.00 BT di Kabupaten Nunukan.
3.      Sambit pada koordinat 01.46.53 LU; 119.02.26 BT di wilayah Kabupaten Berau.
4.      Maratua pada koordinat 02.15.12 LU; 118.38.41 BT di wilayah Kabupaten Berau.

Upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Kaltim terhadap penanganan pulau pulau tersebut yaitu (Syachruddin, 2005):

1.      Pemerintah Propinsi telah meminta kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk segera menginventarisir dan sekaligus memberikan nama pulau pulau yang belum bernama sejak tahun 2002 dan terakhir melalui Surat Gubernur No.125/2207/Pem.D/2005 tanggal 24 Maret 2005; perihal Percepatan Penamaan dan Inventarisasi Pulau.
2.      Pemerintah Kabupaten/Kota diharapkan lebih intensif melakukan kegiatan administrasi pemerintahan di pulau pulau yang berpenghuni seperti pelayanan KTP pelayanan fasilitas sosial dan lain lain; sementara untuk pulau pulau yang belum berpenghuni perlu dilakukan pengontrolan secara kontinyu bersama aparat Polri dan TNI.


Strategi Percepatan Pembangunan Perbatasan dan Wilayah Utara kalimantan

Harus diakui bahwa baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah mengambil lanngkah-langkah penting dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan. Departemen Kelautan dan Perikanan, misalnya, telah mengajukan dua agenda yang perlu dilakukan Indonesia. Pertama, pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil. Artinya, pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan yang dihuni penduduk Indonesia, harus diperhatikan kesejahteraannya, teristimewa pulau-pulau terluar. Sebagai contoh Pulau Wetar di Maluku Tenggara Barat dimana saat Timor Leste masih menyatu dengan Indonesia pasokan kayu untuk pembangunan disana berasal dari pulau ini, tetapi masyarakatnya amat miskin. Contoh lain, Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, seluas 3,15 km2 dan dihuni sekitar 600 jiwa dan berprofesi nelayan dan petani kelapa. Pemasaran komoditas disana bukannya ke Sulawesi Utara, tetapi ke Davao (Filipina).

Kedua, penegasan mengenai garis batas (delimitasi dan demarkasi). Masalah ini membutuhkan dukungan seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponimi) pulau yang pada akhirnya membantu Deplu melakukan tugasnya dalam kaitan dengan border diplomacy, sampai upaya pengakuan PBB terhadap apa yang sudah disetujui Indonesia dengan negara-negara tetangga. Agar tidak terjadi lagi klaim oleh negara lain, perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan 92 pulau terluar. Terhadap 92 pulau terluar ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-Titik Pangkal Kepulauan Indonesia (Forum Keadilan, No. 45, 20 Maret 2005).

Sementara itu, Pemprop Kaltim telah mengalokasikan dana yang cukup besar untuk pembangunan infrastruktur maupun peningkatan kapasitas SDM dan penguatan sistem ekonomi lokal, dalam rangka pengembangan wilayah perbatasan di utara Kalimantan. Dalam hal ini, Pemprop Kaltim menganggarkan sebanyak Rp 1,59 Triliun untuk pembangunan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Total anggaran itu mencakup Rp 785,37 miliar untuk Kabupaten Kutai Barat, Rp 443,92 untuk Kabupaten Malinau, dan Rp 361,8 miliar untuk Kabupaten Nunukan. Anggaran bagi tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan dengan Malaysia itu akan dialokasikan untuk pembangunan ekonomi lokal, peningkatan SDM, pengembangan kelembagaan, sarana dan prasarana serta pencegahan konflik dan rehabilitasi bencana. Selain itu, Pemerintah Propinsi Kaltim dalam tahun 2004 telah menyediakan dana untuk kepentingan TNI sebesar Rp. 350.000.000,- sebagian untuk membangun 4 (empat) Unit Pos Perbatasan.

Meskipun demikian, perlu diakui pula bahwa berbagai strategi diatas belum mampu mengatasi permasalahan di wilayah perbatasan secara tuntas. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya indikasi belum terpadunya berbagai kebijakan tadi. Oleh karena itu, perlu dirumuskan strategi kebijakan yang lebih bersifat lintas sektoral, lintas lembaga (pusat dan daerah), serta lintas pandang dan lintas pendekatan. Dalam kaitan ini, strategi yang disarankan dalam rangka mempercepat pembangunan wilayah utara Kalimantan, khususnya kawasan perbatasan, paling tidak mencakup tiga kelompok strategi sebagai berikut:

1.      Strategi Perubahan Paradigma Pembangunan
  • Menerbitkan Keppres tentang Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (modifikasi Keppres 44/1994), dari yang menggunakan pendekatan keamanan (security approach) menjadi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
  • Pemberdayaan pulau-pulau kecil, melalui pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil, serta penegasan mengenai garis batas (delimitasi dan demarkasi).
  • Upaya melibatkan masyarakat dan kalangan usaha / bisnis secara langsung dalam proses pengembangan wilayah perbatasan. Untuk masyarakat, misalnya perlu dibentuk pola-pola family / community based forestry yang diberi tugas ikut memantau dan menjaga wilayahnya dari aksi pencurian kayu dan perusakan hutan / lingkungan. Atau dapat pula dibentuk “kelompok masyarakat transmigran peduli pembangunan daerah” yang berfungsi untuk mendinamisir sekitar kawasan transmigran. Sedangkan untuk para pengusaha (khususnya HPH dan pertambangan), perlu didorong untuk menunjukkan semangat CSR (corporate social responsibility) yang tinggi.

2.      Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Perbatasan
  • Pembangunan sentra-sentra IKM berbasis produksi pertanian yang berorientasi pada peningkatan ekonomi masyarakat perbatasan, misalnya melalui budi daya tanaman kelapa sawit.
  • Pengembangan armada nelayan tradisional untuk menggarap perairan diatas 12 mil laut dengan dukungan sarana kapal diatas 30 ton (GT) serta peralatan navigasi dan kompas.
  • Penyediaan subsidi bagi masyarakat di wilayah yang terisolir untuk mengurangi dampak isolasi seperti disparitas harga yang terlalu tinggi, akibat kelangkaan bahan bakar, kalangkaan alat transportasi, dan shortage dalam penawaran bahan kebutuhan pokok sehari-hari.
  • Peningkatan kapasitas nelayan tradisional dalam hal pembacaan peta, komunikasi, navigasi, serta pemanfaatan alat meteorologi dan geofisika.
  • Pembukaan lahan baru dan pembinaan masyarakat asli maupun pendatang (transmigran).

3.      Strategi Penguatan Kelembagaan
  • Penetapan dann pengaturan ulang mengenai batas-batas kewenangan baru antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan wilayah perbatasan.
  • Pembentukan kelembagaan khusus (semacam Badan Otorita) yang menangani aspek perencanaan, pengembangan dan pengawasan wilayah perbatasan, baik dalam dimensi ekonomi, sosial, pemerintahan, maupun pertahanan dan keamanan.
  • Peningkatan Anggaran, baik untuk pembangunan infrastruktur fisik, peningkatan kemampuan pertahanan, maupun sebagai stimulan kegiatan ekonomi rakyat.
  • Pengembangan kerjasama pembangunan dan pelayanan publik dengan negara asing, khususnya dengan pemerintahan daerah yang berbatasan secara langsung.
  • Peningkatan kapasitas kesisteman dalam bidang bidang keamanan dan pertahanan, termasuk memperkuat personil dan armada dalam rangka patroli wilayah laut dan perbatasan darat.

Berbagai strategi yang ditawarkan diatas memang masih bersifat makro, dan memerlukan penjabaran dan elaborasi lebih detil dalam bentuk program-program dan kegiatan yang lebih konkrit. Dengan kata lain, strategi tadi belum mencerminkan agenda program sektoral, namun dapat diterjemahkan menjadi program-program sektoral. Untuk itu, komunikasi dan koordinasi yang harmonis antar instansi dan antar sektor akan menjadi kunci utama keberhasilan pembangunan wilayah perbatasan, baik pada dimensi sosial, ekonomi maupun administrasi pemerintahan, politik dan hankam. Ini berarti pula bahwa sinergi kebijakan dan integrasi program antar lembagalah yang mampu menjawab tantangan, apakah upaya mengatasi ketertinggalan pembangunan di kawasan perbatasan dapat terwujud ataukah tidak.


Catatan Penutup

Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagos) yang memiliki batas wilayah sangat panjang. Batas wilayah tadi bukan hanya darat namun juga laut, bukan hanya antar negara namun juga antar daerah (propinsi maupun kabupaten/kota). Kondisi ini jelas mengandung potensi permasalahan yang sangat besar, dan oleh karenanya perlu diantisipasi secara matang dengan menyusun konsep manajemen perbatasan yang modern, komprehensif, akurat, serta efektif dan efisien.

Disisi lain, jika segalanya berjalan lancar sesuai rencana yang ada, maka pada tahun 2007 akan lahir propinsi baru di Indonesia, yakni Propinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang terdiri dari Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Malinau.[4] Meskipun telah ada kajian tentang kelayakan pembentukan propinsi baru, namun kebijakan ini jelas bukan pilihan yang mudah. Untuk itu, salah satu upaya untuk mendukung program nasional tersebut adalah dengan menyusun konsep manajemen perbatasan yang modern, komprehensif, akurat, serta efektif dan efisien tadi. Dengan demikian, kebijakan pembentukan Propinsi Kaltara diharapkan dapat berjalan seiring dan saling memperkuat dengan kebijakan penataan dan pengembangan wilayah perbatasan secara keseluruhan. Tanpa adanya “blue print” pengembangan wilayah perbatasan, dikhawatirkan pembentukan Propinsi Kaltara justru akan menimbulkan masalah dan beban baru, baik bagi propinsi induk (Kalimantan Timur) maupun bagi masyarakat secara umum.

Pola pikir seperti diatas pada dasarnya menempatkan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan hanya untuk mengatasi issu perbatasan semata (border policy for border areas), namun lebih ditujukan untuk mencapai tujuan yang lebih luas dan strategis, yakni memajukan wilayah Kalimantan melalui peningkatan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya (border policy for the improvement of regional development and people’s prosperity).


Referensi:

Bappeda Kalimantan Timur, 2005, Rencana Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur, bahan presentasi pada Semiloka “Penyerasian Program Penelitian dan Pengembangan Dalam Optimalisasi Wilayah Perbatasan”, diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) dengan Balitbang Propinsi Kalimantan Timur, 10-11 Mei.
Biro Pemerintahan Setda Propinsi Kalimantan Timur, 2005, Laporan Penataan Batas Wilayah, Pemekaran Daerah, Toponimi dan Kerjasama di Kalimantan Timur Tahun 2004, Samarinda.
Dammen, NT., 2005, Peranan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Departemen Luar Negeri Dalam Pengkajian Masalah Perbatasan, bahan presentasi pada Semiloka “Penyerasian Program Penelitian dan Pengembangan Dalam Optimalisasi Wilayah Perbatasan”, diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) dengan Balitbang Propinsi Kalimantan Timur, 10-11 Mei.
Djalal, Hasyim, 2005, Malaysia Tak Bersikap Sebagai Tetangga Baik, wawancara dengan TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005
Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri, tanpa tahun, Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Kewenangan Provinsi dan Kabupaten / Kota Dikaitkan Dengan Pengelolaan Wilayah Perbatasan, makalah disampaikan pada Rakerda BKTRN Wilayah Timur Indonesia.
LAN, 2004, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, Laporan Akhir Penelitian, Jakarta.
Pemerintah Propinsi Kaltim, 2005, Laporan Gubernur Kalimantan Timur Dalam Rangka Kunjungan Kerja Presiden RI Ke Kalimantan Timur, Tarakan, 7-8 Maret
.
Pemerintah Propinsi Kaltim, 2005, Jawaban Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur Terhadap Pertanyaan Komisi I DPR-RI.
Seman, M. Tarno, 2005, Kebijakan Pemekaran Wilayah di Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo Administrator, Vol. 1 No. 1, Samarinda: PKP2A III LAN.
______________ , 2005, Permasalahan dan Rencana Pengembangan Kawasan Perbatasan di Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo Administrator, Vol. 1 No. 2, Samarinda: PKP2A III LAN.
Syachruddin, 2005, Implementasi Pembinaan Wilayah Serta Penataan Geografis Terhadap Pulau-Pulau Kecil di Kalimantan Timur, dalam Jurnal Borneo Administrator Vol. 1 No. 2, Samarinda: PKP2A III LAN
Forum Keadilan, No. 45, 20 Maret 2005
Gatra, No. 18 Tahun XI, 19 Maret 2005
TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005



[1]     Sebelum lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, Kalimantan Timur memiliki batas laut dengan Filipina, namun sekarang hanya berbatasan laut dengan Malaysia.
[2]     Sebagai catatan, potensi di Blok Ambalat (Barat dan Timur) mencapai 62 juta barrel minyak dan 348 miliar kaki kubik gas bumi. Bila dibandingkan dengan produksi lapangan minyak tua di sekitarnya, potensi Blok Ambalat memang menjanjikan. Ladang minyak Tarakan di Nunukan yang dioperasikan Medco E&P hanya memproduksi 666 barrel minyak dan 363 ribu kaki kubik gas per hari. Sedangkan Pertamina Bunyu hanya menghasilkan 3.000 barrel minyak dan 5.000 kaki kubik gas per hari. Namun dibandingkan dengan cadangan Cepu, perkiraan Ambalat masih kalah besar. Menurut Kepala Divisi Eksploitasi BP Migas, Kuswo Wahyono, cadangan minyak Cepu yang telah terbukti dan diverifikasi mencapai 85 juta barrel. Jika ditambah dengan cadangan yang masih terduga, keseluruhannya setara dengan 250 juta barrel minyak (TEMPO, Edisi 14-20 Maret 2005).
[3]     Pengertian pulau sendiri menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau UNCLOS adalah suatu daratan alami (Landmass dapat berupa batu, karang, tanah atau pasir) yang senantiasa berada diatas permukaan air laut pada garis air tinggi (air pasang).
[4]     Kabupaten Berau sebelumnya juga merupakan salah satu daerah yang mendukung dan/atau akan menjadi bagian dari Propinsi Kaltara. Menurut salah seorang anggota DPD asal Kalimantan Timur, Luther Kombong, Kabupaten Berau mengundurkan diri dari keanggotaan Kaltara, karena tersinggung tidak diikutsertakan dalam Dewan Presidium Kaltara. Lihat, Tribun Kaltim, 21 Maret 2005. Dengan demikian, jumlah kabupaten/kota di calon Propinsi Kaltara saat ini hanya ada 4 (empat), padahal UU No 32 Tahun 2004 menentukan bahwa persyaratan pembentukan daerah (propinsi) harus memenuhi syarat fisik kewilayahan minimal 5 (lima) daerah Kabupaten/Kota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar