Abstract:
Decentralization is a perfect
concept but it doesn’t always demonstrate its superiority in the implementation
stage. Approximately 80% new autonomous regions in Indonesia are considered to be
failed in implementing decentralization values. In order to achieve the
expected outcomes, decentralization should be accompanied by appropriate
preconditions such as careful planning, effective implementation, and
sufficient capacity both in individual, institutional, and system level.
In the context of East Kalimantan
Province ,
decentralization is perceived as an opportunity to accelerate local development
through broader authorities and wider financial resources. In other words, East Kalimantan Provincial Government is visioning
decentralization as an instrument to run governance reform and, at the same
time, as a precondition to better development processes. Besides, the
implementation of decentralization in East Kalimantan
Province is directed to
produce a synergistic win-win relationship with the central government, not a
kind of trade-off or zero-sum relationship.
In that sense, East Kalimantan Provincial Government has formulated
priority agendas on local development issues. These priorities would be
combined with pillars of bureaucratic reform as key leverage and indicators to
measure the progress of local development in the wide-decentralization era.
Keywords:
Desentralisasi, Otonomi Daerah, Kalimantan
Timur
Pengantar
Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto
pada tahun 1998, kebijakan desentralisasi
menjadi pilihan utama dalam sistem penyelenggaraan negara. Lahirnya era
reformasi menandai perubahan besar sistem politik Indonesia yang sentralistik
menjadi salah satu negara yang paling desentralistik di dunia. Tidaklah
berlebihan jika kemudian banyak pihak menyebutkan desentralisasi sebagai ”anak
kandung reformasi”.
Sebagai sebuah pilihan politik, desentralisasi jelas
merupakan kebutuhan untuk mengatasi
masalah-masalah akut kenegaraan yang terjadi pada saat itu. Sayangnya, dalam
tataran implementasinya, desentralisasi seperti belum menampakkan hasil yang
optimal. Bahkan muncul kekhawatiran
bahwa keberadaan otonomi daerah malah membuat daerah tidak terlalu peduli
dengan tujuan pembangunan ekonomi dan upaya memperbaiki kesejahteraan
masyarakat. Elite daerah dianggap hanya bersaing merebut kekuasaan dan tidak
peduli pembangunan apalagi kesejahteraan masyarakat (Brodjonegoro, 2009: 1).
Bahkan survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2007 mengindikasikan
adanya kegagalan otonomi daerah (LSI,
2007). Kajian yang dilakukan Lemhanas (2009) juga menghasilkan kesimpulan
serupa bahwa 80 persen daerah pemekaran (sebagai konsekuensi otonomi daerah) dinilai
gagal (Muladi, 2009).
Fakta-fakta diatas menyiratkan bahwa meskipun paradigma
yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi sudah sangat baik, namun tetap membutuhkan
prakondisi yang komprehensif agar
berjalan dengan optimal. Beberapa prakondisi itu diantaranya adalah bahwa
desentralisasi harus didukung oleh perencanaan yang matang dan ditopang oleh
kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya, baik pada tataran
individu, organisasi, maupun sistem..
Dengan demikian, kebijakan desentralisasi masih
menghadapi tantangan yang berat, dan
oleh karenanya butuh komitmen dari
seluruh komponen di daerah untuk membuktikan diri bahwa otonomi daerah
benar-benar membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Satu hal yang
pasti adalah bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat ditarik mundur.
Satu-satunya pilihan adalah bekerja keras
untuk mensukseskan otonomi daerah demi tercapainya peningkatan kualitas hidup
bagi seluruh masyarakat di daerah.
Dalam konteks implementasi di Kalimantan Timur, desentralisasi
tetap dipandang sebagai sebuah peluang untuk membangun daerah melalui urusan
otonom yang luas serta kewenangan dalam mengatur sumber-sumber daya yang
dimiliki. Dengan kata lain, desentralisasi
dan otonomi daerah tetap diposisikan sebagai instrumen reformasi sekaligus prasyarat
dasar keberhasilan pembangunan di Kalimantan Timur.
Selanjutnya, untuk memberikan gambaran tentang korelasi
antara desentralisasi dan otonomi daerah dengan keberhasilan pembangunan di
Kalimantan Timur, paper ini akan menguraikan konsep dasar desentralisasi
beserta kemungkinan dampak (positif dan negatif) yang ditimbulkannya;
desentralisasi sebagai model reformasi di daerah; pengembangan sinergi Pusat
dan Daerah melalui desentralisasi; serta Kalimantan Timur sebagai laboratorium
otonomi daerah dalam perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
Konsep
Dasar Desentralisasi
Pengertian dan penafsiran terhadap desentralisasi sangat
beragam antar negara, antar ilmuwan, maupun antar praktisi pemerintahan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Devas (1997: 351-352), istilah desentralisasi
memiliki makna yang berbeda untuk orang yang berbeda, dan pendekatan terhadap
desentralisasipun sangat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain (the term decentralization means different things to different people, and the approach to
decentralization has varied widely between countries).
Meskipun demikian, pemahaman umum tentang definisi dan
ruang lingkup desentralisasi selama ini banyak mengacu kepada pendapat Rondinelli
dan Bank Dunia (1999). Menurut mereka, desentralisasi adalah transfer
kewenangan dan tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta (decentralization is the transfer of
authority and responsibility for public functions from the central government
to subordinate or quasi-independent government organizations and/or private
sector). Desentralisasi sendiri terdiri dari empat jenis, yakni
desentralisasi politik, desentralisasi administratif, desentralisasi fiskal,
serta desentralisasi pasar.
Definisi serupa dikemukakan Turner dan Hulme (1997: 152)
yang berpendapat bahwa desentralisasi di dalam sebuah negara mencakup
pelimpahan kewenangan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat,
dari pejabat atau lembaga pemerintahan di tingkat pusat kepada pejabat atau
lembaga pemerintahan yang lebih dekat kepada masyarakat yang harus dilayani (a
transfer of authority to perform some service to the public from an individual
or an agency in central government to some other individual or agency which is
‘closer’ to the public to be served).
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa desentralisasi
ternyata berdampak secara positif terhadap kinerja pembangunan. Telaah literatur memang mengindikasikan banyaknya
kontribusi signifikan dari desentralisasi di berbagai sektor, misalnya dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004; Fisman
2002), pengurangan kemiskinan (Braathen 2008; Crook 2001; UNDP 2000; Moore dan
Putzel 1999), peningkatan kualitas pelayanan (WB 2001; Kolehmainen-Aitken 1999;
McLean 1999, Dillinger 1994), memperkuat akuntabilitas (WB 2000), resolusi
konflik (Sasaoka 2007, Siegle and O’Mahony), ataupun pemberdayaan masyarakat
(Brinkerhoff 2006).
Namun disisi lain, desentralisasi juga dapat menimbulkan
persoalan anggaran, meningkatkan instabilitas makro ekonomi dan disparitas
regional, memunculkan egoisme kedaerahan dan klientilisme, atau membengkakkan
struktur birokrasi (Cornelius 1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden
and Wibbels 2002; Stein 1998, dikutip dari Falleti 2004: 1). Dengan demikian, desentralisasi memiliki dua wajah, positif
dan negatif, yang dalam bahasa Brillantes Jr. (2004: 39) dikatakan sebagai
pedang bermata dua (two-edged of sword).
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki,
Perry dan Dillinger (1999: 3). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat
lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah melalui
pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi rakyat. Selain
itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar
pemerintah daerah untuk mencapai kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun
disisi lain, kualitas pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer
kewenangan sering disalahartikan atau disalahgunakan oleh elit lokal yang
relatif kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan.
Di Indonesia, desentralisasi juga menjelma dalam dua bentuknya yang
positif dan negatif. Hasil kajian IRDA (2002: 10) menemukan bukti bahwa desentralisasi berhasil mendorong terwujudnya tiga kondisi penting,
yaitu: 1) meningkatnya kepedulian dan penghargaan terhadap partisipasi
masyarakat dalam proses politik di tingkat lokal; 2) perangkat pemerintahan daerah memiliki komitmen yang makin
kuat dalam pemberian layanan serta merasakan adanya tekanan yang berat dari
masyarakat agar mereka meningkatkan kualitas pelayanan publik; dan 3)
pemerintah daerah saling bekerjasama dan berbagi informasi untuk menyelesaikan
persoalan yang sama-sama mereka hadapi. Walaupun demikian, beberapa dampak negatif nampaknya tidak dapat dihindari. Dalam laporannya, SMERU (2002: 21-22) mengungkap fakta banyaknya daerah yang memberlakukan
berbagai pungutan baru yang berpotensi menghambat iklim investasi dan gairah
bisnis lokal.
Desentralisasi
Sebagai Model Reformasi Birokrasi
Meskipun memiliki dua sisi yang berbeda (manfaat dan
kelemahan), namun terdapat sebuah kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat
diperlukan untuk mempromosikan sosok pemerintahan yang lebih baik, lebih
efektif, dan lebih demokratis (good
governance). Baik di negara maju maupun berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci terhadap agenda
reformasi yang dijalankan di negara yang bersangkutan.[1]
Secara konkrit, kebijakan baru desentralisasi yang dimulai tahun 1999 adalah salah satu bentuk
reformasi politik dan pemerintahan disamping Amandemen UUD 1945,
penghapusan Dwifungsi ABRI, dan pemberantasan KKN. Disebut sebagai bentuk atau
model reformasi, sebab kerangka desentralisasi yang baru telah merombak secara
sistemik relasi Pusat dan Daerah. Dengan adanya kebijakan desentralisasi tadi,
terjadilah gelombang transfer kewenangan Pusat kepada Daerah, termasuk transfer
personalia serta sumber-sumber pendapatan dan anggaran. Desentralisasi juga
telah menghapus jaring-jaring kekuasaan Pusat di Daerah berbentuk instansi
vertikal. Akhirnya, desentralisasi juga membuka keran penguatan demokrasi akar
rumput dengan pemberlakuan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Gelombang desentralisasi di Indonesia yang begitu massive dan berdampak pada terjadinya
reformasi secara fundamental, telah melekatkan atribut desentralisasi
Indonesia dengan sebutan Bing Bang. Dalam hal ini, Koichi (2004:
2) menyatakan: decentralization taken by Indonesia is
notable for its scale and speed. It was a Big Bang. Dalam bahasa yang
berbeda, Bardhan and Mookherjee (2006, ed.) mengatakan: Some of these
countries witnessed an unprecedented "big bang" shift toward
comprehensive political and economic decentralization: Bolivia in 1995 and Indonesia after the fall of Suharto
in 1998. Bahkan, IRDA (ibid.)
menegaskan bahwa lahirnya UU Pemerintahan Daerah 1999 (dan disempurnakan 2004) di
Indonesia
adalah desentralisasi yang paling berani di antara negara berkembang (the most daring decentralization policy in
developing countries).
Sebagai
sebuah reformasi, desentralisasi tidak akan dapat berhasil tanpa diikuti oleh
langkah-langkah lanjutannya. Dengan kata lain, desentralisasi harus disikapi
dan ditindaklanjuti dengan reformasi birokrasi sebagau unsure penyelenggara
desentralisasi. Dalam kaitan ini, reformasi birokrasi diarahkan pada
terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pada masa yang akan datang.
Untuk itu, diperlukan adanya area perubahan yang berfungsi sebagai key leverage (pengungkit kunci)
sekaligus tolok ukur keberhasilan reformasi. Adapun area perubahan dalam
reformasi birokrasi tersebut adalah:
- Kelembagaan.
Perubahan yang ingin diwujudkan pada area ini adalah organisasi yang tepat
fungsi dan tepat ukuran (fit in
function lean in structure atau right
sizing).
- Budaya organisasi.
Capaian akhir yang diharapkan adalah birokrasi dengan semangat pengabdian,
integritas, dan kinerja tinggu atau budaya unggul.
- Ketatalaksanaan.
Hasil nyata yang ingin diraih pada area ini adalah terbangunnya sistem,
proses, dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur, dan
sesuai dengan prinsip-prinsip good
governance.
- Regulasi dan Deregulasi.
Perubahan yang diinginkan adalah munculnya pola regulasi yang lebih
tertib, tidak tumpang tindih, dan kondusif.
- SDM Aparatur.
Hasil yang ingin dicapai adalah pegawai yang berintegritas, kompeten,
professional, berkinerja tinggi dan sejahtera.
Menata Daerah Melalui Sinergi Pusat–Daerah
dan Keseimbangan Desentralisasi–Dekonsentrasi
Dari definisi yang dikemukakan oleh Rondinelli maupun Turner and Hulme diatas, dapat
dipahami bahwa wacana desentralisasi selalu berkaitan dengan hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik di bidang politik maupun sosial
ekonomi. Dari perspektif politik, desentralisasi adalah bagian dari proses demokratisasi dimana rezim
autokrasi digantikan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat berdasarkan
konstitusi yang lebih demokratis (Ford, 1999: 6-8). Sedangkan dari perspektif
ekonomi, desentralisasi dapat dilihat sebagai kebutuhan intrinsik bagi pemerintah. Kebutuhan ini lahir sebagai
akibat kegagalan pasar (market failures) yang pada gilirannya merangsang
timbulnya ide sentralisasi dalam pemerintahan (Owens and Panella, ed., 1991:
6).
Oleh karena desentralisasi semata tidak selalu membawa
hasil positif, maka munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi
peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan adanya gejala
kesenjangan (gap) yang semakin
melebar antara pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap
kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan pemerintah pusat.
Dalam hal ini, Mark Turner (2002: 354) mencatat adanya beberapa kelebihan dari
dekonsentrasi yang lazimnya banyak menyentuh aspek manajerial. Manfaat yang
paling dirasakan adalah penggunaan sumber daya yang lebih efisien.
Meskipun demikian, Turner (2002: 355) juga
mengingatkan bahwa dekonsentrasi juga memiliki potensi menimbulkan dampak yang
sebaliknya. Ketergantungan terhadap pedoman dari atas sehingga kurang responsif
terhadap kondisi riil dalam masyarakat, adalah salah satu kemungkinan negatif
yg perlu diantisipasi. Kecenderungan lain, para pejabat lokal lebih menyukai
pola kerja lama berupa memerintah dan mengontrol, dari pada terlibat langsung
dalam kerjasama yang bersifat partisipatif. Persoalan inovasi yang kurang
berkembang akibat kualitas rata-rata para pejabat di daerah, juga dapat menjadi
kendala. Selain itu, komunikasi dengan pejabat di tingkat pusat seringkali juga
kurang lancer, sementara masyarakat terkondisi pada alam berpikir lama bahwa
pejabat daerah tidak kapabel.
Mengingat desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka sangat wajar jika keduanya bukan
menjadi pilihan yang bersifat alternatif melainkan komplementer. Dengan
demikian, desentralisasi dan
dekonsentrasi bekerja bersama-sama untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi
tertinggi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sinergi hubungan seperti inilah dimaksud pengertian
desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai sebuah kontinuum, atau sebuah bandul.
Garis kontinuum ini menunjukkan luas atau besaran peran dan intervensi
pemerintah pusat, serta luas dan besaran kekuasaan / kewenangan yang ditransfer
kepada pemerintah daerah. Dengan kata lain, devolusi (desentralisasi dalam arti
sempit) dengan dekonsentrasi memiliki hubungan atau keterkaitan yang erat,
ibarat dua sisi yang berbeda pada koin yang sama. Atau, desentralisasi dengan dekonsentrasi bukanlah dua kutub yang saling
bertentangan secara dikotomis.
Tentang hal ini, Work (2001, dalam Gera 2008: 103)
menegaskan bahwa desentralisasi bukanlah
alternatif dari sentralisasi. Dalam buku terbitan FAO (2006: 31) juga
terdapat penegasan bahwa “deconcentration
and decentralization, far from replacing each other, have always been
considered as complimentary by political decision makers”. Pernyataan ini
menyiratkan bahwa desentralisasi dan
dekonsentrasi dilaksanakan secara simultan dengan kadar yang berbeda. Eko
Prasojo (tanpa tahun) juga menandaskan bahwa sentralisasi dan desentralisasi
adalah dua hal yang tidak bersifat dikotomis. Artinya, dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya
azas sentralisasi saja untuk semua urusan, dan demikian pula sebaliknya. Atau dalam bahasa McBeath dan Helms (1983: 34),
desentralisasi dan dekonsentrasi sama-sama merupakan instrumen untuk memperkuat
derajat otonomi dalam sebuah negara.
Pesan utama dari paparan diatas adalah bahwa pelaksanaan
otonomi daerah dalam kerangka NKRI harus dihindarkan adanya eksklusivisme dan
isolasionisme kedaerahan. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (provinsi dan
kabupaten/kota) adalah satu kesatuan politik (political unity) yang harus saling memperkuat. Dengan demikian,
pemberian desentralisasi tidak boleh menimbulkan kelemahan pada Pemerintah
Pusat atau menimbulkan egoisme teritorial yang sempit. Demikian pula, fungsi
dekonsenrasi yang dijalankan oleh
perangkat Pusat di Daerah hendaknya tidak dicurigai sebagai upaya
melakukan resentralisasi. Ini berarti pula bahwa hubungan antara Pusat dan
Daerah bukan relasi yang bersifat trade-off
atau zero-sum, melainkan synergistic win-win.
Kalimantan
Timur dan Implementasi Desentralisasi
Kalimantan Timur sebagai provinsi terluas di Indonesia
serta salah satu penyumbang devisa terbesar bagi pendapatan negara, bertekad
untuk mempertahankan prestasi sebagai pilar tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sekaligus sebagai pioneer dan pengawal pelaksanaan otonomi daerah.
Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi terluas di Indonesia
dengan luas sekitar 11 % dari luas total wilayah Indonesia, serta memiliki
potensi yang sangat besar dan menjanjikan pada sektor pertanian, pertambangan,
serta industri pengolahan. Khusus sektor pertambangan dan industri pengolahan
merupakan penyumbang PDRB terbesar di Kalimantan Timur. Potensi ini tentunya
merupakan kekuatan utama yang perlu dikelola dan dikembangkan secara optimal
dengan didukung SDM yang unggul guna memajukan Kalimantan Timur.
Meskipun memiliki potensi tersebut, Provinsi Kalimantan
Timur masih menghadapi permasalahan-permasalahan yang sangat mendesak untuk
dipecahkan. Masalah yang saat ini dihadapi bahkan merefleksikan gejala growth without development, yaitu pertumbuhan ekonomi terjadi namun belum mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, permasalahan krusial yang
dihadapi antara lain meliputi masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan
antar wilayah, masih tingginya angka pengangguran, kondisi infrastruktur yang
belum memadai, serta kualitas SDM yang rendah. Dari permasalahan-permasalahan
tersebut, dapat diuraikan isu-isu strategik pembangunan Kalimantan Timur yang
perlu dijadikan sebagai agenda prioritas, yaitu :
a.
Kemandirian dan Kedaulatan Pangan
·
Pangsa pasar
pengeluaran penduduk Kaltim untuk bahan pangan masih relatif tinggi yakni
rata-rata 50%, bahkan di perdesaan mencapai 60%. Selama ini kasus kerawanan
pangan (kelaparan) masih sering terjadi khususnya di pedalaman Kaltim pada
musim kemarau.
·
Sebagian
kebutuhan bahan pangan Kaltim khususnya beras, daging dan telur masih diimpor
dari daerah lain, seperti Pulau Jawa dan Sulawesi .
·
Secara internasional di masa
yang akan datang produksi bahan pangan dunia yang tersedia di pasar
internasional akan semakin sedikit dan mahal.
·
Di masa yang akan datang,
masuknya investasi baru yang cukup besar di bidang tambang dan perkebunan akan
menarik migrasi penduduk dari daerah lain ke Kaltim. Ini akan menimbulkan
lonjakan permintaan bahan pangan di Kaltim. Bila tidak ada upaya percepatan
pembangunan agribisnis, bahan pangan Kaltim akan mengalami kesulitan di masa
yang akan datang.
b.
Keterbatasan Akses Permodalan
Permodalan
merupakan bagian penting dalam penciptaan iklim usaha yang baik. Saat ini,
jumlah Bank di Kaltim hanya berjumlah 295 bank. Dengan wilayah Kaltim yang
sangat luas, jumlah ini sangat tidak memadai. Persebaran jumlah kantor Bank juga
sangat tidak merata. Dari 295 Bank yang beroperasi, hampir 67% terpusat di Balikpapan dan Samarinda.
Sedangkan daerah-daerah seperti Kutai Barat, Malinau, dan PPU hanya memiliki 1
buah kantor Bank dan itupun dalam skala kabupaten. Hal ini tentunya sangat
menyulitkan masyarakat untuk memperoleh layanan jasa keuangan.
c.
Buruknya Pelayanan Publik
Kinerja
penyelenggaraan otonomi daerah belum memiliki banyak perbaikan. Sebagian besar stakeholders
di daerah mengatakan bahwa tidak ada perubahan kualitas pelayanan publik
sebelum dan setelah otonomi daerah. Di Kaltim, urusan pelayanan publik masih
menjadi suatu isu stratejik dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Kemudahan
akses pelayanan publik mutlak diperlukan dalam pembangunan Kaltim. Namun
kenyataannya, saat ini, kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh
pemda-pemda di Kaltim jauh di bawah rata-rata kabupaten/kota di Indonesia .
d.
Kemerosotan Lingkungan Hidup
Masalah
kelestarian lingkungan hidup di Kaltim sudah menjadi wacana nasional dan bahkan
internasional. Kerusakan hutan lindung mengganggu siklus hidrologis, iklim
mikro dan kehilangan plasma nutfah. Kebakaran hutan yang terjadi selama musim
kemarau memperburuk mutu lingkungan hidup. Daerah Kaltim meski kebakaran yang
melanda tidak terlalu parah, namun di bagian selatan Kaltim ada peluang
mengalami kebakaran
e.
Iklim Investasi Kaltim Yang Masih rendah
Terdapat
beberapa permasalahan yang menyebabkan terhambatnya investasi Kaltim diantaranya
:
•
Prosedur
perijinan investasi yang rumit, panjang dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi;
•
Masih rendahnya
kepastian hukum;
•
Belum menariknya
insentif bagi kegiatan investasi;
•
Rendahnya
kualitas dan kapasitas infrastruktur yang sebagian besar terus memburuk dan
rusak akibat berbagai macam bencana;
•
Iklim dan aturan
ketenagakerjaan yang kurang kondusif;
•
Garansi keamanan untuk
melakukan kegiatan investasi/usaha.
f.
Daerah Perbatasan, Pedalaman, dan Daerah
Tertinggal yang Masih Minim Perhatian.
Ketidakmerataan pendapatan yang terjadi antar kabupaten di Kaltim adalah
salah satu sebab mengapa banyak daerah tertinggal. Image masyarakat yang
berdomisili di daerah perbatasan, pedalaman dan daerah tertinggal merasa belum
aman dari musuh alami yakni, kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan. Ditambah
lagi dengan daerah perbatasan dengan Malaysia yang sangat potensial menimbulkan
konflik internal dan esternal.
g.
Agama, Merebaknya Korupsi, dan Pembangunan SDM
Kaltim menempati posisi teratas
mengenai laporan kasus dugaan korupsi, yaitu 885 kasus dari 23.900 kasus yang
dilaporkan ke KPK. Tingginya kasus korupsi di Kaltim diduga karena alokasi APBD
yang tingginya mencapai triliunan rupiah.Selain itu menurut laporan Unit
Monitoring dan Pelayanan Umum FH Pokja 30 pada tahun 2004, terdapat kurang
lebih 18 perkara dugaan korupsi dan penggelapan dana di Propinsi Kaltim.
Beberapa dari kasus tersebut bahkan merugikan negara sampai di atas 100 miliar.
Sebagian besar korupsi di Kaltim dilakukan oleh para pejabat daerah. Mereka
menyelewengkan dana yang diamanahkan untuk pembuatan proyek publik. Selain itu
juga disebabkan oleh pengusaha yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah
memberikan sejumlah suap kepada pejabat. Dilihat dari tempat praktiknya, KKN
umumnya terjadi dalam tender proyek, rekrutmen, promosi pegawai, penyusunan
APBD, dan penyusunan Perda.
Isu-isu
strategik tersebut kemudian mendorong Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
untuk mewujudkan “Kaltim Bangkit 2008-2013” melalui upaya-upaya inovatif,
terarah, dan terukur. Menyadari dan memahami kekuatan globalisasi dan tuntutan
daya saing yang kian serius, menjadikan kebijakan desentralisasi mutlak
diberikan secara luas agar daerah mampu menyelenggarakan pemerintahan dan
menyediakan pelayanan publik secara optimal. Yang pada akhirnya diharapkan
dapat berbuah pada ketersediaan dan peningkatan sumberdaya manusia yang
berkualitas dan berwawasan keunggulan.
Provinsi
Kalimantan Timur sebagai salah satu “miniatur” kesatuan gerak pembangunan
nasional telah membuktikan dirinya untuk maju menyongsong penerapan good governance dibalik desentralisasi
tersebut, guna mempercepat laju peningkatan SDM yang berkualitas dan merata di
Kalimantan Timur melalui langkah-langkah konkrit.
Pada Sektor Pendidikan misalnya, dianggarkannya 20 % dari APBD
untuk sektor pendidikan dengan membuat program Wajib Belajar (WAJAR) 12 Tahun
diseluruh daerah Kalimantan Timur dan mewajibkan semua kabupaten/ kota
menggratiskan biaya sekolah. Selanjutnya pada tahun 2009/ 2010 ini, Pemerintah
Kalimantan Timur mengalokasikan anggaran bea siswa sebesar Rp 94 Miliar lebih,
yang diberikan secara merata kepada warga Kalimantan Timur hingga ke pelosok
daerah dengan jumlah sekitar 24.649 orang penerima yang berasal dari 14
kabupaten/ kota, baik yang menempuh pendidikan dasar maupun strata tiga (S3) di
dalam dan luar negeri.
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat, dijalankan melalui 10 (sepuluh) prioritas pembangunan
beberapa diantaranya yaitu:
a.
Kemandirian Pangan, didukung dengan pembentukan Dinas Ketahanan Pangan,
dan mengadakan gerakan revitalisasi pertanian yang berpihak pada rakyat sesuai
dengan target “Kaltim Swasembada Pangan 2011”;
b.
Pengentasan
Kemiskinan,
dilakukan secara terencana oleh Kabupaten/ Kota dengan memanfaatkan
dana yang tersedia;
c.
Mengatasi Pengangguran, dengan menghimbau para pengusaha perkayuan untuk beralih
ke bidang perikanan dan kelautan yang banyak menyerap tenaga kerja;
d.
Mengatasi Akses Permodalan, dijalankan dengan membentuk Lembaga Penjaminan di
seluruh kabupaten/ kota, dimana pemerintah akan menjamin semua pinjaman
pengusaha kecil;
e.
Perbaikan Layanan Publik, dilakukan melalui upaya mewujudkan good governance dan island
integrity, penerapan Permendagri No. 13/2009 tentang Perbaikan Pelayanan
Publik Dengan Partisipasi Masyarakat, serta pengikutsertaan dalam berbagai
lomba atau kompetisi pelayanan baik antar unit pelayanan maupun antar daerah;
f.
Perbaikan Mutu Lingkungan, dijalankan dengan menghentikan tambang-tambang yang
merusak lingkungan, menganjurkan setiap penduduk untuk menanam sebatang pohon,
serta menganjurkan pada tamu hotel untuk menyisihkan US$ 1 untuk dikumpulkan
dan dibelikan pohon termasuk pemeliharaannya;
g.
Memacu Iklim Investasi, dilakukan untuk menciptakan stabilitas keamanan,
pembangunan infrastruktur, serta peningkatan pelabuhan samarinda dan bandara
sepinggan menjadi lebih modern; dan
h.
Pembangunan Perbatasan dan Daerah Tertinggal, dilakukan melalui upaya pembentukan Badan Pengelola
Kawasan Perbatasan, Pedalaman, dan Kawasan Terpencil, membuka isolasi daerah harus diwujudkan melalui pembangunan yang
terencana dan proporsional, Trans
Kalimantan terutama pada daerah perbatasan harus diwujudkan secara nyata,
hubungan darat dan udara terus dikembangkan melalui isolasi daerah,
transmigrasi perlu dilaksanakan dalam bentuk AKAD dengan berbagai profesi (petani,
peternak, pedagang, guru, perawat, dan sebagainya).
Pada
Sektor
Kesehatan, sesuai dengan
slogan “Kaltim Sehat 2010” pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengalokasikan
anggaran kesehatan minimal 10 % dari APBD yang ada serta menyebar ribuan dokter
keseluruh desa di 14 kabupaten/kota sebagai langkah melahirkan SDM yang
berkualitas. Disamping itu juga dilaksanakan program puskesmas 24 jam dengan 2
dokter yang bertugas (bahkan telah dibangun Puskesmas Plus yang dilengkapi
ruang rawat inap), juga mengupayakan agar setiap rumah sakit mendapatkan
sertifikat standar pelayanan secara internasional. selanjutnya diterbitkan
Peraturan Daerah yang mengatur tentang
strategi menyeluruh terkait pelayanan kesehatan.
Selanjutnya
pada Sektor
Keolahragaan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mendorong pendirian
Sekolah Terpadu Olahraga SMP dan SMA bertaraf internasional dengan harapan
dapat mencetak atlet-atlet berprestasi yang berasal dari putra-putri Kalimantan
Timur. Dengan segala sarana dan prasarana olahraga yang cukup
baik tidak disangsikan lagi kalimantan timur dapat menjadi pilihan berbagai
event olahraga.
Terkait pengembangan sektor unggulan dan kawasan,
tengah dilakukan pembangunan kawasan sentra agribisnis (cluster agribusiness) yang berbasis kerakyatan, berdaya
saing dan berkelanjutan;
pembangunan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada
keragaman, kelembagaan dan budaya pangan
lokal, menuju kemandirian pangan; serta pengembangan potensi pertambangan sebagai basis
energi Indonesia di masa depan.
Pada Bidang Hukum dilakukan upaya
membangun pemahaman dasar hukum formal melalui sekolah-sekolah dan institusi
yang ada dalam masyarakat; inventarisasi hukum adat dan kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat Kaltim; peningkatan SDM di bidang hukum formal dengan
sasaran penerapannya; dan mengupayakan agar masyarakat menjadi aposteriori.
Selanjutnya pada Bidang Kependudukan, Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur melakukan pembinaan kerukunan antar warga Kaltim
terus dipelihara melalui FKPMKT (Forum Kerukunan dan Persaudaraan Antar
Masyarakat Kalimantan Timur); pembinaan pada masing-masing paguyuban terus
dipelihara; program transmigrasi dalam bentuk Angkatan Kerja Antar Daerah
secara berkesinambungan dilaksanakan sesuai keperluan yang ada; sosialisasi
agar budaya “kerja keras” bagi penduduk asli Kaltim terus ditingkatkan; serta
mengupayakan pendirian sekolah kejuruan agar para pemuda-pemudi tidak perlu
sekolah ke luar Kaltim.
Kalimantan Timur
juga dipercaya sebagai penyelenggara Program Kota Terpadu Mandiri (KTM)
Bahari, yang merupakan proyek percontohan nasional dari Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi sebagai upaya percepatan peningkatan pertumbuhan ekonomi
rakyat, khususnya di kawasan pesisir. Selain KTM Bahari, Kalimantan Timur juga tengah menyiapkan Program
Kerjasama Kota Terpadu Mandiri Hutan Tanaman Rakyat (KTM-THR) dengan
memanfaatkan berbagai berbagai kawasan kritis. Kedua program ini juga secara
tidak langsung dapat mengurangi angka pengangguran di Kaltim.
Pada Sektor SDM dan Aparatur, pada upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur mewajibkan semua pejabat/ aparatur menandatangani Pakta
Integritas dan mendirikan KORMONEV (Koordinasi Monitoring dan Evaluasi Tindak
Pidana Korupsi). Dilain pihak, juga bekerjasama dengan aparat Kejaksaan Agung
di daerah dan Karang Taruna mempelopori GALAKSI (Gerakan Pencegahan Korupsi
Sejak Dini) melalui kantin kejujuran di sekolah-sekolah, kantor-kantor
pemerintahan, dan swasta.
Beberapa upaya tersebut diatas merupakan refleksi
nyata dari implementasi desentralisasi yang telah dijalankan oleh Provinsi Kalimantan
Timur, dan tentunya akan terus didorong timbulnya upaya-upaya kreatif dan
inovatif di segenap sektor lainnya dalam menyongsong kompetisi nasional dan
global yang semakin berkembang. Tujuan akhir dari serangkaian upaya mengisi
pembangunan sekaligus mengisi otonomi daerah tadi adalah terwujudnya kualitas hidup
masyarakat Kalimantan Timur yang lebih baik, lebih maju, dan lebih
sejahtera.
Pondasi untuk melaksanakan reformasi itu sendiri harus
berpijak pada nilai-nilai dasar yang telah menjadi consensus bersama. Dalam hal
ini, RPJM Kaltim (termasuk dokumen perencanaan lain di tingkat nasional) dan
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (good
governance) adalah basis nilai yang dapat dipilih menjadi acuan
implementasi reformasi birokrasi di Kalimatan Timur, periode 2009-2014
Rancangan
Implementasi Reformasi Birokrasi di Kaltim
Diatas telah dipaparkan bahwa desentralisasi selain
merupakan wujud reformasi politik, juga harus disusul dengan upaya reformasi
yang lebih nyata. Diatas juga telah dijelaskan bahwa Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur telah merumuskan dan/atau melakukan langkah-langkah strategis
dan prioritas untuk mengisi otonomi daerah. Selanjutnya, reformasi dalam
kerangka desentralisasi di Kalimantan Timur dilakukan pada 5 (lima) wilayah
perubahan sebagai key leverage (pengungkit
kunci) bekerjanya program dan mekanisme reformasi birokrasi di daerah.
Agenda prioritas pembangunan diatas dimaksudkan sebagai
sebuah blue-print yang menjadi acuan / kerangka dasar bagi seluruh lembaga
pemerintahan di Kaltim dalam menyusun perencanaan program pembangunan jangka
menengah (5 tahunan) dan jangka pendek (tahunan). Dalam kerangka yang lebih
makro, Agenda tersebut diharapkan menjadi entry-point
untuk membangun tata kepemerintahan yang baik di Kaltim melalui perwujudan
sosok pemerintahan yang bersih dan jujur, kredibel dan akuntabel, serta
kompeten dan professional.
Dalam realitanya, harapan membangun tata kelola pemerintahan
daerah yang baik masih menemui berbagai hambatan serius. Struktur organisasi
yang belum berbasis kompetensi, atau kasus-kasus pengelolaan keuangan yang
masih bermasalah, adalah sedikit dari problem klasik sektor publik. Disisi
lain, kita juga masih menemui banyak problematika yang berhubungan dengan
rendahnya etika kerja dan budaya organisasi, pelayanan yang masih diskriminatif
dan belum memberikan kepuasan bagi masyarakat, serta regulasi yang belum
berpihak pada kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
Mengingat begitu kompleksnya situasi yang dihadapi oleh
aparatur pemerintahan, maka implementasi reformasi birokrasi menjadi
sebuah kebutuhan prioritas yang tidak dapat ditangguhkan lagi. Dalam
kaitan ini, upaya menggulirkan reformasi birokrasi di Kalimantan Timur menemui
momentum yang sangat tepat, yakni terpilihnya Gubernur baru yang dikenal
memiliki komitmen moral yang kuat untuk menciptakan sosok birokrasi daerah yang
bersih, cepat, efektif, dan berkinerja tinggi.
Tujuan akhir dan utama dari seluruh proses pembangunan di
Kalimantan Timur adalah kemajuan daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tujuan ini dapat diwujudkan apabila kebijakan pembangunan
dirumuskan dengan tepat dan akurat. Artinya, strategi dan agenda pembangunan
dirumuskan berdasarkan kebutuhan riil dan harapan masyarakat dengan
memanfaatkan seluruh potensi dan sumber daya yang ada untuk menjawab dan
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dalam kaitan ini, 10 (sepuluh) agenda
prioritas pembangunan Kaltim yang telah menjadi komitmen bersama, dapat
dikatakan sebagai strategi pembangunan yang komprehensif.
Keberhasilan 10 (sepuluh) agenda prioritas tersebut akan
sangat tergantung kepada kesiapan infrastruktur pemerintahan pendukungnya.
Dalam hal ini infrastruktur pemerintahan yang dipersyaratkan bagi keberhasilan
strategi pembangunan Kaltim 2009-2014 meliputi 5 (lima) pilar utama, yakni kelembagaan
yang efektif dan dinamis; ketatalaksanaan yang tertib dan
efisien, kerangka regulasi yang enabling (menciptakan
kondusivitas dan mendorong inovasi); SDM aparatur yang kompeten,
professional dan berintegritas; serta pelayanan prima dan budaya organisasi
yang unggul.
Lima pilar tersebut diatas sesungguhnya adalah area
perubahan yang harus ditata untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
bersih dan efektif. Dengan kata lain, 5 pilar tersebut adalah kebutuhan konkrit
reformasi birokrasi di daerah (cq. Kaltim). Ini berarti bahwa reformasi
birokrasi menjadi penopang atau penyangga bagi implementasi strategi
pembangunan Kaltim di masa yang akan datang. Tanpa adanya pembenahan pada lima
wilayah perubahan (reformasi) tadi, maka sulit diharapkan terwujudnya visi
pembangunan 5 tahun kedepan.
Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa desentralisasi adalah “obat” yang populer untuk mengatasi masalah-masalah pemerintahan, khususnya
di negara berkembang. Desentralisasi juga dipercaya sebagai kebijakan yang
pro penduduk miskin. Dengan desentralisasi, pemerintah menjadi lebih dekat
kepada masyarakat baik dalam pengertian spasial maupun institutional, sehingga pemerintah akan menjadi lebih paham dan lebih
responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam tujuan
akhirnya, desentralisasi diharapkan berdampak pada munculnya sosok pemerintah
daerah yang berperan sedikit dan hemat (less and cheap government) karena
tidak harus selalu membuat perencanaan pembangunan baru yang memakan biaya
besar. Pada saat yang bersamaan, kebijakan ini juga dapat diharapkan dapat
melahirkan benih tumbuhnya demokrasi lokal dalam konteks mewujudkan rezim
kepemerintahan daerah yang demokratis (democratic infrastructure of local
governance). Tujuan mulia ini hanya dapat dicapai jika implementasi
desentralisasi dilakukan secara hati-hati disertai dengan upaya pemenuhan
terhadap persyaratan untuk keberhasilannya.
Selain itu, pelaksanaan desentralisasi harus ditempuh dengan
mensinergikan seluruh komponen yang ada, termasuk sinergi diantara pemerintah
Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pemerintah Pusat tidak berdiri
berhadap-hadapan dengan pemerintah Daerah, namun berdiri bersama untuk mengatasi
masalah bersama. Meskipun demikian, tetap saja pemerintah Pusat harus menyadari
sepenuhnya adanya variasi dalam identitas dan kekhasan daerah sebagai unsur
kebhinekaan nasional. Justru disinilah esensi desentralisasi, yakni memberikan
keluasan urusan dan keleluasaan pengaturan urusan rumah tangganya. Dalam kaitan
ini, desentralisasi asimetris (asymmetrical
decentralization) dapat menjadi model lanjutan (advanced model) dalam reformasi penyelenggaraan pemerintahan.
Kalimantan Timur sendiri memiliki komitmen yang utuh
untuk tetap menjalankan desentralisasi dalam kerangka NKRI, dan secara
terus-menerus berupaya menggulirkan reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata
kepemerintahan yang benar-benar bersih dan efektif. Jika hal ini dapat
diwujudkan, maka cita-cita besar membangun daerah dan mensejahterakan rakyat
menjadi lebih mudah diwujudkan.
Daftar
Referensi
Arikan GG., 2004, “Fiscal decentralization: A remedy
for corruption?”, dalam International Tax and Public Finance 11(2):
175-195.
Bardhan, Pranab and Dilip Mookherjee (ed.), 2006, Decentralization
And Local Governance in Developing Countries: A Comparative Perspective.
MIT Press: Cambridge
Braathen,
Einar, 2008, Decentralisation and Poverty
Reduction, A Review of the Linkages in
Tanzania and the International Literature, Norad Report 22b/2008 Discussion, Norwegian Agency for
Development Cooperation. Tersedia
online http://www.norad.no/items/14184/38/2084279701/Decentralisation%20and%20Poverty%20Reduction.pdf
Brinkerhoff,
Derick W. (dengan Omar Azfar), 2006, Decentralization and Community Empowerment:
Does community empowerment deepen democracy and improve service delivery?,
U.S. Agency for International Development Office of Democracy and
Governance.
Brodjonegoro,
Bambang PS., 2009, “Indonesia dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran”, dalam KPPOD
(Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), Sewindu Otonomi Daerah:
Perspektif Ekonomi, Jakarta .
Crook
R, Sverrisson A. 2001. Decentralization and Poverty Alleviation in
Developing Countries: A Comparative Analysis, or Is West
Bengal Unique? Institute of Development
Studies: Brighton .
Devas,
Nick, 1997, “Indonesia : what do we mean by decentralization?”,
dalam Public
Administration and Development Journal, Vol. 17.
Dillinger,
William, 1994, Decentralization and Its
Implications for Urban Service Delivery. Urban Management Program
Discussion Paper 16 (Washington , DC : World Bank), dalam Richard C. Crook and James Manor,
1998, Democracy and Decentralization in
South-East Asia and West Africa :
Participation, Accountability, and Performance. Cambridge :
Cambridge University Press.
Falleti, Tulia G., 2004, A Sequential Theory of Decentralization and Its Effects on the
Intergovernmental Balance of Power: Latin American Cases In Comparative
Perspective, Working Paper #314, July. Tersedia online di http://www.ciaonet.org/wps/fat01/fat01.pdf
FAO,
2006, Understand, Analyse and Manage a
Decentralization Process, Institutions For Rural Development, Rome .
Fisman
R, Gatti R. 2002. Decentralization and corruption: evidence across countries. Journal
of Public Economics 83(3):
325-345.
Fjeldstad
O-H. 2004. Decentralization and Corruption: A Review of the Literature.
Chr. Michelson Institute: Bergen .
Ford,
James, 1999, “Rationale for Decentralization”, dalam Jennie Litvack and Jessica
Seddon (ed.), Decentralization Briefing Notes. World Bank Institute.
Dapat dilihat di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
IRDA, 2002, Decentralization
and Local Governance in Indonesia :
First and Second Report on the Indonesian Rapid Decentralization Appraisal
(IRDA), Jakarta : Asia
Foundation.
Koichi,
Mera, 2004, The Big Bang Decentralization
in Indonesia and the Lessons
Learned, Paper Presented at the International Workshop Urban Governance in Global
Perspective, September 17-18, University
of South California .
Kolehmainen-Aitken,
Riitta-Liissa, 1999, “Decentralization of the Health Sector”, in World Bank
Institute (ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers. Tersedia online di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
Lembaga Survei Indonesia , 2007, Otonomi Daerah Dinilai Gagal, http://www.lsi.or.id/liputan/237/survei-lsi-otonomi-daerah-dinilai-gagal
McBeath, Gerald A. and Andrea R.
C. Helms, 1983, “Alternate
Routes to Autonomy in Federal and Quasi-Federal Systems”, in Publius, Vol. 13, No. 4 (Autumn). Oxford University
Press.
McLean,
Keith and Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education Sector”, in
World Bank Institute (ed.), Decentralization Briefing Notes, WBI Working
Papers. Tersedia online di http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
Muladi,
2009, Urgensi Pemekaran Daerah Untuk
Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat, makalah disampaikan
pada Seminar Lemhannas, Jakarta ,
29 September 2009. Tersedia online di: http://kppod.org/ind/index.php?option=com_content&task=view&id=727&Itemid=2
atau http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03324776/80.Persen.Daerah.Pemekaran.Gagal
Moore, Mick and
James Putzel,
1999, Politics
and Poverty: A Background Paper For The World Development
Report 2000/1. Paper
tidak diterbitkan. Tersedia online http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf
Owens,
Jeffrey and Giorgio Panella (ed.), 1991, Local Government: An International Perspective,
North-Holland.
Prasojo,
Eko, tanpa tahun, Konsep dan Pengaturan Desentralisasi Fungsional dan Kawasan Khusus dalam
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Tersedia online: http://desentralisasi.org/makalah/Kawasan-Khusus/EkoPrasojo_KonsepdanPengaturan
DesentralisasiFungsionaldanKawasanKhususdalamUndang-UndangPemerintahanDaerah.pdf
Rondinelli,
Dennis, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization
Briefing Notes, WBI Working Papers.
Sasaoka,
Yuichi, 2007, Decentralization and
Conflict, The 889th Wilton
Park Conference, Japan
International Cooperation Agency.
Siegle,
Joseph and Patrick O’Mahony, Assessing
the Merits of Decentralization as a Conflict Mitigation Strategy. Tersedia online di http://www.dai.com/pdf/Decentralization_as_a_Conflict_Mitigation_Strategy.pdf
SMERU,
2002, Regional Autonomy and Investment Opportunity: the Case in Three
Districts in West Java Province, (Indonesian version), Laporan Penelitian, Jakarta . Dapat dilihat www.smeru.or.id/report/field/otdaiklusahajabar/iklimusahajabar.pdf
dan www.smeru.or.id/report/workpaper/regautofieldexpchall/regautofieldexpchall.pdf
Turner,
Mark and David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development:
Making the State Work, London :
Macmillan Press Ltd.
Turner,
Mark, 2002, “Whatever happened to deconcentration: Recent Initiatives in Cambodia ”, Public Administration and Development
Journal. Vol 22, 353–364. Canberra ,
www.interscience.wiley.com
World Bank, 2000, Helping Countries to
Combat Corruption: Progress at the World Bank since 1997. Washington DC .
World Bank, June 2001, “Decentralization and Governance: Does
Decentralization Improve Public Service Delivery?” in PremNotes
No. 55.
Tersedia online http://www1.worldbank.org/prem/PREMNotes/premnote55.pdf
Majalah Birokrat Profesional, Edisi Perdana, Agustus 2009, Jakarta: La Tofi
Enterprise.
Artikel
ini ditulis bersama dengan Awang Faroek Ishak, Gubernur Kaltim, dan
dipublikasikan dalam Jurnal Borneo Administrator, PKP2A III LAN, Vol. 6 No. 2
[1] Di Jepang, misalnya, desentralisasi dipandang sebagai reformasi
besar ke-3 (the third major reform) di era modern, setelah Restorasi
Meiji pada pertengahan abad 19 dan reformasi administratif setelah berakhirnya
PD II. Lihat: JLGG Newsletter, Decentralization: New Legislation
Boosts Japan 's
Local Authorities, Issue No. 31, Summer 1999.
Anda menyelesaikan beberapa poin di sana. Saya melakukan pencarian dengan tema dan menemukan sebagian besar orang akan memiliki pendapat yang sama dengan blog Anda..
BalasHapusmakasih komennya. wah, kalau anda kasih identitas tentu kita bisa lebih dekat berkenalan & sharing pengalaman. salam kenal!
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut