Laman

Senin, 01 November 2010

Kapasitas Sumber Daya Manusia Sebagai Faktor Kunci Pengembangan Kemampuan Pemerintah Daerah di Era Otonomi


Abstrak:

Semenjak bergulirnya UU Nomor 22 tahun 1999, pertanyaan yang paling mendasar adalah, mampukah Daerah melaksanakan kewenangan otonomnya secara mandiri, efektif dan berhasil? Keraguan ini didasari oleh fakta bahwa selama masa berlakunya UU Nomor 5 tahun 1974, kapasitas dan kinerja Pemerintah Daerah tidak begitu menonjol. Segala sesuatu yang berhubungan dengan struktur keorganisasian dan fungsi ketatalaksanaan lebih dikendalikan dari atas. Akibatnya, kemampuan yang ditunjukkan selama ini dapat dikatakan kemampuan yang semu. Oleh karena itu, untuk menjamin terselenggaranya desentralisasi secara utuh dan berkesinambungan, perlu ditempuh program pengembangan kapasitas aparatur. Dan kapasitas yang terpenting untuk dibangun pada tahap awal adalah kapasitas SDM. Kapasitas SDM ini diharapkan akan menjadi trigger untuk meningkatkan kapasitas bidang-bidang lainnya (keuangan, infrastruktur, dan sebagainya).


Pengantar


Adalah kenyataan bahwa “penyeragaman” merupakan nafas desentralisasi model UU Nomor 5/1974. Dalam aspek kelembagaan misalnya, nomenklatur, eselonisasi, departementasi, serta tugas pokok dan fungsi pemerintahan daerah adalah sama. Sementara dalam aspek ketatalaksanaan, kecil sekali dimungkinkan adanya keragaman dalam sistem dan prosedur hubungan kerja / koordinasi, metode dan jenis-jenis pengawasan, mekanisme perencanaan, dan sebagainya. Demikian juga halnya pada aspek kepegawaian, adalah hal yang tidak lazim untuk menciptakan sistem dan substansi diklat, pembinaan personil, maupun strategi peningkatan produktivitas kerja secara khusus. Secara sistematis, pemerintah Pusat telah menetapkan kebijakan dan berbagai perangkat peraturan pelaksanaannya yang menjadikan Daerah sebagai “bayang-bayang” Pusat. Itulah sebabnya, Daerah selalu menunggu petunjuk dan pedoman umum dan teknis dalam berbagai bidang, baik yang berbentuk PP, Keppres, Kepmen/Permen, sampai Surat Edaran Dirjen. Kenyataan ini pulalah yang membentuk kesimpulan umum bahwa pada masa lalu politik dekonsentrasi (yang pada hakekatnya adalah sentralisasi semu) lebih dominan dibanding desentralisasi.

Begitu bandul kewenangan berbalik kearah yang berlawanan, pemerintah daerah laksana ayam yang baru dilepas dari induknya. Meskipun kewenangan  secara luas serta  sumber-sumber daya yang diperlukan telah diserahkan, namun tetap saja menimbulkan kekhawatiran bahwa Pemerintah Daerah tidak akan mampu mengelola kewenangan dan sumber daya baru tersebut. Kebiasaan “dituntun dan dibimbing” dalam prakteknya tidak pernah mendewasakan aparat daerah,  justru sebaliknya menjadikan mereka kehilangan orientasi ketika dihadapkan pada tuntutan untuk mandiri. Dengan demikian, keraguan bahwa otonomi daerah dapat terlaksana dengan baik, bukanlah sesuatu yang berlebihan.

Walaupun demikian, keraguan tersebut dapat dibuktikan sebaliknya jika pemerintah daerah memiliki kapasitas yang memadai untuk menjalankan seluruh kewenangan rumah tangganya. Dalam hal ini, diperlukan dukungan yang optimal dari aspek  SDM, keuangan dan  prasarana. Namun, diantara ketiga sumber daya ini, faktor SDM jelas menjadi kunci dalam pengembangan kemampuan atau kapasita Pemda secara  menyeluruh. Sebab, SDM aparatur yang unggul tidak saja menjadi prasyarat untuk dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan secara baik, namun juga dapat mendorong tumbuhnya kapasitas non  manusia (keuangan, prasarana) secara optimal. Oleh karena itulah tulisan ini mencoba memfokuskan pentingnya pembangunan kapasitas SDM dalam era otonomi dewasa ini. 


Otonomi Daerah dan Pengembangan Kapasitas SDM

Keberadaan SDM yang tepat secara kuantitas maupun kualitas, sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Sebagaimana dinyatakan oleh Joseph Riwukaho (1988), SDM merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan implementasi otonomi daerah. Dalam wacana tentang desentralisasipun, SDM atau personalia merupakan faktor determinan yang harus tersedia dan melekat dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan, selain faktor pembiayaan dan prasarana (3P). Itulah sebabnya, UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 8 secara implisit juga menekankan pentingnya pemenuhan terhadap ketiga prasyarat tersebut dengan menyatakan:

“Kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut”.

Pernyataan tersebut mengandung pemahaman bahwa tanpa disertai dengan tiga hal diatas, kebijakan desentralisasi nampaknya akan menemui hambatan – jika tidak dikatakan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pembinaan dan pengembangan SDM untuk mewujudkan sosok aparatur yang profesional, berpandangan komprehensif, bervisi modern, bermoral tinggi dan berkomitmen kuat terhadap pelayanan umum, mutlak diperlukan.

Sayangnya, berbagai upaya pembangunan SDM (human development dan human investment) yang telah dilaksanakan belum mampu menghasilkan sosok dan kinerja aparatur sebagaimana yang diharapkan. Dengan kata lain, kapasitas atau kemampuan SDM di daerah relatif masih rendah. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian LAN tentang Capacity Building (2000) yang menyimpulkan adanya indikasi bahwa daerah masih lemah dalam mengembangkan kapasitas yang dimilikinya. Bahkan dari sembilan aspek yang diteliti, SDM merupakan aspek terlemah. Disisi lain, dalam menilai tingkat kesiapan aparatur dalam era otonomi, meskipun mayoritas responden menyatakan “siap”, namun dari berbagai fenomena yang ada dapat diindikasikan yang sebaliknya. Beberapa fenomena yang diyakini akan menjadi penghambat dalam membangun kompetensi SDM antara lain: kurangnya moralitas dan disiplin aparat, kurang meratanya distribusi pegawai, rendahnya motivasi, inovasi dan kreativitas kerja, serta belum adanya job description yang jelas. 

Menghadapi fenomena seperti itu, gagasan Grindle (1997) yang menempatkan pengembangan kapasitas SDM sebagai prioritas dalam program capacity building, perlu dipertimbangkan oleh jajaran pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan aspek SDM, maka pengertian capacity building disini lebih diarahkan pada konsep yang dikembangkan Bank Dunia (1997) yaitu bahwa: “Capacity building refers to investment in people, institutions, and practises that will, together, enable countries in the region to achieve their development objectives”.

Pemahaman tentang kapasitas SDM dalam hal ini tidak dibedakan dengan kompetensi. Artinya, SDM dengan kapasitas yang tinggi hanya dapat diwujudkan jika mereka memiliki kompetensi yang prima. Sebaliknya, keunggulan kompetensi akan menghasilkan profil kapasitas terbaik SDM. Adapun konsep tentang kompetensi (competence) tediri dari beberapa aspek sebagaimana dikemukakan Sedarmayanti (2001) yang mengutip beberapa sumber sebagai berikut:

·         Competence encompasses organization and planning of work, innovation and coping with non-routine activities. It includes those qualities of personal effectiveness that are required in the workplace to deal with co-workers, managers, ad customers (Training Agency, 1988)
·         Competence is an ability and willingness to perform a task (Burgoyne, 1988)
·         Competence is behavioral dimensions that affect job performance (Wood-ruffe, 1990)
·         Any individual characteristic that can be measured or counted reliably and that can be shown to differentiate significantly between effective and ineffective performance (Spencer, 1990)
·         The fundamental abilities and capabilities needed to do the job well (Furnham, 1990)
·         Any personal trait, characteristic or skill which can be shown to be directly linked to effective or outstanding job performance (Murphy, 1993; Armstrong, 1989)

Walaupun dukungan SDM yang memiliki kapasitas tinggi sangat krusial bagi suksesnya program otonomi serta pembangunan di daerah, tidak berarti bahwa semakin banyak pegawai semakin tinggi peluang meraih sukses. Sebab, jumlah pegawai yang terlalu banyak akan berimplikasi paling tidak pada dua hal, yakni:

  • Menjadikan beban anggaran daerah semakin berat, sebab alokasi pembiayaan akan banyak terserap untuk belanja pegawai.
  • Excess of supply pegawai selanjutnya berpeluang besar dalam menciptakan iklim kerja yang kurang kondusif, seperti “pengangguran tidak kentara”, mengurangi spirit kompetisi antar pegawai, ketidakseimbangan antara beban kerja dengan tenaga kerja, dan sebagainya.

Berdasarkan prinsip bahwa jumlah pegawai yang tepat akan menghasilkan kinerja otonomi yang optimal tersebut, maka kebijakan yang berorientasi kepada penambahan SDM perlu dipikirkan kembali.


Kriteria Kemampuan SDM

Deskripsi diatas menggambarkan bahwa proporsi yang tepat antara jumlah SDM dengan beban kerja (kewenangan otonom) akan berimplikasi kepada keberhasilan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Penambahan SDM bisa dipandang sebagai hal yang positif sepanjang belum melebihi batas optimum. Sampai batas optimum ini, kinerja otonomi daerah dapat didorong dengan strategi ekstensifikasi pegawai. Namun pada titik tertentu, penambahan pegawai justru akan menyebabkan kinerja otonomi menjadi menurun, dikarenakan alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas. Dengan kata lain, pada titik optimum ini akan berlaku the law of diminishing returns. Artinya, penambahan faktor input pada suatu organisasi akan menimbulkan dampak yang sebaliknya pada faktor outputnya.

Sebagai ilustratif dalam dikatakan bahwa penambahan pegawai (sumbu x) sampai tingkatan tertentu (ke-5 misalnya) akan menyebabkan kurva bergerak naik keatas atau slope upward hingga kordinat A (5, 5). Dengan kata lain, proporsi yang tepat antara jumlah SDM dengan beban kerja (kewenangan otonom) akan berimplikasi kepada keberhasilan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Penambahan SDM bisa dipandang sebagai hal yang positif sepanjang belum melebihi batas optimum. Namun setelah titik ini, penambahan pegawai dari 5 menjadi 6 akan menyebabkan kurva turun ke koordinat B (6, 4).

Dalam hal ini dapat dibuat perbandingan toal produktivitas antara A dan B, dimana :

Total Produktivitas = jumlah pegawai x kinerja yang dicapai, maka:
Total Produktivitas A = 5 x 5 = 25
Total Produktivitas B = 6 x 4 = 24

Dari proksimasi perhitungan diatas dapat disimak bahwa total produktivitas A lebih baik dibanding B. Oleh karena itu, penambahan pegawai sebagai faktor input justru akan menurunkan tingkat produktivitas. Dan jika penambahan tetap dilakukan, maka penurunan produktivitas akan terus berlanjut. Dalam kasus ini, rekrutmen pegawai mutlak harus dihentikan.

Jika jumlah pegawai sudah mencapai titik jenuh sementara ekstensifikasi pegawai masih berjalan, maka akan terjadi apa yang disebut Parkinson Law atau birokratisasi parkinsonian, yakni suatu kondisi dimana birokrasi pemerintah ‘berkembang biak’ tanpa terkendali sehingga menjadikan tubuh birokrasi sangat gemuk yang dicirikan oleh rentang kendali (span of control) yang panjang, tumpang tindih antara fungsi yang satu dengan yang lain (functional overlap) atau antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain (institutional overlap), prosedur kerja yang berbelit-belit, serta pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen (perencanaan, pengawasan, koordinasi) yang cenderung sentralistis. Pada gilirannya, birokratisasi parkinsonian ini akan mendorong lahirnya birokratisasi orwellian, yakni suatu sistem birokrasi yang memiliki kekuasaan sangat besar (excessive power) sehingga cenderung membatasi kebebasan, ruang gerak, kreativitas dan partisipasi publik.

Permasalahannya adalah, bagaimana menentukan titik optimum atau proporsi yang ideal antara jumlah pegawai dalam rangka mendorong kinerja otonomi daerah, sekaligus menghindari kemungkinan munculnya birokratisasi parkinsonian atau orwellian ? Dalam hal ini, banyaknya pegawai dapat diprediksikan dari beberapa kriteria antara lain:

1.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk biasanya merupakan prasyarat yang sangat penting dalam menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan struktur kelembagaan, struktur kepegawaian, atau struktur keuangan. Oleh karena itu, wajarlah jika kriteria jumlah penduduk ini selalu dijadikan pembanding dalam mendesain pembentukan suatu organisasi pemerintahan (misalnya Kabupaten / Kota / Kecamatan / Kelurahan, Dinas, dll). Jumlah penduduk juga menjadi rujukan dalam upaya penetapan eselonering suatu jabatan, rekrutmen pegawai, dan sebagainya.
Jumlah penduduk merupakan kriteria yang mencerminkan beban kerja pelayanan yang harus diberikan oleh aparat Pemda. Oleh karena itu, prinsip umum yang digunakan adalah bahwa semakin semakin besar jumlah pegawai – yang berarti semakin kesil rasio antara jumlah pegawai dengan jumlah penduduk, maka fungsi pelayanan akan semakin baik. Dengan kata lain, semakin kecil rasio maka semakin besar kemampuan SDM (catatan: hukum diminishing returns tetap berlaku dalam kasus ini).

2.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Jabatan Struktural
Jabatan struktural merupakan posisi yang membutuhkan kemampuan managerial pada level tertentu. Asumsinya, seorang pejabat struktural memiliki kapasitas untuk mengorganisasikan sumber-sumebr daya yang ada untuk mengoptimalisasi tugas dan fungsinya. Dengan demikian, banyaknya jabatan struktural akan mencerminkan secara relatif ketersediaan pegawai yang memiliki kapasitas kepemimpinan di daerah.
Meskipun demikian, prinsip umum bahwa semakin banyak pegawai (yang menduduki jabatan struktural) semakin besar kapasitas SDM daerah, tidak berlaku. Sebab, jabatan struktural yang terlalu banyak selain akan membebani anggaran, juga mempersulit proses koordinasi maupun pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini berarti bahwa hukum diminishing returns juga berlaku untuk kasus ini.

3.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Jumlah Jabatan Fungsional.
Jabatan fungsional merupakan posisi yang membutuhkan keahlian dan atau keterampilan tertentu pada bidang tertentu. Dengan demikian terdapat asumsi bahwa semakin banyak pejabat fungsional berarti semakin banyak pegawai yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Ini berarti pula bahwa banyaknya jabatan fungsional akan mencerminkan secara relatif kapasitas di daerah. Namun perlu diingat kembali tentang kemungkinan munculnya kendala anggaran jika jenis jabatan ini terus dikembangkan.

4.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Tingkat Pendidikan Pegawai.
Tingkat pendidikan formal pegawai pada umumnya dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur kualitas SDM pada suatu organisasi. Dalam hubungan ini, jenjang pendidikan SD hingga SLTA sering dianalogikan dengan SDM dengan kemampuan rendah, sedangkan jenjang S1 keatas diinterpretasikan sebagai SDM dengan kapasitas tinggi dan kompetitif.
Diterapkan pada kasus di daerah, maka jika proporsi pegawai yang berpendidikan SD – SLTA lebih besar dibanding S1 keatas, berarti kapasitas SDM di daerah tersebut relatif rendah. Sebaliknya, kapasitas SDM dapat disebut baik atau tinggi jika jumlah pegawai S1 keatas lebih banyak dibanding SLTA kebawah. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Pemda perlu berusaha untuk meningkatkan taraf pendidikan pegawai menjadi S1 keatas secara keseluruhan. Sebab, tugas-tugas teknis sebagai penunjang terhadap tugas-tugas manajerial tetap dibutuhkan. Dengan demikian, Pemda sendirilah yang perlu menetapkan struktur pendidikan yang ideal atau proporsi terbaik antara jenjang pendidikan “teknis pelaksana” dengan “managerial perencana”.

5.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Besaran Atau Luas Kewenangan Daerah
Sejak UU Nomor 22 tahun 1999 digulirkan, besaran atau luas kewenangan daerah meningkat secara signifikan. Implikasinya, untuk dapat dapat menjalankan kewenangan secara baik, dibutuhkan dukungan faktor-faktor penunjang, dalam hal ini SDM yang memadai. Atas dasar hal tersebut, maka secara asumtif dapat dikatakan bahwa makin besar kewenangan makin dibutuhkan keberadaan SDM yang lebih besar pula. Atau, semakin kecil rasio antara pegawai dengan kewenangan berarti semakin besar kapasitas SDM.
Hanya saja, sampai saat ini sebagian besar daerah (Propinsi, Kabupaten, Kota) di Indonesia belum memiliki rincian yang definitif tentang kewenangan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, perbandingan jumlah pegawai dengan besaran atau luas kewenangan daerah belum dapat dilakukan dalam penelitian ini.

6.      Perbandingan Jumlah Pegawai Dengan Aset / Kekayaan Daerah
Sebagaimana halnya butir 4 diatas, aset / kekayaan / sarpras merupakan salah satu faktor yang mendukung otonomi daerah. Dalam hubungan ini, penguasaan aset / kekayaan yang semakin besar membutuhkan SDM pengelola yang semakin besar. Untuk itu, terdapat asumsi serupa bahwa semakin besar aset / kekayaan yang dimiliki, maka dibutuhkan SDM yang semakin besar pula. Dengan kata lain, semakin kecil rasio antara pegawai dengan besaran aset / kekayaan, berarti semakin besar kapasitas SDM.
Sayangnya, sampai saat ini sebagian besar daerah di Indonesia belum menyelesaikan identifikasi aset / kekayaan, khususnya yang berasal dari proses pengalihan dari instansi vertikal di daerah. Oleh karena itu, perbandingan jumlah pegawai dengan besaran aset / kekayaan daerah juga belum dapat diprediksikan.

Satu hal yang perlu ditekankan disini adalah bahwa kelima macam proporsi atau perbandingan diatas tidak ada standar ideal yang berlaku secara universal. Untuk itu, daerah perlu mengevaluasi tingkat kinerja SDM yang dimiliki, dibandingkan dengan faktor-faktor pembandingnya. Sebagai contoh, jika terdapat fakta adanya pegawai yang tidak menggunakan waktu kerja secara efektif, berarti telah terjadi fenomena pegawai yang berlebih (excessive labor). Atau, jika terdapat tanda-tanda tumpang tindih atau duplikasi antara instansi yang satu dengan yang lain, kemungkinan telah berkembang type organisasi yang hierarkis-birokratis yang berorientasi struktural. Dengan kata lain, standar ideal perbandingan jumlah SDM dengan faktor-faktor pembandingnya sesungguhnya tergantung kepada kondisi obyektif dari suatu daerah tertentu.


Indikasi Data Empirik 6 Daerah

Untuk mengevaluasi keenam kriteria diatas, tulisan ini akan mengambil simulasi 6 daerah terdiri dari 2 Propinsi (Jawa Timur dan Jambi), 2 Kota (Surakarta dan bandung) serta 2 Kabupaten (Kutai Kertanegara dan Serang). Namun mengingat bahwa hingga saat ini belum terdapat identifikasi terhadap kriteria ke-5 dan ke-6, maka tulisan baru dapat mengindikasikan potensi SDM di daerah berdasarkan empat faktor pembanding yaitu: jumlah penduduk, jumlah jabatan struktural, jumlah jabatan fungsional, serta jenjang pendidikan pegawai.

Dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap jumlah penduduk, data yang ada menunjukkan bahwa pada level Kabupaten / Kota, persentase terbesar ditemukan di Kutai Kertanegara dengan 1,62%, disusul Kota Bandung (0,94%), Surakarta (0,49%) dan Serang (0,38%). Angka ini cukup wajar mengingat jumlah penduduk di Kutai yang nota bene adalah daerah luar Jawa, relatif lebih sedikit dibanding daerah di Pulau Jawa. Sedangkan dalam kasus Kota Bandung, persentase yang cukup besar lebih menggambarkan jumlah pegawai yang cukup besar. Sementara itu, pada level Propinsi, Jawa Timur hanya memiliki pegawai 0,03% dari total penduduk, sedang proporsi pegawai Jambi terhadap penduduk sebesar 0,22%. Hal ini, sekali lagi, mengindikaskan bahwa terdapat perbandingan yang kurang seimbang antara kondisi di Jawa dengan di luar Jawa.

Selain itu, perlu dikemukakan disini bahwa analisis dan interpretasi terhadap kondisi Propinsi dan Kabupaten / Kota perlu dibedakan mengingat bahwa perhitungan penduduk Propinsi didasarkan pada total penduduk Kabupaten / Kota di dalam Propinsi yang bersangkutan. Adapun data tentang rasio jumlah pegawai dengan jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Selanjutnya dari rasio jumlah pegawai terhadap jumlah jabatan struktural, pada level Propinsi menunjukkan gejala yang sebaliknya dari rasio terhadap jumlah penduduk. Dalam hal ini, Jawa Timur ternyata memiliki persentase yang lebih besar (19%) dari pada Jambi yang hanya 14%. Namun pada level Kabupaten / Kota masih terdapat kesamaan, dimana Kutai masih merupakan daerah otonom dengan persentase terbesar yakni 35%, diikuti oleh Surakarta (15%), Serang (7%), dan Bandung (2%). Implikasi yang dapat diinterpretasikan dari dari hal tersebut adalah bahwa persentase yang kecil dapat dianggap sebagai wujud ramping struktur (lean structures) tetapi kaya fungsi (rich in functions). Disisi lain dapat ditafsirkan bahwa daerah dengan persentase jabatan struktural yang besar cenderung memiliki SDM dengan kemampuan managerial yang memadai, sesuai dengan tuntutan jabatan.

Sementara dalam rasio terhadap jabatan fungsional hanya Propinsi Jawa Timur dan Jambi yang memberikan informasi tentang keberadaan pejabat fungsional. Sedangkan untuk daerah Kabupaten / Kota yang disurvei, semuanya menyatakan bahwa mereka tidak atau belum memiliki pejabat fungsional (misalnya peneliti, widyaiswara, pranata komputer, analis kepegawaian, perencana, arsiparis, dll), khususnya di lingkungan Sekretariat Daerah. Akan tetapi, untuk lingkungan Pemda secara keseluruhan, jabatan fungsional pasti ada di suatu daerah, misalnya dokter, guru, dan sebagainya. Adapun data tentang rasio jumlah pegawai dengan jumlah jabatan struktural dan fungsional di masing-masing daerah adalah: Propinsi Jawa Timur (19% untuk jabatan struktural dan 5% untuk jabatan fungsional); Propinsi Jambi (14% dan 4%); Kabupaten Kutai Kartanegara (35% dan 0%); Kabupaten Serang (7% dan 0%); Kota Surakarta (15% dan 0%); serta Kota Bandung (2% dan 0%).

Aspek berikutnya yang dikaji adalah perbandingan pegawai dengan jenjang pendidikan. Namun seperti telah dijelaskan dalam bahasan tentang kriteria diatas, pegawai dengan jenjang pendidikan SLTA kebawah tidak diperhitungkan sebagai faktor pendukung terhadap pengembangan kapasitas SDM. Artinya, hanya total pegawai dengan tingkat pendidikan formal S1 keatas yang akan dipertimbangkan.

Dalam hal ini, data lapangan menunjukkan bahwa kapasitas SDM di Pulau Jawa jauh lebih baik dibanding di luar Jawa. Sebagai contoh, perbandingan pegawai berpendidikan S1 keatas dengan total pegawai di Jawa Timur adalah sebesar 47%, sedangkan di Jambi masih berada di kisaran 31%. Demikian pula di level Kabupaten / Kota, Kota Bandung merupakan daerah dengan pegawai berpendidikan tinggi, yakni sebanyak 40 %, diikuti oleh Surakarta (27%), Serang (16%), dan Kutai Kertanegara (15%). Fakta ini dapat diinterpretasikan bahwa kapasitas SDM di Kota Bandung paling baik dibanding daerah lain yang diteliti.

Meskipun demikian, ada fenomena menarik tentang pegawai dengan pendidikan SD. Ternyata, di wilayah luar Jawa, keberadaan pegawai dengan pendidikan SD sudah sangat sedikit, masing-masing sebesar 0% di Jambi dan hanya 3% di Kutai. Padahal di Jawa, masih cukup banyak pegawai ‘kelas bawah’ ini, misalnya di Jawa Timur sebanyak 3%, Bandung 4%, Surakarta 11%, bahkan Serang masih “sangat besar” dengan jumlah 14%.


Penghitungan Kapasitas SDM
                                                                                       
Dari keenam kriteria kapasitas SDM diatas, dalam perhitungan kapasitas SDM di daerah survei hanya digunakan kriteria pertama (proporsi jumlah pegawai dengan jumlah penduduk) serta kriteria keempat (proporsi jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih dengan jumlah total pegawai). Kedua kriteria ini diberi bobot yang berbeda, dimana kriteria kedua dipandang dua kali lebih penting atau lebih besar kontribusinya terhadap kapasitas SDM, dari pada kriteria pertama. Selanjutnya, hasil perhitungan terhadap kedua kriteria tadi akan dijumlahkan, dan daerah yang memiliki angka total terbesar secara kuantitatif dapat dikatakan sebagai daerah dengan kapasitas SDM yang terbesar pula. Selanjutnya untuk menghitung kapasitas SDM tiap-tiap daerah survai, data obyektif yang berhubungan dengan kriteria yang dibutuhkan, dimasukkan kedalam rumus. Adapun hasil perhitungan masing-masing daerah dapat dilihat sebagai berikut :

1.      Kapasitas SDM Propinsi Jawa Timur
Dengan jumlah pegawai sebanyak 10792 orang, jumlah penduduk sebanyak 34.525.588, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 5108, maka Propinsi Jawa Timur memiliki angka kapasitas sebesar 0.95 seperti nampak dibawah ini.

2.      Kapasitas SDM Propinsi Jambi
Dengan jumlah pegawai sebanyak 5116 orang, jumlah penduduk sebanyak 2.342.725, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 1584, maka Propinsi Jambi memiliki angka kapasitas sebesar 0.62 seperti nampak dibawah ini.

3.      Kapasitas SDM Kabupaten Kutai Kertanegara
Dengan jumlah pegawai sebanyak 7813 orang, jumlah penduduk sebanyak 481.179, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 1187, maka Kabupaten Kutai Kertanegara memiliki angka kapasitas sebesar 0.32 seperti nampak dibawah ini.

4.      Kapasitas SDM Kabupaten Serang
Dengan jumlah pegawai sebanyak 6148 orang, jumlah penduduk sebanyak 1.631.571, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 975, maka Kabupaten Serang memiliki angka kapasitas sebesar 0.32 seperti nampak dibawah ini.

5.      Kapasitas SDM Kota Surakarta
Dengan jumlah pegawai sebanyak 2670 orang, jumlah penduduk sebanyak 546.469, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 727, maka Kota Surakarta memiliki angka kapasitas sebesar 0.55 seperti nampak dibawah ini.

6.      Kapasitas SDM Kota Bandung
Dengan jumlah pegawai sebanyak 23.459 orang, jumlah penduduk sebanyak 2.500.000, jumlah pegawai berpendidikan S1 atau lebih sebanyak 9532, maka Kota Bandung memiliki angka kapasitas sebesar 0.82 seperti nampak dibawah ini.

Berdasarkan perhitungan tingkat kapasitas SDM untuk setiap daerah, akhirnya dapat dibuat peringkat kapasitas SDM yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Peringkat ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni kapasitas SDM di level Propinsi dan kapasitas SDM di level Kabupaten / Kota. Pada level Propinsi, Jawa Timur (skor 0,95) sedikit berada diatas Jambi (skor 0,62), terutama dikarenakan dukungan pegawai yang berpendidikan S1 keatas. Sementara untuk level Kabupaten / Kota, terdapat dua kecenderungan yakni: 1) daerah di dalam Pulau Jawa relatif memiliki tingkat kapasitas SDM yang lebih besar di banding daerah di luar Jawa. 2) daerah besar relatif memiliki tingkat kapasitas SDM yang lebih besar di banding daerah yang lebih kecil. Secara lebih rinci, skor dan ranking kapasitas SDM di masing-masing kabupaten dapat dikemukakan sebagai berikut : Kota Bandung (skor 0,82), Kota Surakarta (skor 0,55), Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Serang (skor 0,32).

Penting untuk diperhatikan bahwa formula perhitungan kapasitas SDM diatas bukan merupakan suatu satu-satunya formula. Artinya, daerah dapat mengembangkan suatu formula yang lebih komprehensif dengan menggunakan kriteria-kriteria selain yang digunakan dalam tulisan ini. Semakin akurat dan lengkap kriteria yang dipakai, maka tingkat kapasitas SDM akan semakin tepat.


Daftar Pustaka

LAN, 2000, Kajian Pengembangan “Capacity Building” Dalam Rangka Reformasi Administrasi Negara, Jakarta
Grindle, Merilee S., 1997, Capacity Building, an Approach to People-Centered Development, Oxford: Oxfam Publications.
Riwukaho, Joseph, 1998, Prospek Otonomi Daerah, Jakarta: Grafiti
Sedarmayanti, 2001, Kemampuan Personil (Karyawan), makalah tidak diterbitkan, Bandung: Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I LAN
World Bank, 1997, Partnership for Capacity Building in Africa: A Progress Report, New York


8 komentar:

  1. wah mas artikel mas mirip spt kajian penelitian ane ttg KAPASITAS SDM STAKEHOLDERS PARIWISATA DI KAWASAN TNBTS. jdi menurut Widodo, 2001 dalam Kharis, 2010
    kapasitas itu indikator nya ada 3
    yaitu Pendidikan, Pelatihan, Pengalaman
    ane dah dpt data primer melalui penyebaran kuesioner, wawancara, cek list. yg ane bingung skr bgmna menganalis data tersebut ato mengukur KAPASITAS SDM STAKEHOLDERS PARIWISATA DI KAWASAN TNBTS, mgkn mas bisa bantu ane, makasih

    BalasHapus
  2. Mas Bara,
    Terimakasih atas atensi Anda thd artikel ini, meski ini sudah lebih 1 dekade yg lalu. Tapi issu soal SDM memang tidak pernah kehilangan aktualitasnya sampai kapanpun shg tahun publikasi mjd tidak begitu masalah.
    Soal menganalisis data, mungkin sy tdk terlalu tepat dalam menjawab pertanyaan anda. Tapi biasanya ada 2 hal yg harus diperhatikan. Pertama, harus ada rujukan teoretis utk kita jadikan sumber dalam menetapkan variabel, yang kemudian dijabarkan dalam dimensi dan indikatornya. Kedua, kita harus tahu persis tujuan penelitian kita, shg data yg kita gali benar2 sesuai dengan tujuan.
    Sementara scr singkat dmk mas, untuk lebih detilnya bisa kita sambung via email ya. Salam kenal & salam hangat!

    BalasHapus
  3. mau tanya ni mas,,,, sya lagi nyusun skripsi tentang pengaruh kapasitas sumber daya manusia terhadap keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan keuangan pemerintah daerah,,,, cman sya lagi bbingung buat keusionernya,,, bisa minta tolong bantuannya mas ???? soalnya kmren aku ksih kuesioner dari peneliti sebelumnya dosen pembimbing aku rada kurangh srek ma pertanyaan yang ada di kueioner aku,,,,,

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus


  5. mau nanya ni mas,,, sya mahasiswa akuntansi tingkat akhir,,, dan sya lagi meneliti tentang pengaruh kapasitas sumber daya manusia terhadap keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan keuangan pelaporan keuangan pemerinatah daerah,,,, sya bingung buat kuesioner tentang kapasitas SDM,,, bisa minta tolong bantuannya ???? apa kapasitas SDM itu mencakup pendidikan, pelatihan dan pengalaman ??? soalnya sya cantumkan pertanyaaan tentang pendidikan, pelatihan, dan pengalaman, tapi dosen sya mengatakan itu bukan termasuk kapasitas usmber daya manusia,,, tiu adalah job description,,,, mhon bantuannya

    BalasHapus
  6. Mbak Mirna Yanti yg baik,
    Sebenarnya ga usah bingung sepanjang rujukan teori anda cukup kuat. Apa yg anda maksud dengan "kapasitas" itu? Apakah kapasitas dimaknakan sbg kompetensi, ataukah keterampilan? Ini yg pertama harus firm betul, karena dr teori ini selain bisa menjadi pisau analisis dalam memilih variabel, juga bisa menjadi logika berpikir anda.
    Jika anda sudah mantap dengan definisi konseptual dan operasional dari variabel "kapasitas" dan sub-variabel dan/atau indikatornya, maka ketika dosen anda mengatakan hal itu sebagai "job description", anda sudah bisa menjelaskan dengan baik.
    Selamat menulis ya, semoga sukses. Jika ada pertanyaan, silakan saja kirimkan via email saya.

    BalasHapus
  7. emailnya apa yach mas???
    mau nanya tentang bagaimana mengukur kapasitas sumber daya manusia

    BalasHapus
  8. Mas, bgmn cara mengukur angka kapasitas spt d atas? Saya cb utak ati g ktmu?

    BalasHapus