Socio-Economic
Transformation for Coastal and Remote Society in Kalimantan :
A Search for Enabling Developmental Policy *)
Abstract:
The general picture of
rural and coastal regions shows a unique phenomenon. On the one hand, they are
traditionally thriving of natural resources. On the other hand, they are
typically characterized as less-developed, isolated and marginalized community.
Economic and social development indicators indicate that they has been lacking
of basic service facilities as well as far from being well-informed society.
Kalimantan, the biggest island in Indonesia, is also experiencing similar situation
compared to its people. Development program and process in this region has
frequently considered to be failed in leveraging people’s welfare and improving
competitiveness of local products. Consequently, coastal and remote society
remains deprived, elucidating how “vicious circle of poverty” works.
In such a case, efforts
of systemic transformation would be fruitful to overcome such complexities. The
main idea is that public policy should function as trigger of the
transformation wheel, both socially and economically. To support that notion,
this paper offers 5 (five) categories of empowerment program that should be
linked to 4 (four) sectors of development, namely economic, social and
cultural, political and administrative, and infrastructure dimension. Another
important thing is that acceleration of empowerment programs require political
will of the government (both in central and local level) to burst through every
single developmental-policy, innovatively. The utter goal of socio-economic
transformation is the emergence of “good coastal, rural and remote governance”.
Latar
Belakang
Sebagai
sebuah negara kepulauan, Indonesia
memliki sistem sosial budaya yang sangat beragam. Walaupun adanya pemisah antar pulau telah
membentuk sistem sosial budaya yang berbeda-beda, namun tetap menjadi satu
kesatuan yang utuh di bawah nauangan Pancasila dan membentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia . Keberagaman sosial budaya yang ada merupakan
pondasi bagi terbentuknya sistem ekonomi lokal yang kokoh bagi masyarakat setempat.
Penelusuran
langsung (pengalaman dan pengamatan) dan studi literatur yang dilakukan oleh
penulis menunjukkan bahwa keberagaman pola sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat lokal sangat signifikan berhubungan dengan letak geografis, potensi,
pola pemanfaatan dan status kepemilikan sumberdaya alam yang tersedia. Masyarakat di sini dapat diartikan sebagai
komunitas, yaitu masyarakat tertentu yang mendiami sebuah habitat tertentu dan memiliki
ciri-ciri tertentu pula. Pola-pola sebagaimana dimaksud terbentuk secara alami
disebabkan adanya dorongan untuk mempertahankan hidup. Selanjutnya hubungan atau interaksi antara
masyarakat dengan lingkungan inilah yang dimaksud dengan ekologi sosial.
Secara
garis besar para sosiolog telah membagi masyarakat berdasarkan sistem sosial,
ekonomi dan budaya yang berlaku menjadi komunitas perkotaan dan komunitas perdesaan. Bila ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata
bahwa komunitas yang ada sangatlah kompleks dan beragam, yaitu terdiri dari: komunitas
pinggiran kota , komunitas sekitar hutan,
komunitas gurun pasir, komunitas gurun salju, komunitas pegunungan, komunitas
lereng gunung, komunitas padang
savanna, komunitas prairi, komunitas gua, komunitas atas permukaan air, komunitas
pesisir, dan sebagainya. Komunitas-komunitas
yang ada di muka bumi ini akan terus mengalami perkembangan seiring dengan
perubahan peradaban manusia.
Mengingat
begitu banyak komunitas manusia yang ada, maka penulis dalam melakukan kajian
hanya membatasi pada masyarakat dari komunitas pesisir dan pedalaman. Pilihan yang dilakukan oleh penulis didasari
pada nilai strategis masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan pedalaman,
khususnya yang berada di Pulau Kalimantan . Nilai strategis yang dimaksud adalah
kemampuan budaya lokal dalam menyangga stabilitas sosial dan ekonomi.
Dalam
hal ini masyarakat pesisir atau pedalaman sering dicirikan sebagai masyarakat
yang terbelakang, teralienasi, atau terabaikan. Dalam berbagai indikator
pembangunan sosial ekonomi, mereka sering berada pada struktur terbawah. Mereka
juga sering kali tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar dan informasi. Dengan
kata lain bahwa masyarakat pesisir atau pedalaman memiliki ciri-ciri yang
berhubungan dengan pola hidup tradisional yang senantiasa menempati stratum terendah
dalam lapisan masyarakat.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat
kelautan dan Perikanan terhadap wilayah pesisir di tiga propinsi yaitu Jawa
Barat, Riau dan Bali, serta mewakili usaha perikanan tangkap dan budidaya, baik
perikanan laut maupun perikanan tawar, menunjukkan bahwa masyarakat pesisir
sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Permasalahan utama yang
dihadapi masyarakat pesisir adalah kekurangan modal; rendahnya kualitas
sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; kerusakan fisik habitat
(kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, kerusakan akibat pemanfaatan
berlebih, pencemaran laut, intrusi air laut, erosi dan sedimentasi); kemiskinan
penduduk pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; masalah kelembagaan
(konflik pemanfaatan dan kewenangan, masalah ketidakpastian hukum). Hasil
survei di atas menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan
masyarakat yang ada di pesisir Kalimantan .
Meskipun
berada pada lapisan terbawah, masyarakat yang berada pada komunitas pesisir
atau pedalaman memiliki peran yang strategis dalam menjaga keseimbangan ekologi. Hal ini dapat dilihat dari cara komunitas ini
dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan secara arif dan berhati-hati.
Hasil
studi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat
pesisir dan pedalaman terhadap sumberdaya alam secara langsung menyebabkan
mereka berupaya menjaga kelestarian lingkungan, yaitu memanfaatkan sumberdaya
alam yang tersedia sesuai dengan kebutuhan disertai upaya untuk memperbaikinya.
Sebaliknya, mereka yang datang hanya untuk memanfaatkan sumberdaya alam akan
melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang tersedia tanpa disertai tanggung
jawab untuk memulihkannya, kalaupun dilakukan bukan semata-mata karena adanya
kesadaran, namun sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban yang dibebankan.
Seiring
dengan perkembangan jumlah manusia yang disertai peningkatan kebutuhan hidup
bergerak menuruk deret ukur, sedangkan sumberdaya yang tersedia bergerak
menurut deret hitung menyebabkan terjadinya kelangkaan. Sehingga untuk
memperolehnya diperlukan kompetisi dan seleksi alam.
Masyarakat
pesisir dan pedalaman yang masih berpola tradisional (subsisten) harus bersaing
dengan kelompok-kelompok pendatang yang memiliki kemampuan modal dan teknologi
lebih baik menyebabkan adanya penguasaan sumberdaya alam yang tersedia.
Dalam
kondisi demikian, transformasi sosial menghadapi kendala struktural yang sangat
besar, sehingga penanganannya juga harus dilakukan secara sistemik, komprehensif,
dan berkelanjutan.
Pulau
Kalimantan secara geografis memiliki kedudukan yang cukup strategis, karena
berada di tengah-tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia ,
dikelilingi lautan dan berbatasan langsung dengan Negara tetangga (Malaysia ).
Kondisi iklim yang subtropis menjadikan pulau ini kaya dengan keanekaragaman
hayati, di samping sumberdaya alam yang cukup berlimpah.
Hanya
saja, kekayaan sumberdaya alam yang ada tidak disertai dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya, terutama masyarakat yang berada pada kawasan
pesisir, pedalaman hingga perbatasan.
Masih banyak masyarakat belum mendapatkan kehidupan yang layak,
anak-anak usia sekolah masih sukar untuk bersekolah karena tidak ada biaya,
hasil-hasil pertanian tidak terjual hingga rusak, pelayanan kesehatan masih
minim, dan sebagainya.
Masalah-masalah
yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan pedalaman Kalimantan
telah menjadi isu penting baik lokal maupun nasional (bahkan Internasional),
namun belum juga dapat dituntaskan.
Kondisi demikian menarik perhatian penulis untuk dikaji dan disusun
dalam sebuah model, sebagai bentuk kepedulian terhadap mereka dan masukan yang
bermanfaat bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Kerangka
Berpikir
Sebuah
wilayah akan dihuni oleh komunitas tertentu disebabkan adanya faktor penarik,
yang salah satunya adalah potensi sumberdaya alam yang tersedia. Sebaliknya, wilayah tersebut akan
ditinggalkan oleh penghuninya apabila potensi sumberdaya alam yang tersedia sangat
terbatas, kritis, atau tidak ada harapan. Bagaimana pun juga aktivitas
komunitas tertentu tidak terlepas dari kemampuan alam dalam menyangga kehidupan
mereka. Hanya saja pemanfaatan yang
dilakukan juga tergantung pada kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelolanya.
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil biasanya memiliki
karakteristik belum terbangun secara massive.
Dengan kata lain, intervensi kepentingan ekonomi relatif masih kecil, sehingga
potensi dan kekayaan yang terkandung di wilayah ini masih sangat besar untuk
digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan. Beberapa potensi yang
terkandung secara umum (kondisi masing-masing daerah berbeda) antara lain
adalah sebagai berikut: sumberdaya pesisir dan perairan (coastal and marine resources), sumberdaya air bersih (freshwater resources), sumberdaya lahan
(land resources), sumberdaya energi (energy resources), sumberdaya pariwisata
(tourism resources), sumberdaya
keragaman hayati (biodiversity resources),
dan sumberdaya budaya (culture resources). Demikian juga dengan wilayah pedalaman
terdapat beberapa potensi yang dapat dimanfaatkan, seperti: sumberdaya lahan,
sumberdaya hutan, sumberdaya budaya, sumberdaya tambang, dan sebagainya.
Baik wilayah pesisir maupun pedalaman, keduanya memiliki
potensi sumberdaya yang cukup beragam antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Besar atau kecilnya potensi
sumberdaya-sumberdaya yang dimaksud merupakan modal dasar dalam menjaga
kelangsungan hidup para penghuninya. Kelangkaan sumberdaya alam yang tersedia
telah menimbulkan pertikaian/konflik di beberapa tempat. Akbatnya ketenangan, ketentraman serta
kedamaian menjadi barang langka yang mahal nilainya.
Berbagai kekayaan dan potensi tersebut dapat dioptimalkan
jika dilakukan sebuah treatment
kebijakan yang mampu menjadi trigger bagi
berlangsungnya proses transformasi sosial ekonomi
Transformasi
Sosial
Beberapa pakar dan penulis mencoba mendefinisikan
pengertian dari transformasi sosial.
Meskipun adanya perbedaan cara pandang antara satu dengan lainnya, namun
semua itu berfokus pada persoalan perubahan sosial yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat yang dinamis.
Menurut Sosrodihardjo (1991), setiap masyarakat mempunyai
nilai-nilai sosial, yang mengatur tata di dalam masyarakat tersebut. Termasuk di dalam nilai-nilai sosial ini tata
susila serta adat kebiasaan. Nilai-nilai
sosial ini merupakan ukuran di dalam menilai tindakan dan hubungannya dengan
orang lain.
Byres
(1984) dalam Ginting (1996) menyatakan
transformasi sosial adalah suatu perjalanan waktu dan di dalamnya tercakup
suatu masa peralihan. Sedang transformasi sosial di pedesaan berawal dari
pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan industrialisasi sampai
terbentuknya susunan hubungan sosial ekononi produksi yang baru.
Lebih
lanjut, Harris (1982) dalam Ginting
(1996), memberikan definisi transformasi sosial sebagai suatu proses perubahan
susunan hubungan sosial ekonomi, berubahnya masyarakat agraris tradisional
menjadi masyarakat dengan sistem pertanian telah terintegrasi ke dalan sistem
ekonomi secara keseluruhan. Transformasi
sosial dapat dilihat dari penekanan saling hubungan antara faktor ekologi,
teknologi, demografi dan kultur masyarakat dalam suatu sistem usahatani.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat
terjadinya transformasi sosial di dalam sebuah komunitas diperlukan adanya
perubahan pada struktur sosial masyarakat, dan hal ini berhubungan dengan peran
dan status dari setiap individu yang ada di dalamnya.
Transformsi
sosial hanya dapat dibangun dan diperkuat dengan dukungan pembangunan yang terintegrasi
secara sektoral. Dengan kata lain, transformasi sosial membutuhkan dukungan
kebijakan dari berbagai sektor sebagai pilar penopang, atau variabel penentunya
(determinant factors)
Transformasi
Ekonomi
Transformasi
ekonomi adalah proses perubahan struktur ekonomi, ditandai dengan pergeseran
dari satu sektor ekonomi kepada sektor ekonomi lainnya yang dapat mempengaruhi
perubahan Product Domestic Regional Bruto
pada suatu negara atau suatu daerah.
Dalam
hal ini Pembangunan ekonomi bukan merupakan suatu proses ekonomi semata-mata,
melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan (Soedjatmoko,
1983). Ditambahkan bahwa, pembangunan
itu selalu menyangkut perubahan persepsi dan sikap terhadap kehidupan secara
menyeluruh, tidak di dalam bagian-bagian yang terpisah. Oleh karena itu, setiap proses pembangunan
ekonomi selalu menyangkut faktor non ekonomi di dalamnya (Abdullah, 2002).
Dengan
demikian pembangunan ekonomi tidak hanya diukur dari indeks-indeks ekonomi
semata, namun juga oleh faktor nonekonomi lainnya, terutama faktor sosial. Ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi akan
menjadi valid apabila kondisi sosial telah menunjukkan adanya peningkatan
kemakmuran dan penurunan angka kemiskinan di masyarakat.
Laju
transformasi ekonomi antara tempat satu dengan lainnya berbeda-beda, yang
disebabkan adanya perbedaan status kepemilikan dan potensi sumbedaya alam yang
tersedia, kualitas sumberdaya manusia, proses kulturisasi, serta aglomerasi.
Adanya perubahan-perubahan pola pikir mendorong terjadinya
perubahan pada pola tindak. Masuknya
pengaruh sosial, budaya dan teknologi ke dalam komunitas pesisir dan pedalaman
telah membantu percepatan terjadinya transformasi sosial.
Pemberdayaan
Masyarakat
Masih
lemahnya posisi masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu (terutama pesisir dan
pedalaman) telah memunculkan program pemberdayaan masyarakat. Program ini merupakan salah satu bentuk
tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “…meningkatkan kesejahteraan
umum”. Dengan kata lain, UUD 1945 telah
memberi tugas kepada pemerintah untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya.
Dalam
memberdayakan masyarakat, pemerintah melakukannya baik secara langsung maupun
melalui kerjasama (kemitraan) dengan pihak swasta. Sejak masa pemerintahan Orde
Baru telah dikenal berbagai program pemberdayaan masyarakat, seperti: bantuan
tenaga pendamping pedesaan, Inpres Desa Tertinggal, HPH Bina Desa/PMDH, Community Development, Bantuan Langsung
Tunai, hingga yang lebih luas lagi yaitu Corporate
Social Responsibility.
Pada
prinsipnya (apapun namanya) pemerintah berusaha meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan cara memberdayaan potensi sumberdaya yang tersedia, baik
sumberdaya manusia, sumberdaya modal, maupun sumberdaya alam.
Pemahaman tentang strategi pemberdayaan masyarakat
harus diluruskan kembali.
Kebijakan untuk memberi akses permodalan yang lebih
baik melalui pinjaman boleh jadi merupakan metode yang cukup bagus untuk
memberdayakan masyarakat. Namun harus disadari betul bahwa hal ini bukanlah
satu-satunya strategi pemberdayaan yang paling baik. Untuk mencapai hasil yang
optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal
jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini, perlu dikembangkan pendekatan lain
untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru
dalam perumusan kebijakan pemberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal.
Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah
kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri.
Tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, paling
tidak ada 3 level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1)
pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan;
2) pemberdayaan pada level kelompok / organisasi, yakni yang berhubungan dengan
peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada
level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik
secara ekonomis, sosiologis maupun politis.
Sementara pada aspek kedua yakni kategorisasi program
pemberdayaan, paling tidak ada 5 (lima) kelompok besar pemberdayaan, yakni: penyediaan
akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya seperti
modal, informasi, kesempatan berusaha dan memperoleh kemudahan/ fasilitas, dan
sebagainya. Pemberian
pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran bulletin, subsidi bagi pengusaha
lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas dalam kategori
ini. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan
dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan.
Sebagai
contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan infrastruktur transportasi
dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan non-bank, jaringan pemasaran, dan
lain-lain adalah contoh kondisi yang memiliki faktor-faktor keunggulan. Disisi
lain, kawasan pedesaan sering dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya.
Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan (gap)
antara kawasan perkotaan dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan
masyarakat. Lebih konkrit lagi dapat dicontohkan bahwa pembukaan daerah
terisolir melalui pembangunan jalan tembus dapat dikatakan sebagai pemberdayaan
masyarakat, sedangkan penambahan ruas jalan raya di perkotaan tidak termasuk
sebagai pengertian pemberdayaan dalam konteks penelitian ini.
Contoh
lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan prasarana irigasi
sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama. Kebijakan pertanian
yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan kepada lahan yang sudah
memiliki faktor keunggulan (cq. jaringan irigasi) dengan alasan untuk
mendongkrak produksi panen. Seandainya pemerintah mempromosikan program intensifikasi
pertanian untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal ini
berarti telah terjadi pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan
petani.
Pengembangan
Potensi Masyarakat Baik Dalam Pengertian SDM Maupun Kelembagaan Masyarakat.
Setiap
upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari tidak mampu menjadi
mampu, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tuna keterampilan menjadi terampil,
dan sebagainya, jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam
pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara sistematis
dengan tujuan memperkuat potensi masyarakat, adalah contoh nyata dari aksi
pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan untuk memperkuat
keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan
seperti KUD, P3A, dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan
pemberdayaan.
Penyediaan
stimulus untuk membangkitkan swadaya dan dan swakelola dalam bidang pelayanan
umum. Dalam banyak kasus ditemukan
adanya fenomena bahwa masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan),
telah memiliki kemampuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola
suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan kampung dan gorong-gorong,
penyediaan air bersih melalui pembangunann sumur artesis atau sistem bak
penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada kendala
koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalam situasi seperti itulah,
kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulan atau perangsang, sangat
berarti. Stimulan disini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan teknis,
atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu. Penyertaan masyarakat atau kelompok
masyarakat dalam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan.
Seiring
dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based
and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan
sebagai elemen kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi
kebijakan-kebijakan pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang
masuk dalam kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan,
deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan diskriminatif
terhadap kelompok minoritas (keturunan, wanita, penduduk asli/pendatang, dll),
dan sebagainya. Gagasan pembentukan Dewan Kota juga dapat diklasifikasikan
kedalam kategori ini.
Urgensi
pelibatan unsur masyarakat / LSM dalam perencanaan pembangunan ini semakin
menguat disebabkan adanya fakta bahwa konsep perencanaan pengembangan daerah
senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak berkesinambungan (sustainable)
sehingga kemudian muncul adagium ganti Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya,
pembangunan daerah pun menjadi carut-marut sementara gulungan berbagai
persoalan di daerah menjadi semakin rumit (Abdullah, 2003). Kondisi seperti ini diakui oleh Dirjen Perkotaan Depdagri
yang mengatakan bahwa perencanaan daerah/kota selama ini bersifat tertutup
sehingga aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk perancang kota , sebagai pelaku
pembangunan, tidak tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung
dipandang sebagai obyek pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan
(Kompas, 12/9/03).
Setelah
menetapkan kategorisasi, langkah selanjutnya dalam menganalisa kebijakan
pemberdayaan adalah menetapkan bidan dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini,
paling tidak ada 4 (empat) bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan
pemberdayaan, yakni ekonomis, sosbud, politis / administratif, serta prasarana.
Sebagai contoh, untuk kategori pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan
akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara
ekonomis hal ini bisa dicapai dengan cara pemberian pinjaman lunak dan subsidi
bagi pengusaha lemah, penyebaran informasi peluang pasar domestik dan
internasional, atau melalui pemberian dana suplemen. Sementara dari aspek
sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan penyebaran bulletin,
penyediaan sarana promosi / pengadaan pekan promosi, promosi program
intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan
berbagai macam pelatihan.
Selanjutnya,
dalam aspek politis / administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis
seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat keberfungsian atau
meningkatkan efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam
proses perijinan (deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif
terhadap masyarakat dan dunia usaha, membangun forum konsultasi pembangunan,
dan sebagainya. Adapun dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan untuk
beberapa langkah seperti pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan
tembus, bantuan material fisik sebagai bentuk rangsangan, dan sebagainya.
Pembahasan
1. Transformasi Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Pesisir Kalimantan
Kebijakan
pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan
“produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi
sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya (Syarief,
1995). Akibat dari kebijakan tersebut
telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek
kehidupan, seperti:
a)
Aspek
Ekologi, overfishing penggunaan
sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan
pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya
wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara
terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara
nelayan dengan pemerintah).
b)
Aspek
Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar
dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi
nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan
tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya
menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.
c)
Aspek
Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan
ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal
besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara periphery terdapat center, antara masyarakat dengan
pemerintah. Hal ini menimbulkan
penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan. Sehingga arah
modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi
keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis,
sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang
holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan
produksi, pengelolahan dan distribusi.
Berangkat
dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, Kusnadi et al (2007) menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan
yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi
kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang
berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain, (1) memitakan sumber daya
pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan
dan investai ekonomi, (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan
kualitas wawasan para pengurusnya, (3) mengembangkan produk unggulan yang
berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC (Virgin Coconut Oil) yang higienis dan
benilai jual tinggi, (4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur
untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders),
sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain
dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat
pesisir.
Lebih
lanjut Kusnadi et al (2007)
mengatakan bahwa fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam
pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan
pengelola aspirasi kepentingan pebangunan warga; menggalang seluruh potensi
sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif,
sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan
kohesivitas, sehingga kemampuan gotong-royong masyarakat meningkat; memperbesar
nilai tawar (bergaining position)
dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang
direncanakan.
Ditinjau
dari kulturnya, maka masyarakat yang ada di sepanjang pesisir pulau Kalimantan
kebanyakan adalah berasal dari Sulawesi . Mereka ini secara turun-temurun hidup sebagai
nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut.
Sisi
permodalan yang masih lemah menyebabkan mereka melakukan kegiatan masih secara
sederhana yaitu menggunakan sampan yang dilengkapi mesin berbahan bakar solar
(alat tangkap berupa jala). Karena alat
yang digunakan masih sederhana, maka hasil tangkapan yang diperoleh pun masih
sangat kecil. Munculnya nelayan-nelayan
asing yang menggunakan kapal tangkapan dengan teknologi tinggi di sekitar selat
Makassar telah menjadi pukulan bagi
nelayan-nelayan tradisional. Di samping
itu, bila terjadi gelombang besar para nelayan tradisional ini tidak berani
turun ke laut, akibatnya mereka tidak memperoleh hasil tangkapan.
Masih
kecilnya hasil tangkapan para nelayan tradisional mendorong pemerintah untuk
melakukan serangkaian pembinaan, seperti: pembentukan kelompok nelayan untuk
mengolah hasil tangkapan, membuka tambak, serta pembinaan kerajinan hasil laut
non ikan.
Pembinaan
yang dilakukan oleh pemerintah telah memberikan alternatif sumber penghidupan
bagi masyarakat di wilayah pesisir untuk tidak tergantung pada hasil tangkapan
ikan laut. Di samping terbukanya
lapangan usaha baru.
Pembinaan
yang dilakukan oleh pemerintah sudah baik, namun tidak cukup mampu untuk
mengangkat status sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, pembinaan yang dilakukan
tidak hanya sebatas memberi alternatif usaha, namun juga melengkapi
infrastruktur dasar yang ada di masing-masing tempat, (misalnya aksesibilitas
jalan, fasilitas kesehatan), memperbaiki/memberdayakan kelembagaan yang ada di
masyarakat, dan membuka akses informasi.
Proses
transformasi membutuhkan kesadaran dari dalam diri setiap individu di dalam
masyarakat. Untuk dapat tumbuh kesadaran
dibutuhkan adanya stimuli yang memberi arah pada terpenuhinya kebutuhan dasar. Di
sinilah peran strategis pemerintah sangat diperlukan sebagai fasilitator,
motivator dan dinamisator. Transformasi sosial dapat berlangsung secara alami,
namun proses pergerakannya akan berjalan lebih lamban. Meningkatnya angka kemiskinan struktural di
suatu tempat merupakan bukti nyata proses transformasi sosial yang lamban. Sebaliknya, stimuli yang diberikan pihak
pemerintah maupun pihak ketiga (swasta/NGO) dapat mengurangi angka kemiskinan
(mempercepat proses terjadinya trasformasi sosial).
Bagi
masyarakat pesisir transformasi sosial yang diharapkan adalah adanya perubahan
sosial dari masyarakat nelayan tradisional menjadi masyarakat industrialis yang
kreatif, dinamis dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di
wilayah pesisir.
Adanya perubahan-perubahan pola pikir mendorong
terjadinya perubahan pada pola tindak.
Masuknya pengaruh sosial, budaya dan teknologi ke dalam komunitas
pesisir telah membatu percepatan terjadinya transformasi sosial.
Semua kegiatan harus dilakukan secara terpadu, karena
dengan terpadi maka akan terjadi hubungan yang selaras dengan alam sehingga
dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Artinya, bahwa sumberdaya alam yang ada tidak hanya dapat dinikmati oleh
generasi yang ada saat ini saja namun juga oleh generasi-generasi di masa
mendatang dengan kualitas alami yang sama baiknya.
Transformasi sosial yang bergerak maju pada perbaikan
kualitas hidup akan diikuti dengan terjadinya transformasi ekonomi. Hal ini dapat terjadi disebabkan, kemajuan
pola pikir dan pola tindak masyarakat pesisir akan mengalihkan peran sektor
penangkapan ikan tradisional ke sektor industri. Hanya saja, untuk dapat terjadinya transformasi
ekonomi di masyarakat pesisir yang masih dibutuhkan waktu yang relatif lama,
karena perlu ditumbuhkan iklim investasi yang dapat memacu tumbuhnya
sektor-sektor potensial non perikanan.
Iklim investasi berkaitan dengan potensi sumberdaya alam (sebagai
penyedia bahan baku) dan kebijakan pemerintah yang sehat. Artinya di sini bahwa untuk melakukan
pergeseran dari sektor perikanan tradisional ke sektor industri diperlukan
adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat memberi kepastian usaha dan
jaminan kesejahteraan masyarakat pesisir.
2. Transformasi
Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pedalaman Kalimantan
Ditinjau dari sisi kultur, maka masyarakat pedalaman yang
ada di Kalimantan memiliki beragam etnis, dengan etnis asli yang ada adalah
Dayak, Kutai, dan Banjar. Namun, seiring
perjalanan waktu telah masuk pula etnis-etnis lainnya ke kawasan
pedalaman. Masuknya etnis-etnis
pendatang ini dilatar belakangi oleh kepentingan dagang, perkawinan campur,
atau upaya mencari tempat penghidupan baru.
Kehadiran etnis pendatang telah menimbulkan
pertikaian/perselisihan dengan etnis asli di beberapa tempat. Hal ini terjadi karena kurang adanya
pemahaman terhadap kultur etnis asli dan adanya upaya penguasaan sumberdaya
alam oleh etnis pendatang. Di bagian
lain, pertikaian/perselisihan antara etnis pendatang dengan etnis asli tidak
akan terjadi, bila adanya sikap saling menghormati dan menghargai sebagai
manusia yang beradab dan berakhlak mulia.
Bila dikaji lebih mendalam, maka akan terlihat bahwa
timbulnya konflik antar etnis di latar belakangi oleh kepentingan individu atau
kelompok tertentu yang karena merasa terjepit sehingga berlindung di bawah
etnis tertentu untuk dapat dibenturkan pada etnis lawannya. Kondisi demikian sebenarnya telah menghambat
proses transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat pedalaman yang beragam.
Masuknya teknologi baru yang dibawa oleh masyarakat
pendatang ke pedalaman akan menjadi jembatan alih teknologi bagi masyarakat
pedalaman. Masyarakat pedalaman yang semula hanya terbiasa menebang kayu
menggunakan kapak bergeser menjadi chainsaw.
Penggunaan chainsaw akan mempercepat proses penebangan pohon, sehingga
kerusakan sumberdaya hutan berlangsung lebih cepat dibanding menggunakan kapak.
Penggunaan chainsaw dapat saja dibenarkan, hanya dalam batas-batas bawah kendali
yang masih dapat ditoleransi. Namun,
pada kenyataannya penggunaan chainsaw
sudah dalam kategori yang merusak sumberdaya hutan. Tidak hanya pada penggunaan chainsaw, namun juga penggunaan
teknologi lainnya yang diadopsi langsung oleh masyarakat pedalaman telah
menimbulkan masalah penurunan kualitas lingkungan hidup.
Secara ekonomi masyarakat pedalaman Kalimantan hidup dari
hasil hutan dan perladangan. Pola
pertanian subsisten dilakukan masyarakat pedalaman Kalimantan secara turun
temurun, sehingga kerusakan terhadap alam akibat aktivitas pertanian relatif
kecil. Masukknya beberapa investor ke
wilayah pedalaman untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam tidak mengubah
kehidupan masyarakat pedalaman secara signifikan menjadi lebih sejahtera. Kondisi demikian terjadi disebabkan
kepedulian terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di pedalaman dilakukan
dengan tidak sepenuh hati, bahkan dianggap sebagai beban sosial (social cost) yang mengganggu operational budget perusahaan. Keberadaan program-program pemberdayaan,
seperti Comdev belum mampu
mensejahterakan masyarakat di sekitar perusahaan. Bahkan menambah lebar jurang kemiskinan,
karena lahan yang dimiliki oleh masyarakat sebelumnya telah dikuasai oleh
perusahaan. Di sisi lain harapan mendapatkan kesempatan kerja dan peluang usaha
hanya menjadi sebuah kenangan. Pada
kenyataannya hanya pada posisi-posisi tertentu (operator) saja yang diberikan
bagi masyarakat pedalaman (lokal) dengan dalih tidak memiliki kompetensi yang
dibutuhkan untuk medium level(staf). Demikian pula halnya dengan peluang usaha
yang diperoleh bagi masyarakat pedalaman yang ada di sekitar perusahaan, masih
sangat kecil bahkan hampir tidak ada.
Kalaupun ada peluang, merupakan bentuk-bentuk usaha kecil/mikro yang memberi
kontribusi sangat kecil bagi perkembangan ekonomi keluarga.
Kehadiran beberapa investor di wilayah pedalaman
sekiranya diharapkan tidak hanya memberi manfaat pada terserapnya tenaga kerja
lokal dan terbukanya peluang usaha, namun juga sebagai upaya pemberdayaan ekonomi
melalui transformasi ilmu pengetahuan yang dimiliki manajemen perusahaan kepada
masyarakat.
Proses transformasi sosial yang dilakukan perusahaan
dalam rangka meningkatkan derajat ekonomi masyarakat pedalaman dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Secara
efektif maksudnya adalah manajemen perusahaan memberi pembinaan bagi kelompok-kelompok
masyarakat yang kurang berdaya secara ekonomi, namun memiliki kemauan untuk
maju dan bersedia untuk melakukan perubahan dalam pola hidup yang subsisten. Selain, memiliki kemauan juga mampu untuk
menerima adanya perubahan yang akan dilakukan.
Sedangkan secara efisien yang dimaksud adalah meskipun pihak manajemen
perusahaan juga memiliki keterbatasan permodalan dalam melakukan
pemberdayaan/pembinaan, namun tidak menjadi penghambat dalam upaya meningkatkan
derajat kehidupan masyarakat pedalaman.
Pembinaan/pemberdayaan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan akan berdampak pada dua sisi perubahan, yaitu perubahan pada
nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku di lingkungan kekerabatan masyarakat
pedalaman, serta perubahan terhadap terjadinya transformasi ekonomi dari pola
subsisten menjadi pola modern yang lebih mandiri, artinya bahwa dapat
menjalankan usaha tanpa adanya ketergantungan pada sumberdaya alam secara langsung.
Sebagai contoh, adanya perubahan dari
masyarakat petani tradisional (berpindah) menjadi petani kebun yang mengolah
tanahnya secara intensif atau membangun sebuah usaha kerajinan.
Faktor Penghambat
Dari hasil kajian di atas nampak bahwa program-program
pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir maupun pedalaman akan menyebabkan
terjadinya transformasi sosial. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
pesisir dan pedalaman yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara optimal, dan
akan menggeser posisi suatu sektor ekonomi ke sektor lainnya sehingga secara
gradual akan membentuk transformasi ekonomi.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat
terjadinya transformasi sosial antara lain:
a. Taraf pengetahuan masyarakat
Taraf pengetahuan masyarakat yang masih rendah menimbulkan
adanya rasa takut, cemas atau ketidaksukaan terhadap pengaruh luar yang
memiliki nilai-nilai sosial yang dianggap bertentangan dan dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai atau norma-norma asli yang telah
ada dan dihormati secara turn-temurun.
b. Aksesibilitas
Aksesibilitas yang buruk (terutama di daerah
pedalaman) menyebabkan masyarakat yang hidup di wilayah ini terisolir dari
kehidupan luar. Kondisi demikian akan
berpengaruh terhadap pandangan atau persepsi masyarakat pedalaman terhadap
nilai-nilai sosial dari luar. Semakin
sukar aksesibilitas wilayah pedalaman terhadap wilayah lainnya maka semakin
kecil pula pengaruh dari luar terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku di
masyarakat. Transformasi sosial akan
berjalan lamban akibat pengaruh dominan dari perubahan lingkungan alam yang
ada.
c. Pengalaman
masa lalu
Pengalaman masa lalu yang buruk akibat dari
pemaksanaan kehendak untuk menguasai wilayah pedalaman oleh masyarakat dari
luar menyebabkan adanya sikap was-was masyarakat pedalaman dalam menerima
kehadiran para pendatang. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa kejadian konflik yang melibatkan masyarakat pedalaman
dengan para pendatang. Kurang
dipahaminya nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat pedalaman menyebabkan
transformasi sosial yang berlangsung berjalan tidak normal. Kedatangan para masyarakat pendatang ke suatu
wilayah pedalaman (melalui suatu perusahaan) dengan alasan mengelola sumberdaya
alam yang ada telah menimbulkan kerusakan dan penderitaan bagi masyarakat
pedalaman. Hal ini bagi masyarakat
pedlaman merupakan sebuah ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian
besar program pemberdayaan masyarakat pedalaman yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang masuk ke wilayah pedalaman tidak memberikan tingkat
kemajuan dan kesejahteraan yang signifikan, sebaiknya yang terjadi justru
membuka jurang kemiskinan dan menurunkan taraf kesejahteraan masyarakat
pedalaman. Bantuan-bantuan yang
diberikan dalam rangka percepatan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat
kerap salah sasaran yang hanya dinikmati oleh kelompok tertentu dan tidak
menyentuh pada masyarakat yang sesungguhnya membutuhkan.
Sama halnya dengan transformasi sosial, transformasi
ekonomi juga dapat terhambat apabila pemberdayaan yang dilakukan tidak tepat
sasaran. Dalam hal ini peran pemerintah
sebagai pengambil kebijakan berperan sangat penting dalam menumbuhkembangkan
ekonomi masyarakat (pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan). Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat pesisir dan pedalaman seyogyanya konsisten dan searah dengan
visi dan misi yang dibangun oleh masing-masing sektor, serta tidak tumpang
tindih antara satu dengan lainnya yang pada akhirnya membawa bencana bagi
masyarakat lokal. Fakta menunjukkan
bahwa pemberian ijin pada Pertambangan batubara dan Migas yang terjadi di
beberapa wilayah pedalaman dan pesisir Kalimantan belum mampu memberi nilai
tambah ekonomi dan penciptaan lapangan usaha yang prospektus bagi masyarakat
lokal untuk kondisi pasca operasi tambang.
Masyarakat hanya diberi bantuan pada saat berlangsungnya operasi, namun
tidak dipersiapkan untuk jangka panjang ketika operasional perusahaan berakhir.
Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab
mengawasi dan mengendalikan pembangunan seharusnya dapat melihat secara jeli
dan jernih mengenai program-program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh
para investor tersebut. Bagi para
investor yang tidak melakukan pemberdayaan ekonomi sudah selayaknya dikenai
sanksi tegas (menurut aturan yang berlaku), karena mereka telah memanfaatkan
sumberdaya alam yang bermanfaat sebagai penyangga kehidupan masyarakat lokal
(di pesisir dan pedalaman) dan tidak mungkin dapat mengembalikannya menjadi
pulih kembali pada tahap pasca operasi, sementara kelangsungan hidup masyarakat
tersebut harus terus berlanjut.
Penutup
Pada bagian penutup dari tulisan ini kiranya dapat
disampakan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan atau rekomendasi
bagi pihak-pihak yang terlibat melangsungkan kegiatan di wilayah pesisir dan
pedalaman.
1. Transformasi sosial di wilayah pesisir dan
pedalaman Kalimantan dapat berlangsung secara alami dan/atau dengan bantuan
pihak luar. Bantuan dari pihak luar akan
terjadi apabila terjadi akulturasi nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku
antara masyarakat lokal dan para pendatang.
2. Transformasi sosial akan memberi arah pada
terjadinya transformasi ekonomi, yaitu dengan jalan meningkatkan taraf
pengetahuan masyarakat lokal terhadap inovasi-inovasi yang tidak merusak dalam
mengelola potensi sumberdaya alam yang tersedia.
3. Transformasi ekonomi terjadi dalam jangka
panjang ketika perusahaan-perusahaan yang beroperasi di suatu tempat memberi
peluang usaha bagi masyarakat lokal di sekitarnya dan mempersiapkan masyarakat
tersebut untuk tahap pasca operasi.
4. Kebijakan pemerintah akan sangat menentukan
terjadinya proses transformasi ekonomi di wilayah pesisir dan pedalaman
Kalimantan. Untuk itu, masyarakat tidak
hanya dituntun untuk menerima kehadiran perusahaan-perusahaan yang masuk ke
wilayah mereka, namun juga memberi pengawasan dan pengendalian terhadap
perusahaan-perusahaan tersebut agar pemberdayaan ekonomi yang dilakukan tidak
salah sasaran.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Irwan., 2002. Tantangan
Pembangunan Ekonomi dan Transformasi Sosial Suatu Pendekatan Budaya. Jurnal
Humainora. Vol. XIV No. 3 Tahun 2002,
Yogyakarta.
Ginting,
Elizer., 1996. Transformasi Sosial Petani dalam Usaha Sapi Perah; Kasus Masyarakat
Desa Kemiri Kecamatan Jabung Kabupaten Malang, Malang.
Kusnadi
et al., 2007. Strategi
Hidup Masyarakat Nelayan. LKiS,
Yogyakarta.
Sosrodihardjo.,
1991. Transformasi Sosial; Menuju Masyarakat Industri. Tiara
Wacana,Yogyakarta.
Syarief,
Efrizal.,1995. Pembangunan Kelautan Dalam
Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Pengembangan
Ekonomi Lokal Bappenas, Jakarta .
*)
Ditulis bersama Thomas R.
Hutauruk, SP.,M.Si
Makasih, artikelnya membantu banget buat ngerjain papper ^^
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut