Laman

Jumat, 31 Desember 2010

Strategi Kebijakan Penanganan Illegal Logging di Wilayah Kalimantan


Illegal logging dalam definisi yang sederhana adalah pembalakan liar. Namun definisi ini tidak akan mujarab jika hendak dipraktikan dalam memberantas illegal logging. Definisi illegal logging sangat luas dan memiliki banyak modus. Definisinyapun mengikuti modus kasusnya secara empirik, sehingga tindakan-tindakan seperti penebangan, sistem pengelolaan, pemasaran, distribusi, perizinan maupun hasil akhir dari produk hasil hutan kayu yang tidak sesuai hukum disebut illegal logging.

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang terkenal dengan beraneka ragam sumber daya alam dan potensi yang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sumber daya alam yang di Kalimantan Timur yang menjadi komoditas utama dari Kalimantan Timur, antara lain pertambangan (batu bara, minyak bumi, gas alam, bahan mineral), dan sektor kehutanan yang menjadi primadona dari hasil sumber daya alam. Sayangnya, kekayaan hasil hutan ini lebih banyak diminati secara illegal.

Illegal logging menjadi isu sentral sekarang ini terutama dalam pembicaraan kawasan hutan terutama dengan maraknya perusahaan yang bergerak dibidang perkayuan dan pertumbuhan kapitalisme dalam negeri, sehingga permintaan kayu pun menjadi tinggi. Jika dibatasi sistem penebangannya oleh pemerintah atau regulasi negara, maka untuk kelancaran industri tersebut akan melakukan apapun dimana tindakan ini disebut dengan illegal logging. Illegal logging merupakan suatu momok yang terjadi di masyarakat Kalimantan Timur pada khususnya, dan di daerah-daerah dengan potensi hutan yang sangat besar pada umumnya. Dan hal ini banyak dilakukan secara sistematik melalui rantai politik, melewati rantai swasta hingga mengkooptasi rantai dalam masyarakat.

Luas hutan Kalimantan Timur sendiri mencapai 14.805.582 hektar yang terdiri dari hutan lindung 2,9 juta hektar, hutan produksi 9,6 juta hektar dan hutan konservasi 2,1 juta hektar. Kecenderungan kerusakan hutan semakin mengkhawatirkan tidak kurang setiap tahunnya Indonesia kehilangan 2,8 juta hektar hutan atau setiap menitnya kita kehilangan hutan seluas lapangan sepakbola. Untuk di Kalimatan Timur, sisa luas lahan yang di akibatkan oleh illegal logging hanya 43 % dari luas lahan kritis yang ada di Kalimantan Timur mencapai 6,4 juta hektar dan kerusakan hutan yang terjadi dalam setahun di Kalimantan Timur mencapai 350 Hektar setahun. Akibatnya banyak sumber daya alam yang ada di Kalimantan Timur menjadi rusak atau punah ekosistem alam, disisi lain kemampuan untuk melakukan rehabilitasi hutan yang rusak akibat illegal logging sangat jauh dari menggembirakan, berdasarkan informasi bahwa rehabilitasi yang dilakukan secara nasional masih dibawah keberhasilan yakni 20%.

Kondisi diatas mengilustrasikan bahwa praktek illegal logging telah menjadi penyakit yang sangat akut dan ancaman yang begitu nyata, tidak saja bagi keberlangsungan dan kelestarian lingkungan, namun juga bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam jangka panjang. Ironisnya, hingga saat ini belum terdapat tanda-tanda yang meyakinkan bahwa praktek illegal logging akan dapat diatasi secara tuntas. Koordinasi kelembagaan antar berbagai pihak terkait seperti Pemda, Polri, aparat kehutanan, LSM, hingga kelompok-kelompok masyarakat terlihat belum sinergis, bahkan terkesan tidak ada satu institusi negara-pun yang merasa paling bertanggungjawab terhadap “korupsi” sektor kehutanan ini. Aturan hukum dari tingkat UU hingga Instruksi Presiden juga belum memiliki binding force yang memadai, sehingga dapat dikatakan kurang ada law enforcement pada kasus pembalakan liar ini.

Ketika problema illegal logging belum bisa diatasi secara komprehensif, maka akan lebih sulit lagi ketika kita bicara upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Sebab, faktor penyebab utama hutan gundul adalah deforestrasi yang tidak terkendali tadi. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis harus didahului dengan pemberantasan illegal logging terlebih dahulu. Tanpa upaya yang sistematis menghentikan deforestrasi atau pembalakan liar, maka tidak akan mungkin terwujud konsep pengusahaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.

Untuk di Kalimantan Timur sendiri upaya untuk pemulihan hutan melalui program rehabilitasi hutan dan lahan kritis, rata-rata hanya terealisasi kurang lebih 30.000 hektar atau 11 persen saja dari luas hutan Kalimantan Timur. Akibatnya, dampak yang nyata dirasakan oleh masyarakat akibat illegal logging tersebut salah satunya adalah sering terjadinya bencana alam yang terjadi tiap tahun yang banyak merenggut korban jiwa baik bencana alam yang bersifat banjir yang meluas arealnya dari tahun ke tahun atau tanah longsor dan juga kerugian materil yang tidak kecil yang di alami oleh masyarakat.

Ironisnya berbagai penegakan hukum dan keadilan mengenai masalah illegal logging tampaknya belum maksimal bahkan menjadi terpuruk meskipun sudah memilki payung hukum yang ditetapkan oleh pemerintah di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang “Kehutanan” tetapi UU tersebut masih memilki celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan logging. Lemahnya penegakan hukum kehutanan ini sendiri terjadi antara lain disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1.       Jumlah aparat kehutanan yang tidak memadai dibanding beratnya tanggung jawab dan scope atau luas wilayah yang harus diawasi.
2.       Adanya pengusaha atau cukong yang memilih bisnis kehutanan melalui jalan pintas.
3.       Indikasi adanya intervensi negatif aparat diluar kehutanan (POLRI atau TNI).
4.       Mentalitas aparat kehutanan.
5.       lemahnya pemahaman terhadap aturan oleh aparat penegak hukum.

Dalam rangka lebih memperkuat upaya memberantas praktek illegal logging ini, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4 tahun 22005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah RI. Dalam Inpres ini diperintahkan kepada 12 Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan percepatan pemberantasan illegal logging di kawasan hutan dan peredarannya melalui penindakan terhadap orang atau badan yang melakukan praktek illegal logging, sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Selain itu, Inpres ini juga memberikan tugas-tugas spesifik kepada setiap pejabat / lembaga negara yang ada.

Selain itu juga disadari didalam rangka penegakan hukum atas praktek illegal logging setidaknya terdapat opsi-opsi yang merupakan sebuah keharusan untuk penegakkan hukum tersebut. Dalam hal ini, upaya penanganan untuk memberantas illegal logging sudah sejak dulu digalakkan, namun jika semua pihak tidak memiliki komitmen yang kuat, tentu akan sulit memutus mata rantai pembalakan liar ini dan akan menjadi kasus yang berlarut-larut dan akan mengancam dan rusaknya ekologi dan sumber daya alam secara permanen. Untuk itu diperlukan suatu tindakan konrkit agar illegal logging dapat dihentikan. Adapun beberapa tindakan / action yang diperlukan tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.      Adanya kepastian hukum tentang keberadaan hutan, baik untuk produksi maupun lindung dan konservasi dalam RTRW Kalimantan Timur maupun wilayah-wilayah lainnya.
2.      Perlu dipertegas hubungan tata kerja antar berbagai institusi kehutanan di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang meliputi pemerintah propinsi serta pemerintah kabupaten/kota.
3.      Perlu keberanian dari Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan deklarasi dan perang terhadap illegal logging.

Selain tindakan diatas dibutuhkan juga langkah awal yang segera dilakukan secara global melalui strategi yang efektif untuk penanggulangan illegal logging, yaitu meliputi (1) mencari terminology illegal logging yang sesuai dengan suatu sistem informasi terpadu, (2) melakukan pengawasan di pintu-pintu perbatasan dengan mengacu pedoman yang ada, (3) memberikan kemudahan dalam pengawasan SK SHH untuk produk kayu yang berasal dari pengelolaan hutan lestari.

Tidak cukup hanya langkah awal dan tindakan diatas saja untuk menghentikan illegal logging, tetapi juga diperlukan suatu kebijakan prioritas yang mendukung hal tersebut sehingga tidak berhenti di tengah jalan, yaitu:

1.      Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal.
2.      Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.
3.      Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.
4.      Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan disekitar kawasan hutan.
5.      Pemantapan kawasan hutan.

Berbagai konsep telah banyak untuk menjadikan masukan mengenai penanganan illegal logging tersebut sehingga nantinya dapat berguna dan bermanfaat dalam melakukan penanganan illegal logging yang menjadi ancaman tidak hanya Kalimantan Timur saja tetapi secara global yang akan mempunyai dampak yang negatif jika tidak ditangani dengan baik.

Atas dasar pemikiran diatas, maka perlu sebuah pola komunikasi kebijakan yang berfungsi menjembatani perbedaan pendapat yang selama ini mengemuka, sekaligus menciptakan lingkungan yang kondusif dalam proses persiapan peluncuran kebijakan pengembangan sektor kehutanan di Kalimantan pada umumnya dan Kalimantan Timur pada khususnya. Dalam pola komunikasi lintas departemen dan lintas kepentingan tersebut, diharapkan dapat terungkap, teridentifikasi, serta terpetakan secara lebih gamblang hal-hal sebagai berikut:

1.      Kebijakan tingkat nasional dan daerah (strategi, metode, pola koordinasi, sasaran, kemajuan, dll) dalam penanganan illegal logging.
2.      Kendala atau hambatan yang mungkin timbul dari pemberlakuan kebijakan tersebut, serta beberapa alternatif solusi yang dapat ditawarkan.
3.      Kebutuhan model komunikasi interaktif dan positif antar aktor / pihak serta meningkatnya saling pengertian (mutual understanding) dalam menyikapi kebijakan penanganan illegal logging.
4.      Adanya konsep kebijakan penanganan kehutanan yang terintegrasi dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), baik secara ekologis maupun ekonomis.

Samarinda, April 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar