Laman

Senin, 01 November 2010

Desentralisasi Asimetris dan/dalam Negara Kesatuan


TIDAK dapat disangkal lagi bahwa desentralisasi merupakan sebuah trend global yang sangat dipercaya mampu mengatasi berbagai persoalan negara-negara modern. Di Indonesia sendiri, desentralisasi merupakan perubahan radikal yang berjalan dalam satu paket dengan reformasi politik, yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru di penghujung akhir abad 20. Oleh karena desentralisasi dan reformasi politik merupakan suatu paket perubahan dalam manajemen negara dan pemerintahan, wajarlah jika salah satu tuntutan utama dari aksi reformasi adalah penerapan desentralisasi yang hakiki, bukan desentralisasi yang sentralistis sebagaimana terjadi dimasa sebelumnya.

Setelah big bang decentralization dibawa oleh UU No. 22/1999, nampaknya terjadi pelambatan sejak diganti dengan UU No. 32/2004. Akibatnya, baru dalam hitungan dua atau tiga tahun, tuntutan untuk melakukan revisi sudah cukup santer. Salah satu aspirasi untuk melakukan revisi adalah bagaimana daerah diberikan lagi kebebasan atau kemandirian yang lebih besar untuk mengurus rumah tangganya. Dengan kata lain, desentralisasi yang ada saat ini masih dinilai besar kadar sentralisasinya, sehingga perlu dikembangkan ide berupa desentralisasi yang asimetris.

Namun bicara soal desentralisasi, pasti akan selalu rumit. Dan karena kerumitan itulah maka pembicaraan soal desentralisasi selalu menarik. Salah satu kerumitan dalam diskusi desentralisasi adalah adanya variabel bentuk negara kesatuan (unitary state). Pertanyaan klasiknya adalah: “Sejauhmana kewenangan (degree of freedom) yang dapat dimiliki daerah otonom, dan sejauhmana pula pembatasan terhadap hak turut campur (degree of intervention) pemerintah pusat terhadap daerah?”. Literatur manapun hingga saat ini belum ada yang berani membuat kesimpulan terkait dengan proprosi ideal antara degree of freedom dengan degree of intervention tersebut.

Pertanyaan yang menggelitik lainnya adalah: ”Logiskah sebuah negara berbentuk kesatuan memberikan desentralisasi kepada daerah-daerah di wilayahnya secara tidak seragam (asymmetrical decentralization)? Bukankah hal tersebut sudah mengarah pada bentuk negara federasi?”. Meskipun pertanyaan tersebut sangat logis, namun filosofi desentralisasi sendiri justru ingin menghilangkan keseragaman yang diciptakan oleh pusat, serta mengakui hak-hak tradisional masyarakat yang memiliki karakteristik beranekaragam serta ke-khas-an sejarah, budaya, etnologi, pranata dan nilai-nilai sosial, maupun kearifan lokal lainnya. Desentralisasi yang mengabaikan fakta obyektif berupa artitektur kekayaan dan warisan budaya (social endowment), atau yang berpikir bahwa masyarakat bergerak linier dalam satu arah dan cara yang sama, bukanlah desentralisasi yang sesungguhnya.

Maka, ketika UU Nomor 22/1999 diganti dengan UU Nomor 32/2004, muncullah banyak kritik dan keberatan dari berbagai kalangan, khususnya aktor-aktor di tingkat lokal. Aturan yang baru ini dianggap membawa agenda sentralisasi atau penyeragaman baru. Semangat keragaman menjadi menipis, dan pengakuan terhadap karakteristik yang khas dari suatu daerah semakin menghilang. Atas berbagai kritik ini, berkembanglah wacana tentang desentralisasi asimetris tadi.

Oleh sebab itu, gagasan tentang desentralisasi asimetris mestinya tidak dipersepsi sebagai bentuk penyimpangan dari ide dasar desentralisasi negara kesatuan, namun justru dipandang sebagai instrumen untuk memperkuat tujuan desentralisasi yakni menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan negara, sekaligus memperkokoh struktur demokrasi di tingkat lokal. Pembangunan demokrasi lokal memiliki probabilitas untuk lebih diperkuat dengan cara mengakui dan mengakomodasikan setiap perbedaan karakteristik, potensi, kebutuhan, dan latar belakang sejarah masing-masing daerah kedalam sistem kebijakan nasional. Dan mengingat bahwa setiap daerah / wilayah dalam sebuah negara memiliki anatomi politik, sosial, maupun kultural yang beragam, maka desain desentralisasi yang berbeda (atau asimetris) menjadi alternatif yang strategis untuk menghindari terjadinya kekecewaan daerah terhadap pemerintah nasional. Itulah sebabnya, baik di negara kesatuan maupun di negara federal pada masa modern sekarang ini, desentralisasi cenderung tidak sekedar dijadikan sebagai strategi politik melalui transfer wewenang/kekuasaan, atau strategi ekonomi melalui perimbangan keuangan dan fiskal, namun juga menjadi strategi kultural untuk merealisasikan prinsip diversity in unity atau unity in diversity.

Konsep desentralisasi asimetris sendiri berkembang dari konsep tentang asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965 (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja.

Jika di negara federal terdapat dua jenis federasi asimetris, jenis-jenis atau bentuk-bentuk desentralisasi asimetris apa saja yang dapat diperkenalkan untuk negara kesatuan, khususnya Indonesia? Dalam hal ini, paling tidak ada tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut dalam konteks revisi UU Pemerintahan Daerah.

Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka UU yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 32/2004. Harus diakui bahwa UU ini sebenarnya membuka peluang terjadinya desentralisasi asimetris, meski hanya dilihat dari jenis atau bidang urusan pemerintahan saja. Konsep urusan konkuren (urusan yang dilaksanakan bersama-sama), mestinya disikapi setiap daerah dengan mengidentifikasikan potensi dan karakteristik daerahnya masing-masing, dan tidak perlu berpretensi bahwa seluruh bidang urusan harus dilaksanakan oleh daerahnya. Sebuah daerah yang tidak memiliki wilayah laut, tentu tidak layak membentuk Dinas Perikanan dan Kelautan. Demikian pula suatu daerah yang bercirikan kota besar, bahkan metropolitan, pembentukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan adalah hal yang tidak perlu. Jika setiap daerah tidak memiliki orientasi untuk membentuk kelembagaan secara maksimal, maka desentralisasi asimetris berdasarkan jenis-jenis urusan akan terbangun dengan sendirinya.

Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( UU No. 21/1999) dan Nangroe Aceh Darussalam (UU No. 18/1999 jo. UU No. 11/2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (UU No. 29/2007). Ketika beberapa bentuk otonomi dijalankan secara bersamaan seperti inilah, maka asymmetric decentralization telah terjadi.

Ketiga, desentralisasi asimetris yang lebih bervariasi dibanding bentuk pertama dan kedua diatas. Dalam bentuknya yang paling luas ini, desentralisasi asimetris merupakan reaksi atau treatment individual pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan kebutuhan nyata, potensi, dan akar permasalahan yang ada di daerah tersebut. Bali, misalnya, selain memiliki otonomi terbatas sebagai sebuah provinsi, perlu diberikan otonomi khusus dalam bidang kebudayaan, pariwisata dan pengembangan kepercayaan (cq. Agama Hindu). Yogyakarta juga dapat diberikan otonomi khusus dengan pertimbangan sejarah, kedudukan pimpinan daerah, dan akar politik lama sebagai bekas negara yang berdaulat (Kasultanan). Sementara Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat dapat diberikan otonomi khusus dalam pembangunan kawasan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah perbatasan. Pada saat yang sama, tujuh provinsi kepulauan (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau) harus diberikan wewenang tambahan yang lebih luas di bidang perhubungan laut dan udara, perikanan dan kelautan, serta konservasi lingkungan hidup. Singkatnya, Pusat dapat memberikan model-model otonomi berdasarkan identifikasi dan usulan spesifik dari setiap daerah.

Apakah pemberian desentralisasi asimetris tadi akan mengancam keutuhan negara kesatuan (cq. NKRI)? Kekhawatiran ini nampaknya terlalu berlebihan, mengingat negara-negara kesatuan di dunia juga banyak yang menerapkan desentralisasi asimetris, seperti di Jepang, China, atau Perancis. Faktanya, meskipun mereka menerapkan desentralisasi asimetris, namun keutuhan atau integritas negara kesatuan tidak tergoyahkan, dengan pengecualian ”kasus kecil” berupa gerakan separatisme di Uighur, China.

Di Jepang, desentralisasi asimetris bisa disaksikan dalam kebijakan Penetapan suatu daerah sebagai kota inti (Chukaku-shi) atau kota dengan kasus istimewa (Tokurei-shi). China juga memberikan perlakuan berbeda kepada daerah melalui penerapan konsep market decentralization. Berdasarkan konsep ini, pemerintah China menciptakan kawasan ekonomi khusus, kota-kota pantai (open coastal cities), dan zona pembangunan. Pada tahun 1978 ditetapkan empat kawasan ekonomi khusus, yakni Shenzhen, Zhuhai, Shantou dan Xiamen. Kebijakan ini dibarengi juga dengan pemberian otonomi yang sangat luas kepada provinsi Guangdong and Fujian untuk membangun ekonomi di wilayahnya, misalnya diberikannya kewenangan untuk menyetujui investasi bernilai lebih dari US $ 30 juta. Untuk lebih memperkuat market decentralization tadi, hingga 1984 telah ditetapkan 14 kota-kota pantai dan beberapa kota di pedalaman (sepanjang daerah aliran sungai Yangtze dan perbatasan dengan Russia) yang diberikan kewenangan luas serupa dengan kawasan ekonomi khusus (Montinola, Qian and Weingast, dalam Basuki, 2006). Hal serupa terjadi di Perancis dimana dari 22 Region yang ada, wilayah Corse atau Corsica merupakan region yang diberi otonomi khusus yang tidak dimiliki oleh 21 Region lainnya. Secara obyektif hal ini didorong oleh posisi geografis Corsica yang agak terpisah dari wilayah daratan serta memiliki latar belakang sejarah yang spesifik.

Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa desentralisasi asimetris bukan hanya layak dikembangkan di negara federal. Konsep otonomi pada negara kesatuan dan negara federal sesungguhnya tidak dapat dibedakan secara mendasar, seperti dikatakan Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that can be made about the correlation of federal/unitary states and decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia, sebaliknya negara kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi (ekonomi) yang relatif tinggi.

Meskipun demikian, ada sebuah trend yang terjadi di kedua bentuk negara, yakni pergerakan bandul sistem politik yang lebih mengarah pada penguatan desentralisasi serta keseimbangan wewenang dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada tuntutan untuk mengurangi campur tangan atau wewenang pusat, yang selama ini dikemas dalam kerangka dekonsentrasi. Pergerakan bandul desentralisasi itu sendiri memiliki kecepatan dan variasi yang berbeda di masing-masing negara, yang mendorong terjadinya konstruksi desentralisasi secara asimetris.

Yang pasti, desentralisasi bukanlah tujuan. Desentralisasi, apakah simetris atau asimetris, hanyalah alat untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara, yakni pemerintahan yang bersih dan efektif disatu sisi, serta masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera disisi lain. © Tri Widodo WU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar