Laman

Senin, 01 November 2010

Transformasi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Pedalaman di Kalimantan (Mencari Sebuah Model Kebijakan Pembangunan yang Memberdayakan)


Socio-Economic Transformation for Coastal and Remote Society in Kalimantan: A Search for Enabling Developmental Policy *)



Abstract:

The general picture of rural and coastal regions shows a unique phenomenon. On the one hand, they are traditionally thriving of natural resources. On the other hand, they are typically characterized as less-developed, isolated and marginalized community. Economic and social development indicators indicate that they has been lacking of basic service facilities as well as far from being well-informed society. Kalimantan, the biggest island in Indonesia, is also experiencing similar situation compared to its people. Development program and process in this region has frequently considered to be failed in leveraging people’s welfare and improving competitiveness of local products. Consequently, coastal and remote society remains deprived, elucidating how “vicious circle of poverty” works.
In such a case, efforts of systemic transformation would be fruitful to overcome such complexities. The main idea is that public policy should function as trigger of the transformation wheel, both socially and economically. To support that notion, this paper offers 5 (five) categories of empowerment program that should be linked to 4 (four) sectors of development, namely economic, social and cultural, political and administrative, and infrastructure dimension. Another important thing is that acceleration of empowerment programs require political will of the government (both in central and local level) to burst through every single developmental-policy, innovatively. The utter goal of socio-economic transformation is the emergence of “good coastal, rural and remote governance”.


Latar Belakang
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia memliki sistem sosial budaya yang sangat beragam.  Walaupun adanya pemisah antar pulau telah membentuk sistem sosial budaya yang berbeda-beda, namun tetap menjadi satu kesatuan yang utuh di bawah nauangan Pancasila dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Keberagaman sosial budaya yang ada merupakan pondasi bagi terbentuknya sistem ekonomi lokal yang kokoh bagi masyarakat setempat.
Penelusuran langsung (pengalaman dan pengamatan) dan studi literatur yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa keberagaman pola sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal sangat signifikan berhubungan dengan letak geografis, potensi, pola pemanfaatan dan status kepemilikan sumberdaya alam yang tersedia.  Masyarakat di sini dapat diartikan sebagai komunitas, yaitu masyarakat tertentu yang mendiami sebuah habitat tertentu dan memiliki ciri-ciri tertentu pula. Pola-pola sebagaimana dimaksud terbentuk secara alami disebabkan adanya dorongan untuk mempertahankan hidup.  Selanjutnya hubungan atau interaksi antara masyarakat dengan lingkungan inilah yang dimaksud dengan ekologi sosial.
Secara garis besar para sosiolog telah membagi masyarakat berdasarkan sistem sosial, ekonomi dan budaya yang berlaku menjadi komunitas perkotaan dan komunitas perdesaan.  Bila ditelusuri lebih mendalam lagi, ternyata bahwa komunitas yang ada sangatlah kompleks dan beragam, yaitu terdiri dari: komunitas pinggiran kota, komunitas sekitar hutan, komunitas gurun pasir, komunitas gurun salju, komunitas pegunungan, komunitas lereng gunung, komunitas padang savanna, komunitas prairi, komunitas gua, komunitas atas permukaan air, komunitas pesisir, dan sebagainya.  Komunitas-komunitas yang ada di muka bumi ini akan terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan peradaban manusia.
Mengingat begitu banyak komunitas manusia yang ada, maka penulis dalam melakukan kajian hanya membatasi pada masyarakat dari komunitas pesisir dan pedalaman.  Pilihan yang dilakukan oleh penulis didasari pada nilai strategis masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan pedalaman, khususnya yang berada di Pulau Kalimantan.  Nilai strategis yang dimaksud adalah kemampuan budaya lokal dalam menyangga stabilitas sosial dan ekonomi.
Dalam hal ini masyarakat pesisir atau pedalaman sering dicirikan sebagai masyarakat yang terbelakang, teralienasi, atau terabaikan. Dalam berbagai indikator pembangunan sosial ekonomi, mereka sering berada pada struktur terbawah. Mereka juga sering kali tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar dan informasi. Dengan kata lain bahwa masyarakat pesisir atau pedalaman memiliki ciri-ciri yang berhubungan dengan pola hidup tradisional yang senantiasa menempati stratum terendah dalam lapisan masyarakat.
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Direktorat kelautan dan Perikanan terhadap wilayah pesisir di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Riau dan Bali, serta mewakili usaha perikanan tangkap dan budidaya, baik perikanan laut maupun perikanan tawar, menunjukkan bahwa masyarakat pesisir sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Permasalahan utama yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kekurangan modal; rendahnya kualitas sumberdaya manusia; kurangnya sarana dan prasarana; kerusakan fisik habitat (kerusakan terumbu karang, kerusakan mangrove, kerusakan akibat pemanfaatan berlebih, pencemaran laut, intrusi air laut, erosi dan sedimentasi); kemiskinan penduduk pesisir; kurangnya pemahaman terhadap nilai sumberdaya; masalah kelembagaan (konflik pemanfaatan dan kewenangan, masalah ketidakpastian hukum). Hasil survei di atas menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat yang ada di pesisir Kalimantan.
Meskipun berada pada lapisan terbawah, masyarakat yang berada pada komunitas pesisir atau pedalaman memiliki peran yang strategis dalam menjaga keseimbangan ekologi.  Hal ini dapat dilihat dari cara komunitas ini dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan secara arif dan berhati-hati.
Hasil studi yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat pesisir dan pedalaman terhadap sumberdaya alam secara langsung menyebabkan mereka berupaya menjaga kelestarian lingkungan, yaitu memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia sesuai dengan kebutuhan disertai upaya untuk memperbaikinya. Sebaliknya, mereka yang datang hanya untuk memanfaatkan sumberdaya alam akan melakukan eksploitasi sumberdaya alam yang tersedia tanpa disertai tanggung jawab untuk memulihkannya, kalaupun dilakukan bukan semata-mata karena adanya kesadaran, namun sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban yang dibebankan.
Seiring dengan perkembangan jumlah manusia yang disertai peningkatan kebutuhan hidup bergerak menuruk deret ukur, sedangkan sumberdaya yang tersedia bergerak menurut deret hitung menyebabkan terjadinya kelangkaan. Sehingga untuk memperolehnya diperlukan kompetisi dan seleksi alam.
Masyarakat pesisir dan pedalaman yang masih berpola tradisional (subsisten) harus bersaing dengan kelompok-kelompok pendatang yang memiliki kemampuan modal dan teknologi lebih baik menyebabkan adanya penguasaan sumberdaya alam yang tersedia.
Dalam kondisi demikian, transformasi sosial menghadapi kendala struktural yang sangat besar, sehingga penanganannya juga harus dilakukan secara sistemik, komprehensif, dan berkelanjutan.
Pulau Kalimantan secara geografis memiliki kedudukan yang cukup strategis, karena berada di tengah-tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikelilingi lautan dan berbatasan langsung dengan Negara tetangga (Malaysia). Kondisi iklim yang subtropis menjadikan pulau ini kaya dengan keanekaragaman hayati, di samping sumberdaya alam yang cukup berlimpah.
Hanya saja, kekayaan sumberdaya alam yang ada tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, terutama masyarakat yang berada pada kawasan pesisir, pedalaman hingga perbatasan.  Masih banyak masyarakat belum mendapatkan kehidupan yang layak, anak-anak usia sekolah masih sukar untuk bersekolah karena tidak ada biaya, hasil-hasil pertanian tidak terjual hingga rusak, pelayanan kesehatan masih minim, dan sebagainya. 
Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan pedalaman Kalimantan telah menjadi isu penting baik lokal maupun nasional (bahkan Internasional), namun belum juga dapat dituntaskan.  Kondisi demikian menarik perhatian penulis untuk dikaji dan disusun dalam sebuah model, sebagai bentuk kepedulian terhadap mereka dan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Kerangka Berpikir
Sebuah wilayah akan dihuni oleh komunitas tertentu disebabkan adanya faktor penarik, yang salah satunya adalah potensi sumberdaya alam yang tersedia.  Sebaliknya, wilayah tersebut akan ditinggalkan oleh penghuninya apabila potensi sumberdaya alam yang tersedia sangat terbatas, kritis, atau tidak ada harapan. Bagaimana pun juga aktivitas komunitas tertentu tidak terlepas dari kemampuan alam dalam menyangga kehidupan mereka.  Hanya saja pemanfaatan yang dilakukan juga tergantung pada kemampuan sumberdaya manusia dalam mengelolanya.
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil biasanya memiliki karakteristik belum terbangun secara massive. Dengan kata lain, intervensi kepentingan ekonomi relatif masih kecil, sehingga potensi dan kekayaan yang terkandung di wilayah ini masih sangat besar untuk digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan. Beberapa potensi yang terkandung secara umum (kondisi masing-masing daerah berbeda) antara lain adalah sebagai berikut: sumberdaya pesisir dan perairan (coastal and marine resources), sumberdaya air bersih (freshwater resources), sumberdaya lahan (land resources), sumberdaya energi (energy resources), sumberdaya pariwisata (tourism resources), sumberdaya keragaman hayati (biodiversity resources), dan sumberdaya budaya (culture resources).  Demikian juga dengan wilayah pedalaman terdapat beberapa potensi yang dapat dimanfaatkan, seperti: sumberdaya lahan, sumberdaya hutan, sumberdaya budaya, sumberdaya tambang, dan sebagainya.
Baik wilayah pesisir maupun pedalaman, keduanya memiliki potensi sumberdaya yang cukup beragam antara satu tempat dengan tempat lainnya.  Besar atau kecilnya potensi sumberdaya-sumberdaya yang dimaksud merupakan modal dasar dalam menjaga kelangsungan hidup para penghuninya. Kelangkaan sumberdaya alam yang tersedia telah menimbulkan pertikaian/konflik di beberapa tempat.  Akbatnya ketenangan, ketentraman serta kedamaian menjadi barang langka yang mahal nilainya.
Berbagai kekayaan dan potensi tersebut dapat dioptimalkan jika dilakukan sebuah treatment kebijakan yang mampu menjadi trigger bagi berlangsungnya proses transformasi sosial ekonomi

Transformasi Sosial
Beberapa pakar dan penulis mencoba mendefinisikan pengertian dari transformasi sosial.  Meskipun adanya perbedaan cara pandang antara satu dengan lainnya, namun semua itu berfokus pada persoalan perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang dinamis.
Menurut Sosrodihardjo (1991), setiap masyarakat mempunyai nilai-nilai sosial, yang mengatur tata di dalam masyarakat tersebut.  Termasuk di dalam nilai-nilai sosial ini tata susila serta adat kebiasaan.  Nilai-nilai sosial ini merupakan ukuran di dalam menilai tindakan dan hubungannya dengan orang lain. 
Byres (1984) dalam Ginting (1996) menyatakan transformasi sosial adalah suatu perjalanan waktu dan di dalamnya tercakup suatu masa peralihan. Sedang transformasi sosial di pedesaan berawal dari pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan industrialisasi sampai terbentuknya susunan hubungan sosial ekononi produksi yang baru.
Lebih lanjut, Harris (1982) dalam Ginting (1996), memberikan definisi transformasi sosial sebagai suatu proses perubahan susunan hubungan sosial ekonomi, berubahnya masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat dengan sistem pertanian telah terintegrasi ke dalan sistem ekonomi secara keseluruhan.  Transformasi sosial dapat dilihat dari penekanan saling hubungan antara faktor ekologi, teknologi, demografi dan kultur masyarakat dalam suatu sistem usahatani.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa untuk dapat terjadinya transformasi sosial di dalam sebuah komunitas diperlukan adanya perubahan pada struktur sosial masyarakat, dan hal ini berhubungan dengan peran dan status dari setiap individu yang ada di dalamnya.
Transformsi sosial hanya dapat dibangun dan diperkuat dengan dukungan pembangunan yang terintegrasi secara sektoral. Dengan kata lain, transformasi sosial membutuhkan dukungan kebijakan dari berbagai sektor sebagai pilar penopang, atau variabel penentunya (determinant factors)

Transformasi Ekonomi
Transformasi ekonomi adalah proses perubahan struktur ekonomi, ditandai dengan pergeseran dari satu sektor ekonomi kepada sektor ekonomi lainnya yang dapat mempengaruhi perubahan Product Domestic Regional Bruto pada suatu negara atau suatu daerah.
Dalam hal ini Pembangunan ekonomi bukan merupakan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan (Soedjatmoko, 1983).  Ditambahkan bahwa, pembangunan itu selalu menyangkut perubahan persepsi dan sikap terhadap kehidupan secara menyeluruh, tidak di dalam bagian-bagian yang terpisah.  Oleh karena itu, setiap proses pembangunan ekonomi selalu menyangkut faktor non ekonomi di dalamnya (Abdullah, 2002).
Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak hanya diukur dari indeks-indeks ekonomi semata, namun juga oleh faktor nonekonomi lainnya, terutama faktor sosial.  Ukuran keberhasilan pembangunan ekonomi akan menjadi valid apabila kondisi sosial telah menunjukkan adanya peningkatan kemakmuran dan penurunan angka kemiskinan di masyarakat.
Laju transformasi ekonomi antara tempat satu dengan lainnya berbeda-beda, yang disebabkan adanya perbedaan status kepemilikan dan potensi sumbedaya alam yang tersedia, kualitas sumberdaya manusia, proses kulturisasi, serta aglomerasi.
Adanya perubahan-perubahan pola pikir mendorong terjadinya perubahan pada pola tindak.  Masuknya pengaruh sosial, budaya dan teknologi ke dalam komunitas pesisir dan pedalaman telah membantu percepatan terjadinya transformasi sosial.

Pemberdayaan Masyarakat
Masih lemahnya posisi masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu (terutama pesisir dan pedalaman) telah memunculkan program pemberdayaan masyarakat.  Program ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “…meningkatkan kesejahteraan umum”.  Dengan kata lain, UUD 1945 telah memberi tugas kepada pemerintah untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya.
Dalam memberdayakan masyarakat, pemerintah melakukannya baik secara langsung maupun melalui kerjasama (kemitraan) dengan pihak swasta. Sejak masa pemerintahan Orde Baru telah dikenal berbagai program pemberdayaan masyarakat, seperti: bantuan tenaga pendamping pedesaan, Inpres Desa Tertinggal, HPH Bina Desa/PMDH, Community Development, Bantuan Langsung Tunai, hingga yang lebih luas lagi yaitu Corporate Social Responsibility.
Pada prinsipnya (apapun namanya) pemerintah berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara memberdayaan potensi sumberdaya yang tersedia, baik sumberdaya manusia, sumberdaya modal, maupun sumberdaya alam.
Pemahaman tentang strategi pemberdayaan masyarakat harus diluruskan kembali.
Kebijakan untuk memberi akses permodalan yang lebih baik melalui pinjaman boleh jadi merupakan metode yang cukup bagus untuk memberdayakan masyarakat. Namun harus disadari betul bahwa hal ini bukanlah satu-satunya strategi pemberdayaan yang paling baik. Untuk mencapai hasil yang optimal dalam upaya memberdayakan masyarakat, penggunaan pendekatan tunggal jelas tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini, perlu dikembangkan pendekatan lain untuk merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai pendekatan baru dalam perumusan kebijakan pemberdayaan tersebut, maka perlu ditentukan dua hal. Pertama tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, sedang kedua adalah kategorisasi dari program pemberdayaan itu sendiri.
Tentang dimensi dan tingkatan pemberdayaan, paling tidak ada 3 level yang harus dicapai oleh program pemberdayaan, yakni: 1) pemberdayaan pada level individu, berupa pengembangan potensi dan keterampilan; 2) pemberdayaan pada level kelompok / organisasi, yakni yang berhubungan dengan peningkatan partisipasi kelompok dalam pembangunan; serta 3) pemberdayaan pada level kesisteman, yakni berwujud meningkatnya kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosiologis maupun politis.
Sementara pada aspek kedua yakni kategorisasi program pemberdayaan, paling tidak ada 5 (lima) kelompok besar pemberdayaan, yakni: penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya seperti modal, informasi, kesempatan berusaha dan memperoleh kemudahan/ fasilitas, dan sebagainya. Pemberian pinjaman lunak, penerbitan dan penyebaran bulletin, subsidi bagi pengusaha lemah, dan sebagainya dapat diklasifikasikan sebagai aktivitas dalam kategori ini. Peningkatan keseimbangan antara sebuah kondisi yang memiliki keunggulan dengan kondisi lain yang tidak memiliki keunggulan.
Sebagai contoh, kawasan perkotaan yang memiliki kelengkapan infrastruktur transportasi dan komunikasi, lembaga keuangan bank dan non-bank, jaringan pemasaran, dan lain-lain adalah contoh kondisi yang memiliki faktor-faktor keunggulan. Disisi lain, kawasan pedesaan sering dicirikan oleh karakteristik yang sebaliknya. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bisa mendekatkan kesenjangan (gap) antara kawasan perkotaan dan pedesaan dapat digolongkan sebagai pemberdayaan masyarakat. Lebih konkrit lagi dapat dicontohkan bahwa pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus dapat dikatakan sebagai pemberdayaan masyarakat, sedangkan penambahan ruas jalan raya di perkotaan tidak termasuk sebagai pengertian pemberdayaan dalam konteks penelitian ini.
Contoh lain, ada lahan pertanian yang sudah dilengkapi dengan prasarana irigasi sementara lahan lain tidak memiliki prasarana yang sama. Kebijakan pertanian yang ditempuh selama ini lebih banyak difokuskan kepada lahan yang sudah memiliki faktor keunggulan (cq. jaringan irigasi) dengan alasan untuk mendongkrak produksi panen. Seandainya pemerintah mempromosikan program intensifikasi pertanian untuk lahan yang tidak memiliki jaringan irigasi, maka hal ini berarti telah terjadi pemberdayaan pertanian rakyat, sekaligus pemberdayaan petani.

Pengembangan Potensi Masyarakat Baik Dalam Pengertian SDM Maupun Kelembagaan Masyarakat.
Setiap upaya untuk merubah kondisi dari bodoh menjadi pintar, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tuna keterampilan menjadi terampil, dan sebagainya, jelas sekali merupakan program pemberdayaan. Aktivitas semacam pelatihan, penyuluhan dan kursus-kursus yang diselenggarakan secara sistematis dengan tujuan memperkuat potensi masyarakat, adalah contoh nyata dari aksi pemberdayaan. Demikian pula, setiap upaya yang ditujukan untuk memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti KUD, P3A, dan sebagainya dapat dikelompokkan sebagai kebijakan pemberdayaan.
Penyediaan stimulus untuk membangkitkan swadaya dan dan swakelola dalam bidang pelayanan umum.  Dalam banyak kasus ditemukan adanya fenomena bahwa masyarakat (khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan), telah memiliki kemampuan ekonomis dan manajerial yang memadai untuk mengelola suatu kegiatan tertentu seperti perbaikan jalan kampung dan gorong-gorong, penyediaan air bersih melalui pembangunann sumur artesis atau sistem bak penampungan, dan sebagainya. Hanya saja, hal ini sering terbentur pada kendala koordinasi dan inisiatif untuk memulainya. Dalam situasi seperti itulah, kebijakan pemerintah untuk mengucurkan stimulan atau perangsang, sangat berarti. Stimulan disini bisa berwujud pemberian perijinan, bantuan teknis, atau pemberian dana suplemen bagi suatu kegiatan tertentu.  Penyertaan masyarakat atau kelompok masyarakat dalam proses perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan pembangunan.
Seiring dengan paradigma pembangunan yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai elemen kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. Beberapa contoh program pemberdayaan yang masuk dalam kategori ini misalnya pembentukan forum konsultasi pembangunan, deregulasi perijinan pendirian LSM atau NGO, eliminasi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas (keturunan, wanita, penduduk asli/pendatang, dll), dan sebagainya. Gagasan pembentukan Dewan Kota juga dapat diklasifikasikan kedalam kategori ini.
Urgensi pelibatan unsur masyarakat / LSM dalam perencanaan pembangunan ini semakin menguat disebabkan adanya fakta bahwa konsep perencanaan pengembangan daerah senantiasa meloncat-loncat, tak konsisten, dan tak berkesinambungan (sustainable) sehingga kemudian muncul adagium ganti Kepala Daerah ganti kebijakan. Akhirnya, pembangunan daerah pun menjadi carut-marut sementara gulungan berbagai persoalan di daerah menjadi semakin rumit (Abdullah, 2003). Kondisi seperti ini diakui oleh Dirjen Perkotaan Depdagri yang mengatakan bahwa perencanaan daerah/kota selama ini bersifat tertutup sehingga aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, termasuk perancang kota, sebagai pelaku pembangunan, tidak tertampung dengan baik. Bahkan, masyarakat cenderung dipandang sebagai obyek pembangunan atau kelompok obyek fungsional perencanaan (Kompas, 12/9/03).
Setelah menetapkan kategorisasi, langkah selanjutnya dalam menganalisa kebijakan pemberdayaan adalah menetapkan bidan dan strategi pencapaiannya. Dalam hal ini, paling tidak ada 4 (empat) bidang pencapaian untuk mengakselerasi kebijakan pemberdayaan, yakni ekonomis, sosbud, politis / administratif, serta prasarana. Sebagai contoh, untuk kategori pemberdayaan yang pertama yakni “penyediaan akses yang lebih terbuka, luas dan lebar terhadap sumber-sumber daya”, secara ekonomis hal ini bisa dicapai dengan cara pemberian pinjaman lunak dan subsidi bagi pengusaha lemah, penyebaran informasi peluang pasar domestik dan internasional, atau melalui pemberian dana suplemen. Sementara dari aspek sosial budaya dapat ditempuh melalui penerbitan dan penyebaran bulletin, penyediaan sarana promosi / pengadaan pekan promosi, promosi program intensifikasi sektoral seperti pertanian, serta penyelenggaraan kursus dan berbagai macam pelatihan.
Selanjutnya, dalam aspek politis / administratif dapat dilakukan langkah-langkah strategis seperti membangun kemitraan dengan sektor swasta, memperkuat keberfungsian atau meningkatkan efektivitas lembaga kemasyarakatan, memberikan kemudahan dalam proses perijinan (deregulasi), menghilangkan perlakuan yang diskriminatif terhadap masyarakat dan dunia usaha, membangun forum konsultasi pembangunan, dan sebagainya. Adapun dari aspek infrastruktur dapat dipertimbangkan untuk beberapa langkah seperti pembukaan daerah terisolir melalui pembangunan jalan tembus, bantuan material fisik sebagai bentuk rangsangan, dan sebagainya.

Pembahasan
1.  Transformasi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kalimantan
Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya (Syarief, 1995).  Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:
a)      Aspek Ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan,  nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah).
b)      Aspek Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional.  Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.
c)       Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara periphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah.  Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan. Sehingga arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi, pengelolahan dan distribusi.
Berangkat dari berbagai kelemahan masyarak pesisir itulah, Kusnadi et al (2007) menekankan perlu adanya tujuan program pemberdayaan yang lebih menitik-beratkan pada upaya memperkuat kedudukan dan fungsi kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat pesisir untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Adapun ruang lingkupnya antara lain, (1) memitakan sumber daya pembangunan wilayah yang dapat dijadikan basis data perencanaan kebijakan pembanguanan dan investai ekonomi, (2) meningkatkan kemampuan manajemen organisasi dan kualitas wawasan para pengurusnya, (3) mengembangkan produk unggulan yang berbasis pada potensi sumber daya lokal, seperti terasi, VOC (Virgin Coconut Oil) yang higienis dan benilai jual tinggi, (4) melaksanakan publikasi yang terencana dan tersturktur untuk masyarakat luas, khususnya para pemangku kepentingan (stakeholders), sebagai sarana menjalin kerjasama dengan institusi atau lembaga-lembaga lain dalam rangka menggalang potensi sumber daya kolektif dalam membangun masyarakat pesisir.
Lebih lanjut Kusnadi et al (2007) mengatakan bahwa fungsi dan pentingnya kelembagaan sosial-ekonomi dalam pembangunan masyarakat pesisir adalah, sebagai wadah penampung harapan dan pengelola aspirasi kepentingan pebangunan warga; menggalang seluruh potensi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, sehingga kemampuan kolektif, sumber daya, dan akses masyarakat meningkat; memperkuat solidaritas dan kohesivitas, sehingga kemampuan gotong-royong masyarakat meningkat; memperbesar nilai tawar (bergaining position) dan; menumbuhkan tanggung jawab kolektif masyarakat atas pembangunan yang direncanakan.
Ditinjau dari kulturnya, maka masyarakat yang ada di sepanjang pesisir pulau Kalimantan kebanyakan adalah berasal dari Sulawesi.  Mereka ini secara turun-temurun hidup sebagai nelayan yang menggantungkan hidup pada hasil laut.
Sisi permodalan yang masih lemah menyebabkan mereka melakukan kegiatan masih secara sederhana yaitu menggunakan sampan yang dilengkapi mesin berbahan bakar solar (alat tangkap berupa jala).  Karena alat yang digunakan masih sederhana, maka hasil tangkapan yang diperoleh pun masih sangat kecil.  Munculnya nelayan-nelayan asing yang menggunakan kapal tangkapan dengan teknologi tinggi di sekitar selat Makassar telah menjadi pukulan bagi nelayan-nelayan tradisional.  Di samping itu, bila terjadi gelombang besar para nelayan tradisional ini tidak berani turun ke laut, akibatnya mereka tidak memperoleh hasil tangkapan.
Masih kecilnya hasil tangkapan para nelayan tradisional mendorong pemerintah untuk melakukan serangkaian pembinaan, seperti: pembentukan kelompok nelayan untuk mengolah hasil tangkapan, membuka tambak, serta pembinaan kerajinan hasil laut non ikan.
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah telah memberikan alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat di wilayah pesisir untuk tidak tergantung pada hasil tangkapan ikan laut.  Di samping terbukanya lapangan usaha baru.
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah sudah baik, namun tidak cukup mampu untuk mengangkat status sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.  Oleh karena itu, pembinaan yang dilakukan tidak hanya sebatas memberi alternatif usaha, namun juga melengkapi infrastruktur dasar yang ada di masing-masing tempat, (misalnya aksesibilitas jalan, fasilitas kesehatan), memperbaiki/memberdayakan kelembagaan yang ada di masyarakat, dan membuka akses informasi.
Proses transformasi membutuhkan kesadaran dari dalam diri setiap individu di dalam masyarakat.  Untuk dapat tumbuh kesadaran dibutuhkan adanya stimuli yang memberi arah pada terpenuhinya kebutuhan dasar. Di sinilah peran strategis pemerintah sangat diperlukan sebagai fasilitator, motivator dan dinamisator. Transformasi sosial dapat berlangsung secara alami, namun proses pergerakannya akan berjalan lebih lamban.  Meningkatnya angka kemiskinan struktural di suatu tempat merupakan bukti nyata proses transformasi sosial yang lamban.  Sebaliknya, stimuli yang diberikan pihak pemerintah maupun pihak ketiga (swasta/NGO) dapat mengurangi angka kemiskinan (mempercepat proses terjadinya trasformasi sosial).
Bagi masyarakat pesisir transformasi sosial yang diharapkan adalah adanya perubahan sosial dari masyarakat nelayan tradisional menjadi masyarakat industrialis yang kreatif, dinamis dan mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah pesisir.
Adanya perubahan-perubahan pola pikir mendorong terjadinya perubahan pada pola tindak.  Masuknya pengaruh sosial, budaya dan teknologi ke dalam komunitas pesisir telah membatu percepatan terjadinya transformasi sosial. 
Semua kegiatan harus dilakukan secara terpadu, karena dengan terpadi maka akan terjadi hubungan yang selaras dengan alam sehingga dapat dilakukan secara berkelanjutan.  Artinya, bahwa sumberdaya alam yang ada tidak hanya dapat dinikmati oleh generasi yang ada saat ini saja namun juga oleh generasi-generasi di masa mendatang dengan kualitas alami yang sama baiknya.
Transformasi sosial yang bergerak maju pada perbaikan kualitas hidup akan diikuti dengan terjadinya transformasi ekonomi.  Hal ini dapat terjadi disebabkan, kemajuan pola pikir dan pola tindak masyarakat pesisir akan mengalihkan peran sektor penangkapan ikan tradisional ke sektor industri.  Hanya saja, untuk dapat terjadinya transformasi ekonomi di masyarakat pesisir yang masih dibutuhkan waktu yang relatif lama, karena perlu ditumbuhkan iklim investasi yang dapat memacu tumbuhnya sektor-sektor potensial non perikanan.  Iklim investasi berkaitan dengan potensi sumberdaya alam (sebagai penyedia bahan baku) dan kebijakan pemerintah yang sehat.  Artinya di sini bahwa untuk melakukan pergeseran dari sektor perikanan tradisional ke sektor industri diperlukan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat memberi kepastian usaha dan jaminan kesejahteraan masyarakat pesisir.

2.  Transformasi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Pedalaman Kalimantan
Ditinjau dari sisi kultur, maka masyarakat pedalaman yang ada di Kalimantan memiliki beragam etnis, dengan etnis asli yang ada adalah Dayak, Kutai, dan Banjar.  Namun, seiring perjalanan waktu telah masuk pula etnis-etnis lainnya ke kawasan pedalaman.  Masuknya etnis-etnis pendatang ini dilatar belakangi oleh kepentingan dagang, perkawinan campur, atau upaya mencari tempat penghidupan baru.
Kehadiran etnis pendatang telah menimbulkan pertikaian/perselisihan dengan etnis asli di beberapa tempat.  Hal ini terjadi karena kurang adanya pemahaman terhadap kultur etnis asli dan adanya upaya penguasaan sumberdaya alam oleh etnis pendatang.  Di bagian lain, pertikaian/perselisihan antara etnis pendatang dengan etnis asli tidak akan terjadi, bila adanya sikap saling menghormati dan menghargai sebagai manusia yang beradab dan berakhlak mulia.
Bila dikaji lebih mendalam, maka akan terlihat bahwa timbulnya konflik antar etnis di latar belakangi oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu yang karena merasa terjepit sehingga berlindung di bawah etnis tertentu untuk dapat dibenturkan pada etnis lawannya.  Kondisi demikian sebenarnya telah menghambat proses transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat pedalaman yang beragam.
Masuknya teknologi baru yang dibawa oleh masyarakat pendatang ke pedalaman akan menjadi jembatan alih teknologi bagi masyarakat pedalaman. Masyarakat pedalaman yang semula hanya terbiasa menebang kayu menggunakan kapak bergeser menjadi chainsaw.  Penggunaan chainsaw akan mempercepat proses penebangan pohon, sehingga kerusakan sumberdaya hutan berlangsung lebih cepat dibanding menggunakan kapak. Penggunaan chainsaw dapat saja dibenarkan, hanya dalam batas-batas bawah kendali yang masih dapat ditoleransi.   Namun, pada kenyataannya penggunaan chainsaw sudah dalam kategori yang merusak sumberdaya hutan.  Tidak hanya pada penggunaan chainsaw, namun juga penggunaan teknologi lainnya yang diadopsi langsung oleh masyarakat pedalaman telah menimbulkan masalah penurunan kualitas lingkungan hidup.
Secara ekonomi masyarakat pedalaman Kalimantan hidup dari hasil hutan dan perladangan.  Pola pertanian subsisten dilakukan masyarakat pedalaman Kalimantan secara turun temurun, sehingga kerusakan terhadap alam akibat aktivitas pertanian relatif kecil.  Masukknya beberapa investor ke wilayah pedalaman untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam tidak mengubah kehidupan masyarakat pedalaman secara signifikan menjadi lebih sejahtera.  Kondisi demikian terjadi disebabkan kepedulian terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di pedalaman dilakukan dengan tidak sepenuh hati, bahkan dianggap sebagai beban sosial (social cost) yang mengganggu operational budget perusahaan.  Keberadaan program-program pemberdayaan, seperti Comdev belum mampu mensejahterakan masyarakat di sekitar perusahaan.  Bahkan menambah lebar jurang kemiskinan, karena lahan yang dimiliki oleh masyarakat sebelumnya telah dikuasai oleh perusahaan. Di sisi lain harapan mendapatkan kesempatan kerja dan peluang usaha hanya menjadi sebuah kenangan.  Pada kenyataannya hanya pada posisi-posisi tertentu (operator) saja yang diberikan bagi masyarakat pedalaman (lokal) dengan dalih tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk medium level(staf).  Demikian pula halnya dengan peluang usaha yang diperoleh bagi masyarakat pedalaman yang ada di sekitar perusahaan, masih sangat kecil bahkan hampir tidak ada.  Kalaupun ada peluang, merupakan bentuk-bentuk usaha kecil/mikro yang memberi kontribusi sangat kecil bagi perkembangan ekonomi keluarga.
Kehadiran beberapa investor di wilayah pedalaman sekiranya diharapkan tidak hanya memberi manfaat pada terserapnya tenaga kerja lokal dan terbukanya peluang usaha, namun juga sebagai upaya pemberdayaan ekonomi melalui transformasi ilmu pengetahuan yang dimiliki manajemen perusahaan kepada masyarakat.
Proses transformasi sosial yang dilakukan perusahaan dalam rangka meningkatkan derajat ekonomi masyarakat pedalaman dapat dilakukan secara efektif dan efisien.  Secara efektif maksudnya adalah manajemen perusahaan memberi pembinaan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang kurang berdaya secara ekonomi, namun memiliki kemauan untuk maju dan bersedia untuk melakukan perubahan dalam pola hidup yang subsisten.  Selain, memiliki kemauan juga mampu untuk menerima adanya perubahan yang akan dilakukan.  Sedangkan secara efisien yang dimaksud adalah meskipun pihak manajemen perusahaan juga memiliki keterbatasan permodalan dalam melakukan pemberdayaan/pembinaan, namun tidak menjadi penghambat dalam upaya meningkatkan derajat kehidupan masyarakat pedalaman.
Pembinaan/pemberdayaan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan akan berdampak pada dua sisi perubahan, yaitu perubahan pada nilai-nilai sosial dan norma yang berlaku di lingkungan kekerabatan masyarakat pedalaman, serta perubahan terhadap terjadinya transformasi ekonomi dari pola subsisten menjadi pola modern yang lebih mandiri, artinya bahwa dapat menjalankan usaha tanpa adanya ketergantungan pada sumberdaya alam secara langsung.  Sebagai contoh, adanya perubahan dari masyarakat petani tradisional (berpindah) menjadi petani kebun yang mengolah tanahnya secara intensif atau membangun sebuah usaha kerajinan.

Faktor Penghambat
Dari hasil kajian di atas nampak bahwa program-program pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir maupun pedalaman akan menyebabkan terjadinya transformasi sosial. Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat pesisir dan pedalaman yang diikuti dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia mendorong pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia secara optimal, dan akan menggeser posisi suatu sektor ekonomi ke sektor lainnya sehingga secara gradual akan membentuk transformasi ekonomi.
Terdapat beberapa faktor yang dapat menghambat terjadinya transformasi sosial antara lain:
a.   Taraf pengetahuan masyarakat
Taraf pengetahuan masyarakat yang masih rendah menimbulkan adanya rasa takut, cemas atau ketidaksukaan terhadap pengaruh luar yang memiliki nilai-nilai sosial yang dianggap bertentangan dan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai atau norma-norma asli yang telah ada dan dihormati secara turn-temurun.
b.   Aksesibilitas
Aksesibilitas yang buruk (terutama di daerah pedalaman) menyebabkan masyarakat yang hidup di wilayah ini terisolir dari kehidupan luar.  Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap pandangan atau persepsi masyarakat pedalaman terhadap nilai-nilai sosial dari luar.  Semakin sukar aksesibilitas wilayah pedalaman terhadap wilayah lainnya maka semakin kecil pula pengaruh dari luar terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.  Transformasi sosial akan berjalan lamban akibat pengaruh dominan dari perubahan lingkungan alam yang ada.
c.   Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu yang buruk akibat dari pemaksanaan kehendak untuk menguasai wilayah pedalaman oleh masyarakat dari luar menyebabkan adanya sikap was-was masyarakat pedalaman dalam menerima kehadiran para pendatang.  Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian konflik yang melibatkan masyarakat pedalaman dengan para pendatang.  Kurang dipahaminya nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat pedalaman menyebabkan transformasi sosial yang berlangsung berjalan tidak normal.  Kedatangan para masyarakat pendatang ke suatu wilayah pedalaman (melalui suatu perusahaan) dengan alasan mengelola sumberdaya alam yang ada telah menimbulkan kerusakan dan penderitaan bagi masyarakat pedalaman.  Hal ini bagi masyarakat pedlaman merupakan sebuah ancaman bagi kelangsungan hidup mereka.  Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar program pemberdayaan masyarakat pedalaman yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang masuk ke wilayah pedalaman tidak memberikan tingkat kemajuan dan kesejahteraan yang signifikan, sebaiknya yang terjadi justru membuka jurang kemiskinan dan menurunkan taraf kesejahteraan masyarakat pedalaman.  Bantuan-bantuan yang diberikan dalam rangka percepatan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat kerap salah sasaran yang hanya dinikmati oleh kelompok tertentu dan tidak menyentuh pada masyarakat yang sesungguhnya membutuhkan.
Sama halnya dengan transformasi sosial, transformasi ekonomi juga dapat terhambat apabila pemberdayaan yang dilakukan tidak tepat sasaran.  Dalam hal ini peran pemerintah sebagai pengambil kebijakan berperan sangat penting dalam menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat (pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan).  Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir dan pedalaman seyogyanya konsisten dan searah dengan visi dan misi yang dibangun oleh masing-masing sektor, serta tidak tumpang tindih antara satu dengan lainnya yang pada akhirnya membawa bencana bagi masyarakat lokal.  Fakta menunjukkan bahwa pemberian ijin pada Pertambangan batubara dan Migas yang terjadi di beberapa wilayah pedalaman dan pesisir Kalimantan belum mampu memberi nilai tambah ekonomi dan penciptaan lapangan usaha yang prospektus bagi masyarakat lokal untuk kondisi pasca operasi tambang.  Masyarakat hanya diberi bantuan pada saat berlangsungnya operasi, namun tidak dipersiapkan untuk jangka panjang ketika operasional perusahaan berakhir.
Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab mengawasi dan mengendalikan pembangunan seharusnya dapat melihat secara jeli dan jernih mengenai program-program pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh para investor tersebut.  Bagi para investor yang tidak melakukan pemberdayaan ekonomi sudah selayaknya dikenai sanksi tegas (menurut aturan yang berlaku), karena mereka telah memanfaatkan sumberdaya alam yang bermanfaat sebagai penyangga kehidupan masyarakat lokal (di pesisir dan pedalaman) dan tidak mungkin dapat mengembalikannya menjadi pulih kembali pada tahap pasca operasi, sementara kelangsungan hidup masyarakat tersebut harus terus berlanjut.

Penutup
Pada bagian penutup dari tulisan ini kiranya dapat disampakan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan atau rekomendasi bagi pihak-pihak yang terlibat melangsungkan kegiatan di wilayah pesisir dan pedalaman.
1.   Transformasi sosial di wilayah pesisir dan pedalaman Kalimantan dapat berlangsung secara alami dan/atau dengan bantuan pihak luar.  Bantuan dari pihak luar akan terjadi apabila terjadi akulturasi nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku antara masyarakat lokal dan para pendatang.
2.   Transformasi sosial akan memberi arah pada terjadinya transformasi ekonomi, yaitu dengan jalan meningkatkan taraf pengetahuan masyarakat lokal terhadap inovasi-inovasi yang tidak merusak dalam mengelola potensi sumberdaya alam yang tersedia.
3.   Transformasi ekonomi terjadi dalam jangka panjang ketika perusahaan-perusahaan yang beroperasi di suatu tempat memberi peluang usaha bagi masyarakat lokal di sekitarnya dan mempersiapkan masyarakat tersebut untuk tahap pasca operasi.
4.   Kebijakan pemerintah akan sangat menentukan terjadinya proses transformasi ekonomi di wilayah pesisir dan pedalaman Kalimantan.  Untuk itu, masyarakat tidak hanya dituntun untuk menerima kehadiran perusahaan-perusahaan yang masuk ke wilayah mereka, namun juga memberi pengawasan dan pengendalian terhadap perusahaan-perusahaan tersebut agar pemberdayaan ekonomi yang dilakukan tidak salah sasaran.


Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan.,  2002.  Tantangan Pembangunan Ekonomi dan Transformasi Sosial Suatu Pendekatan Budaya. Jurnal Humainora.  Vol. XIV No. 3 Tahun 2002, Yogyakarta.
Ginting, Elizer., 1996.  Transformasi Sosial Petani dalam Usaha Sapi Perah; Kasus Masyarakat Desa Kemiri Kecamatan Jabung Kabupaten Malang, Malang.
Kusnadi et al., 2007.  Strategi Hidup Masyarakat Nelayan.  LKiS, Yogyakarta.
Sosrodihardjo., 1991.  Transformasi Sosial; Menuju Masyarakat Industri. Tiara Wacana,Yogyakarta.
Syarief, Efrizal.,1995. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat PesisirPengembangan Ekonomi Lokal Bappenas, Jakarta.


*) Ditulis bersama Thomas R. Hutauruk, SP.,M.Si

2 komentar:

  1. Makasih, artikelnya membantu banget buat ngerjain papper ^^

    BalasHapus
  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus